Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerja sama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya Stella akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, MK. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini mengenai topik "Melindungi Anak dari Jerat Dunia Digital". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
St : Pak Sindu, belakangan ini dunia digital makin marak bahkan di dunia anak-anak. Anak-anak pun tidak lepas dari yang namanya dunia digital. Saya pernah mendengar beberapa waktu ini bahwa pengusaha dari Apple atau Google tidak memperkenalkan komputer kepada anak-anaknya. Menurut Bapak apakah cerita itu ada kebenarannya atau bagaimana ?
SK : Iya, Bu Stella. Rupanya cerita itu benar. Saya sendiri sempat mengecek di berita internet, memang diekspose oleh Harian New York Times edisi 22 Oktober 2011. Disana diekspose berita yang kita bisa akses lewat internet bahwa rupanya para arsitek dan pekerja perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang komputer dan semikonduktor yang berada di Silicon Valley daerah California, America Serikat, untuk sentra industri komputer, menyekolahkan anaknya di sekolah yang bernama Waldorf School, dimana tidak menyediakan komputer untuk para siswanya.
St : Begitu ya, Pak? Apa yang dimaksud dengan industri yang bergerak di bidang komputer dan semikonduktor? Industri apa ?
SK : Seperti Apple, Google, Intel, Hewlett-Packard, Yahoo dan banyak perusahaan yang bergerak di bidang teknologi informasi dan alat-alat fisik yang mendukung dunia teknologi informasi.
St : Jadi bukan sekadar perusahaan biasa ya, Pak, tapi perusahaan besar ya?
SK : Betul! Yang menarik dari berita tersebut adalah baru kelas 3 SMP, sekitar usia 15 tahun, para siswanya secara perlahan mulai belajar mengenal komputer.
St : Oh... sudah usia lumayan remaja ya, Pak?
SK : Iya, betul. Memang di sekolah Waldorf itu dari TK sampai kelas 2 SMP lebih ditekankan pada eksplorasi kegiatan fisik. Olah raga dan keterampilan menggunakan tangan, berkreasi kreatifitas dengan pekerjaan tangan menggunakan pena dan kertas, menggunakan jarum rajut dan tanah liat. Sama sekali tidak ada komputer, tidak ada layar LCD.
St : Kira-kira apa alasannya yang membuat mereka tidak menggunakan komputer di sekolah ?
SK : Ini memang melawan arus ya, Bu Stella. Rupanya para petinggi dari sekolah Waldorf ini meyakini bahwa komputer itu memang tidak cocok untuk membentuk anak di usia-usia pendidikan dasar 0-15 tahun. Jadi usia 0-15 tahun itu sebagai bagian dari pendidikan dasar lebih perlu difokuskan pada pengembangan pola pikir kreatif anak, pola keterampilan berelasi, pola keterampilan fisik. Tiga hal inilah yang perlu jadi tekanan dan komputer akan hanya menjadi penghambat bagi pengembangan dari tiga aspek anak ini.
St : Jadi kebalikan sekali ya dengan anak-anak di Indonesia saat ini.
SK : Iya, betul. Jadi bisa kita bayangkan ya anak kelas 6 SD di sekolah Waldorf gagap teknologi tidak bisa mengakses Google. Padahal orang tua mereka adalah pejabat di perusahaan Google ! Ini kebalikan dengan anak-anak di Indonesia ya. Usia 4-5 tahun saja sudah canggih buka-buka internet.
St : Betul sekali, Pak.
SK : Bisa saya tambahkan, Bu Stella ?
St : Ya, Pak.
SK : Ada data singkat, Di Perancis murid SD - SMP dilarang menggunakan ponsel di sekolah. Sedangkan di Jerman dan Finlandia, anak-anak dibatasi dalam menggunakan ponsel. Disini kita semakin diteguhkan, bukan hanya Amerika Serikat, tapi juga di Perancis, Jerman dan Finlandia yang notabene negara maju ini malah membatasi penggunaan perangkat digital bagi anak-anak.
St : Apa sebenarnya bahaya perangkat digital ini bagi otak anak ?
