Menanggapi Perasaan dalam Komunikasi

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T462A
Nara Sumber: 
Ev. Sindunata Kurniawan, MK
Abstrak: 
Sebagian orang merasa canggung ketika orang lain membagikan perasaannya, tidak tahu bagaimana menanggapinya - apalagi dalam percakapan formal. Berikut akan dibahas langkah praktis menanggapi perasaan dalam komunikasi.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Untuk sebagian orang, merasa canggung ketika orang lain membagikan perasaan dan tidak tahu bagaimana menanggapinya, apalagi dalam percakapan formal.

Ada beberapa level atau jenjang dalam kita berkomunikasi:

  1. Percakapan basa-basi, misalnya : "Selamat pagi, sudah makan belum ?" atau "Mau kemana, sehatkah?"
  2. Tentang orang lain, misalnya : "Mengapa presiden kita seperti ini ?"
  3. Tentang diri: pikiran, kita mulai mengutarakan pikiran kita (ide, pendapat, argumentasi) kepada lawan bicara kita.
  4. Tentang diri: perasaan, identitas kita terwakili melalui perasaan kita.

Ketika seseorang berkomunikasi di level perasaan, hendaknya kita menanggapi di segi perasaan juga, berempati. Empati tidak sama dengan menyetujui atau membenarkan. Empati itu menerima dan memberi tempat penghargaan pada apa yang dirasakannya. Bahwa yang dirasakannya itu adalah fakta, sesuatu yang faktual, ada dan layak dihormati. Ketika seseorang membuka perasaannya, ia sedang membuka diri yang asli dan inti, yang sekaligus rentan untuk diserang dan disakiti. Ibaratnya, topeng dan perisai dirinya sedang dibuka. Saat dibuka, kita bisa mengenal keasliannya atau keautentikannya. Berarti, satu sisi kita sedang dihormati dan dipercayai, karena tidak pada semua orang, dia membuka perasaannya. Tugas kita adalah menjunjung tinggi kehormatan untuk dipercayainya, yakni dengan tidak menyalahgunakan keterbukaannya lewat kata dan sikap merendahkan dan menyakitinya. Malah kita bisa berkata, "Saya menghargai kesediaanmu berbagi perasaan, saya menghargainya". Kemudian kita bisa memberi peneguhan dengan memberi nama perasaannya, "Ya, kamu sedih." "Kamu terlihat kecewa dan marah."

Langkah-langkah praktis untuk dapat menanggapi perasaan dalam komunikasi:

  1. Dengarlah perasaannya; kita mencoba melihat wajah, suara, lihat gerak bibir, mata, gerak tubuh: membayangkan dan merasakan. Masuk ke dalam dirinya. Ini memerlukan latihan.
  2. Menyatakan, memberi nama perasaannya.

Respons yang bisa muncul dari rekan bicara kita:

  1. Mengoreksi. Jika kita pun kurang tepat memberi nama untuk perasaannya, minimal kita sudah berusaha mendengar perasaannya. Kita semakin terasah memberi nama pada perasaan.
  2. Menyangkal. Contoh: "kamu marah ya." "Nggak kok! (nada tinggi). Belum siap mengakui. Respons kita: jadi kamu merasa apa ? Kalaupun kamu merasa kecewa, itu wajar, aku pun bisa demikian. Pesan: penerimaan tidak bersyarat, dan toleran/tidak memaksa. Memberi tempat pada dia untuk berproses. Penghiburan bagi kita: setelah percakapan itu usai dan kita dan rekan bicara berpisah, kecenderungannya rekan bicara itu akan memikirkan dan lebih terkoneksi, terhubungkan dengan perasaannya. Dalam hal ini kita sesungguhnya sudah menolong. Maka, dalam hal ini kita tidak bisa pasang pikiran bahwa bukan kita yang ditolak atau dipersalahkan. Yang ditolak adalah ide kita dan bukan diri kita. Ide yang ditolak: "O,ya ada yang keliru pada ide saya. Saya terbatas. Jika merasa diri yang ditolak: membuat kita marah, membalas, jadinya kita tidak bisa menolong dan menutup diri.
  3. Menerima: mengalir dan akan terbangun jembatan. Dia pun bertumbuh kepercayaan bahwa kita memahami perasaannya dan menghormatinya.

Penting bahwa kita tidak menampilkan diri sebagai orang yang suka menelanjangi hal yang dia tidak siap untuk membuka kepada kita. Membuat orang akan terancam dan membangun tembok, merasa dihakimi.

Berbesar hati, lalu bisa beralih ke ranah atau level ke-3: logika rasional. Kita misalnya menegaskan: ini yang benar, ini yang salah, ini pendapat saya, ini pilihan saya, ini saran saya.

Kita ikuti iramanya: naik turun di level pikiran dan perasaan. Dan terciptalah, keterhubungan (connectedness)

Firman Tuhan diambil dari Amsal 20:5, "Rancangan di dalam hati manusia itu seperti air yang dalam. Tetapi orang yang pandai tahu untuk menimbanya". Perasaan itu memang sesuatu yang sulit diketahui dan dikenali. Tapi ketika kita punya hikmat dan mengandalkan hikmat, kita bisa mengerti. Kadang orang itu sendiri tidak tahu apa yang ada dalam hatinya. Tapi ketika kita mengandalkan hikmat, Tuhan akan memampukan kita. Perasaan bagaikan air yang dalam: orang yang tidak mengenal perasaannya: bingung, kehausan. Air identik dengan kesegaran dan kepuasan.