Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Menghadapi Orang Tua Bermasalah Di Hari Tuanya". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Memang sebenarnya sebagai anak kita itu berharap hubungan dengan orang tua bisa baik-baik, harmonis sampai nanti Tuhan memisahkan kita dengan kematian. Tapi faktanya tidak seperti itu, Pak Paul. Banyak anak yang mengalami masalah dengan orang tuanya. Tapi topik ini seolah-olah mengatakan orang tua yang bermasalah di hari tuanya, jadi yang bermsalah ini sebenarnya orang tuanya. Tetapi dampaknya kepada anak atau anak-anaknya. Kira-kira bagaimana menghadapinya, Pak Paul ?
PG : Begini, Pak Gunawan. Tidak ada seorang pun yang sempurna termasuk orang tua kita. Kita juga akan bisa berkata kita tidak sempurna. Di dalam ketidaksempurnaan terkadang orang tua justru menjadi perusak bukan membangun hidup kita. Ini memang yang saya saksikan dalam pelayanan. Lewat perkataan, perbuatan menorehkan luka di hati dan menyisakan cedera di kalbu. Ada yang berubah menjadi lebih baik setelah menginjak usia lanjut, tetapi ada pula yang tidak. Masalahnya adalah acap kali tanggung jawab merawat mereka jatuh pada pundak kita, anak-anaknya. Nah, ini yang kita mau angkat dan kita juga mau bicara bagaimana cara menghadapinya.
GS : Iya. Itu kalau seseorang sudah mencapai usia lanjut seperti orang tua ini, orang tua kita ini lalu menimbulkan masalah. Apakah itu karena kekhawatirannya akan masa depannya nanti yang walaupun hanya tinggal beberapa tahun, atau memang karena karakternya ?
PG : Kalau saja hanya kekhawatiran saya kira itu akan lebih gampang. Kita masih bisa menghadapinya dengan kepala dingin, memberikan dia kekuatan, penghiburan "Jangan khawatir, kami disini, kami mendampingi, merawat sampai nanti papa mama Tuhan panggil"; kalau saja hanya itu. Tapi masalahnya adalah seringkali bukan itu Pak Gunawan, tapi karakter. Nah, kita ini memang waktu masih kecil tidak begitu mengerti tentang karakter orang tua dan mulai besar kita mulai mengerti. Tetapi karena kita terlepas dari orang tua, hal-hal ini tidak terlalu mengganggu kita. Pada waktu orang tua sudah lanjut usia, barulah masalah ini mencuat. Karena kita akan harus hidup berdekatan lagi dengan orang tua, sedangkan kita sudah menjadi orang dewasa yang sebagian dari kita telah mengalami pembentukan Tuhan, pembentukan karakter. Sehingga kita mengerti apa yang baik, apa yang buruk dan sudah menjadi manusia yang baru di dalam Tuhan. Waktu kita harus lebih dekat lagi, hidup berdekatan atau bahkan serumah dengan orang tua di usia lanjutnya, barulah kita ini melihat, "Aduh, mengapa ada karakter-karakter pada orang tua yang begini" dan itu akan mengganggu kita. Bukan saja mengganggu kita secara pribadi tapi seringkali tapi seringkali juga nantinya mengganggu keluarga kita atau hubungan kita dengan pasangan kita.
GS : Iya. Hal-hal apa saja itu yang bisa menimbulkan masalah antara orang tua dan anak ini?
PG : Pertama, ada orang tua yang terus ingin mengendalikan hidup kita, anak-anaknya sampai di usia lanjut. Mereka terus berusaha mengatur hidup kita dengan cara memaksakan kita untuk melakukan apa yang mereka inginkan. Sudah tentu mereka beralasan bahwa ini adalah untuk kebaikan kita dan bahwa mereka menyayangi kita. Masalahnya adalah jika kita menolak campur tangan mereka pada umumnya mereka menanggapi dengan marah seperti anak kecil. Mereka akan membuat kita merasa bersalah dengan mengatakan hal-hal yang bersifat kekanak-kanakan. Persis seperti seorang anak kecil berkata kepada orang tuanya, "Kamu tidak sayang lagi kepada kami. Di hari tua kami diperlakukan seperti sampah" akhirnya membuat kita frustrasi sekali. Karena selalu alasan yang diberikan, "Kami sayang kamu. Kami peduli dengan kamu". Iya tapi juga tidak bisa hanya memberikan masukan, namun terus memaksakan kehendaknya. Akhirnya, tidak bisa tidak, kita bentrok dengan mereka, ketika kita harus berkata "Tidak" atau menolak. Sewaktu kita menolak mereka kemudian membuat kita merasa sangat bersalah sehingga relasi ini menjadi relasi yang tidak nyaman.