SK : Masa 0-3 tahun adalah masa kritis pembentukan otak, Bu Stella. Jadi yang lebih dibutuhkan pada masa keemasan pembentukan otak 0-3 tahun ini adalah rangsangan atau stimulasi sentuhan kasih sayang dari orang tua terhadap anak-anak mereka. Dan sentuhan kasih sayang itulah, kehadiran yang penuh kasih sayang, interaksi yang penuh kasih sayang, itulah yang akan mengaktifkan otak emosi dan otak relasi sosial anak-anak kita.
St : Jadi kalau mereka yang sudah diperkenalkan pada dunia digital sejak usia dini, kira-kira apa dampaknya, Pak ?
SK : Anak itu notabene suka sensasi fisik yang menarik ya. Dunia digital itu, mungkin lewat layar TV, komputer, tablet atau gadget, rangsangan warnanya banyak ya, gambarnya bergerak, ada banyak bunyi-bunyian.
St : Iya, betul. Memang menarik sekali.
SK : Betul. Dan itu membuat anak-anak balita akan terhipnosis atau tersedot perhatiannya. Ketika dilepas, maka dia akan menangis. Maka orang tua yang tidak mengerti akan mengijinkannya dan akhirnya ini menimbulkan kecanduan di usia dini. Akibatnya, mungkin orang tua merasa aman. "Sudahlah, berikan TV saja. Beri komputer tablet saja. Beri gadget saja biar dia tenang, saya bisa fokus pada pekerjaan atau hobi saya sebagai orang dewasa." Akibatnya ketika orang tua abai dengan kebutuhan anak sesungguhnya untuk menstimulasi lewat relasi sosial dan lewat stimulasi emosi ini, maka sel-sel syaraf anak yang berkenaan dengan emosi dan relasi sosial akan terhambat, tidak berkembang, bahkan mengalami kerusakan.
St : Jadi perkembangannya itu terhenti ya, Pak?
SK : Betul. Akibatnya, tidak heran situasi yang miris akan terjadi. Anak-anak kita yang demikian itu nanti akan kelihatan di masa SD, SMP, SMA, akan menjadi anak yang gagap emosi. Jadi bukan gaptek ya. Mungkin kalau diplesetkan menjadi Gap-Em atau gagap emosi. Artinya dia tidak bisa mengenal emosinya. Dia tidak bisa membaca dia sedang marah, sedih, galau, atau pokoknya tidak enak. Maunya marah, tidak bisa baca emosi diri. Akibatnya dia kesulitan membaca emosi dan perasaan orang lain.
St : Jadinya pribadi yang asosial ya Pak?
SK : Tepat! Dia akan bermasalah untuk berelasi dengan orang lain, tidak nyambung terus ketika berelasi berkomunikasi dengan orang lain.
St : Jadi kemampuan berelasi dan kemampuan membaca emosi sangat terhambat. Bagaimana dengan kemampuan berpikir kreatifnya, Pak?
SK : Bukan hanya otak emosi dan otak relasi sosial, tapi boleh dikatakan otak kreatifitasnya atau otak berpikir abstrak anak kita yang sudah terekspose dunia digital sejak dini dan akhirnya kecanduan, akhirnya akan terhambat juga. Dia menjadi anak yang berpikiran linier. Dia kesulitan untuk diajak berpikir kreatif.
St : Contohnya seperti apa, Pak?
SK : Beberapa waktu lalu saya punya pengalaman riil, Bu Stella. Saya berjumpa kembali dengan guru SMP saya. Guru yang setia mengajar matematika SMP dari dulu hingga sekarang. Guru ini mengeluh kepada saya bahwa beberapa tahun belakangan ini para siswa di SMP almamater saya ini berubah kondisinya. SMP almamater saya ini memang dari dulu sangat menekankan aspek pelajaran matematika. Jadi ilmu-ilmu jaman dulu tentang aljabar lama, ilmu ukur, itu diberi porsi tersendiri. Dan beberapa tahun ini guru ini mengamati bahwa siswa sekarang kesulitan ketika diberi soal ulangan yang sedikit dimodifikasi dari soal-soal yang dilatih di kelas. Jadi maunya para siswa ini dapat soal yang persis seperti yang di latihan PR atau di kelas.
