Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idayanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang beberapa kiat menanamkan percaya diri pada anak, dan perbincangan ini merupakan kelanjutan perbincangan kami beberapa waktu yang lalu. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
(1) GS : Beberapa waktu yang lalu kita telah berbincang-bincang tentang mengapa anak saya tidak percaya diri dan Pak Paul sudah menguraikan banyak hal. Kita akan melanjutkan perbincangan itu dengan memberikan atau membahas beberapa kiat atau beberapa cara menanamkan rasa percaya diri pada anak, ada berapa hal yang mungkin Pak Paul bisa sampaikan?
PG : Yang pertama Pak Gunawan, orang tua itu perlu melihat apakah anak kita berada di lingkup akademik yang dalam jangkauannya. Jangan sampai anak kita berada di lingkup akademik yang menuntut i luar batas kemampuannya, karena kalau itu yang terjadi si anak bukannya terpacu malah akan lebih terbenam.
Satu prinsip yang harus diingat oleh kita semua adalah memacu anak, memang kita harus memberikan tuntutan sedikit lebih besar atau sedikit lebih tinggi dari kemampuannya. Kalau kita memberikan tuntutan atau tantangan di bawah kemampuannya, dia tidak akan mengembangkan diri. Kalau kita memberikan tantangan sesuai dengan kemampuannya, dia hanya akan mempertahankan yang dia telah miliki. Tapi kalau kita memberikan tantangan sedikit di atas kemampuannya, dia akan dipacu untuk meraih lebih daripada yang sudah dimilikinya sekarang. Yang penting adalah orang tua mengenal jelas kemampuan anaknya, jangan sampai orang tua beranggapan bahwa anak saya pandai. Nah, saya cenderung mengira bahwa kebanyakan orang tua pada awalnya menganggap anak-anak kita pandai, jarang sekali saya mendengar orang tua mengeluh pada awalnya bahwa anak itu bodoh. Kalau akhirnya sekolahnya gagal dan sudah terlanjur mempermalukan orang tua, barulah orang tua berkata anak saya ini bodoh. Tapi pada umumnya orang tua cenderung beranggapan anak itu pintar sebetulnya tapi, tapinya itu misalkan gurunyalah ini, sekolahnyalah itu, teman-temannyalah ini, jadi kita cenderung memang memberikan bobot kesalahan pada pihak-pihak di luar si anak itu. Jadi kembali lagi, tadi saya katakan memang perlu memberi tantangan sedikit di atas kemampuan si anak tapi jangan berlebihan. Kalau anak dimasukkan sekolah yang memang menuntut sangat tinggi dan kemampuannya tidak mencapai tuntutan tersebut, saran saya adalah kita harus menyesuaikan diri. Misalnya kita memindahkan dia ke sekolah yang lebih memberikan tuntutan sepadan dengan kemampuannya atau sedikit di atas kemampuannya, itu yang perlu kita lakukan yang pertama. Yang berikutnya lagi adalah kita harus mengingat di dalam sekolah yang sangat bagus biasanya suasana kompetitif itu sangat kuat. Artinya kita harus menyadari bahwa dalam suasana kompetitif, anak-anak itu dipacu untuk mengadu diri dengan teman-temannya, suasana belajar atau suasana kelas menjadi suatu suasana yang mencekam dan menegangkan. Tidak semua anak mampu mengatasi ketegangan, ada anak yang perasaannya sangat peka dan lebih mudah termakan atau dikuasai oleh ketegangannya. Ada anak yang memang tidak terlalu peka sehingga dia pun lebih bisa mengalahkan ketegangannya itu. Artinya apa, sekali lagi orang tua harus melihat apakah anak saya mampu mengatasi ketegangan, suasana kompetitif yang sangat tinggi itu, kalau dia tidak sanggup jangan dipaksakan. Jadi sekali lagi orang tua harus mengenali kemampuan anak. Nah, mungkin orang tua yang mendengarkan kita bercakap-cakap sekarang berkata kalau begitu bagaimanakah saya bisa memacu kepercayaan diri anak. Justru yang saya mau tekankan adalah kepercayaan diri bertumbuh dalam suasana aman, bukan kebalikannya suasana yang mencekam, yang mengancam, yang menakutkan justru akan menurunkan kepercayaan diri anak. Itu langkah pertama yang kita harus ambil untuk memupuk kepercayaan diri pada anak-anak.
