Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami terdahulu dan kali ini kami akan memerbincangkan tentang "Mengasihi Anak Lebih Dari Tuhan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lalu kita sudah memerbincangkan tentang bagaimana Tuhan di tengah-tengah keluarga Kristen. Pak Paul sudah memberikan banyak contoh dan khususnya ada satu contoh dari Alkitab yaitu Imam Eli, kita mau melanjutkan perbincangan kita tentang Imam Eli dan keluarganya ini. Namun agar para pendengar kita bisa mengikutinya secara lengkap mungkin Pak Paul bisa menguraikan perbincangan kita secara singkat perbincangan kita yang lampau.
PG : Tuhan menciptakan kita agar kita merefleksikan kemuliaan Tuhan di bumi ini, Pak Gunawan, dan kita seyogianya memakai keluarga kita sebagai sarana untuk merefleksikan kemuliaan Tuhan pula. ntuk dapat menjadikan keluarga kita refleksi dari kemuliaan Tuhan sudah tentu kita harus menjadikan Tuhan itu TUHAN dalam keluarga kita, ego atau kehendak diri harus tunduk pada kehendak Tuhan sehingga bukan hanya mengikuti kehendakku tapi mengikuti kehendak Tuhan.
Dalam keluarga yang seperti itu maka kita akan melihat sebuah dampak rohani yang berkepanjangan dan indah. Kita sudah melihat beberapa contoh dari orang-orang modern yang kita kenal, misalkan seperti keluarga dari Dr. James Dobson di Amerika Serikat yang Tuhan pakai dan keluarga Pdt. Jonathan Edwards yang dari generasi ke generasi, semuanya tetap dalam pelayanan, itu adalah akibat dari hidup orang tua yang saleh, hidup orang tua yang meletakkan kehendak pribadi mereka di kaki Tuhan. Sebaliknya Pak Gunawan, kita juga melihat kalau orang tua tidak melakukan hal itu, maka dia akan melihat masalah dan masalah itu akan berkelanjutan pada anak-anak dan pada nantinya cucunya juga, dan itulah yang nanti kita akan lihat pada keluarga Imam Eli.
GS : Dalam keluarga Imam Eli seperti apa, Pak Paul ?
PG : Imam Eli itu sebetulnya awalnya memulai masalah dengan dirinya sendiri yaitu dia tidak bisa mengendalikan hasratnya atau keinginannya atau kemauannya untuk memuaskan diri dengan makanan, da tidak bisa menghargai bahwa Tuhan sudah tetapkan inilah bagian-bagian dari hewan yang dipersembahkan kepada Tuhan, dan inilah bagian-bagian untukmu.
Tapi rupanya Imam Eli itu tidak tahan, jadi dia cenderung memasukkan makanan-makanan itu untuk dirinya dan tidak lagi mengindahkan kekudusan Tuhan sehingga korban persembahan yang seharusnya dipandang dengan kudus, karena itu merupakan sebuah simbol permintaan ampun manusia kepada Tuhan, sekarang justru dipakai sebagai sarana untuk memuaskan nafsu makannya belaka.
GS : Dalam hal seperti itu Pak Paul, itu memberikan teladan yang tidak baik terhadap anak-anaknya khususnya. Apa yang terjadi pada anak-anak Imam Eli ?
PG : Kita lihat di dalam 1 Samuel 2:29 dan Tuhan berkata ". . . dan mengapa engkau menghormati anak-anakmu lebih daripada-Ku sambil kamu menggemukkan dirimu dengan bagian terbaik dari setiap koban sajian umat-Ku Israel" tampaknya seperti ini Pak Gunawan, rasa sayang Imam Eli kepada anak-anaknya begitu besar sehingga sejak mereka kecil, Eli senantiasa memberikan apa yang diminta mereka termasuk makanan persembahan.
