Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerja sama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Daniel Iroth akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini adalah tentang "LGBT" Bagian Kedua. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
DI : Pak Sindu, kita akan me-review sedikit tentang apa penyebab ketertarikan sejenis pada bagian yang pertama. Mungkin Pak Sindu bisa berikan gambaran tentang apa penyebab ketertarikan sejenis ini ?
SK : Yang pertama yaitu ketiadaan pemenuhan cinta yang utuh dari kedua orang tua kandung terhadap sang anak. Cinta yang utuh punya dua sisi yaitu sisi kasih sayang dan sisi batasan dan arahan. Kasih sayang itu seperti ibaratnya tali itu diulur. Sisi yang lain, arahan dan disiplin, seperti kita menarik tali itu. Jadi, tarik dan ulur dibutuhkan sang anak sebagai wujud cinta yang utuh yang perlu didapat dari ayah kandung dan ibu kandung. Kasih sayang itu ada empat bahasa, minimal. Sentuhan fisik yang sehat – dibelai, dikecup, digandeng, dirangkul; yang kedua, kebersamaan yang dirasakan anak itu – ditemani dalam berbagai aktivitasnya minimal oleh salah satu orang tua secara bergantian; yang ketiga, kata-kata peneguhan; yang keempat, perhatian fisik – perawatan, makanannya, pakaian dan kesehatannya. Sementara arahan dan disiplin sebagai sisi lain dari kasih sayang itu berupa batasan-batasan jam kegiatan, mengingatkan disiplinnya, pembentukan karakternya – "Ayo kamu jujur, ayo kamu yang rajin" - dan kalau ada perilaku rajin dan jujur itu, dipuji, dikuatkan. Tata krama juga diajarkan, dipraktekkan di rumah. Anak diajar untuk punya cita-cita, "Visimu apa ?", dibimbing untuk mencapainya secara sederhana. Bagian dari arahan dan disiplin juga termasuk diet media, penggunaan televisi, media-media gawai atau gadget, internet sebaiknya "tiarap" saat usia nol – 10 hingga 12 tahun. SMP baru usia yang sehat untuk menggunakan gawai. Kemudian ditambah pendidikan seks sesuai tahap perkembangan usia anak. Jadi, sejak anak balita sudah ada pendidikan seksnya sesuai usianya ini. Makanya isu LGBT termasuk isu yang dibahas. Kamu laki-laki, kamu perempuan. Laki-laki seperti apa, perempuan seperti apa. Bagaimana memerlakukan temanmu yang sejenis dan lawan jenis. Bagaimana kalau kamu melihat gambar porno. Kenapa gambar porno atau film porno kita tolak bahkan langsung matikan, kamu lari dari tawaran untuk menonton, melihat. Kita jelaskan secara terbuka sejak usia dini. Sehingga hal ini semua menghimpun dalam diri anak menjadi cinta yang utuh. Kalau cinta yang utuh ini melimpah dari 0 – 12 tahun, maka secara alami, anak punya perlindungan yang solid, yang kokoh, dari hal-hal yang bisa menggiring mereka salah pergaulan termasuk kehidupan seks di luar nikah, kehidupan seks dini, termasuk kemungkinan untuk menjadi bagian dari orang-orang yang mengalami ketertarikan sejenis, menjadi sangat kecil kemungkinannya.
DI : Jadi, Pak Sindu mengatakan bahwa cinta yang utuh itu sangat menolong anak-anak untuk tidak masuk ke dalam ketertarikan yang sejenis.
SK : Betul.
DI : Dan Pak Sindu memberikan alasan mengapa cinta yang utuh itu dapat melindungi anak-anak dengan alasan-alasan yang tadi. Mungkin bisa lebih dalam lagi mengapa cinta yang utuh ini sungguh-sungguh dapat melindungi anak-anak masuk ke dalam cinta sejenis, Pak Sindu ?