St : Jadi kalau ada modifikasi sedikit, misalnya angka-angkanya berubah atau cara-caranya yang berubah, mereka menjadi bingung?
SK : Betul. Jadi kalau diangkakan, sekarang ini maksimal hanya 30% anak yang mampu berpikir sedikit bervariasi ketika diberi soal ulangan. Ini berkebalikan dengan sekian tahun yang lalu justru 70% anak mampu menjawab dengan baik ketika diberi soal yang sedikit dimodifikasi. Jadi sekarang menurun! Malah kebalikannya, 70% malah tidak mampu. Dan guru matematika ini mensinyalir ini gara-gara anak sudah keranjingan dunia digital termasuk di antaranya dunia game elektronik.
St : Kalau begitu ternyata dunia digital dan elektronik ini sangat berbahaya ya.
SK : Betul, Bu Stella. Kita bukannya lalu bersikap antipati ya, bukan membuang semuanya dan menjadi orang yang kuno dan tidak ada interaksi dengan dunia digital. Tentunya tidak demikian.
St : Kalau menurut Bapak, perlindungan yang bagaimana untuk anak-anak supaya mereka tidak terlalu terekspose dengan dunia digital atau komputer ini ?
SK : Pertama, cara melindunginya adalah dengan mengulur waktu sejauh mungkin anak untuk terekspose dengan gadget ataupun dengan game elektronik.
St : Maksudnya menunda sampai usia berapa, Pak ?
SK : Kalau bisa sedapatnya barulah usia 8-9 tahun. Mungkin kira-kira kelas 3-4 SD paling cepat anak mulai berkenalan dengan dunia digital lewat gadget atau game elektronik. Atau kalau ditoleransi lebih dini lagi, paling cepat sebaiknya usia 6 tahun atau kelas 1 SD. Karena kembali, usia 0-5 tahun itu masa keemasan pembentukan otak.
St : Jadi kalau anak masih terlalu kecil, mereka juga tidak memahami batasan-batasannya, tidak tahu mana yang benar mana yang tidak, mana yang bagus mana yang tidak. Seperti itu, Pak?
SK : Betul. Jadi ketika usia 8-9 tahun perkembangan otak anak secara umum anak sudah lebih bisa memahami instruksi, memahami alasan-alasan yang nantinya dijelaskan orang tua kenapa dibatasi, dan anak lebih bisa menjaga dirinya ketika usia 8-9 tahun itu.
St : Jadi sudah ada kesadaran diri yang lebih, begitu ya Pak ?
SK : Betul.
St : Kalau begitu bagaimana peranan orang tua dalam masa-masa yang belum diperkenalkan gadget, biasanya itu juga adalah salah satu bentuk orang tua memberi permainan kepada anak-anaknya. Bagaimana itu, Pak ?
SK : Dalam hal ini, dari usia 0-9 tahun sepanjang ketika anak belum diperkenalkan dengan dunia gadget dan game elektronik adalah masa-masa keemasan ayah dan ibu untuk mengisi tangki cinta pada anak-anak mereka. Anak itu diciptakan Tuhan dengan kebutuhan cinta yang utuh. Cinta yang utuh ini maksudnya punya dua sisi. Sisi yang pertama adalah sisi kasih sayang, belaian, kehadiran, ditemani, bermain, ditepuk-tepuk, diberi sentuhan fisik yang sehat, dikecup. Kemudian sisi yang lain dari cinta yang utuh adalah sisi arahan, disiplin, batasan. Inilah yang akan membentuk struktur hidup anak. Kalau usia 0-9 tahun melimpah dengan hal itu, anak akan punya struktur dan pondasi yang kokoh untuk nantinya siap diperkenalkan dengan dunia digital atau gadget dan game elektronik. Sisi yang lain selain 0-9 tahun diisi kasih sayang yang utuh, anak juga perlu diisi dengan ditemani bermain secara fisik oleh orang tua. Bermain yang mengembangkan sisi imajinasi, bermain yang mengembangkan relasi dengan orang lain. Jadi bermain bersama. Disinilah otak emosi dan otak relasi sosial anak berkembang dengan optimal sebelum diperkenalkan dengan dunia digital. Itu akan membuat anak tidak mengalami penyimpangan. Sudah lebih siap untuk nantinya berkenalan dengan gadget atau game elektronik.
