Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya Hendra akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Menerima Teguran" bagian kedua. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
H : Pak Sindu, dalam pembahasan sebelumnya kita sudah membahas bahwa prinsip yang terutama dan yang terpenting dalam menerima teguran adalah kita memuliakan Allah. Kita juga sudah singgung sedikit tentang faktor-faktor yang bisa mempengaruhi kita untuk menerima teguran dengan baik. Kali ini saya ingin bertanya, adakah langkah-langkah praktis yang bisa kita terapkan selangkah demi selangkah untuk bisa menerima teguran dengan baik?
SK : Yang pertama, yaitu kita perlu tetap tenang. Jadi menjaga diri untuk tetap tenang sekali pun hati kita penuh gemuruh badai. Dengan tetap tenang ini kita bisa mengendalikan situasi dengan baik, minimal dari sudut kita, kita bertanggung jawab membawa keadaannya tetap baik. Dalam hal ini maka kita perlu menghindari menginterupsi pembicaraan. Kalau orang itu sedang berbicara, sedapat-dapatnya kita tidak memotong. Kalau pun kita memotong, ketika orang itu bicara tidak berkesudahan dan sudah melebar kesana kemari atau dalam kondisi di hadapan banyak orang dan mengganggu orang-orang lain barulah kita menghentikan atau menginterupsi tapi kita alihkan ke tempat lain sehingga cukup berbicara empat mata. Poin pentingnya adalah tetaplah bersikap tenang.
H : Yang kedua, Pak? Selain bersikap tenang, apa yang harus kita perbuat ?
SK : Yang kedua, kita perlu berpikir sebelum bereaksi. Jadi respons, tanggapan, yang muncul dari kita, sedapat-dapatnya sudah kita pertimbangkan dulu apakah tepat untuk disampaikan. Apakah waktunya tepat? Sambil kita mendengar untuk memahami sudut pandang, keluhan, sakit hati, amarah orang tersebut, di sisi lain kita berpikir lebih dulu, sebelum kita memunculkan tanggapan dari versi kita ini.
H : Tetap tenang dan berpikir lebih dulu sebelum bereaksi, tentunya kedua hal ini berkaitan ya, Pak. kalau kita tidak tenang, kita sulit berpikir dengan baik.
SK : Betul, Pak Hendra.
H : Setelah kita tenang, kita mulai berpikir sebelum bereaksi, langkah berikutnya apa ?
SK : Langkah berikutnya adalah dengarkan dengan sungguh-sungguh. Jadi itu bersamaan ya dengan tetap tenang, berpikir sebelum bereaksi, yang ketiga adalah dengarkan dengan sungguh-sungguh. Artinya mendengar untuk memahami, bukan mendengar untuk menjawab. Jadi sementara orang itu bicara, kita bukannya, "Oh, celahnya apa ya ? Salah orang ini apa, ya ? Aku mau balas. Aku akan jawab. Aku akan patahkan argumentasinya. Aku akan buat dia merasa malu, dipermalukan, aku akan balik memojokkan dia." Itu bukan mendengar sungguh-sungguh. Itu mendengar sepotong-sepotong untuk menambah amunisi orang itu untuk tetap marah dan makin marah. Jadi kita dengar sungguh-sungguh artinya kita memahami, "Ada apa ya orang ini ? Apa yang sebenarnya dia lihat dan pikirkan, bagaimana sudut pandangnya ? Apa yang sesungguhnya dia rasakan, perasaannya, emosinya ?" Jadi kita mendengar dengan sikap empati, memahami. Kita justru bukannya kalah, ini sikap pemenang. Kalau kalah itu artinya kita menanggapinya dengan satu level yang di permukaan. Justru di sini kita menyelam ke lapis yang lebih dalam untuk menangkap sikap hatinya, hatinya yang paling suci, yang paling privasi, yang paling pribadi, apa yang dia rasakan. Itu 'kan membutuhkan ilmu yang lebih tinggi, membutuhkan kematangan dan kedewasaan yang lebih tinggi lagi, membutuhkan hati yang lebih lapang lagi. Itu justru ciri orang bijak, arif dan pandai, orang yang bersedia mendengarkan dengan sungguh-sungguh.