SK : Kita bisa perhatikan dari tahap perkembangan identitas seksual. Tahap perkembangan identitas seksual pada seorang manusia bisa kita klasifikasi, kita golongkan secara umum dalam beberapa tahap. Tahap yang pertama, nol – 2 tahun. Dari kelahiran sampai umur 2 tahun itu adalah tahap "sense of being", tahap keberadaan diri.
DI : Maksudnya bagaimana, Pak ?
SK : Tahap dimana kalau seorang bayi mendapatkan kehadiran ibu secara konsisten atau terus menerus – kasih sayangnya limpah secara menetap di usia 0 – 12 tahun – menangis, ibunya datang, kenapa ini, oh popoknya basah, lalu diganti. Nangis, oh waktunya minum susu, disusui dengan ASI atau kalaupun tidak bisa ASI ya dengan susu formula tapi tetap dengan pelukan dan kehangatan. Itu membentuk yang namanya kelekatan antara ibu dan anak. Membentuk ‘basic trust’, rasa aman tingkat dasar pada diri anak. Dan pada titik itu anak akan merasa, "oh aku dicintai, aku dikehendaki, aku dilindungi." Dan itu membentuk rasa keberadaan diri. "Aku eksis, aku ada." Kalau bayi, "oek,oek…oek…oek…" sampai suaranya habis tidak ada yang mencari atau menolong, akhirnya dia merasa, "Siapa yang menghendaki aku ? Siapa yang tolong aku… tidak ada yang suka aku…" akhirnya anak tidak merasa diri sebagai pribadi yang eksis dan ini berarti tidak punya sisi perlindungan diri. Akhirnya di masa usia lebih dewasa, siapapun yang menerima, dia akan telan. Sekalipun, "Ayo, kita ngeseks yuk, aku sodomi kamu ya." Dia akan terima apapun perlakuan-perlakuan buruk itu karena bagi dia ada yang perhatian kenapa harus jual mahal. Karena dalam anak-anak ini tidak terbentuk rasa keberadaan diri, sense of being. Jadi ini fondasi pertama.
DI : Jadi, sangat penting orang tua betul-betul memerhatikan masa 0 – 2 tahun ini untuk anak boleh memiliki kelekatan.
SK : Dengan sang ibu yang paling utama.
DI : Oke.
SK : Ayah tetap mendukung. Tapi porsi terbesarnya adalah ibu.
DI : Tahap selanjutnya bagaimana, Pak Sindu ?
SK : Tahap usia 2 – 4 tahun, tahap kemandirian. Tahap kemandirian artinya bahwa anak masuk pada tahap dimana ditolong oleh sang ayah, diteguhkan sang ayah untuk berani dan aman meninggalkan pelukan ibunya. Bukan berarti sang ayah merebut, "Kamu pisah, jauh-jauh dari ibu ! Harus dengan Bapak terus, tentu bukan seperti itu. Maksudnya dengan lembut sang ayah mendorong anak, "Ayo kita jalan keluar." "Aduh, aku takut, Pa. Aku mau sama mama saja." "Oh, tidak apa-apa. Papa sayang kamu. Papa akan melindungi kamu." Jadi, sang ayah disini punya porsi penting mendampingi sang anak yang diasuh ibu sambil meneguhkan. Mendampingi. Ini kemandirian. Artinya dari rasa aman dengan sang ibu di usia 0 – 2 tahun diperluas dengan rasa aman dengan ayah dan rasa aman dengan lingkungan sekitar. Sehingga muncullah fenomena kenapa ada anak-anak yang memasuki usia TK seperti tidak bisa lepas dari ibunya. Menangis terus.
DI : Berarti kurang peneguhan dari ayah ?