Besar kemungkinan Imam Eli pulalah yang memperkenalkan anak-anaknya kepada bagian-bagian daging yang lezat dari hewan persembahan. Dengan kata lain tanpa disadari Imam Eli, ia jugalah yang mengajarkan anak-anaknya untuk tidak menghormati mezbah Tuhan. Jadi kita melihat di sini bahwa peran Imam Eli memang besar didalam kerusakan pada diri anak-anaknya, anak-anaknya melihat papa makan seperti itu, papa mengambil bagian-bagian dari hewan seperti itu karena mungkin papanya juga berkata bahwa "Yang ini enak," dengan tidak mengindahkan bahwa bagian-bagian itu sebetulnya untuk dipersembahkan kepada Tuhan. Inilah yang rupanya ditransmisikan oleh Imam Eli kepada anak-anaknya sehingga anak-anaknya terus melihat, karena Imam Eli seperti itu maka mereka menjadi anak-anak yang liar dan anak yang tidak kenal disiplin. Maka dari sini kita belajar, Pak Gunawan, bahwa disiplin pada anak harus dimulai sejak anak-anak itu kecil, apa yang dipelajari anak sejak kecil cenderung bertahan sampai usia dewasa, sebaliknya apa yang tidak dipelajari anak pada masa kecil akan sulit dipelajarinya pada masa dewasa. Itu sebabnya waktu Imam Eli mencoba menegurnya setelah mereka usia dewasa, nasehat itu masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri, tidak dihiraukan oleh anak-anaknya.
GS : Padahal anak-anak Imam Eli ini sebenarnya dipersiapkan untuk menggantikan Iman Eli, Pak Paul ?
PG : Betul sekali, bukan hanya dipersiapkan tapi sebetulnya pada masa Imam Eli tua mereka sudah berfungsi sebagai imam. Jadi mereka bukanlah anak imam, pada masa-masa dewasa mereka itu adalah iam itu sendiri sebab pada masa Imam Eli itu tidak lagi kuat, matanya sudah rabun, tubuhnya juga sudah mulai susah bergerak, jadi yang melayani mezbah adalah anak-anak Imam Eli sebab mereka sudah menjadi imam juga.
Jadi memang kita melihat suatu rasa tidak hormat kepada Tuhan yang begitu besar yang diperlihatkan oleh anak-anak Imam Eli ini.
GS : Memang sulit untuk Imam Eli mengajarkan disiplin kepada anak-anaknya kalau dia sendiri tidak disiplin didalam hal persembahan kepada Tuhan ini.
PG : Betul, Pak Gunawan. Di dalam Firman Tuhan di Imamat 7:30-34, kita tahu bahwa Tuhan sudah menetapkan bahwa bagian imam adalah dada dan paha hewan dan hanya itu, selebihnya adalah milik Tuha dan harus dipersembahkan kepada Tuhan sebagai korban bakaran, namun anak-anak Imam Eli tidak pedulli.
Kita tahu dari Firman Tuhan di 1 Samuel 2:12-17, "Segala yang ditarik dengan garpu itu ke atas, diambil imam itu untuk dirinya sendiri." Jadi anak-anak Imam Eli itu akan masuk sendiri ke dalam kemah pertemuan atau ke dalam Bait Allah, kalau nanti ada orang-orang membawa hewan-hewan yang sedang direbus atau dibakar maka dia akan mencucukkan garpunya dan mengambil semuanya, benar-benar tidak lagi peduli dengan kekudusan Tuhan. Apa yang menjadi bagian mereka, bagi mereka itu kurang, paha dan dada hewan, lembu atau kambing tidak cukup dan harus mengambil bagian yang lainnya juga. Di sini kita melihat kelobaan Imam Eli akhirnya diteruskan kepada anak-anaknya.
GS : Karena itulah yang dilihat tiap-tiap hari dan rupanya tidak ada akibat yang fatal yang mereka lihat langsung terhadap diri Imam Eli ini, Pak Paul.
PG : Memang sejak kecil mereka diperbolehkan oleh Imam Eli maka sampai besar mereka merasa bahwa mereka punya hak itu juga, apalagi ayah mereka saat itu adalah orang yang berkuasa di Israel mak mereka menganggap tidak ada yang dapat menghentikan langkah mereka.
Jadi benar-benar anak yang tidak mengenal disiplin bertumbuh besar menjadi anak yang liar, Pak Gunawan. Maka sebagai orang tua Tuhan mengharuskan kita mendisiplin anak. Ini bukan pilihan, "kapan-kapan mau mendisiplin boleh, tapi kalau tidak mau juga tidak apa-apa" tidak seperti ini ! Ini adalah sebuah kewajiban dan sebagai bentuk pertanggung jawaban kita kepada Tuhan bahwa anak-anak yang Tuhan serahkan kepada kita, mesti kita didik dan kita disiplin. Kalau ada perilaku yang kurang baik mestinya dikikis supaya anak ini nanti bisa hidup menjadi anak-anak Tuhan.