H : Jadi mendengarkan sungguh-sungguh maksudnya mendengarkan dengan perasaan atau empati ya, Pak ?
SK : Benar ! Jadi kita mendengar sungguh-sungguh ini bukannya kita membenarkan perilaku dia, sumpah serapah dia. Bukan ! Tapi ibaratnya kita coba keluar dari diri kita, lalu masuk ke dalam alam roh dan jiwa orang itu, sehingga kita bisa mengerti sudut pandangnya, kenapa dia bisa begitu marah dalam menegur kita, bagaimana perasaannya, apa yang sebenarnya terjadi. Kalau kita sudah bisa masuk ke dalam pikiran dan perasaannya, kita akan lebih mudah untuk menanggapi dari sudutnya dia, jadi sudut yang sejalan bukan sudut yang berlawanan. Jadi akan lebih mudah terjadi komunikasi daripada miskomunikasi kalau kita sudah mengawalinya mendengarkan dengan sungguh-sungguh.
H : Setelah kita berpikir sebelum kita bereaksi dan kita mendengarkan dengan sungguh-sungguh, maka tiba waktunya kita untuk memberikan respons, Pak. Bagaimana itu, Pak?
SK : Yang keempat, adalah memberikan respons atau tanggapan yang lembut. Dalam hal ini, kita perlu bersikap berangkat dari yang tadi, bahwa respons kita bukan karena kita dikendalikan oleh orang itu. Jadi sikap hati kita adalah sikap hati yang merdeka. Perkara dia memarahi dan mengumpat-umpat, saya tidak akan berbalik memarahi dan mengumpat dia. Sehingga respons saya tidak dikendalikan oleh perlakuan dia kepada saya. Tapi saya memilih dari prinsip saya yaitu saya menanggapi dengan cara-cara yang memuliakan Allah. jadi bagaimana pun cara dia memberikan teguran, saya akan menanggapinya dengan lembut, dengan dilandasi semangat kasih dan perdamaian, bukan semangat permusuhan dan untuk membalas. Maka dalam konteks ini, tanggapan kita pun bukan dengan semangat membela diri atau membenarkan diri, justru dengan semangat meredakan situasi, menjernihkan keadaan daripada sekadar ego kita yang tersinggung lalu membalas.
H : Menarik sekali. Bapak mengatakan sekalipun orang tersebut menyerang kita, kita tidak membiarkan dia mengendalikan tanggapan-tanggapan kita. Bisa Bapak berikan contoh maksudnya mengendalikan tanggapan kita, dalam contoh kita sedang ditegur, bagaimana kita mengendalikannya dan kita memilih untuk tidak dikendalikan seperti apa ?
SK : Misalnya orang tersebut bicara seperti ini, "Saya tidak terima dengan kelakuan Bapak. Bapak orang yang sadis, tidak berperikemanusiaan, tidak menghargai Hak Asasi Manusia, Bapak sudah menzolimi saya dan keluarga saya." Sumpah serapah keluar. Secara manusiawi, hati kita panas mendengar hinaan itu, melebar kemana-mana, yang tidak ada kaitannya juga disebutkan, "Bapak itu koruptor ! Bapak itu manipulator !" Bahkan mungkin berita di surat kabar tentang tokoh parlemen yang korupsi tentang tokoh-tokoh yang terlibat kejahatan, kok kelihatannya semua ditimpakan kepada kita. Ini membuat kita marah. "Ini pembunuhan karakter!" Kalau kita bersikap reaktif dan dikendalikan oleh cara orang itu menegur dan memarahi kita, kita bicara, "Bapak sendiri yang sebenarnya melakukan apa yang Bapak katakan. Bapak sudah melakukan pembunuhan karakter. Bapak harus siap di sidang. Saya tidak terima." Berarti tanggapan saya di titik itu 'kan lebih hanya karena soal harga diri. Lebih hanya karena soal ketersinggungan saya, ego saya. Bukan berangkat dari sikap hati yang memuliakan Allah. saya lebih peduli ego saya. Padahal yang benar adalah ego saya sduah dikuasai Kristus, harga diri saya tidak ditentukan oleh dia memuji memuja saya ataukah menghina dan menyumpahi saya. Saya berharga karena saya anak Allah, saya dianugerahi keselamatan, darah Kristus yang mahal sudah menebus saya. Jadi respons saya adalah respons yang demikian, "Saya lihat Bapak penuh amarah dan penuh rasa terluka. Saya ikut prihatin dengan apa yang Bapak rasakan." Kita justru menanggapinya dengan lembut, berangkat dari sikap hati yang ingin memahami dia, kita ijinkan, kita bicara, "Kalau Bapak sudah demikian sakit hati, apa boleh saya menjelaskan dari sudut saya ? Kali ini saya minta, saya akan jelaskan tapi saya minta Bapak mendengarkan saya dengan baik. Sebagaimana saya tadi sudah memberi waktu yang panjang untuk Bapak marah-marah. Saya menghormati perasaan Bapak yang terluka itu. Dan kini waktunya saya jelaskan situasi yang sebenarnya ? Tapi tolong Bapak tidak memotong pembicaraan saya." Jadi kita mengendalikan situasi, bukan kita ikut arus amarah, permusuhan, angkara murka yang malah tidak membangun apa-apa tapi malah menghancurkan.