GS : Apakah itu bukan kekhawatiran bahwa dia tidak punya teman lagi, Pak Paul ?
PG : Kadang-kadang itu yang terjadi, Pak Gunawan. Mereka kehilangan teman-teman mereka, mereka semakin bergantung kepada kita. Jadi semakin banyak yang ingin mereka katakan kepada kita, ingin mengatur hidup kita. Tapi kita ini mesti mengerti bahwa kita ini tidak memunyai hak sebesar itu lagi dalam hidup mereka, karena mereka ini sudah dewasa, mereka sudah memiliki keluarga. Kita hanya bisa memberikan masukan. Tapi ada orang tua yang memang tidak bisa hanya memberi masukan, karena karakternya atau sifat dasarnya dari dulu memaksakan kehendak; "Mengapa tidak berubah dari dulu kalau mau sesuatu harus memaksakan kehendaknya. Kalau dia berkata apa-apa kita harus turuti, jika tidak dia akan marah. Dia akan marah, bersedih, membuat kita merasa bersalah. Aduh." Jadi benar-benar membuat hati kita kesal juga.
GS : Ini repotnya ada orang tua yang mengendalikan anaknya itu sampai dalam pernikahannya, Pak Paul. Jadi mencari jodoh. Dia yang menentukan atau terkadang dia menghalang-halangi supaya anaknya ini tidak cepat-cepat menikah, karena dia merasa nanti khawatir tidak ada temannya lagi.
PG : Atau mungkin tidak ada yang merawatnya lagi ?
GS : Iya.
PG : Betul, Pak Gunawan. Jadi sekali lagi kita mau kembali kepada kondisi kita. Kita ini manusia tidak sempurna, jadi orang tua kita pun tidak sempurna. Dan ada orang tua yang memang begitu, kehendaknya harus dituruti. Bila inilah situasinya, apa yang harus kita lakukan? Saya menyarankan sebaiknya kita bersikap lembut namun tegas. Katakan bahwa kita menyayanginya dan akan terus memerhatikan kebutuhannya. Katakan bahwa kita pun mendengar masukannya tetapi tidak selalu kita dapat mengikuti kehendaknya. Kita mesti mengambil keputusan dengan memertimbangkan banyak faktor, bukan hanya satu yakni kepentingan mereka. Jadi katakan bahwa, "Papa mama boleh menyatakan pendapat atau saran. Tetapi keputusan akhir ada di tangan kami suami istri, bukan di tangan papa mama lagi". Nah, garis ini kita harus terus menerus memang tekankan, Pak Gunawan, sebab mereka tidak terbiasa untuk menerima penolakan, kehendaknya harus terjadi. Jadi kita harus ulang lagi, ulang lagi, ulang lagi. Dan memang tidak enak karena setiap kali kita mengulangnya akan timbul masalah. Tapi tidak bisa tidak kita harus memang membuat garis yang jelas itu.
GS : Iya. Mungkin kalau bersikap lembut masih bisa dilakukan oleh anak, tapi bersikap tegas ini ada kekhawatiran dari anak nanti orang tuanya sakit atau orang tuanya bertindak sesuatu yang membahayakan begitu.
PG : Betul. Jadi kita tetap berkata-kata lembut tapi memang harus tegas, dalam pengertian kita bergeming, kita tidak mundur. Karena kalau kita tidak konsisten, "Ya sudah kita ikuti. Kita ikuti", nah berarti orang tua tidak akan berhenti. Dia akan terus memaksakan kehendaknya. Kalau kita biarkan seperti itu, kalau saya khawatir nanti rumah tangga kita yang hancur.
GS : Tapi banyak anak yang beranggapan, "Ya sudah kalau memang orang tuanya seperti itu, tunggu beberapa tahun lagi saja turuti saja" ini bagaimana, Pak Paul?