GS : Biasanya karena kita terlalu memanjakan anak, kita selalu berdalih bahwa saya mengasihi anak ini. Jadi apa pun yang dia minta kita selalu memberikan karena saya mampu untuk memberikannya. Mungkin itu juga yang terbersit pada pemikiran Imam Eli.
PG : Betul, Pak Gunawan. Sehingga Tuhan berkata kepada Imam Eli, "Engkau menghormati anak-anakmu lebih dari pada-Ku." Jadi kita bisa menyimpulkan bahwa dia lebih mengasihi anak-anaknya dari pad Tuhan maka Imam Eli akhirnya tidak lagi menghiraukan kehendak dan kepentingan Tuhan dan lebih mementingkan kepentingan anak-anaknya.
Maka tidak bisa tidak ini semua memancing reaksi Tuhan yang keras. Di 1 Samuel 3:12-13, Tuhan berkata "Sebab telah Kuberitahukan kepadanya, bahwa Aku akan menghukum keluarganya untuk selamanya karena dosa yang telah diketahuinya, yakni bahwa anak-anaknya telah menghujat Allah, tetapi ia tidak memarahi mereka." Di sini kita melihat bahwa Tuhan menuntut pertanggungjawaban Imam Eli, sebab Imam Eli dapat berbuat lebih dari apa yang telah dilakukannya, memang dia pernah menegur anak-anaknya, namun dia tidak menjatuhkan sangsi atas mereka sebagai seorang imam, misalnya dia seharusnya memecat anak-anaknya dari jabatan imam namun itu tidak dilakukannya. Kadang sebagai orang tua, Pak Gunawan, kita harus memberi sangsi yang berat kepada anak-anak yang telah memilih jalan yang salah, sayangnya kita ini tidak selalu siap menempuh jalan itu. Ketidaksiapan kitalah yang malah memerpanjang masalah dalam keluarga.
GS : Jadi sebenarnya Imam Eli itu sadar bahwa apa yang dilakukannya itu tidak diperkenankan oleh Tuhan begitu, Pak Paul ?
PG : Saya percaya dia sadar, Pak Gunawan, tapi dia susah melawan hasrat dirinya, dia memang mau makan makanan itu, dia tahu Tuhan melarang, dia tahu bahwa dia hanya boleh maka paha dan dada dar hewan persembahan tapi dia tidak bisa menguasai dirinya, itu sebabnya waktu dia perkenalkan itu kepada anak-anaknya, maka anak-anaknya juga sama menjadi seperti dia.
GS : Tapi kalau sampai dia memecat anak-anaknya, belum tentu dia bisa menemukan imam lain yang lebih baik dari anak-anaknya.
PG : Kalau pun Imam Eli tidak punya anak lain dan hanya dua itu saja, tidak mengapa, sebab saya percaya akan ada jalan Tuhan meskipun Dia akan kehilangan dua imamnya dan itu tidak menjadi masalh, sebab itulah yang terjadi pada keluarga Imam Eli, akhirnya kedua anak Imam Eli mati dalam peperangan sebagai hukuman Tuhan atas mereka dan akhirnya Imam Eli juga mati secara mendadak setelah mendengar berita anaknya meninggal dunia.
Dan siapakah yang menggantikan ? Yang menggantikan adalah Samuel. Jadi jauh sebelumnya Tuhan sudah memikirkan hal ini dan Tuhan sudah memersiapkan Samuel, si anak kecil itu. Tuhan sudah memersiapkan ada seorang ibu yang menderita karena tidak bisa hamil dan memunyai anak akhirnya bernazar, "Kalau Tuhan memberikan anak kepadaku maka anak itu menjadi milik Tuhan." Maka Hana, si ibu itu, mendapatkan seorang anak bernama Samuel dan dia pegang nazar dan dia serahkan Samuel kepada Imam Eli. Tuhan sudah memikirkan dan mempersiapkannya. Jadi kalau pun Imam Eli tegas menghukum anak-anaknya dan mengeluarkannya dari keimamatan, itu tidak masalah dan Tuhan akan menggantikan dan inilah yang terjadi yaitu Tuhan memakai Samuel menggantikan Imam Eli walaupun Samuel bukan dari keluarga imam, Samuel bukanlah orang Lewi, dia adalah seorang Efraim tapi Tuhan tidak berkata, "Tidak ada imam sekarang karena bukan lagi dari orang Lewi," tidak! Tuhan tidak akan disusahkan oleh hal ini dan Tuhan bisa mengangkat seseorang dari suku yang lain, tapi kalau dia mau melayani Tuhan, itu tidak menjadi masalah dan tetap Tuhan pakai.