H : Ketika kita dibombardir dengan label-label yang negatif, koruptor atau manipulator dan sebagainya, itu 'kan serangan yang sudah berupa fitnah, Pak? Apakah kita tidak boleh interupsi pada saat itu, Pak ? Karena itu 'kan suatu ketidakbenaran, apalagi disampaikan di depan orang lain ?
SK : Yang saya sampaikan ini tergantung konteks situasi ya. Kalau kita berdua, mungkin kita bisa membiarkan. Kalau orang sedang naik pitam lalu dipotong tengah jalan, orang yang naik pitam itu ibaratnya seperti orang yang kesulitan bernafas karena kehabisan oksigen, dan seketika dia ingin mengeluarkan amarahnya dengan kata-kata yang penuh sumpah serapah, itu adalah cara dia supaya bisa bernafas lega secara jiwa atau psikisnya demikian. Kalau dia sedang terengah-engah lalu kita potong, itu seperti kita sedang menutup lubang hidungnya atau mulutnya, sehingga dia semakin tidak bisa bernafas, jadi dia akan membabi buta. Jadi istilah dalam bahasa Jawanya memang sing waras kudu ngalah. Jadi dia sedang tidak waras, ya sudah kita jangan meladeni sikap emosional dia ini. Jadi itu bukan karena kita berlaku bodoh, naïf. Kita justru berlaku cerdas dalam hal demikian. Membaca dinamika jiwa dan emosinya. Tetapi catatannya, kalau itu dalam situasi publik di tengah banyak orang, anak kecil dan sebagainya, yang akan dirugikan bukan hanya kita namun juga orang-orang lain yang tidak bersalah dan bahkan tidak ada hubungannya, kita harus berani memotong minta orang ini pindah tempat. "Mari kita pindah dari tempat ini, Pak, cukup kita berdua. Tidak perlu melibatkan orang lain." Kalau perlu kita tinggalkan gelanggang. "Maaf Pak, ini sudah di luar konteks, tidak ada hubungannya dengan orang ini. Ini malah memperkeruh keadaan, Pak. Saya terima kalau saya diperlakukan buruk dengan kata-kata Bapak. Tapi saya keberatan kalau melibatkan orang-orang yang tidak ada hubungannya dengan kita ini. Kalau Bapak mau bicara baik-baik dengan saya, mari masuk ke ruangan lain. Tapi kalau Bapak tidak mau, saya akan tinggalkan. Kita janjian bertemu besok di ruangan saya." Tinggalkan saja. Itu cara kita untuk mengendalikan situasi supaya kondisinya membangun bukan semakin meruntuhkan.
H : Saya jadi terpikir waktu Bapak menyebutkan langkah-langkahnya, ada satu langkah ketika kita harus berpikir sebelum kita bereaksi kita mendengar dengan seksama, itu ditujukan supaya kita bisa memberikan respons dengan lembut. Dari apa yang kita dengar dan pikir, kemudian kita berikan respons, tentunya ada hal-hal yang perlu kita setujui dari apa yang dia sampaikan ?
