Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Saya, Gunawan Santoso, dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini ditemani oleh Bapak Necholas David. Kami akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Dan perbincangan kami kali ini tentang "Mencintai Sampai Mati". Dan tema ini memunyai dua topik, yang pertama "Mengatasi Konflik" dan yang kedua nanti kita akan berbicara tentang "Memelihara Cinta". Kami percaya acara ini bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, kalau kita berbicara tentang mencintai sampai mati apakah memang pernikahan itu batasnya hanya sampai kematian?
PG : Betul, Pak Gunawan. Karena memang kita akan dibebaskan dari pernikahan itu setelah kita berpisah dari pasangan kita karena kematian. Jadi memang batas akhir ialah kematian itu sendiri.
GS : Iya. Pada awal pernikahan biasanya kita itu saling mencintai. Itu pasti. Tapi perjalanan selanjutnya yang belum tentu, oleh karena itu kata orang lebih mudah menyelenggarakan pesta pernikahan daripada merawat pernikahan itu sendiri, Pak Paul.
PG : Betul, Pak Gunawan. Jadi saya kira pada umumnya pernikahan berawal dari cinta. Kita menikah karena saling mencintai. Dan saya yakin pada saat menikah pun kita bercita-cita agar kita dapat terus saling mencintai sampai mati. Masalahnya adalah tidak semua berhasil untuk saling mencintai sampai mati. Cukup banyak yang sebelum mati sudah tidak lagi saling mencintai. Nah, sudah tentu salah satu penyebab mengapa kita berhenti mencintai adalah karena masalah yang menimbulkan konflik demi konflik. Itu sebab kita mesti mengatasi masalah jika kita ingin relasi pernikahan kita langgeng sampai mati.
ND : Kalau menurut Pak Paul, apa saja yang harus kita lakukan sebagai suami-istri untuk mengatasi masalah yang kita temui dalam hidup kita sehari-hari?
PG : Sudah tentu kita memang mau melakukan dua hal, Pak Necholas. Pertama, kita memang mesti belajar bagaimana bisa menghindar atau mengurangi konflik. Kalau bisa mengatasinya sampai hilang. Dan yang kedua adalah kita mesti tahu bagaimana memelihara cinta. Ini kedengarannya sederhana, tapi kita tahu dalam praktek ini tidak mudah, Pak Gunawan dan Pak Necholas. Jadi saya akan angkat yang pertama yaitu tentang mengatasi konflik. Jadi ada banyak permasalahan yang bisa timbul dalam pernikahan yang tidak dapat diuraikan satu per satu. Kita akan mencoba untuk melihat beberapa prinsip umum; prinsip umum yang dapat kita terapkan dalam menghadapi konflik. Yang pertama adalah kita mesti menyediakan waktu yang cukup. Salah satu hal sederhana yang terkadang terlupakan adalah bahwa konflik dan upaya menyelesaikannya sebenarnya adalah kerja keras yang memiliki tingkat kesukaran yang tinggi. Sebagaimana yang kita ketahui semua kerja keras dengan tingkat kesukaran yang tinggi menuntut waktu yang cukup. Jadi biar kita tahu bahwa apa yang akan kita bicarakan berpotensi menimbulkan konflik maka sediakanlah waktu. Waktu yang sempit akan menambah tekanan dan membuat kita tergesa-gesa serta kehilangan kesabaran. Jadi akhirnya bukan meredakan konflik tapi semakin membara. Jika kita tidak tahu bahwa apa yang akan kita bicarakan nantinya akan berakhir dengan konflik maka tundalah. Janjikan kepada pasangan bahwa kita akan menyediakan waktu yang cukup untuk membahas masalah ini dan bahwa tidak bijaksana untuk terus melanjutkan percakapan.
GS : Iya. Seringkali kita itu sudah minta waktu kepada pasangan kita bahwa kita akan membicarakan sesuatu yang berpotensi untuk menimbulkan konflik. Tapi pasangan tidak siap untuk itu. Bahkan dia meminta sekarang untuk dibicarakan, kalau sekarang saya yang tidak siap. Ini bagaimana memertemukan kedua ini?