GS : Tapi biasanya orang tua kadang-kadang salah tafsir dan mengatakan kamu ini bukan bodoh tapi malas. Jadi bukan menyalahkan lingkungan luar, mengatakan anaknya itu sebetulnya bisa, cuma malas atau terlalu banyak bermain. Bagaimana hal ini menurut Pak Paul?
PG : Nah di sini orang tua harus memeriksa dirinya sendiri dan memeriksa suasana rumah, apakah memang si anak itu malas. Kadang-kadang orang tua melabelkan anaknya malas guna mempertahankan konep bahwa si anak itu tetap pandai, daripada mengakui anaknya tidak sepandai itu.
Seringkali orang tua lebih rela mencap anaknya malas, jadi orang tua harus realistik dan harus berani terbuka. Bagaimanakah cara menumbuhkan kepercayaan pada anak, langkah berikutnya lagi adalah orang tua harus memeriksa tuntutannya sendiri. Kadangkala orang tua tanpa disadari telah mengkomunikasikan tuntutan yang sangat tinggi kepada anak-anaknya. Kalau dia sampai tidak bisa, justru dikatakan malas, kadangkala ini yang terjadi. Si anak bukannya malas dia telah mengerjakan sebisanya, tapi sebisanya hanya sampai di situ. Nah orang tua harus menerima, jadi kalau tidak bisa menerima malah terus membebani anak dengan tuntutan dan hal ini bukan menumbuhkan kepercayaan diri tetapi makin mematahkan. Jadi orang tua perlu realistik, kalau anak mengatakan, "Saya sudah belajar, Ma" dan kita pun mengakui, kita melihat dia sudah belajar, jangan lagi mengatakan engkau malas. Kalau engkau sedikit lebih rajin, engkau akan mencapai lebih tinggi lagi, kalau memang sudah dilakukan sebisanya, orang tua harus menerimanya dengan realistik.
GS : Apakah ada langkah-langkah lain Pak Paul, yang praktis dan harus diketahui orang tua?
PG : Yang berikutnya adalah saya mau meminta orang tua untuk tidak menjadikan rumah sebagai sekolah, yang kedua jangan sampai kita ini menjadi ibu guru atau kelanjutan dari ibu guru atau bapak uru di sekolah.
Sekarang ini saya kira orang tua harus berjuang keras melawan dorongan untuk menjadi guru kedua atau bapak guru kedua. Memang kita hidup dalam suasana atau lingkup yang sangat menekankan bobot akademik sehingga di rumah pun yang lebih mendominasi kehidupan anak-anak adalah pekerjaan rumah (PR). Kita pernah membahas bahwa anak-anak sangat memerlukan waktu yang santai, yang menyegarkan, yang membuat dia akhirnya bisa berfungsi dengan lebih bebas. Selain dari kesempatan bermain yang dapat mengembangkan kreatifitas juga keterampilan bergaulnya, nah hal-hal itu memang sangat berkurang dalam kehidupan anak-anak dewasa ini. Jadi saran saya, setelah anak mengerjakan tugasnya dan kita tahu dia sudah mencoba, jangan lagi terlalu dipaksa. Bermainlah dengan anak, berguraulah dengan anak, ciptakan suasana rumah yang lebih santai sehingga anak merasakan perbedaan yang besar antara sekolah dan rumah. Jangan sampai dia tidak betah di sekolah, juga tidak betah di rumah, itu sebabnya kalau usia sudah meningkat lebih dewasa atau masa-masa remaja dia tidak betah di sekolah, dia betah di mall, di jalan-jalan sama temannya. Jadi ciptakan suasana rumah yang lebih santai, berguraulah, ngobrollah dengan anak-anak, bermainlah dengan anak-anak, ini adalah hal-hal yang sangat tidak menegangkan anak. Anak-anak yang santai diterima orang tua seperti ini justru lebih mempunyai energi untuk belajar. Anak-anak yang terlalu dipaksa-paksa melebihi kemampuannya, tenaganya habis sehingga semakin tidak konsentrasi untuk belajar, apalagi kalau berlangsung tahun demi tahun.