SK : Benar, Pak Hendra. Hal yang kelima dalam menghadapi serangan yang terjadi waktu kita ditegur adalah setujuilah apa yang benar, setujuilah hal-hal yang prinsip, setujuilah hal-hal yang sejalan dengan kebenaran. Di antara banyak lumpur dan sampah, kalau memang ada butir mutiara, sekalipun hanya sebesar debu pasir, terimalah itu, akuilah itu, setujuilah itu, bahwa itu memang kebenaran atau prinsip. Terimalah. Jadi jangan sampai karena bungkusnya jelek, bungkusnya kertas yang bau sangat jelek, lantas kita menolak mutiara yang ada dalam bungkusan jelek itu. Kembali, hati yang terpusatkan pada Kristus akan menolong kita untuk menghargai. Kalau itu benar, aku amini. Kalau itu prinsipil, aku setujui. Kita bisa mengatakan dari hal demikian ini, kita bisa bicara, "OK, Pak, saya setuju dengan apa yang Bapak katakan. Saya terima, itu benar demikian. Tetapi maaf untuk hal yang lainnya saya tidak sepakat. Tetapi untuk hal ini saya akui Bapak hebat, Bapak berhikmat !" Membangun jembatan komunikasi untuk mengangkat orang ini. Jadi dalam hal ini akan menolong kita untuk tetap memegang kendali membawa situasi ini ke arah yang membangun, bukan meruntuhkan.
H : Jadi pihak pemberi teguran itu juga merasa dihargai oleh kita ya, Pak, ketika kita memberikan satu konfirmasi atau afirmasi bahwa kita setuju dengan dia pada bagian tertentu.
SK : Betul.
H : Selain setuju, apa lagi yang bisa kita lakukan supaya bisa meredakan amarahnya, bisa menunjukkan kita memang baik di dalam menerima teguran ini, Pak?
SK : Langkah keenam adalah berikan umpan balik dengan kasih. Dalam hal ini, tanggapan kita tanggapan dengan cara yang penuh kasih, tidak mempermasalahkan bagaimana pun sikap orang itu. Berangkat dari keyakinan diri, identitas diri, jati diri bahwa saya adalah murid Kristus, Kristus sebagai pusat saya. Kemudian sejalan dengan itu, maka saya akan menyampaikan pandangan saya secara tenang dan lembut. Kasih itu membuat saya menyampaikan tanggapan saya dengan cara yang tenang dan lembut tidak dengan temperamental, tidak dengan nada yang melonjak-lonjak dan menyerang-nyerang. Memberi umpan balik dengan kasih itu juga berarti saya akan menyampaikan pandangan saya di saat yang tepat, tidak perlu memotong-motong. Kalaupun orang itu sakit hati, tersinggung, menyimpan amarah kepahitan, saya akan berusaha untuk berempati, menyampaikan empati dan solidaritas saya terhadap luka yang dia rasakan. Sekali pun bukan berarti kita membenarkan perilaku. Membedakan ya, kita bukan membenarkan perilakunya tapi kita menghormati perasaannya yang terluka itu.
H : Kalau boleh saya simpulkan, tadi Bapak sudah menyinggung tentang empati waktu kita mendengarkan, saat ini ketika kita memberikan tanggapan atau umpan balik, itupun harus dilandasi dengan sebuah empati kasih. Artinya ketika kita mengeluarkan kata-kata harus kita pastikan kata-kata kita itu tidak makin melukai atau menyinggung perasaan dia, tetapi kita berusaha memahami dia, begitu Pak ?
SK : Benar.
H : Setelah kita memberikan umpan balik dengan kasih, apa langkah selanjutnya Pak?
SK : Langkah ketujuh adalah berkatilah orang itu. Firman Allah mendorong kita untuk memberkati bahkan sekalipun orang itu memusuhi kita, mengeluarkan kata-kata kutukan. Bagian kita bukan membalas dengan hal yang sama, kejahatan dibalas dengan kejahatan, tetapi kejahatan dibalas dengan kebaikan. Termasuk kutukan kita balas dengan berkat. Jadi kita memberkati orang ini. Lewat kata-kata, kita mengekspresikan semangat memberkati, memberi kebaikan termasuk doa yang lahir dari hati kita. Termasuk setelah berpisah dengan orang itu walau kita masih terluka dan panas hati, kita tetap berdoa, "Tuhan, berkati orang ini. Supaya orang ini bisa bertemu dengan Tuhan untuk mendapatkan ketenangan. Bahwa sesungguhnya di balik amarah yang brutal itu ada perasaan yang kosong, karena dia tidak mengalami kehadiran-Mu. Maka hadirlah dalam hati dan hidupnya, Tuhan." Kita bisa memberkati orang itu dengan sikap dan doa kita.