PG : Nah, kalau memang bisa dituruti dan tidak selalu mengganggu; maksud saya suami istri bisa terima, ya tidak apa-apa. Tapi kalau memang kita lihat, "Aduh ini benar-benar mengganggu kehidupan rumah tangga kita". Maka lebih baik kita menarik garis yang jelas itu.
GS : Tetapi mereka masih anggap ‘terpaksa menerima’ begitu, Pak Paul ?
PG : Kalau memang kedua-duanya masih bisa menerimanya walaupun dengan terpaksa, tidak apa-apa. Sebab saya mengerti, nanti kalau sampai tidak harmonis dengan orang tua, bertengkar dengan orang tua apalagi nanti dia marah atau apa, membuat kita merasa bersalah maka kita sengsara. Jadi kalaupun masih bisa, ikuti. Lakukanlah. Tapi kalau kita tahu itu akhirnya merusak hubungan kita dengan pasangan, kita mesti menarik garis yang jelas itu.
GS : Jadi selain ada orang tua yang mengendalikan hidup kita, hal yang kedua apa, Pak Paul?
PG : Ada orang tua yang kasar dan merendahkan kita, anak dan menantunya, karena kita tidak mencapai standar yang mereka tetapkan. Ada orang tua yang gemar merendahkan dan membandingkan kita dengan kakak atau adik kita. Dari soal pendidikan, penghasilan, sampai seberapa besar jumlah uang yang diberikan kepada mereka, semua menjadi bahan perbandingan dan juga untuk merendahkan kita. Atau kalau bukan kita pasangan kitalah yang menjadi bahan pelecehan dan perbandingan yang membuat pasangan merasa tidak diterima oleh orang tua kita. Memang kita mengerti orang tua itu manusia, bisa emosi. Saya yakin kita mengerti itu, kita juga seperti itu. Tapi memang, Pak Gunawan, ada orang tua yang bisa kasar. Bukan saja terhadap kita, kalau kita mungkin masih bisa berkata, "Ya sudah kita mau mengerti orang tua kita", tapi kadang-kadang kasarnya terhadap pasangan kita. Benar-benar bisa berbicara tidak ada penguasaan, sangat merendahkan pasangan kita. Ini mengganggu sekali. Bukan saja tindakan ini kasar tapi juga memang salah dan berdosa. Jadi kita juga mau menghadapinya seperti itu. Ini masalah serius.
GS : Tapi sebenarnya itu bertentangan dengan natur dia sebagai orang tua. Orang tua itu biasa kita bayangkan yang lemah lembut, yang bisa mengerti anak-anaknya, mengayomi anak-anaknya, ini mengapa tiba-tiba menjadi orang tua yang kasar dan malah menjelek-jelekkan anaknya ini bagaimana?
PG : Ada. Pak Gunawan, ada ya. Jadi ada orang tua yang karena nilai-nilainya itu ialah nilai-nilai yang lebih duniawi. Jadi itu memandang orang, menilai orang dari ukuran-ukuran duniawi; seberapa besar pemberian anak kepadanya, seperti apa kayanya menantunya, tinggi apa rendah pendidikan menantu atau anak. Jadi ada orang tua yang akan membanding-bandingkan dengan kakak atau adik kita, atau dengan menantu-menantunya yang lain dan ada yang membandingkannya di belakang menantu, jadi hanya dengan kita anak-anak tapi ada yang membandingkannya di depan mata si menantu tanpa rasa kepekaan dan peduli, karena memang mereka tidak menganggap ini menantu. Jadi mereka berkata sekasar apapun juga rasanya tidak apa-apa karena tidak peduli ini menantu sakit hati atau apa. Jadi memang ada orang tua yang seperti itu, Pak Gunawan. Lebih mudah membandingkan kita dengan adik atau kakak kita; "Adikmu itu sudah komitmen mau kasih saya sebesar ini untuk saya bisa pergi jalan-jalan ke Taiwan atau Singapura atau kemana. Percuma kamu menjadi anak", ada orang tua yang berkata seperti itu, Pak Gunawan.
GS : Iya. Tapi kalau begitu Pak Paul yang merendahkan, otomatis dia sendiri tercermin bahwa dia tidak bisa mendidik anak-anaknya, Pak Paul ?