St : Jadi dengan adanya struktur hidup yang lebih kokoh mereka juga bisa membatasi diri dan terhindar dari potensi kecanduan alat-alat elektronik itu?
SK : Betul. Dan anak pun akan lebih bisa menikmati bahwa akhirnya bermain game elektronik atau gadget itu hanya secuil dari kepuasan hidup ini. Kepuasan sudah banyak dinikmati dan dia ingin terus nikmati di dalam relasi dengan orang tuanya, relasi dengan teman-temannya, secara fisik atau kasat mata.
St : Jadi ini seperti edukasi kepada anak-anak bahwa permainan elektronik itu hanyalah salah satu dari bentuk permainan-permainan yang ada.
SK : Betul. Hal yang kedua, melindungi anak dari dunia digital adalah dengan orangtua membatasi waktu penggunaan. Ini penting sekali.
St : Contohnya bagaimana waktu itu bisa dibatasi?
SK : Misalnya untuk menonton TV. Dari kecil anak menonton TV mungkin masih tidak apa-apa. Anak balita dipertontonkan acara lewat layar TV, tentunya acaranya sesuai usia yang bebas dari unsur seks, kekerasan dan mistik. Yang kedua, sebaiknya menonton TV maksimal satu jam dalam sehari dan itu tayangan tanpa iklan. Jadi tontonlah acara TV berbayar yang tanpa iklan atau tayangan DVD karena juga tanpa iklan. Karena dengan adanya iklan itu akan mendistraksi pikiran atau konsentrasi anak yang membuat anak sulit konsentrasi karena adanya iklan yang muncul itu.
St : Jadi iklan itu memperpendek konsentrasi anak karena banyaknya pergantian yang begitu cepat ?
SK : Betul. Itu untuk TV.
St : Bagaimana untuk game elektronik?
SK : Untuk game elektronik sebaiknya hanya sehari dalam seminggu. Jadi selama 7 hari hanya diberi jatah waktu satu hari untuk main game elektronik.
St : Jadi diwaktu mereka libur sekolah ya ? Misalnya hari Sabtu atau Minggu.
SK : Betul. Pilih hari Sabtu atau Minggu. Tujuannya apa ? Beda dengan TV, game lebih besar rangsangan untuk kecanduan. Jadi walaupun tiap hari diberi satu jam, anak tidak puas. Karena game-game tertentu itu berkelanjutan. Kalau dipotong malah penasaran. Jadi lebih baik ditumpahkan satu hari dalam satu minggu silakan main game. Tentunya pada saat seperti itu orang tua tetap memantau ya. Sesekali dipecah konsentrasinya. Ayo diajak keluar, diajak bermain fisik, bermain sosial. Sehingga sekalipun diberi jatah satu hari tapi tidak 24 jam penuh bermain game elektronik. Itu strategi orang tua.
St : Bagaimana dengan penggunaan ponsel, Pak ?
SK : Untuk ponsel, sedapat-dapatnya jauh lebih baik anak tidak pakai ponsel. Walaupun pakai ponsel karena alasan untuk komunikasi ketika harus dijemput, maka sebaiknya ponsel yang biasa saja, jangan smartphone. Karena smartphone itu bisa terekspose dengan banyak tayangan lewat wi-fi atau internet. Jadi kalaupun bisa, sedapatnya jangan pakai ponsel sampai sekitar kelas 5 SD. Itu jauh lebih aman. Kembali tujuannya untuk memperlambat kemungkinan anak terekspose dan mengalami kecanduan.