SK : Salah satunya atau salah yang lain di tahap awal, Pak Daniel. Tahap keberadaan diri, sang Ibu banyak meninggalkan anaknya, kasih sayangnya tidak konsisten. Sehingga belum terbentuk kemampuan untuk berpisah dengan ibu. Tapi kalau usia 0 – 2 tahun konsisten, kemudian sang ayah mengajak dia memisahkan diri dari ibu – tentu secara bertahap – anak akan mau karena dia sudah punya ‘basic trust’, rasa aman tingkat yang paling dasar. Yang ketiga yaitu usia 4 -6 tahun, Pak Daniel. Disini adalah tahap dimana terbentuknya identitas seksual lewat interaksi dengan orang tua sejenis. Anak laki-laki dengan sang ayah, anak perempuan dekat dengan sang ibu. Biasanya anak ‘kan mulai coba-coba. Sang anak perempuan melihat ibunya sehari-hari duduk di depan meja rias, ambil lipstick, ambil bedak. Ketika sang ibu pergi, pulang-pulang dia terkejut, "Kok meja rias saya berantakan ?" Akhirnya kita cari anak perempuan kita lalu tertawa karena dia belepotan lipstick. Bedaknya di wajah dan tubuh. Baju sang mama dipakai oleh anak perempuannya itu. Nah, itu sehat, itu bagian dari imitasi atau peniruan. Makanya sangat disayangkan bila kemudian ayah tidak hadir di usia balita ini. Terutama bagi anak laki-laki, dia mau mengimitasi siapa ? Mau menyamakan diri dengan siapa ? Akhirnya dengan sang ibu. Maka tidak heran jika anak laki-laki bisa jauh lebih feminin dari yang semestinya karena tidak ada figur ayah yang lekat di usia balita ini, 4 – 6 tahun.
DI : Kemudian tahap selanjutnya, Pak Sindu ?
SK : Yang keempat yaitu diusia 6 – 12 tahun, Pak Daniel. Ini adalah tahap waktu usia SD, tahap ikatan teman sebaya yang sejenis. Anak laki-laki kalau sudah terlewati dengan baik dari tiga tahap sebelumnya, maka tahap keempat secara alamiah, kalau dia berteman, anak laki-laki akan ingin mencari teman laki-laki sewaktu dia SD. Yang anak perempuan dengan sesama anak perempuan.
DI : Pentingnya dimana, Pak Sindu. Apa kaitannya mereka mencari teman sebaya sejenis dengan identitas seksual ?
SK : Peneguhan, Pak Daniel. Akhirnya dia tahu, oh anak laki-laki itu seperti ini. Tadi di tahap ketiga ‘kan dia mengalami pembentukan identitas seksual ini dari orang tua sejenis. Artinya orang dewasa dengan anak. Peniruan ‘kan ? Nah, tahap berikutnya diteguhkan oleh yang sebaya, yang seusia. Disini peran ayah dan ibu tetap penting. Tapi yang mau saya katakan bahwa di tahap ke-empat ini ikatan teman sebaya yang sejenis di usia 6 - 12 tahun adalah tahap penting yang perlu dilalui. Apa yang sudah dia pelajari, imitasi, identifikasi, tiru dari keseharian bergaul dengan ayah bagi anak laki-laki atau keseharian bergaul dengan ibu bagi anak perempuan, maka dia implementasikan dalam relasi sebaya. Bagaimana sesama laki-laki berbeda pendapat, bekerja sama, bersahabat, bagaimana menyelesaikan konflik sebagai lelaki. Yang anak perempuan juga begitu. Suka main boneka, main plastisin, suka dengan keindahan dan kerajinan, penampilan dengan rok. Celana laki dengan celana pendeknya dan dengan sikap-sikap maskulinnya. Dia belajar. Saling mengasah sesama anak laki-laki. Perlu kita perhatikan bila ternyata di usia SD anak laki-laki kita tidak mau dekat dengan sesama anak laki-laki. Ditanya kenapa, "Tidak mau. Anak laki-laki itu kasar. Suka mendorong, suka lari-lari. Bau keringatnya tidak enak. Aku lebih suka dengan anak-anak perempuan. lebih wangi, lebih lembut." Nah, justru ini indikasi yang negatif. Sangat mungkin, kemungkinan di masa balita ayah tidak hadir bagi anak laki-laki ini. Jadi, dia mengidentifikasi dirinya dengan ibu, sehingga dia lebih aman dengan yang seperti ibu yaitu teman-teman SD yang perempuan. Nah, disini lampu kuning supaya orang tua lebih mendeteksi dini dan melakukan usaha pembalikan secara dini. Tentunya bukan dimarah-marahi, "Kamu laki-laki harus begini !" Tidak. Tentu harus lewat proses persuasi dan disini ayah sangat mutlak hadir untuk meneguhkan anak laki-laki ini.