IR : Tapi kalau sebaliknya, Pak Paul, ada anak yang selalu minta diajari itu bagaimana kira-kira?
PG : Kalau anak minta diajari, memang pertama-tama kita harus menyediakan diri kita, kita tidak langsung berkata jangan atau tidak mau. Kita harus tahu dulu apa duduk masalahnya, sehingga anak ni tidak mengerti pelajarannya.
Kalau memang dia tidak mengerti dan kita sudah menanyakan pada gurunya kalau di sekolah dia mendengarkan, tapi di rumah tidak bisa mengerjakan tugasnya, nah kita ingin tahu apakah kalau kita menjelaskannya dengan cara yang lain si anak bisa mengerti. Kalau si anak ternyata mengerti, kita mulai bisa menebak duduk masalahnya yaitu di kelas entah mengapa dia tidak mengerti apa yang dijelaskan oleh si guru, mungkin caranya yang berbeda. Di rumah dengan cara misalkan yang lebih konkret atau apa si anak bisa mengerti, nah untuk itulah kita perlu memberikan penjelasan-penjelasan kepadanya, supaya nanti waktu dia di sekolah dia lebih bisa menggunakan pola pikir yang telah kita berikan untuk mencerna pelajaran yang diberikan di sekolahnya. Berikutnya kepada anak kadang-kadang meminta mamanya untuk mengajari dia, sebetulnya anak memerlukan sosialisasi, dia sudah lelah di sekolah belajar sendirian, tidak bisa kerja sama dengan teman. Di rumah dia ingin sosialisasi dengan orang tuanya tidak bisa, orang tuanya berkata duduk di sana kamu belajar, berarti apa dia disekolahkan lagi di rumah, maka ada kalanya teriakan atau permintaan anak "temani saya belajar", bukannya terlalu bersifat akademik tapi lebih bersifat emosional. Anak meminta Mama untuk dekat, untuk bisa bersama-sama dia, sebab kalau tidak mamanya tidak menemani dia atau papanya tidak menemaninya, sibuk dengan kesibukan masing-masing dan dia terpaksa harus sekolah lagi di rumah selama 3 jam begitu.
IR : Apakah itu anak yang ambisi Pak Paul, yang mengatakan saya besok ulangan Ma, ayo Ma aku diajari?
PG : Kalau anak-anak itu meminta dukungan mamanya untuk ulangan besok, saya bisa menafsirkan itu dari dua sudut. Yang pertama memang dia memerlukan kedekatan dengan mamanya, dia merasa ada kontk sosial ketika mamanya ada disampingnya.
Kedua mungkin sekali dia mendapatkan bantuan dari mamanya, jadi si mama berhasil memberikan dia, baik itu kekuatan moral atau penjelasan-penjelasan intelektual yang menolong dia lebih memahami pelajarannya. Hal-hal itu memampukan dia untuk melakukan tugasnya dengan baik.
GS : Kalau sejak dini tidak punya rasa percaya diri yang bagus, lalu dia beranjak menjadi remaja apakah rasa percaya dirinya itu bisa goyah karena sesuatu masalah?
PG : Kalau saya boleh bagi kepercayaan diri itu dari 3 sumber seperti yang telah kita bahas pada pertemuan yang lampau, saya akan membaginya dalam 3 kategori. Sumber pertama untuk percaya diri nak adalah prestasi akademiknya, sumber yang kedua adalah penampilan fisiknya dan yang ketiga adalah kemampuan bergaulnya, diterima atau tidak di dalam pergaulan.