PG : Terkadang memang waktu itu tidak sama, Pak Gunawan; kita siap pasangan tidak siap atau kebalikannya. Sudah tentu pada akhirnya seseorang mesti mengalah. Namun kalau bisa memang prinsipnya adalah kalau memang ada salah satu yang belum siap tidak apa-apa ditunda. Asalkan yang meminta untuk menunda menepati janji. Jangan sampai berkata, "Iya jangan membahasnya sekarang. Nanti saja saya akan berbicara dengan kamu." Tapi itu sengaja menghindar dan tidak mau membicarakan. Ini jangan. Karena sekali kita berbuat itu pasangan kita akan berkata, "Oh kamu ini hanya membuat alasan, tidak mau menghadapi masalah ini. Menunda. Padahal nanti kamu tidak akan membicarakannya." Jadi kalau kita sudah berkata bahwa nanti akan dibicarakan, maka kita mesti tepati janji itu. Yang penting adalah kedua-duanya siap untuk berbicara.
GS : Tetapi tadi yang saya katakan, kita yang tidak siap dan meminta untuk nanti dibicarakan. Tapi pasangan kita berkata, "Tidak. Sekarang kita bicarakan."
PG : Kita memang bisa berkata, "Oke, bagaimana kita membahasnya sampai sebisanya saja. Saya tidak berjanji kita bisa selesai, baik. Kalau kamu mau membahas sekarang mari kita membicarakannya." Jadi memang ada seseorang yang mesti mengalah di situ. Kalau memang kita bisa membicarakannya sampai titik tertentu. Kemudian kita rasanya belum siap untuk meneruskannya maka kita bilang "Bagaimana kita hentikan dulu, nanti kita sambung lagi."
GS : Iya. Jadi masalah waktu yang sulit untuk memertemukan kadang-kadang, Pak Paul. Ada satu pihak yang tergesa-gesa ingin menyelesaikan karena dia katakan, "Kalau saya belum selesaikan malam ini, saya tidak bisa tidur."
PG : Iya. Kadang-kadang memang begitu. Tapi kita mesti juga tenggang rasa, sebab misalnya yang ingin membahasnya adalah misalnya istri kita dan kita mesti besok kerja. Jadi kita berkata, "Apakah memungkinkan kalau jangan berbicara sekarang? Sebab saya memang harus bangun pagi-pagi dan besok harus bekerja. Kalau mau membahasnya sebentar saja, kita sambung lagi besok." Jadi kalau bisa memang ada tenggang rasa juga sehingga kedua-duanya bisa berbicara dengan baik. Sebab buat saya konflik adalah sebenarnya sebuah usaha yang menuntut kesabaran karena memang tidak gampang untuk mengatasi konflik. Jadi kita mesti memerlakukan itu seperti pekerjaan yang susah yang memang kita harus curahkan waktu yang banyak.
ND : Jadi waktu banyak yang harus disediakan itu memang tujuannya supaya semua pihak bisa saling memahami, ya?
PG : Betul. Karena kalau kita lagi ada masalah dan merasa kita tergesa-gesa, maka kita lebih tidak sabar mendengarkan jawaban. Jadi kita memang mesti lebih sabar, lebih tenang, sehingga bisa mendengarkan dengan lebih baik. Yang kedua adalah kalau kita itu sedang konflik dan karena kita tidak sabar sepertinya itu memburu-buru pasangan kita, akhirnya bukan marah karena isi konflik tapi marah karena diburu-buru harus cepat. Jadi kita mau memang menyediakan waktu sehingga kita bisa membahasnya dengan lebih rileks.
GS : Sebenarnya bukan diburu-buru tapi karena memang kita sudah lelah. Tadi sudah minta waktu untuk ditunda tapi pasangan meminta dibicarakan hari itu, maka kita bicarakan sehingga akhirya pembicaraan jadi terburu-buru.