H : Tentu ini bukan hal yang mudah.
SK : Benar, itu tidak mudah. Itu sebuah penyangkalan diri. Ketika itu kita sedang menyangkal diri, pikul salib, dan ikut Yesus. Inilah langkah ketaatan kita kepada Kristus sebagai pusat hidup kita.
H : Sudah tujuh langkah yang Bapak jabarkan. Saya tergelitik untuk bertanya, misalnya dalam langkah-langkah itu kita gagal dan kita tergoda untuk bertengkar dengan orang itu. Bagaimana mengatasinya ?
SK : Kalau memang tergoda, lebih baik kita mundur. Kita bisa menghindari pertengkaran itu. Jadi kalau orang itu ingin selalu berdebat kusir, memang mengajak bertengkar, memotong percakapan dan kita sudah mulai terpancing untuk debat kusir, saat itulah kita mundur. Kita bisa mengatakan, "Maaf, kondisinya sudah lebih tidak terkontrol. Kalau dilanjutkan tidak membawa kebaikan apa-apa. Lebih baik kita berpisah. Saya mau kita bertemu besok pukul 4 sore di tempat yang netral. Saya pikir kalau kita hanya berdua tidak akan membawa kebaikan. Saya usul, kita libatkan pihak ketiga. Saya akan ajak atasan kita." atau "Saya akan ajak gembala kita." kalau kita adalah jemaat. Atau "Saya akan ajak orang lain yang bisa menengahi supaya membawa kebaikan." Jadi kita bisa menghentikan, tidak membiarkan terus bergulir. Inilah pentingnya kita melatih keterpusatan pikiran kita. Prinsip itu penting, bahwa apapun yang muncul adalah hal-hal yang memuliakan Allah. Jadi kalau aku sudah mulai memunculkan respons yang tidak memuliakan Allah, segera potong dan setop. Aku akan berhenti, itu melampaui batasan kesanggupanku. Saya akan akui batasan saya, berhenti dan lanjutkan besok dengan kondisi yang lebih siap lagi.
H : Bagaimana kalau orang itu tidak setuju dan tetap ingin meneruskan hari ini juga ?
SK : Ya kita bicarakan. "Maaf saya tidak siap. Kalau saya lanjutkan saya bisa berbalik marah. Berbalik bertengkar. Saya tidak mau melanjutkan." Bila dia terus menantang seperti misalnya, "Tidak apa-apa bertengkar! Kamu 'kan laki-laki. Kalau laki-laki maka tetaplah disini!" Nah, inilah! Di titik ini kita memilih, memilih jadi korbannya orang ini, respons kita dikendalikan oleh orang ini, atau respons kita dikendalikan oleh Roh Allah. Inilah pilihan apakah harga diri saya semata-mata laki-laki itu mempertanyakan saya laki-laki atau bukan, atau harga diri saya karena Allah yang mengatakan. Ini pilihan, ini krisis dimana kita harus memilih. Maka harus kita latih bertumbuhlah, bahwa apapun respons kita lahir dari "Saya memilih mengikuti jalan Tuhan daripada jalan dunia ini."
H : Selain menghindari pertengkaran, Pak? Ada tambahan tips praktis yang bisa Bapak usulkan?