Yang pertama adalah dasarnya, anak-anak pada masa usia di bawah 12 tahun (SD) sangat menumpukan kepercayaan dirinya pada keberhasilan akademiknya. Namun pada masa remaja modal itu tidak cukup, dia perlu dua modal yang lainnya, dua tonggak yang lainnya yakni penampilan fisiknya dan juga keterampilan bergaulnya. Kalau saya boleh bagi dalam prosentase, 30% untuk masing-masing itu semuanya, Pak Gunawan, jadi anak-anak yang berhasil secara akademik dia telah memiliki modal 30% untuk menumbuhkembangkan kepercayaan dirinya. Waktu nanti dia bisa mengembangkan tubuh yang baik, wajah yang lumayan itu menambahkan 30% lagi. Kalau kebetulan juga dia luwes bisa bergaul dengan baik dan diterima oleh teman-temannya itu 30%nya lagi, sehingga semuanya itu akan mencakup kepercayaan dirinya.
GS : Tapi yang jadi masalah yang kedua berkaitan dengan penampilan dirinya, bukankah itu dibawa sejak lahir, Pak Paul?
PG : Harus saya akui bahwa penampilan diri berdampak, maka tadi saya kategorikan itu sebagai salah satu sumber pemberi kekuatan kepercayaan diri anak. Kalau memang dia misalnya terlalu besar tuuhnya dan justru sejak dari masa-masa remaja dia jadi bahan ejekan, olok-olokan teman, akhirnya itu akan menggerogoti kepercayaan dirinya.
Meskipun misalnya sebelumnya dia telah berhasil menumbuhkembangkan kepercayaan diri yang positif atas dasar prestasi akademiknya, begitu dia memasuki tahap remaja dan penampilan tubuhnya itu tidak disambut malah dikritik dan diolok-olok,itu bisa akhirnya menggerogoti kepercayaan diri sudah ada pada dirinya. Malah membuat dia misalnya terkesan ragu-ragu, susah untuk konsentrasi di kelas atau enggan ke sekolah atau mulai mengaitkan sekolah dengan sesuatu yang pahit, yang tidak enak sehingga dia menjadi malas ke sekolah. Mudah-mudahan dia mendapatkan dorongan-dorongan dari temannya atau dari keluarganya, sehingga dia tetap berani untuk ke sekolah dan menghadapi olok-olokan temannya itu.
GS : Mungkin itu akan bisa ditutupi, katakan itu dengan prestasi akademiknya dan mudahnya dia bergaul dengan teman-teman yang lain sehingga diterima oleh lingkungannya.
PG : Tepat sekali Pak Gunawan, sehingga anak-anak akhirnya harus sedikit banyak berkompensasi dari kekurangan yang satu pada kelebihan yang satunya, itu akan lebih menyeimbangkan kepercayaan diinya.
Namun saya tetap harus berkata bahwa kekurangan pada salah satu tonggak tersebut tetaplah kekurangan, misalnya dalam hal penampilan diri meskipun secara sosial dia diterima, baik kemampuan bergaulnya yang luwes, prestasi akademiknya juga lumayan, tetapi dalam hal penampilan diri dia tetap akan merasakan lebih banyak keragu-raguan. Dia misalnya tidak begitu berani untuk mendekati lawan jenisnya, tetap itu merupakan defisit dalam pertumbuhannya, tapi akan sangat terobati dengan keberhasilan dalam 2 bidang yang lainnya.
GS : Atau dia menggunakan pakaian atau asesoris yang lain untuk menutupi kekurangannya itu, Pak Paul?
PG : Bisa jadi, kadang-kadang memang orang yang lebih banyak defisit atau kekurangannya cenderung "over-acting", lalu memakai asesoris yang terlalu berlebihan.
GS : Di situ bisa terjadi kesalahpahaman lagi dengan orang tua, Pak Paul. Masalahnya kita sebagai orang tua harus bersikap bagaimana kalau sudah begitu?
PG : Saya kira sebaiknya kita munculkan. Kalau memang kita melihat anak kita memiliki kekurangan secara fisik, kita munculkan bahwa orang mungkin melihat engkau kurang dalam hal misalnya tubuhm terlalu kurus atau terlalu kecil atau terlalu besar atau matamu terlalu sipit atau terlalu besar.