GS : Sesuatu yang menarik bagi saya, Samuel itu mengikut Imam Eli sejak kecil tetapi mengapa Samuel tidak terpengaruh oleh sifat kurang baiknya Imam Eli, padahal kedua anak Imam Eli terpengaruh sekali.
PG : Memang kita tidak ketahui secara pasti apa alasannya, tapi kita hanya bisa menduga-duga sebab pada saat itu Samuel itu memang hanya bertugas seperti pembantu, dia bukanlah anak Imam Eli da dia tidak memunyai kuasa apa-apa dan dia adalah anak yang hanya disuruh ke sini dan ke situ.
Jadi dia tidak mendapatkan hak penuh seperti anak-anak Imam Eli yang lainnya. Dan kita juga harus ingat bahwa mamanya yaitu Hana tetap ada kontak dengan Samuel, sehingga kita tahu mamanya membuatkan baju dan pakaian untuknya. Jadi kita bisa bayangkan bahwa selama bertahun-tahun itu mamanya atau juga dengan papanya akan datang mengunjungi dia dan pengaruh dari orang-orang saleh ini rupanya jauh lebih kuat ditanamkan dalam diri Samuel.
GS : Tentunya kita bisa belajar banyak dari kehidupan keluarga Imam Eli ini, Pak Paul, walaupun tidak persis sama tapi kita bisa ambil prinsipnya untuk kita terapkan di dalam kehidupan keluarga kita masing-masing. Pelajaran apa yang bisa kita tarik dari kesalahan Imam Eli ini ?
PG : Yang pertama, kelemahan pribadi ternyata dapat diturunkan kepada anak-anak, dalam hal kelobaan Imam Eli terhadap makanan telah diwariskan kepada anak-anaknya, mereka pun meniru Imam Eli da begitu terpaku pada makanan sehingga mengabaikan mezbah Tuhan yang kudus.
Karena Imam Eli tidak menghormati kekudusan mezbah Tuhan, maka anak-anaknya pun tidak menghormati kekudusan Tuhan. Jadi pesan untuk kita sekalian adalah berhati-hatilah dengan kelemahan pribadi, sebab seringkali anak melihat dan akhirnya mencontoh perilaku yang merupakan kelemahan pribadi kita.
GS : Jadi diturunkan ini dalam arti kata karena anak-anak ini melihat, lalu apa yang bisa kita lakukan kalau ini merupakan suatu bagian dari kelemahan kita ? Misalnya saja kalau kita marah, kita suka marah yang berkelebihan dan anak-anak terus melihat kita, mungkin cara kita marah, sangat mungkin saja anak akan mewarisi sikap kurang baik kita itu, Pak Paul.
PG : Yang anak-anak perlu lihat dari diri kita adalah bukanlah kesempurnaan. Karena pada akhirnya semua harus mengerti bahwa tidak ada yang sempurna tapi yang mesti anak-anak lihat adalah kesunguhan untuk bergumul dengan kelemahan.
Artinya anak-anak melihat bahwa kita tidak menikmati, tidak puas diri dan tidak hanya berkata bahwa, "Inilah diri saya apa adanya" tidak seperti itu tapi anak-anak melihat bahwa kita ini berusaha keras untuk bisa lepas dari kelemahan pribadi. Misalkan dalam contoh kemarahan, kalau inilah kelemahan kita dan kita terlalu mudah marah, yang pertama setelah kita lepas kendali dan marah tindakan kita haruslah meminta maaf dan kita menyesali lagi dan kita katakan, "Saya gagal lagi, saya minta maaf dan saya akan berusaha untuk tidak lagi marah." Waktu anak-anak melihat hal ini dua sampai tiga kali yaitu untuk menahan kemarahan, ini yang nanti akan dicatat oleh anak, sudah tentu akan ada yang dilihat atau direkam oleh anak tentang kemarahan kita, namun yang juga akan dilihat dan direkam oleh anak adalah usaha keras kita menahannya dan penyesalan kita tatkala melakukannya. Ini menolong anak mengerti bahwa ini adalah sebuah kelemahan yang kurang baik yang tidak diinginkan, makanya dicoba untuk dihilangkan pula. Sehingga anak-anak nanti juga akan berkata, "Kalau saya punya kecenderungan yang sama, saya juga seharusnya bereaksi sama dengan orang tua saya." Saya seharusnya menyesali, saya seharusnya meminta maaf dan saya seharusnya bekerja lebih keras lagi untuk menahan ledakan emosi saya.