SK : Yang kesembilan adalah tawarkan bantuan. Jadi kalau ada sesuatu yang bisa kita bantu pada orang ini, kita bantu. "Kamu memang kewalahan dengan tanggung jawabmu sehingga itu yang membuatmu merasa kewalahan. Apa boleh hal ini dan itu saya yang akan kerjakan? Saya ambil alih. Kamu sudah bekerja dengan baik, kamu sudah berjuang, saya hormati perjuanganmu dan saya hormati perjuanganmu. Dua hal ini akan saya ambil alih untuk membantumu. Bukan karena kamu tidak sanggup, tetapi karena kamu sudah melakukan dengan baik dan saya pikir ini masih bisa saja kerjakan, maka akan saya kerjakan." Kita pilih kata-kata yang positif ya. Sekalipun kita bisa melihat orang ini dalam beberapa hal sebenarnya ada sisi-sisi yang diabaikannya. Okelah tidak apa-apa, kita fokus untuk hal itu. Apa yang bisa diredakan, kita redakan lebih dulu. Urusan ada sesuatu yang kurang tepat pada orang ini, akan kita bereskan nanti di waktu yang lain. Ketika kondisi sudah lebih tenang, emosi sudah mereda, pekerjaan sudah bisa tertangani dengan cukup baik, barulah kita akan bertemu kembali, empat mata, untuk mengklarifikasi fakta yang sesungguhnya dia memang bersalah. Jadi tidak saat itu, karena itu tidak bijak. Kita tunda untuk waktu yang lain.
H : Jadi ini tindakan konkret dari kita memberkati dia ya, Pak? Dengan cara menawarkan bantuan.
SK : Betul!
H : Ada lagi tips lainnya ?
SK : Langkah yang kesepuluh, mari kita minta maaf. Jadi kalau memang kita ada kesalahan, minta maaflah! Atau minimal minta maaf untuk perasannya. "Begini Pak. sesungguhnya saya tidak bermaksud untuk menyinggung perasaan Bapak. Tetapi kalau ternyata perlakuan saya membuat Bapak tersinggung, saya minta maaf. Tapi saya mau tegaskan, sesungguhnya saya tidak ada niat untuk menyinggung perasaan Bapak. Saya minta minta maaf untuk perasaan Bapak yang terluka ini." Jadi kita bisa minta maaf, tapi dia juga melokalisir. Bukan berarti kalau tindakan kita memang benar, jangan merasa itu salah. Ini langkah yang harus dilakukan. Kalau dia tersinggung karena kebijakan itu ya kita minta maaf untuk perasaan yang personal itu.
H : Saya coba simpulkan 10 langkah untuk menghadapi serangan atau menerima teguran dengan baik :
- tetap tenang,
- berpikir sebelum bereaksi,
- mendengarkan dengan sungguh-sungguh,
- berikan respons dengan lembut,
- setujuilah apa yang benar, yang prinsip dan sejalan dengan kebenaran,
- berikan umpan balik dengan kasih,
- berkati orang itu,
- hindari pertengkaran,
- tawarkan bantuan dan
- mintalah maaf. Yang terakhir, apa pesan firman Tuhan yang ingin Bapak sampaikan ?
SK : Sebelum kita membaca firman Tuhan, satu hal lagi saya tambahkan. Kalau orang itu cara menegurnya salah, kita perlu memikirkan dan mendoakan, apakah kita harus menegur kesalahan itu atau membiarkannya. Jadi nanti ada waktunya kita percakapkan untuk mengevaluasi cara dia menegur. Baik, akan saya bacakan dari 1 Petrus 2:21-23, "Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristus pun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya. Ia tidak berbuat dosa, dan tipu tidak ada dalam mulut-Nya. Ketika Ia dicaci maki, Ia tidak membalas dengan dicaci maki; ketika Ia menderita, Ia tidak mengancam, tetapi Ia menyerahkannya kepada Dia, yang menghakimi dengan adil." Kristus sendiri juga menerima teguran dengan cara yang salah, dikecam, bahkan difitnah ! Tetapi Dia memilih berpusatkan kepada Allah, maka lahirlah tanggapan yang benar dan tidak reaktif. Ini juga panggilan. Kalau Guru kita mengambil jalan demikian, maka kita sebagai murid-murid Kristus juga bertumbuh, melatih, mengembangkan kapasitas kita menerima teguran dengan benar, dengan cara yang penuh kasih dimana Kristus sebagai Batu Penjuru kita.
H : Terima kasih, Pak Sindu. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang mengenai topik "Menerima Teguran" bagian kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami melalui surat yang dapat dialamatkan kepada Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.