Mencintai Sampai Mati (I)

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T559A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Konflik demi konflik akan dapat menghentikan cinta kita pada pasangan. Apa yang mesti dilakukan untuk mengatasi konflik? Berikan waktu yang cukup untuk menyelesaikan konflik, berkonflik berarti menyampaikan sesuatu untuk didengarkan, selesaikan satu konflik untuk satu masalah bukan banyak masalah, akuilah kesalahan kita sekecil apapun, dan gunakan cara yang benar untuk menyampaikan sesuatu.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Pada umumnya pernikahan berawal dari cinta—kita menikah karena saling mencintai. Pada saat menikah kita pun bercita-cita agar kita dapat terus saling mencintai sampai mati. Masalahnya, tidak semua berhasil untuk saling mencintai sampai mati; cukup banyak yang sebelum mati sudah tidak lagi saling mencintai. Sudah tentu salah satu penyebab mengapa kita berhenti mencintai adalah masalah yang menimbulkan konflik demi konflik. Kita mesti mengatasi masalah jika kita ingin relasi pernikahan kita langgeng sampai mati. Selain dari itu ada satu lagi penyebab mengapa kita berhenti mencintai yaitu kekurangmengertian kita tentang cinta itu sendiri yakni cinta mesti diperlihara. Cinta tidak bertumbuh dan bertahan dengan sendirinya; ada yang mesti kita perbuat untuk memeliharanya. Berikut akan dipaparkan beberapa prinsip bagaimana menghadapi konflik serta bagaimana memelihara cinta agar tidak mati sebelum kita mati.


Mengatasi Konflik

Ada begitu banyak masalah yang dapat timbul dalam pernikahan yang tidak dapat diuraikan satu per satu. Semua masalah unik dan memerlukan penyelesaian yang unik pula; tidak ada satu rumus untuk semua masalah. Namun, ada beberapa prinsip umum yang dapat kita terapkan dalam menghadapi konflik. Berikut akan dipaparkan beberapa di antaranya:


  • SEDIAKAN WAKTU YANG CUKUP.
    Salah satu hal sederhana yang kadang terlupakan adalah bahwa konflik dan upaya menyelesaikannya sebenarnya adalah kerja keras yang memiliki tingkat kesukaran yang tinggi. Sebagaimana kita ketahui semua kerja keras dengan tingkat kesukaran yang tinggi menuntut waktu yang cukup. Jadi, bila kita tahu bahwa apa yang akan kita bicarakan berpotensi menimbulkan konflik, sediakanlah waktu. Waktu yang sempit akan menambah tekanan dan membuat kita tergesa-gesa serta kehilangan kesabaran; alhasil, bukan mereda, konflik malah membara. Jika kita tidak tahu bahwa apa yang kita bicarakan akan berakhir dengan konflik, tundalah. Janjikan kepada pasangan bahwa kita akan menyediakan waktu yang cukup untuk membahas masalah ini dan bahwa tidak bijaksana untuk terus melanjutkan percakapan.
  • DENGARKANLAH BAIK-BAIK.
    Mungkin kita tidak menyadarinya namun sesungguhnya tujuan utama kita berkonflik adalah menyampaikan sesuatu untuk didengarkan. Coba pikirkan baik-baik. Sebagai contoh, bukankah sewaktu kita marah kepada pasangan yang selalu terlambat menjemput kita, sesungguhnya apa yang kita ingin sampaikan—dan ingin ia dengar—adalah, "Mohon perhatikan kepentingan aku pula, bukan hanya kepentingan dirimu." Kita ingin ia mendengar bahwa penyebab mengapa ia selalu terlambat menjemput kita adalah karena ia menyepelekan kita dan sikap itu muncul karena ia tidak melihat kepentingan kita sama pentingnya dengan kepentingannya—yang membuatnya terlambat. Jadi, dengarkanlah baik-baik apa yang dikatakan pasangan dalam kemarahan dan konflik. Jangan langsung menjawab dan menangkis.
  • SATU KONFLIK, SATU MASALAH.
    Kita perlu mendisiplin diri untuk tidak mengungkit masa lalu dan untuk tidak mengaitkan masalah dengan hal-hal lain. Kadang untuk meluapkan kemarahan, kita mengeluarkan uneg-uneg yang tersimpan di hati dan membanjiri konflik dengan masalah-masalah lain. Ini perlu kita cegah. Kita pun perlu mengekang diri untuk tidak membela diri dengan memunculkan kesalahan yang diperbuat pasangan. Godaan untuk membela diri dan balas menyerang sungguh besar sebab pada dasarnya kita adalah makhluk yang tidak ingin kalah. Dengan pertolongan Tuhan kita mesti mengekang diri. Keberhasilan kita MENGATASI konflik bergantung pada kesanggupan kita MENGEKANG diri; tanpa kekang, konflik berkembang secara liar.
  • AKUILAH BAGIAN KITA—SEKECIL APA PUN.
    Saya mengerti betapa susahnya memulai dengan mengakui bagian kesalahan kita yang kecil pada pasangan, yang berbagian lebih besar, tidak mau mengakuinya. Pada umumnya kita jauh lebih siap melakukannya bila pasangan memulainya terlebih dahulu. Namun itu bukan cara dan kehendak Tuhan; Ia mengajar kita untuk selalu memulai terlebih dahulu, terlepas dari apakah orang akan mengikuti jejak kita atau tidak. Jadi, sewaktu berselisih, akuilah bagian kita sekecil apa pun; ingat, kita bertanggung jawab kepada Tuhan, bukan manusia.
  • GUNAKAN CARA YANG BENAR.
    Satu hal yang mesti kita camkan adalah ALASAN mengapa kita konflik sama pentingnya dengan CARA kita menghadapi konflik. Itu sebab, tidak jarang konflik kecil berkobar besar gara-gara cara kita mengungkapkan kemarahan. Ada beberapa cara tidak tepat yang dapat saya bagikan. Pertama adalah nada suara; bukan keras tetapi merendahkan. Kita tidak perlu berteriak untuk melecehkan orang; kadang itu tercetus di dalam pertengkaran, baik lewat perkataan atau gerak gerik kita, seperti menunjuk-nunjuk dan membelalakkan mata. Alhasil pasangan marah besar karena merasa, bukan saja kita tidak respek kepadanya, kita pun ingin merendahkannya. Kedua adalah kalimat yang menantang; bukan saja kita menunjukkan bahwa kita tidak takut, kita pun seolah ingin mengajaknya berkelahi.
  • BERDOALAH.
    Tuhan hadir bukan saja di dalam KEHARMONISAN tetapi juga di dalam KETEGANGAN keluarga. Jadi, jangan ragu untuk datang kepada Tuhan, baik pada saat bertengkar maupun sebelum atau sesudahnya. Habakuk 3:17-19 adalah doa pengharapan yang berlandaskan iman, bahwa Tuhan hadir di segala situasi. Ya, Tuhan tetap hadir bahkan di tengah pertengkaran sekalipun. Jadi, berdoalah.