Orang tua sebaiknya memunculkan kekurangan anak dengan santai, jangan membuat itu sesuatu yang menegangkan, kemudian berkata tapi tidak berarti engkau jelek. Bahwa engkau itu mempunyai kekurangan dalam hal A atau hal B, tidak berarti dalam semua hal engkau kurang dan engkau tidak dinilai berdasarkan hal A atau hal B belaka. Engkau dinilai oleh orang berdasarkan hal-hal yang lain misalnya keramahanmu, kesiapanmu menolong orang, kerajinanmu, ketabahanmu, kepandaianmu, itu semua hal-hal yang orang akan hargai dan begitu banyak hal yang orang hargai tentang dirimu. Dan bukankah teman-temanmu juga menghargaimu atas hal-hal itu, jadi kita munculkan dan kita sadarkan bahwa anak-anak kekurangan dalam 1 hal atau 2 hal tidak akan mengalahkan hal-hal yang baik misalnya yang berjumlah 10 sampai 20.
GS : Pak Paul, saya pernah mendengar suatu keluhan atau yang disampaikan oleh orang tua sebenarnya kita sebagai orang Kristen, tidak boleh percaya pada diri kita sendiri, tapi percayanya kepada Tuhan. Saya terus terang agak kurang sependapat, saya setuju tapi tidak setuju 100%. Itu bagaimana sebenarnya, Pak Paul?
PG : Saya kira prinsip yang tepat adalah kita gunakan dari Firman Tuhan; di kitab Amsal 3:5-6 yang ditekankan di situ adalah jangan kita itu menjadikan diri kita sebagai tolak ukurterakhir dalam menentukan langkah hidup kita.
Ada Tuhan yang menjadi penentu akhir, kita hanyalah orang yang mengerti sedikit, Tuhan yang mengetahui semuanya. Oleh karena itu, Dia minta akuilah jalanmu maka Ia akan meluruskan jalanmu, akuilah Tuhan dalam segala aspek kehidupanmu artinya kita memang menyadari Tuhanlah yang menjadi penentu akhir. Kepercayaan pada diri berarti kita mengerti kesanggupan kita dan ketidaksanggupan kita, kesanggupan kita pun secara spesifik kita mengerti berapa sanggupnya kita. Kita menyadari dan menerima ada orang yang lebih sanggup dari kita, atau kita menyadari sedikit lebih sanggup dari yang lain, jadi semakin tepat kita menilai diri kita dan menerimanya semakin percayalah kita pada diri kita. Tidak berarti atau bertentangan dengan kita percaya pada Tuhan, sebab kita tahu Tuhan yang tetap menentukan semua yang kita miliki, kesanggupan yang telah kita punyai, itu pun pemberian Tuhan. Jadi memang keduanya tidak harus bertentangan, orang yang mempercayai diri tetap bisa bertumpu pada Tuhan yang memelihara dan menentukan hidupnya, kepercayaan dirinya itu tidak mengeluarkan/mengesampingkan Tuhan dalam keputusan-keputusan hidupnya.
(2) IR : Bagaimana Pak Paul kalau kita menghadapi anak yang beberapa kali gagal sehingga dia kadang-kadang putus asa, sebagai orang tua sikap apa yang kita berikan pada mereka?
PG : Pertanyaan yang baik sekali Ibu Ida, kita ini sebetulnya sudah termakan oleh budaya kompetisi, begitu termakannya kita, sehingga menurunkan suasana kompetisi itu di rumah kita. Terutama paa anak-anak kita, sehingga tanpa kita sadari kita lebih sering memperlakukan anak-anak seperti kuda pacu.