DI : Kehadiran ayah dan ibu betul-betul sangat dibutuhkan supaya menjadi model buat anak-anak mereka ya.
SK : Betul.
DI : Supaya wanita menjadi wanita, pria menjadi pria ya.
SK : Ya, Pak Daniel.
DI : Bagaimana dengan tahap berikutnya di remaja ?
SK : Masa remaja bisa kita sebut sebagai tahap yang kelima ya. Khususnya remaja masa-masa SMP, remaja awal, dimana disini perlu peneguhan dari orang tua lawan jenis.
DI : Bentuk peneguhannya bagaimana ?
SK : Anak laki-laki perlu mendapatkan pengakuan dari sang ibu. "Kamu laki-laki. Bagus, cara responsmu sudah seperti laki-laki sejati. Teruskan, anakku. Berani tegas. Berani memimpin, berani berbeda pendapat, main fisik misalnya sepakbola atau kotor-kotorpun tidak apa-apa tapi setelah itu harus cuci tangan dan mandi." Diteguhkan. Tapi kalau sang ibu melarang anak laki-lakinya, "Kamu masuk rumah, bantu ibu di dapur. Pulang sekolah di rumah saja, main boneka." Misalnya. Atau main dengan hal-hal yang identik dengan wanita maka akan mendistorsi anak itu. Anak perempuan juga begitu. Dia ingin menyenangkan ayahnya, ayahnya tidak mengerti batasan. Diajak semua aktifitas laki-laki, anak perempuannya diminta, "Ayo panjat genteng. Kamu jadi tukang." Jadi ini itu yang sebenarnya identik dengan peran laki-laki. Jadi, kalau orang tua bilang tidak usah pakai rok, rok itu jelek, membatasi, perempuan itu lemah, yang hebat laki-laki. Sekalipun fisikmu perempuan, jadilah seperti laki-laki. Kalau orang tua lawan jenis melakukan seperti itu, itu bisa menyabotase tahap-tahap sebelumnya.
DI : Mengacaukan identitas seksualnya ya.
SK : Tepat ! Mengacaukan. Jadi mengalami penyimpangan kanan dan kiri, tidak lurus lagi.
DI : Seandainya identitas seksual anak kita mulai kacau, apakah mereka bisa sembuh, Pak Sindu ? Maksudnya apakah kita bisa menolong anak-anak kita atau rekan-rekan kita untuk mengalami pemulihan ?
SK : Itu bergantung pada tahap usianya. Yang kita bahas ini adalah masa yang sangat menentukan. Kalau itu terjadi kegamangan di masa 0 – 10 tahun, sampai 12 atau 15 tahun, lebih ada peluang untuk kita melakukan pengupayaan membangun ulang sekalipun tentu tidak semudah itu mengembalikan apa yang sudah telanjur terbentuk. Tapi lebih ada harapan. Maka kembali, peran ayah dan ibu sangat vital.
DI : Baik. Untuk menegaskan kembali, tadi sudah dijelaskan tentang penyebab ketertarikan sejenis itu yaitu cinta yang utuh dari orang tua kandung tidak didapat. Bagaimana dengan penyebab yang lainnya, Pak Sindu ? Apa yang menyebabkan ketertarikan sejenis itu ?