PG : Betul. Nah, ini yang memang perlu diangkat kepada pasangan kita, "Tadi sebetulnya saya sudah bilang saya sudah lelah, jangan berbicara sekarang. Nanti saja. Tapi karena kamu mendesak, akhirnya jadi seperti ini. Karena saya memang terlalu lelah jadi saya tidak bisa berpikir dengan baik. Mungkin jawaban saya tidak pas kamu dengar, dan kamu menjadi tambah marah. Nah, karena saya sudah lelah maka saya mudah marah. Jadi akhirnya persoalan tambah berat bukan tambah ringan." Maka kalau kita mau membereskan konflik, langkah pertama yang sederhana tapi penting yang kita lakukan adalah kita mau sediakan waktu yang cukup.
GS : Jadi memang itu harus disadari oleh kedua belah pihak, Pak Paul?
PG : Betul. Dan juga jadi kita mau dari awal pernikahan mulai menetapkan aturan, Pak Gunawan dan Pak Necholas, yaitu kita tidak boleh berpikir, "Kita pokoknya kalau mau berbicara tentang masalah, mau konflik, mau marah boleh kapan saja." Tidak. Jadi kita mesti ada disiplin bahwa kalaupun mau berkonflik kita memang harus mau menyediakan waktu dan tidak sembarangan. Karena waktu orang mulai bersikap semaunya dalam pernikahan itu berarti memang tunggu waktu pernikahan kita akan sering konflik.
GS : Kalau begitu waktu yang terbaik untuk membicarakan konflik ini kapan, Pak Paul?
PG : Biasanya adalah memang di waktu anak-anak sudah tidur supaya anak-anak tidak mengganggu kita. Kita bisa berkonsentrasi dengan baik. Biasanya memang di malam hari.
GS : Lalu hal yang lain apa, Pak Paul?
PG : Untuk mengatasi konflik, maka prinsip umum yang kedua adalah dengarkanlah baik-baik. Mungkin kita tidak menyadarinya namun sesungguhnya tujuan utama kita berkonflik adalah menyampaikan sesuatu untuk didengarkan. Coba pikirkan baik-baik, sebagai contoh bukankah sewaktu kita marah kepada pasangan yang selalu terlambat menjemput kita sesungguhnya apa yang ingin disampaikan dan ingin ia dengar adalah mohon perhatikan kepentinganku pula, bukan hanya kepentingan dirimu. Kita ingin dia mendengar bahwa ia selalu terlambat menjemput kita adalah karena dia menyepelekan kita dan sikap itu muncul karena dia tidak melihat kepentingan kita sama pentingnya dengan kepentingannya yang membuatnya terlambat. Jadi dengarkanlah baik-baik apa yang dikatakan pasangan dalam kemarahan dan konflik jangan langsung menjawab dan menangkis.
ND : Seandainya sama-sama pihak suami maupun istri, sama-sama ingin menyampaikan terlebih dahulu keluh kesahnya itu bagaimana, Pak Paul?
PG : Ini memang wajar bahwa kita yang sedang konflik, seperti yang sudah saya katakan, sebenarnya ingin menyampaikan sesuatu untuk didengarkan. Itulah konflik. Maka biasanya kita berlomba untuk didengarkan dan kita akan mencoba bicara lebih dulu, bicara dengan lebih keras, atau apa karena memang tujuannya supaya didengarkan. Nah, maka kalau bisa dari awal pernikahan kita sudah membiasakan diri kalau satu bicara maka yang satu mendengarkan. Jadi jangan memotong. Biarkan dulu sampai selesai baru nanti ditanggapi. Jadi mesti disiplin diri seperti itu. Sehingga kedua-duanya tahu bahwa keduanya punya kesempatan dan kedua-duanya akan didengarkan, sehingga tidak jadi soal siapa yang lebih dulu memulai.
GS : Untuk mendengarkan itu tergantung dari respons yang kita terima dari pasangan yang sedang marah itu, Pak Paul. Kalau dia berbicara dengan tidak enak maka kita mendengarnya akan malas lebih dulu.