GS : Pelajaran yang lain yang bisa kita peroleh apa, Pak Paul ?
PG : Yang kedua adalah disiplin harus dimulai dari awal kehidupan, bukan di tengah apalagi di akhir kehidupan. Imam Eli membiarkan anak-anaknya berdosa tanpa konsekuensi yang keras dan ini maki menjerumuskan mereka ke dalam dosa.
Kehidupan tanpa disiplin orang tua menciptakan anak tanpa nurani dan rasa bersalah. Anak dapat melakukan dosa apa pun tanpa sedikit pun merasa bersalah, singkat kata nurani perlu dihidupkan sejak kecil dan dibiasakan untuk bereaksi terhadap ketidakbenaran. Nurani yang tidak terlatih untuk membedakan dan merasakan salah dan benar, akhirnya mati dan tidak lagi berfungsi. Ini yang kita lihat pada diri anak-anaknya Imam Eli, Pak Gunawan. Waktu orang berkata, "Ini bukan bagianmu," kemudian dia marah dan dia paksa dan tidak lagi peduli kalau Tuhan tidak menyukai, karena anak-anak Imam Eli kehilangan hati nurani, kenapa kehilangan nurani ? Karena sejak kecil tidak didisiplin, tidak ditegur, tidak diberitahukan bahwa mereka itu salah. Dan akhirnya mereka tidak pernah mengenal kata salah dalam diri mereka dan tidak mengenal rasa bersalah dalam diri mereka. Kalau tidak ada rasa bersalah, bagaimana mungkin akan bertobat, benar-benar mereka menjadi orang yang sulit untuk bertobat, karena rasa salah sudah tidak ada lagi dalam nurani mereka.
GS : Jadi sebenarnya sejak kecil Pak Paul, kalau kita berkata mengasihi anak atau anak-anak kita, kita tidak bisa lepas dari kedisiplinan. Jadi antara disiplin dan kasih ini bukan untuk dipertentangkan, seolah-olah kalau kita mendisiplin anak maka kita tidak mengasihi anak, tapi justru disinergikan supaya menjadi sesuatu yang baik buat anak-anak kita.
PG : Betul dan ini yang harus sering kita komunikasikan kepada anak-anak bahwa disiplin kami sebagai orang tua keluar dari hati mengasihi kalian, karena kami tidak ingin kalian akhirnya harus mnjalani kehidupan yang rusak, yang nanti akan menjadi kerugian besar bagi kalian.
Maka sebagai orang tua kami mau mendisiplinkan kalian. Jadi sekali-sekali atau secara berkala kita mesti ungkapkan kepada anak-anak supaya mereka mengerti bahwa tujuan kita adalah untuk kebaikan mereka. Justru orang tua yang gagal mendisiplin anak-anak sewaktu mereka salah, sedang menyebabkan kerugian besar dalam diri anak-anaknya.
GS : Pelajaran yang lain apa, Pak Paul ?
PG : Ketidak konsistenan melemahkan sendi otoritas, oleh karena Imam Eli sendiri berbuat yang sama sehingga kewibawaannya pudar di hadapan anak-anaknya. Tidak heran mereka tidak menggubris perigatan ayah mereka.
Sekali lagi kita diingatkan bahwa anak tunduk kepada orang tua yang berintegritas, sebaliknya kepada orang tua yang tidak berintegritas, anak membangkang. Justru kalau ada orang tua yang tidak berintegritas ingin menerapkan disiplin, menegur dan sebagainya, itu akan memancing kemarahan anak sebab anak akan berkata, "Kamu ini begitu munafik tidak melakukan apa yang kamu katakan tapi malah memaksa kami untuk melakukannya." Jadi sekali lagi kalau tidak ada kekonsistenan hidup maka tidak ada lagi otoritas di dalam diri kita. Imam Eli kehilangan otoritas itu dan saya berharap para pendengar kita juga bisa belajar agar tidak kehilangan otoritas, sebab tanpa otoritas maka kita tidak bisa menahkodai keluarga kita.