PG : Nah, kalau saja mereka berpikir begitu ada baiknya sehingga mereka mengerem. Tapi justru mereka tidak berpikir begitu, Pak Gunawan. Mereka tidak ada rasa malu sendiri, ini anak sendiri dijadikan bahan gunjingan; tentu seharusnya jangan karena anak sendiri. Ada orang tua memang yang tidak memikirkan itu, melainkan tidak ada rasa mereka bertanggung jawab atau apa. Mereka pokoknya tidak mau mengerti bahwa kita ini tidak bisa. Memang tidak sama kondisi ekonomi kita; kakak, adik atau yang lain. Tapi ada orang tua yang tidak mau mengerti. Benar-benar menuntut dari soal-soal pemberian sampai hal-hal yang lainnya.
GS : Jadi itu repotnya kadang-kadang diperbincangkan dengan orang lain, dengan tetangga atau dengan yang tidak bersangkut paut dengan keluarga kita, Pak Paul.
PG : Betul sekali. Dan membuat kita jadinya susah. Kita mendengar perkataan seperti itu, yang tidak enak. Tapi kita juga tidak bisa datang ke teman-teman orang tua kita dan menjelaskan. Jadi akhirnya kita hanya bisa diam dan tutup mulut. Tapi memang dalam hati kita jengkel.
GS : Jadi apa yang mesti kita lakukan, Pak Paul ?
PG : Jika itu yang terjadi tidak bisa tidak, kita mesti bersikap tegas kepada orang tua. Kita mesti mengatakan bahwa perkataan dan perlakuan seperti itu tidak dapat kita toleransi. Jika perkataan atau perlakuan itu ditujukan kepada pasangan, kita pun mesti membelanya membela pasangan. Kita harus bersikap tegas sebab perlakuan kasar dan merendahkan bukan saja tidak sehat tetapi juga merusakkan jiwa dan harga diri orang. Kegagalan kita membela pasangan seringkali mengakibatkan kepahitan dalam dirinya. Itu sebabnya kita harus menyatakan sikap yang jelas. Kita mesti menyayangi orang tua, tapi itu tidak berarti kita membiarkan mereka berbuat semaunya. Kita mesti berpihak pada yang benar dan menegur yang salah.
GS : Ini ‘kan masalahnya perkataannya menyakitkan dan kasar. Bagaimana kalau kita sebagai anak lalu mengurangi komunikasi dengan orang tua yang seperti ini ?
PG : Baik, saya kira. Kalau memang kita tahu sering-sering bertemu kita akan nanti mendengar ocehan orang tua yang tidak enak didengar, merendahkan kita merendahkan pasangan kita, lalu kita batasi interaksi kita dengan mereka. Saya kira itu bijaksana.
GS : Atau kalau kita memang sudah tidak serumah lagi dengan orang tua ini lalu memperjarang pertemuan supaya tidak keluar kata-kata yang menyakitkan itu?
PG : Betul. Kalau masih bisa, Pak Gunawan, kita ini menjaga jarak, tidak harus sering bertemu. Itu baik. Namun, saya juga mau realistik ini yang saya lihat, ada orang tua yang memang butuh anak karena dalam kondisi sudah berpenyakitan, atau ayah kita sudah meninggal hanya ibu saja yang masih ada atau kebalikannya. Jadi mereka memang memerlukan kita, sehingga tidak bisa tidak kita harus datang harus bertemu. Saya sudah melihat ada orang tua yang tetap saja membicarakan, membanding-bandingkan, merendah-rendahkan anak maupun menantunya.
GS : Hal yang ketiga apa, Pak Paul, yang seringkali terjadi?
PG : Ada orang tua yang memperalat anak sebagai ‘sapi perahan’ belaka. Mereka jarang memikirkan kepentingan anak. Sebaliknya mereka hanya memikirkan kepentingan sendiri. Fokus, perhatian hanya satu yakni uang. Dan itulah yang mereka pikirkan setiap hari. Semakin besar kita memberi, semakin besar senyuman yang diberikannya kepada kita dan semakin tinggi kebanggaannya terhadap kita. Pada akhirnya kita hanya berharga sebesar uang yang kita berikan. Karena kita memang adalah ‘sapi perahan’ itu. Jadi pertanyaannya apakah yang mesti kita perbuat jika orang tua seperti itu? Nah, oleh karena kita berkewajiban mencukupi kebutuhan orang tua maka teruslah beri dukungan finansial kepada mereka. Meski hati terluka cukupkanlah kebutuhannya, dengan kata lain, kita harus tetap melakukan bagian kita. Jika kita menolak memenuhi kebutuhannya, karena kita tidak ingin menjadi ‘sapi perahan’, saya kira kita salah. Tuhan tidak ingin kita melalaikan tanggung jawab. Namun, yang tadi Pak Gunawan sudah tanyakan, kita tidak mesti menjalin relasi yang terlalu dekat dengan mereka. Bagaimana mungkin kita menjalin relasi yang akrab dan tulus dengan orang yang menjadikan kita ‘sapi perahannya’. Jadi tidak apa bila kita tidak memiliki hubungan yang dekat dengan mereka. Terpenting adalah kita tetap peduli dengan keadaan mereka dan tidak menyia-nyiakan mereka. Walau tergoda untuk menegur mereka soal ini, sebaiknya kita tidak melakukannya. Teguran kita tidak akan membuat mereka berubah, sebaliknya acapkali justru memicu keributan.
