Pasangan yang Sakit

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T527A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Ada penyakit yang dapat sembuh dengan cepat, ada yang perlu waktu lama dan ada yang tidak dapat sembuh. Apa yang mesti kita perbuat ? Pertama, kita harus menyadari dan menyadari kenyataan bahwa kondisi sudah berubah. Kedua, sedapatnya kita memertahankan aktifitas rutin anak dan menyadarkannya bahwa kita tidak lagi dapat memberi perhatian seperti sebelumnya. Ketiga, jika memungkinkan menggunakan bantuan luar seperti perawat, bukan hanya untuk merawat pasangan yang sakit, tapi kita pun perlu beristirahat dan beraktivitas. Keempat, salah satu beban terberat di masa sakit adalah beban finansial, sedapat mungkin hindari berutang. Kelima, bersama pasangan yang sakit kita datang pada Tuhan mohon pertolongan-Nya.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Kesebelas adalah pasangan yang sakit. Penyakit dapat datang kapan saja—di usia muda maupun di usia tua; siap atau tidak siap kita mesti menghadapinya. Ada penyakit yang dapat sembuh dengan cepat, ada yang perlu waktu lama dan ada yang tidak dapat sembuh. Penyakit yang memerlukan waktu lama untuk sembuh dan penyakit yang tidak dapat sembuh pada umumnya menyebabkan penderitanya terganggu baik secara fisik maupun mental. Berkurangnya fungsi tubuh memberi tekanan mental pada penderitanya dan tidak bisa tidak, memberi beban tambahan bagi kita yang harus merawatnya. Tidak jarang, relasi nikah terganggu dan perkembangan anak pun turut terpengaruh. Karena letih, kita menjadi kurang sabar dan karena sakit, pasangan pun berubah menjadi pemarah. Anak-anak tidak lagi bisa bermain sebebas dulu dan kadang, anak-anak marah kepada dan menyalahkan yang sakit.

Apakah yang mesti kita perbuat ? Pertama, kita mesti menyadari dan menerima kenyataan bahwa sekarang kondisi sudah berubah. Yang menderita sakit harus menyadari dan menerima kenyataan bahwa ia tidak sebebas dulu dan harus bergantung pada orang untuk melakukan aktivitas rutin. Yang merawat harus menyadari dan menerima kenyataan bahwa ia pun tidak sebebas dulu dan harus mengurangi aktivitas rutinnya guna menolong pasangan yang sakit. Sudah tentu perubahan ini menuntut penyesuaian dan penyesuaian bukan saja bersifat fisik, tetapi juga mental. Meminta bantuan menuntut kerendahan hati dan keterbatasan fungsi tubuh menuntut kesabaran. Bila kita tidak bersedia merendahkan diri dan tidak sabar, kita pasti marah dan biasanya obyek kemarahan adalah orang yang terdekat dengan kita. Memberi bantuan juga menuntut kesabaran dan kasih, sebab jika tidak, maka bantuan atau perawatan yang diberikan akan penuh dengan ketidakrelaan dan kekasaran. Alhasil konflik pun terjadi.

Hal kedua yang harus kita perbuat adalah sedapatnya kita memertahankan aktivitas rutin anak. Sudah tentu kita mesti menyadarkan anak bahwa oleh karena ayah atau ibu sakit, kita tidak lagi dapat memberikannya perhatian seperti sediakala. Namun, sebisanya kita akan mengusahakan agar ia tetap dapat beraktivitas seperti semula. Hal ini penting bagi anak yang masih dalam tahap pertumbuhan. Dengan ia keluar rumah dan beraktivitas maka pertumbuhannya—secara sosial maupun emosional—dapat berjalan seperti biasa. Tidak bisa tidak, bila kita mau mengutamakan kepentingan anak, maka kita harus merelakan kehilangan dukungan atau bantuan; kita tidak lagi bisa bergantung pada anak. Ini pasti akan menambah kerepotan karena kita memerlukan bantuan itu agar dapat menjaga keseimbangan antara memenuhi tuntutan rumah tangga dan merawat pasangan yang sakit. Namun, jika memungkinkan, kita tidak menuntut anak terlalu banyak untuk membantu kita supaya ia tetap dapat beraktivitas secara rutin.

Ketiga, jika memungkinkan kita menggunakan bantuan luar, seperti perawat, untuk melayani pasangan yang sakit, setidaknya beberapa jam sehari. Bantuan ini penting bukan saja untuk menolong kita merawat pasangan yang sakit tetapi juga untuk memberi kita waktu beristirahat dan beraktivitas. Walau hidup kita tidak lagi sama, namun sedapatnya kita memertahankan beberapa aktivitas yang baik buat kesehatan fisik dan mental kita. Jangan merasa bersalah meninggalkan pasangan yang sakit selama beberapa jam karena kita pun memerlukan penyegaran agar dapat terus merawatnya. Dan, kita yang sakit juga harus memahami hal ini. Ada kecenderungan kita merasa bersalah meninggalkannya; kita takut dituduh tidak bertanggung jawab atau tidak mengasihi pasangan. Pada kenyataannya kita adalah manusia yang terbatas; energi dan semangat tidak selalu terkumpul dan tersedia. Itu sebab kita pun perlu beristirahat dan beraktivitas agar tetap dapat menjalankan hidup dan kewajiban kita. Jadi, jangan biarkan rasa bersalah menguasai kita; meninggalkannya selama beberapa jam adalah baik buat kita berdua.

Keempat, salah satu beban terberat di masa sakit adalah beban finansial; tidak jarang, pengobatan menguras habis tabungan. Itu sebab penting bagi kita untuk merundingkan dan memutuskan rencana perawatan secara terbuka dan realistik. Bagi kita yang berkecukupan, alternatif pengobatan tersedia seakan tanpa batas sedang bagi kita yang terbatas, pilihan yang tersedia tidaklah banyak. Kadang, karena mementingkan kesembuhan, kita menempuh jalan yang akhirnya membuat kita berutang besar. Bila memang itu menjanjikan kesembuhan, tidak apa, tetapi jika tidak, itu akan menambahkan beban yang mesti kita pikul bertahun-tahun. Pada masa sakit kita tetap harus tunduk pada hukum hikmat dan menghindar dari bahaya, besar pasak daripada tiang. Kita yang menderita sakit harus berani mengambil keputusan yang realistik supaya kita tidak meninggalkan beban yang sukar ditanggung kelak. Sekilas pertimbangan ini terdengar kejam dan tidak manusiawi tetapi pada akhirnya kita harus hidup di dalam—bukan di luar—keterbatasan. Kita butuh pengobatan tetapi keluarga pun butuh hidup. Kedua hal ini harus terus menjadi pertimbangan bersama.

Kelima dan terakhir, kita harus terus mengutamakan Tuhan di dalam masa yang susah ini. Bersama dengan pasangan yang sakit, kita datang kepada Tuhan memohon pertolongan-Nya. Kita pun mesti terbuka dan jujur dengan pergumulan rohani. Adakalanya penderita sakitlah yang bergumul dengan pertanyaan, mengapa Tuhan membiarkan semua ini terjadi, tetapi kadang, kitalah yang bergumul dengan ketidakmengertian rohani itu.

Di dalam masa yang sulit, biarlah kita saling menguatkan dan mengingatkan supaya kita tidak melihat Tuhan hanya dari lensa penderitaan. Bukankah selama ini Ia pun telah memberkati dan menunjukkan kebaikan-Nya kepada kita? Yeremia 31:3 mengingatkan, "Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal, sebab itu Aku melanjutkan kasih setia-Ku kepadamu."