St : Perlindungan apalagi yang bisa dilakukan oleh orang tua ?
SK : Orang tua perlu mensosialisasikan latar belakang pemikiran orangtua kenapa melakukan pembatasan-pembatasan tadi.
St : Jadi diberi tahu alasan-alasannya kepada anak-anak ?
SK : Ya. Supaya begini, sistem nilai orang tua dipindahkan kepada anak lewat proses sosialisasi ini, dan ini bisa diulangi di waktu-waktu yang lain. Jadi kenapa ada batasan ? Menghindari kecanduan, gadget itu hanya salah satu alat bantu bukan pengisi kebutuhan emosi anak, game elektronik hanya salah satu dari banyak sekali permainan dan masih banyak permainan yang membangun, dan anak perlu diajar tentang batasan menjauhi konten yang mengeksploitasi unsur seks, kekerasan dan mistik. Dan anak perlu mengambil inisiatif menjauhi dan melapor kalau bertemu game yang mengandung hal-hal seperti itu. Inilah yang perlu edukasi orang tua pada anak.
St : Jadi selain edukasi, mungkin juga perlu kesepakatan orang tua dan anak tentang hal-hal mana yang boleh dimainkan atau ditonton dan sebagainya ?
SK : Betul. Orang tua perlu mensosialisasikan. Supaya dengan demikian standard orang tua akhirnya dimiliki anak. Dan ini bagian penyapihan dari segi emosi dan segi moral. Akhirnya moral dan batasan itu menjadi miliknya anak. Anak tumbuh menjadi pribadi yang bertanggung jawab.
St : Selain hal-hal tadi, apakah ada hal-hal lain yang bisa dilakukan oleh orang tua?
SK : Perlindungan yang bisa dilakukan berikutnya adalah hal-hal yang tadi tentang pembatasan waktu, tentang latar belakang pemikiran orang tua mengenai pembatasan itu sebaiknya dituangkan secara tertulis dalam bentuk kesepakatan bersama yang ditandatangani anak dan orang tua.
St : Seperti surat perjanjian, Pak ?
SK : Betul ! MOU (Memorandum of Understanding). Kalau perlu dibuat pigura dan ditempel di tembok dan bisa diperbaharui beberapa bulan sekali. Ini juga bagian dari pembentukan karakter anak. Rasa tanggung jawab, bisa dipercayai, penguasaan diri anak akan berkembang dengan modal seperti ini.
St : Jadi orang tua juga perlu memberi teladan yang baik pada anak sehingga anak juga tidak protes. "MOU-nya seperti ini tapi papa dan mama seperti itu !"
SK : Iya, betul. Jadi perlindungan yang lain seperti yang disampaikan Bu Stella, yakni orang tua sendiri perlu menjadi teladan bagi anak. Anaknya dibatasi, ya orang tua juga perlu membatasi diri. Ini memang penyangkalan diri ya. Tapi inilah cara yang perlu kita ambil. Harga yang perlu kita bayar untuk kualitas yang bagus. Yaitu ketika orang tua bersama anak, sebaiknya minimalkan membuka atau mengekspose gadget dan bermain game elektronik. Supaya anak tidak terpancing, "Papa dan mama kok main, kenapa aku tidak boleh ?"
St : Iya. Selain itu hal apa lagi yang bisa dilakukan oleh orang tua ?
SK : Orang tua sendiri sebaiknya perlu mengenal lebih dulu jenis-jenis game elektronik yang akan dimainkan anak atau yang sedang dimainkan anak.
St : Untuk apa orang tua perlu tahu ?
SK : Orang tua bisa mengecek game itu masih sehat atau tidak, bebas dari unsur eksploitasi seks, kekerasan dan mistik atau tidak ? Orang tua melakukan screening atau pensensoran lebih dulu. Dalam hal ini juga akan menolong mempermudah orang tua berkomunikasi dengan anak. "Ayo sudah selesai lho." "Masih belum selesai, Pa, masih lama." "Hei, papa tahu permainan itu lho. Tidak, itu bisa di-pause." Karena orang tua sudah tahu dan orang tua menyatakan itu kepada anaknya, anaknya akan jadi lebih menurut dan patuh. "Papa dan mamaku tidak bisa dibohongi. Mereka sudah tahu apa yang aku mainkan ini."