PG : Betul. Maka penting dalam berkonflik kita itu menjaga kata-kata kita sehingga kita tidak sembarangan berbicara karena itu memperkeruh masalah. Sebab kalau kita berbicara sembarangan, memperkeruh masalah akhirnya pasangan kita malas untuk mendengarkan kita. Maka kita mesti menciptakan suasana yang dimana kedua-duanya bersedia mendengarkan.
GS : Iya. Untuk bisa mendengarkan Pak Paul, itu juga dibutuhkan tempat yang tepat. Tadi kalau tentang waktu maka malam hari ketika anak-anak sudah tidur. Nah, kalau untuk membicarakan konflik ini supaya kita juga mendengar tanpa terganggu misalnya oleh HP kita atau televisi atau suara-suara lain, maka ini tempat yang tepat dimana, Pak Paul?
PG : Tempat yang tepat ini adalah di kamar tidur sebetulnya terpisah dari anak-anak sehingga anak-anak tidak mendengar. Jadi kita memang berhadap-hadapan tidak jauh sehingga kita tidak perlu berteriak-teriak. Tempat yang tepat memang di kamar tidur sendiri, Pak Gunawan.
GS : Iya. Dalam pembicaraan dibutuhkan, apa yang menjadi permasalahannya. Ini seringkali di dalam konflik, Pak Paul, itu terbungkus oleh hal-hal lain yang sebenarnya bukan itu penyebab konflik ini sebenarnya. Untuk sampai kesana itu bagaimana, Pak Paul?
PG : Memang terkadang kita ini tidak mau menyatakan sebetulnya apa yang membuat kita marah. Contoh, sebetulnya kita ini cemburu tapi buat kita berkata bahwa saya cemburu, malu dan gengsi karena cemburu membuat kita merasa kita lebih lemah daripada pasangan kita. Jadi akhirnya kita menyoroti pasangan kita, "Kamu tadi tidak perhatikan saya. Tadi kamu lebih banyak berbincang dengan dia. Memang kamu orang yang tidak tenggang rasa". Jadi pasangan terlalu sensitif. Sebetulnya ujung-ujungnya "Saya cemburu." Terkadang kita tidak mau berbicara apa adanya karena kita itu malu atau gengsi. Tapi kadang-kadang memang kita tidak tahu, Pak Gunawan, bukan sengaja mau mengalihkan atau mau menutupi tapi kita sungguh-sungguh memang tidak menyadari sebenarnya itulah intinya. Kalau pasangan bisa mengenali sebetulnya apa yang di belakang itu, mungkin pasangan langsung mengingatkan dan berkata, "Coba saya langsung saja berbicara, apakah saya kalau saya berkata bahwa yang membuat kamu marah kepada saya adalah kamu cemburu kepada saya? Apakah itu duduk masalahnya? Daripada saya salah menanggapi dan kamu juga tidak puas karena saya tidak tepat menghadapi kamu atau bagaimana, apakah benar itu duduk masalahnya? Sehingga kita bisa membahas masalahnya dengan lebih cepat."
ND : Apakah itu yang dimaksud dengan mendengarkan secara aktif ?
PG : Betul. Jadi kita menekankan secara aktif dalam pengertian bukan saja mendengarkan apa yang dikatakan pasangan kita tapi juga memberikan tanggapan, mengklarifikasi, bertanya supaya nanti benar-benar jelas hal ini yang sudah dibicarakan. Jadi bukan hanya diam mendengarkan, bukan. Kita bertanya, kita mengklarifikasi supaya jelas bahwa inilah yang sedang dibahas.
GS : Tapi itu pun harus disampaikan pada saat yang tepat, Pak Paul. Karena kalau tidak itu dianggap memotong pembicaraan dia.
PG : Iya. Betul sekali. Jadi memang kita mesti memberikan waktu untuk berbicara sehingga sudah selesai baru kita tanggapi.
GS : Iya. Ada pasangan yang mengatakan, "Sekarang kamu berbicara dulu. Setelah selesai maka harus saya yang berbicara." Jadi ada perjanjian seperti itu, Pak Paul.