Kalau berhasil kita senang, berteriak hore..hore, bila anak kita tidak menang kita kecewa sekali. Yang penting sebagai orang tua kita menerima kegagalan anak dengan lapang, jangan sampai kita memberikan sikap yang berlebihan, seolah-olah kegagalannya dia masuk ke sekolah A misalnya menjadi pertanda buruk bahwa sepanjang hidup nasibnya itu sudah tentu buruk, tidak akan ada lagi keberhasilan yang akan dicicipinya atau kegagalan dia untuk naik kelas kita katakan itu seolah-olah pertanda anak yang paling bodoh. Jadi janganlah kita memberi sikap yang berlebihan pada kegagalan anak, kita harus menerimanya. Yang penting kita tekankan engkau telah mengerjakan tugasmu, kalau memang dia tidak mengerjakan tugasnya dengan penuh tanggung jawab itu bagian yang kita soroti, apakah memang dia kurang bertanggung jawab dan perlu lebih rajin, jadi sekali lagi kita soroti pada aspek perbuatannya. Kalau tidak hati-hati kita terlalu mengatakan dia bodoh makanya tidak naik kelas, dia akhirnya akan mengidentikkan kata gagal dengan dirinya. Jadi kalau dia ingat tentang dirinya kata yang pertama kali meloncat adalah takut gagal, percayalah yang dia hasilkan bukan potensi maksimalnya, justru potensi yang sangat jauh dari kemaksimalannya. Dia makin takut mengeluarkan kebiasaannya untuk mencoba karena dia takut gagal. Jadi sekali lagi peluklah anak waktu dia gagal, kalau perlu tegur pada perbuatannya namun dorong dia melakukan apa yang dia sanggup lakukan.
IR : Kalau sebaliknya Pak Paul, anak yang sebenarnya tidak mampu dan orang tua mengetahui anak-anak ini tidak mampu, tapi dia mempunyai cita-cita yang menurut orang tua tidak mampu, bagaimana sikap kita?
PG : Kita bisa berkata cita-citamu itu sangat tinggi dan sangat baik. Papa, Mama akan senang sekali kalau engkau bisa mencapainya. Jadi yang saya katakan di sini adalah kita jangan terlalu cepa memadamkan semangat anak, jadi biarkan anak menargetkan sesuatu yang tinggi.
Silakan kamu coba, Papa, Mama ada di belakangmu. Tapi misalkan dia sudah gagal beberapa kali dia coba, mungkin kita bisa berkata Tuhan tidak memberikan karunia yang sama pada setiap orang, memang temanmu atau saudaramu memiliki karunia itu, tapi Tuhan tidak memberikan kepadamu berarti kita harus menerimanya bahwa ini memang bukanlah karunia Tuhan, artinya ada yang lain, yang kau bisa kerjakan ayo kita cari yang lainnya itu. Jadi kita mengajak anak mengeksplorasi karunia Tuhan yang sudah diberikan kepadanya, sehingga dengan cara itu anak akan kita salurkan ke karunia yang lebih tepat untuknya.
GS : Jadi rasa percaya diri itu saya rasa memang penting sebagai bekal untuk dia memasuki masa dewasanya juga, Pak Paul?
GS : Dalam hal ini Firman Tuhan berkata apa, Pak Paul?
PG : Saya akan bacakan dari Amsal 13:4, "Hati si pemalas penuh keinginan, tetapi sia-sia sedangkan hati orang rajin diberi kelimpahan." Penekanannya di sini adalah pemalas anyak keinginannya, tapi sia-sia karena dia tidak akan mau dan berusaha untuk meraihnya, sedangkan orang yang rajin akan memiliki banyak karena dia rajin bekerja untuk mendapatkannya.
Saya kira lebih penting dari kepandaian atau apa, yang perlu kita tanamkan pada anak adalah bahwa dia bisa maju, dia mempunyai kewajiban dan mencoba. Nah itu lebih penting dari prestasinya, selagi dia masih mau mencoba, dia punya kerajinan dia akan percaya bahwa dia bisa maju, dia bisa melangkah ke depan. Yang berbahaya adalah kalau anak sudah beranggapan saya tidak akan bisa maju, saya memang tidak mempunyai kemampuan untuk melangkah, itu akan mematikan dia.
GS : Firman Tuhan yang sudah dibacakan pasti akan menjadi dasar yang sangat kuat, landasan yang sangat kuat untuk mengembangkan cara-cara menumbuhkan percaya diri pada anak. Demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi kami telah persembahkan sebuah perbincangan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang beberapa kiat untuk menumbuhkan rasa percaya diri. Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK, Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.