SK : Yang kedua adalah pelecehan seksual di masa anak-anak. Anak-anak yang mengalami pelecehan seksual – anak laki-laki disodomi, anak perempuan mengalami pelecehan seksual dari sesama perempuan ataupun laki-laki dewasa yang tidak bertanggung jawab atau oleh laki-laki remaja – ini rawan untuk anak masuk kepada seks dini karena pengalaman seks di masa anak itu mencetak jiwa anak. Menimbulkan sensasi tertentu, kenangan tertentu. Sehingga kita lihat beberapa kasus, mereka yang mengalami ketertarikan sejenis, beberapa mengalami pelecehan seksual. Yang ketiga adalah pengaruh buruk dari lingkungan. Faktor ketiga ini yang paling digembar-gemborkan oleh gerakan-gerakan yang anti LGBT di Indonesia. Hati-hati, komunitas ini sedang menjaring massa, ada brosur, ada tawaran-tawaran, ada pembukaan pendaftaran keanggotaan. Tapi sebenarnya ini salah satu kemungkinan bukan satu-satunya. Jadi, ketika anak mulai masuk masa remaja atau dewasa mendapat lingkungan yang memengaruhi mungkin mereka bisa mendapat pengaruh. Tetapi saya mau katakan, faktor yang utama dan terbesar penyebab ketertarikan sejenis termasuk cara menangkalnya itu di hal pertama tadi.
DI : Keluarga tadi ?
SK : Cinta yang utuh masa 0 – 12 tahun. Itu masa pertama dan utama. Kalau anak mendapat cinta yang utuh secara melimpah – cinta dua sisi tadi termasuk mendapat pendidikan seks sesuai tahap pertumbuhan anak bahkan diteruskan sampai masa SMP dan SMA – sudah ada perlindungan. Termasuk kalau anak mengalami pelecehan seksual karena sudah ada cinta yang utuh yang sudah, sedang, dan akan terus diterima sang anak, pelecehan seksual ini bisa dipulihkan dari dampak-dampak traumanya asal orang tua mendampingi dengan konsisten. Ibaratnya cinta yang utuh dari orang tua itu seperti bantal, seperti matras, Pak Daniel. Anak mengalami hajaran, kekerasan fisik dan emosional, di-bullying, dikata-katai…
DI : Mereka jadi lebih bisa tahan ya ?
SK : Ya, Betul. Ada daya dukung, daya lentur, daya pegas. Termasuk pengaruh buruk lingkungan, EGP (Emang Gua Pikirin), tidak terpengaruh. Karena orang tua sudah mengajari, "Ini yang benar. Yang ini keliru. Pornografi itu salah." Dan salahnya dijelaskan. Akhirnya anak meyakini itu lewat proses pendidikan seks secara bertahap sesuai usia. Akhirnya dia tahu memilih pergaulan, lebih kecil kemungkinan untuk salah pergaulan. Nah, bagian dari cinta yang utuh yang ada sisi edukasi seks itu. Jadi kenapa pelecehan seksual menjadi ketertarikan sejenis atau seks di luar nikah ? Mengapa pengaruh buruk lingkungan membawa dia menjadi orang yang tertarik dengan sejenis ? Itu karena yang pertama, faktor pertama memang lalai. Tidak diisi oleh kedua orang tua kandung. Sehingga yang kedua dan ketiga, meledaklah, karena yang pertama tidak lulus uji. Tidak terpenuhi kepenuhan dasarnya.
DI : Jadi memang untuk menangkal pengaruh yang buruk dari lingkungan, dibutuhkan cinta yang utuh dari orang tua, ya Pak Sindu ?
SK : Ya.
DI : Tapi sekarang untuk mereka yang sedang jatuh ke dalam cinta sejenis, bagaimana mereka bisa sembuh ? Bagaimana Pak Sindu melihat persoalan ini ? Bagaimana menolong mereka ?
SK : Buat saya pertanyaan ini seperti diabetes. Apakah diabetes bisa disembuhkan ? Kalau seorang dokter mengatakan kepada pasiennya, "Pak, ini diabetes. Maaf saya katakan ini ya. Hasil uji laboratorium memang menunjukkan Bapak menderita diabetes." Secara medis, apakah bisa disembuhkan ?
DI ; Katanya harus minum obat terus kalau mau sembuh, itu yang saya dengar.