PG : Iya, betul. Dan itu juga sangat bermanfaat dalam mengendalikan emosi, Pak Gunawan. Sebab waktu kita berkata, "Oke kamu sudah berbicara dan saya dengarkan." Dari situ sudah mulai adanya disiplin sehingga kita tidak sembarangan mengumbar kemarahan kita.
GS : Iya. Hal yang ketiga apa, Pak Paul?
PG : Prinsip umum yang ketiga untuk mengatasi konflik adalah satu konflik untuk satu masalah. Kita perlu mendisiplin diri untuk tidak mengungkit masa lalu dan untuk tidak mengaitkan masalah dengan hal-hal lain. Kadang untuk meluapkan kemarahan kita mengeluarkan unek-unek yang tersimpan di hati dan membanjiri konflik dengan masalah-masalah lain. Ini perlu dicegah. Kita pun perlu mengekang diri untuk tidak membela diri dengan memunculkan kesalahan yang diperbuat pasangan. Godaan untuk membela diri dan balas menyerang memang sungguh besar, sebab pada dasarnya kita makhluk yang tidak ingin kalah. Dengan pertolongan Tuhan kita mesti mengekang diri. Keberhasilan kita mengatasi konflik tergantung pada kesanggupan kita mengekang diri. Tanpa kekang, konflik berkembang secara liar.
GS : Iya. Jadi ini apa hubungannya dengan satu konflik untuk satu masalah ini, Pak Paul?
PG : Jadi kita itu tidak mau memunculkan beberapa masalah dalam satu konflik. Kalau bisa fokus saja kepada satu hal. Jadi misalkan pasangan kita mulai berbicara "Kamu ini, kamu itu." "Berhenti dulu. Kita fokus pada masalah ini dulu. Kalau kamu mau membicarakan yang lainnya, akan kita bicarakan tapi sekarang ini dulu. Ini selesai baru nanti kita bicarakan yang lain." Sebab kalau tidak, akhirnya kita itu seperti main petak lari, berkejar-kejaran dan tidak pernah bisa selesai masalah karena akan selalu muncul masalah-masalah lain yang nanti kita harus jawab juga.
GS : Tapi biasanya konflik itu dan masalah itu tidak berdiri sendiri, Pak Paul. Saling kait-mengkait dengan hal-hal yang lain. Dan ini yang juga perlu diselesaikan?
PG : Kalau misalnya pun kita mau kaitkan dengan masalah yang lain, paling juga hanya 1 contohnya, jadi tidak bijaksana kita membangkit-bangkitkan, "Kamu dulu begini ke saya. Kamu juga dulu begini sewaktu kita menikah. Kamu begini dan sebagainya." Jadi akhirnya berentetan panjang lebar. Atau kadang-kadang kita ini begini, Pak Gunawan, kita sudah mulai terdesak dan kita mulai tahu bahwa sebetulnya kita salah maka daripada mengaku kita salah dan kalah lalu kita langsung berkata, "Tapi kamu juga begini." Kita membalas dan menunjuk dia dengan memunculkan masalahnya, karena kita itu tidak puas atau tidak mau dan 1:0 setidaknya poinnya 1:1. Makanya ketika kita mulai terdesak kita langsung pukul balik dengan kesalahan-kesalahannya yang lain yang sebenarnya bukan topik pembicaraan kita. Maka mesti disiplinkan diri agar satu konflik untuk satu masalah.
ND : Berarti setiap kita sebetulnya memunyai peran dalam konflik itu ya?
PG : Peran dalam hal mengatasi konflik, iya. Tidak mesti penyebabnya itu berdua. Tidak mesti, sebab seringkali justru dalam pernikahan penyebabnya satu. Ada orang yang kita harus akui lebih sering menimbulkan konflik daripada pasangannya. Jadi tidak mesti kalau konflik kedua-duanya punya masalah, dua-duanya yang memunculkan konflik dan dua-duanya frekuensi konfliknya sama. Sebab seringkali justru dalam pernikahan hanya ada satu yang lebih gemar memunculkan konflik.