GS : Iya. Kalau memang perhatiannya itu hanya terfokus pada uang, bagi anak itu susah Pak Paul, kemampuan finansial anak itu juga berbeda-beda. Dan kalau kita melihat apalagi orang tua ini hidupnya boros sekali. Tidak bisa dikontrol dengan baik. Apakah anak itu harus memenuhi kebutuhannya terus?
PG : Saya kira kita mesti batasi jika memang itulah yang terjadi. Kita lihat mengapa orang tua kita ini menghamburkan uang, mengeluarkan uang tidak pada tempatnya. Maka kita memang batasi. Tapi masalahnya memang bisa panjang urusannya, Pak Gunawan. Begitu kita membatasi dia berkata ke kakak kita, adik kita tentang kita yang membatasi. Itu masih mending. Kadang-kadang dia membicarakan hal ini dengan orang lain di luar; "Ini punya anak percuma, apa-apa...". Kalau kita orang biasa-biasa saja tidak apa-apa. Tapi kalau kita misalkan majelis gereja, pengurus di gereja, orang mengenal kita dan orang tidak mengecek, tidak akan bertanya karena mungkin tidak enak. Tapi mereka mendengar dari orang tua kita tentang kita yang seolah-olah begitu jahat kepada orang tua, jadinya itu merusakkan nama baik kita. Jadi memang sangat sulit menghadapi hal-hal seperti ini. Sebab kalau kita mau membatasi, itu kira-kira konsekuensi yang mesti kita siap untuk tanggung.
GS : Iya. Karena bukan anaknya yang semakin menjauh tetapi orang tuanya justru bisa memutuskan hubungan itu ?
PG : Bisa, bisa. Betul.
GS : Jadi anak ini serba sulit, Pak. Mau dituruti terus permintaannya, namun orang tuanya tidak bisa menghemat uang. Tapi kalau dia tidak memenuhi itu lalu orang tuanya bilang, "Ya sudah kita putus saja, kamu ternyata tidak bisa memenuhi", ini tentu membuat repot anak?
PG : Betul, Pak Gunawan. Iya, kita mesti mengakui bahwa ada orang tua yang seperti itu; benar-benar memandang anak itu sebagai ‘sapi perahannya’. Ada gunanya kalau masih ada yang bisa diperah, anak itu tidak dianggap lagi.
GS : Tidak dianggap anak lagi.
PG : Iya.
GS : Ada hal lain lagi, Pak Paul yang keempat?
PG : Yang keempat, ada orang tua yang mengadu domba kita suami istri supaya hubungan kita retak. Mungkin kita bertanya "Mengapa?". Mungkin mereka tidak menyetujui pernikahan kita dulu atau mungkin mereka merasa dirugikan dengan kehadiran pasangan kita, karena apa yang biasanya mereka terima sekarang tidak dapat mereka terima lagi. Itu sebab mereka sering menjelek-jelekkan pasangan di hadapan kita. Kadang, ini yang buruk, mereka tidak ragu menambahkan atau mengubah perkataan dan perbuatan pasangan supaya terlihat buruk. Tujuannya adalah supaya kita memerhatikan mereka orang tua lebih daripada kita memerhatikan pasangan. Atau untuk membuktikan bahwa pemikiran mereka benar; bahwa pasangan bukan orang yang baik-baik, " ’kan dari dulu sudah saya katakan jangan menikah dengan dia". Padahalnya yang memburuk-burukkan pasangan adalah orang tua kita sendiri.