SK : Betul. "minum obat terus kalau mau sembuh", dengan kata lain tidak bisa disembuhkan. Karena obat harus terus menerus diminum seumur hidup dan mengubah gaya hidup – pola makannya 3x makan dengan 2x snack di tengah-tengahnya – perlu ada aktifitas fisik atau olahraga – istirahat yang cukup – mengatur jumlah kalori. Itu perubahan gaya hidup. Tapi sesungguhnya secara medis hampir tidak mungkin untuk sembuh total dari diabetesnya. Tapi dengan pola hidup yang sehat, maka diabetesnya itu dalam wilayah terkendali, terkuasai, tidak sampai parah dan tidak sampai mengganggu kehidupan sehari-harinya. Demikian pula orang yang sudah masuk di usia remaja atau dewasa awal sudah masuk kepada ketertarikan sejenis, secara hukum manusia dia tidak bisa hilang sama sekali ketertarikannya itu. Dalam hal ini ada dua kemungkinan, Pak Daniel. Yang pertama baru sebatas ketertarikan seksual. Tapi yang kedua tahap yang lebih lanjut, dia sudah melakukan perilaku seks sejenis, hubungan seks. Jadi, ada dua model. Tapi kedua-duanya kalau sudah muncul di masa remaja, sesungguhnya dia dalam arti tertentu telanjur, tapi bisa ditangani, dipulihkan, supaya orang demikian tidak sampai masuk dalam pusaran perilaku seksual sejenis. Jadi, beberapa akhirnya malah bisa menikah. Memilih untuk menikah dan memiliki pernikahan bahagia. Sekalipun godaan-godaan untuk melakukan, berfantasi seksual dengan sejenis itu masih ada, tapi bukan lagi menjadi isu yang besar, tapi menjadi isu kecil yang terkendali dalam hidupnya.
DI : Pak Sindu, adakah firman Tuhan yang ingin dibagikan berkaitan dengan topik saat ini ?
SK : Saya bacakan dari Surat Efesus 6:4 bunyinya, "Dan kamu bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di hati anak-anakmu. Tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasehat Tuhan." Firman Tuhan ini menegaskan kepada kita bahwa bapa-bapa, pria-pria dewasa yang memiliki anak-anak diminta Tuhan berperan aktif di dalam takut akan Tuhan. Dan memang dunia pengasuhan anak, dunia psikologi, dunia keluarga, sangat membuktikan secara science dan penelitian di lapangan, bahwa ayah yang hadir secara emosional – berelasi, meneguhkan anak laki-laki dan anak perempuan – dimasa 12 tahun pertama, rata-rata anak-anak laki-laki dan perempuan ini memasuki masa SMP dan SMA dengan kemantapan diri. Yang pertama, mereka punya daya juang menghadapi tantangan dan kesulitan. Tidak gampang menyerah. Tidak sampai putus sekolah. Mau bertanggung jawab. Yang kedua, mereka tidak cepat pacaran dini. Pacaran dini itu lebih banyak terjadi di usia SMP, kenapa ? Kekosongan kehadiran dari ayah secara emosional sehingga mereka merindukan figur laki-laki. Terutama yang anak perempuan merindukan figur ayah yang tidak didapatnya, akhirnya begitu ada yang mengajak pacaran dia mau saja. Karena ada yang kosong dalam jiwanya. Akhirnya dia pacaran dini, tanpa disadari bisa lebih mungkin masuk ke seks dini. Sementara anak laki-laki karena dia mendapatkan peneguhan dari ayah, selain peran ibu, dia pun merasa tidak perlu cepat-cepat punya pacar. Dia akan menikmati masa pertemanan sebaya khususnya yang sejenis di masa SMP dan SMA. Sehingga "Who am I ?" terjawab dan membuat anak ini mantap. Inilah yang dibutuhkan. Para ayah, mari kerjakan bagian kita sejak anak usia dini, konsisten sampai anak usia remaja, maka kita akan melihat anak-anak yang diberkati, bukan anak-anak yang dikuasai oleh amarah.
DI : Terima kasih banyak, Pak Sindu. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "LGBT" Bagian kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.