GS : Kenapa ada orang seperti itu, Pak Paul? Gemar memunculkan konflik.
PG : Ada, Pak Gunawan. Memang hal itu agak panjang pembicaraannya, tapi secara inti adalah ada orang-orang memang yang terbiasa dengan konflik karena ia dibesarkan dalam suasana konflik. Jadi sangat, sangat terbiasa. Sehingga kalau bicara pun jadi akhirnya dia sudah mengadopsi cara bicara orangtuanya yang memprovokasi. Jadi ada orang yang jika berbicara tidak ada angin tidak ada hujan, sudah mau membuat kita marah karena dia akan bisa memprovokasi kita. Sehingga akhirnya itu ribut. Dan tipe yang kedua adalah orang yang selalu melihat kesalahan kecil atau kekurangan kecil sehingga akhirnya muncul konflik lagi yang tidak pernah habis-habis. Itu yang saya maksud dengan gemar berkonflik.
GS : Iya. Hal lainnya yang perlu diperhatikan untuk mengatasi konflik apa, Pak Paul?
PG : Akuilah bagian kita sekecil apapun. Saya mengerti betapa susahnya memulai dengan mengakui bagian kesalahan kita yang kecil padahal pasangan yang berbagian lebih besar tidak mau mengakuinya. Pada umumnya kita jauh lebih siap melakukannya bila pasangan memulainya terlebih dahulu. Namun itu bukan cara dan kehendak Tuhan. Ia mengajar kita untuk selalu memulai terlebih dahulu, terlepas dari apakah orang akan mengikuti jejak kita atau tidak. Jadi sewaktu berselisih, akuilah bagian kita sekecil apapun. Ingat, kita bertanggung jawab kepada Tuhan bukan manusia.
ND : Jadi tadi selain peran kita dalam mengatasi konflik, sebetulnya dalam diri kita masing-masing juga ada bagian yang salah meskipun itu sangat kecil?
PG : Jadi kalau misalkan kita menyadari bahwa tadi saya berbicaranya terlalu keras meskipun sebetulnya anggap saja yang salah pasangan kita. Tapi waktu kita sadari bahwa dari kita berbicara terlalu keras nadanya, itu bagian yang kita akui langsung. Kita mengatakan, "Maaf tadi saya berbicara terlalu keras. Saya seharusnya tidak begitu." Atau waktu kita konflik karena kita kesal sekali, kita berikan dia perbandingan, "Ingat tidak sewaktu berbicara seperti ini kepada saya? Ingat tidak ketika saya berbicara kepada kamu, saya tidak berbicara seperti ini kepadamu?" Mungkin kita tidak perlu membanding-bandingkan hal itu, nanti tambah panjang. Kita akui, kita berkata, "Maaf saya tadi menggunakan perbandingan-perbandingan sehingga tambah banyak masalah. Maaf, seharusnya saya seharusnya berbicara saja tentang masalahnya apa tadi." Jadi apapun yang kita bisa akui sebagai bagian kita, maka kita akui dulu. Sebab seringkali waktu kita memulainya tiba-tiba pasangan itu juga lebih terpengaruh dan akhirnya lebih bersedia untuk mengakui kesalahannya pula.
GS : Iya. Tapi apa itu tidak membuat kita menjadi orang yang terus kalah, Pak Paul?
PG : Nah, kalau kita sebelum apa-apa mengatakan, "Semua salah saya" maka tentu saja iya. Tapi kita memang tidak mau begitu, kita mau secara spesifik: kita itu melakukan kesalahan dimana, kekurangan kita dimana, itu yang mau kita sampaikan kepada dia, dan kita mau meminta maaf.
GS : Iya. Hal kelima yang bisa kita lakukan apa, Pak Paul ?