GS : Memang kalau hubungan suami istri atau anak ini tidak baik, maka akan mudah terpengaruh ini.
PG : Mudah sekali, Pak Gunawan, sangat mudah. Sebab kita berpikir ini ‘kan orang tua kita, jadi sedikit banyak kita mau percaya juga. Bisa memang meretakkan rumah tangga kita. Nah, apa yang harus kita lakukan, Pak Gunawan? Begini. Jika kita tahu pasti bahwa orang tua tidak berkata benar dan hanya menjelek-jelekkan pasangan serta mengadu domba, maka kita bisa langsung mengecek dengan pasangan apakah memang seperti itu, bahwa dia mengatakan atau melakukan perbuatan seperti yang diceritakan oleh orang tua kita. Namun tidak selalu kita mesti mengeceknya. Sudah diamkan, tidak lagi mengecek. Karena kita sudah tahu orang tua kita memang seperti itu dan pasangan kita tidak seperti itu. Jadi kalau kita terus mengecek, takutnya akan memperburuk suasana; mungkin pasangan akan marah dan terpancing bereaksi seperti yang orang tua kita harapkan. Jadi selama hubungan kita baik, diamkan saja orang tua yang mencoba menjelek-jelekkan, sudah diamkan.
GS : Seringkali orang tua itu menggunakan senjatanya yang berkata, "Saya ini yang melahirkan kamu. Saya yang mengandung kamu selama ini. Jadi saya yang lebih tahu karaktermu dan kamu seharusnya lebih percaya sama saya daripada percaya sama pasanganmu."
PG : Iya. Itu bisa digunakan oleh orang tua untuk membuat kita percaya pada apa yang dikatakan oleh orang tua. Nah, daripada ribut dengan orang tua, sebaiknya kita tidak perlu membela-bela orang tua. Sebab kalau kita membela pasangan kita bahwa pasangan kita tidak berkata atau berbuat begini, bisa tambah ribut. Tapi kalau masih bisa kita jelaskan, kita bela silakan. Tapi kalau kita tahu akan menjadi panjang urusannya. Sudah biarkan. Hanya kita beritahu pasangan bahwa kita tidak percaya apa yang orang tua kita katakan; bahwa kita 100% mengerti dan percaya kepada pasangan kita.
GS : Iya. Ada anak itu yang mencoba mengkonfrontir antara ibunya dan istrinya. Tapi biasanya orang tua ini tidak mau diperlakukan seperti itu.
PG : Tidak mau, Pak Gunawan, maka bertambah panjang urusannya. Jadi, sudah. Daripada tambah panjang urusannya lebih baik memang sudah diamkan saja yang penting kita dengan pasangan saling tahu, saling mengerti dan tidak terpengaruh.
GS : Iya, Pak Paul. Kita sudah membahas masalah orang tua di hari tuanya. Dan sebelum kita mengakhiri bagian ini, karena saya yakin masih ada beberapa hal lagi yang akan kita bicarakan, sebelumnya mungkin ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan
PG : Saya akan bacakan dari Efesus 6:1-3, "Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. Hormatilah ayahmu dan ibumu – ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini: supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi." Tuhan menghendaki kita menghormati orang tua. Apakah kita harus menaati orang tua sampai usia dewasa dan tidak peduli benar apa salah, saya kira tidak. Perintah Tuhan ini memang ditujukan pada anak-anak yang masih dalam naungan dan pemeliharaan orang tuanya; kita mesti taat. Jikalau kita sudah sama-sama dewasa, kita sudah diberikan Tuhan juga kemampuan untuk melihat sesuatu dengan jelas; baik atau buruk, benar atau salah. Kita akan berpihak sudah tentu pada yang benar. Namun kita tidak boleh melupakan perintah Tuhan untuk kita yaitu menghormati orang tua. Jangan gara-gara mereka seperti itu, kita menghinanya, mencaci-makinya. Tuhan tidak akan senang kalau kita berbuat seperti itu.
GS : Baik, terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan terima kasih, Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Menghadapi Orang Tua Bermasalah Di Hari Tuanya" Bagian pertama. Kami akan melanjutkan perbincangan ini pada kesempatan yang akan datang. Bagi Anda yang berminat mengetahui lebih lanjut melalui acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) di Jalan Cimanuk 56 Malang. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.