St : Jadi perlu sekali orang tua aktif di dalam mendampingi anak baik secara relasi sosial maupun di dalam penggunaan gadget ?
SK : Betul. Jadi dalam hal ini kita ditolong, rupanya beberapa jenis game elektronik sudah menerapkan pola batasan usia. Seperti yang kita lihat film-film yang ditayangkan di layar bioskop ada kategori G (General / untuk segala umur), PG (Parental Guidance / Bimbingan Orang tua). Rupanya game elektronik juga sudah ada batasan usianya. Orang tua bisa cek di internet batasan usia untuk game-game yang dimainkan anak-anak kita. mari kita sesuaikan. Jadi selain orang tua mencoba lebih dulu, orang tua juga bisa melihat data yang ada di internet tentang jenis game dan apa batasan usianya.
St : Jadi perlu juga orang tua memiliki relasi yang dekat dan hangat dengan anak supaya anak juga mau mendengar apa yang orang tua sampaikan dan tidak memberontak.
SK : Betul. Memang seperti gambaran tadi, Bu Stella. Usia 0-9 tahun sebelum anak terekspose dengan gadget dan game elektronik, orang tua sudah mengisi tangki cinta anak. Dan pengisian tangki cinta ini tetap perlu terus dilakukan sejalan anak sudah mengenal game ataupun gadget dan dunia digital dengan ada batasan, tapi orang tua tetap harus menabur cinta yang utuh pada anaknya. Jadi hal itu nantinya akan membuat anak lebih mudah untuk diajak berdialog, diajak berdiskusi, juga diajak untuk membahas batasan-batasan yang berikutnya seperti apa dan anak tetap bisa berani percaya pada orang tuanya, tidak tipu-tipu, tidak menyembunyikan atau backstreet untuk melakukan sesuatu tanpa sepengetahuan orang tua karena orang tua sudah rajin menabur kasih sayang, penerimaan, dari sejak usia 0 tahun dan seterusnya.
St : Istilahnya orang tua memuridkan anak ?
SK : Ya. Dalam hal ini pemuridan orang tua pada anak itu vital. Dan pemuridan ini perlu dilakukan, kalau bahasa sekarang ini disebut secara intensional sadar dan sengaja. Jadi selain relasi yang baik itu tadi, orang tua perlu secara aktif mendampingi anaknya untuk bergaul dengan Tuhan lewat kehidupan doa, kehidupan dengan firman, pujian rohani. Jadi perlu ada bentuk-bentuk pemuridan intensional belajar Alkitab, belajar doktrin dan prinsip-prinsip firman dalam kehidupan riil anak. Dengan cara begini, dampak buruk dari dunia digital akan jauh diminimalkan dan anak punya satu filter dalam dirinya sendiri karena dia punya nilai-nilai kebenaran Allah yang sudah tertanam sejalan dengan relasi dengan orang tua.
St : Berbicara tentang kebenaran firman, apa kebenaran firman Tuhan yang melandasi pembicaraan kita ini, Pak ?
SK : Saya bacakan dari Kitab Amsal 29:17 yang berbunyi demikian: "Didiklah anakmu maka ia akan memberikan ketentraman kepadamu dan mendatangkan sukacita kepadamu." Firman Tuhan ini mengingatkan kita, kalau kita ingin tentram, sebagai orang tua kita ingin bersukacita, itu berarti kita harus tabur dulu sebelum menuai ketentraman dan sukacita menjadi orang tua, yaitu mendidik anak kita. Berani punya anak, beranilah jadi orang tua. Artinya terjun mendampingi anak, bertumbuh, belajar dan kita berproses bersama-sama dengan anak. Dari sanalah kita akan menuai ketentraman dan sukacita.
St : Terima kasih, Pak Sindu. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, MK. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Melindungi Anak dari Jerat Dunia Digital". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.