PG : Yang kelima adalah gunakan cara yang benar. Satu hal yang mesti kita camkan adalah alasan mengapa kita konflik sama pentingnya dengan cara kita menghadapi konflik. Itu sebab tidak jarang konflik kecil berkobar besar gara-gara kita menggunakan cara yang kurang pas, misalnya dengan cara kita menyatakan kemarahan kita. Ada beberapa cara tidak tepat yang dapat saya bagikan. Yang pertama adalah nada suara, bukan keras tapi merendahkan. Nah, kita tidak perlu berteriak untuk melecehkan orang. Terkadang itu tercetus di dalam pertengkaran, baik lewat perkataan atau gerak-gerik kita seperti menunjuk-nunjuk, membelalakkan mata. Akhirnya pasangan marah, karena merasa bukan saja kita tidak respek kepadanya, kita pun ingin merendahkannya. Cara tidak benar yang kedua adalah kalimat yang menantang. Bukan saja kita menunjukkan bahwa kita tidak takut, kita pun seolah-olah mengajaknya berkelahi. Ini cara-cara yang tidak tepat yang semakin memperparah konflik.
ND : Boleh dikatakan bukan hanya apa yang dibicarakan juga bagaimana bahasa tubuh kita, bagaimana keseluruhan diri kita waktu kita menyampaikan keluhan kita kepada pasangan yang juga penting?
PG : Betul sekali, Pak Necholas. Sebab kadang-kadang kita ini bertolak pinggang atau kita ini membuang muka apalagi kalau kita misalnya membanting barang atau menggebrak pintu. Itu cara-cara tidak tepat yang semakin memperparah konflik kita.
GS : Tapi biasanya itu menjadi reaksi spontan dari seseorang yang sedang konflik, Pak Paul.
PG : Makanya memang kita harus menahan diri, meskipun godaan untuk itu keras sekali, apalagi kita terbiasa melihat orangtua kita bertengkar seperti itu. Bahkan sulit memang menahan diri, tapi kita mesti menahan diri sebab gaya-gaya mengatasi konflik yang penuh dengan kekasaran itu biasanya semakin memperparah konflik.
GS : Iya. Seperti suara meninggi, saya khususnya kalau sudah marah otomatis suara saya akan meninggi dan keras, Pak Paul. Sehingga tanpa sengaja itu, lalu pasangan berkata "Mengapa jadi begini suaramu?"
PG : Itu mesti kita sadari. Jadi hal-hal yang kita sadari yang membuat konflik itu tambah parah gara-gara gaya kita itu memang mesti kita hilangkan.
GS : Tapi biasanya juga menyangkalinya dan mengatakan, "Tidak. Aku tidak marah!". Tapi perkataan tidak marah itu dengan suara yang keras sekali. Bahasa tubuh kita sebenarnya sudah mencerminkan bahwa kita ini marah.
PG : Betul, betul. Memang perlu kerendahan hati, Pak Gunawan.
GS : Jadi sebelum kita mengakhiri perbincangan ini, mungkin hal lain apa yang perlu kita lakukan?
PG : Berdoalah. Tuhan hadir, Tuhan setia dalam keharmonisan tetapi juga di dalam ketegangan keluarga. Jadi jangan ragu datang kepada Tuhan, baik pada saat bertengkar maupun sebelum atau sesudahnya. Saya akan bacakan dari Habakuk 3:17-18,"Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang, namun aku akan bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku." Nah, ini adalah doa pengharapan yang berlandaskan iman bahwa Tuhan hadir di segala sesuatu, di dalam segala situasi. Jadi Tuhan akan hadir bahkan di tengah pertengkaran kita. Jadi berdoalah.
GS : Berdoanya ini sendiri-sendiri atau dengan pasangan, Pak Paul?
PG : Sendiri-sendiri pada awalnya waktu kita berkonflik, setelah selesai maka kita berdoa bersama.
GS : Terima kasih untuk perbincangan ini. Kita masih melanjutkan perbincangn ini pada kesempatan yang akan datang. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (TEgur sapa GembaLA KeluarGA). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mencintai Sampai Mati" dengan topik "Mengatasi Konflik"dan ini merupakan bagian yang pertama. Dan pada kesempatan yang akan datang, kita akan melanjutkan lanjutan topik ini dengan "Memelihara Cinta". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Atau Anda juga dapat menggunakan e-mail ke alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhir kata dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.