GS : Ketidak konsistenan Imam Eli sebenarnya dalam hal apa, Pak Paul ?
PG : Dia sendiri memang melakukannya dan dia sendiri itu loba dan sekarang anak-anaknya itu makin hari makin menjauh dari Tuhan dan barulah dia menegur. Tetapi awalnya dia sendiri yang memerkealkan dosa-dosa itu kepada anak-anaknya, sekarang setelah dia memerkenalkan kemudian dia menegur-negur anaknya dan kita juga tahu Pak Gunawan, Imam Eli itu baru mulai menegur setelah ditegur Tuhan.
Dengan kata lan, kalau Tuhan tidak menegur Imam Eli, maka Imam Eli pura-pura tuli dan pura-pura buta tidak mau mendengar dan melihat apa-apa, gara-gara Tuhan tegur Imam Eli maka barulah Imam Eli menegur anak-anaknya. Kita melihat sebuah teguran yang setengah hati atau separuh hati, yang tidak sungguh-sungguh serius.
GS : Tapi hal itu juga sering dilakukan oleh banyak orang tua pada saat ini yang mengatakan, "Kamu jangan mencontoh perbuatan saya, tapi dengarkan nasehat-nasehat saya." Dan seringkali ini justru bertentangan, Pak Paul ?
PG : Dan justru anak-anak tidak akan respek dan tidak akan menaati perintah orang tuanya sebab bagi mereka, "Engkau tidak punya hak untuk menyuruh aku, engkau tidak punya hak untuk memerintahka aku."
Jadi memang penting sekali hidup kita berintegritas.
GS : Mungkin masih ada pelajaran yang lain, Pak Paul ?
PG : Yang terakhir adalah dosa berkembang dari ringan ke berat dan bukan sebaliknya. Imam Eli memulai dengan sikap hati yang loba terhadap makanan dan anak-anaknya meneruskan dosa itu, dari kelbaan kepada pemaksaan dan perampokan milik orang dan milik Tuhan.
Pada akhirnya pun kita tahu bahwa anak-anak Imam Eli berzinah dengan para wanita yang melayani di depan pintu kemah pertemuan. Dosa tidak pernah berhenti, inilah sifat dasar dosa, Pak Gunawan. Dosa senantiasa berjalan menuju puncak dan berkembang dari ringan ke berat.
GS : Kalau kita tidak menyadari dosa yang kita lakukan atau yang dilakukan oleh anak-anak kita, memang kondisinya tambah lama bukan tambah baik tapi tambah buruk dan pengaruhnya luar biasa besarnya, bukan hanya pada keluarga inti kita tapi juga bisa menyebar kemana-mana, Pak Paul ?
PG : Betul sekali. Tadi kita sudah bahas bahwa dari keluarga yang saleh memancarlah berkat yang begitu besar, tapi juga dari keluarga yang tidak ikut kehendak Tuhan akan juga memancar masalah yng berkepanjangan pula.
GS : Pak Paul, dari kehidupan Imam Eli yang kita perbincangkan ini, kesimpulan apa yang ingin Pak Paul sampaikan kepada para pendengar kita ?
PG : Besar kemungkinan, Pak Gunawan, Imam Eli itu tidak pernah berniat untuk melecehkan Tuhan namun ia hanyalah tidak menghormati Tuhan, yaitu tidak menunjukkan usaha keras menegakkan kehormata Tuhan di keluarga dan pelayanannya.
Mungkin kita pun tidak berniat melecehkan Tuhan, sungguh pun demikian kegagalan kita menghormati Tuhan, sama dengan melecehkan Tuhan. Dengan Imam Eli tidak menegakkan kehormatan Tuhan, mendisiplin anak-anaknya, dia sudah melecehkan Tuhan. Jadi kita tidak harus menghujat Tuhan secara langsung, waktu kita gagal menegakkan kehormatan Tuhan, itu sudah sama dengan melecehkan Tuhan.
GS : Dan Tuhan tidak akan membiarkan diri-Nya dilecehkan oleh manusia,Pak Paul ?
PG : Betul sekali. Pada akhirnya datangnya hukuman Tuhan yang begitu keras kepada keluarga Imam Eli.
GS : Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengasihi Anak Lebih dari Tuhan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.