TELAGA 2016
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya, Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami terdahulu yaitu tentang "Masalah Suami Istri di Masa Tua". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lalu kita sudah memperbincangkan tentang masalah suami istri di masa tua. Kita masih akan melanjutkan karena masih ada beberapa penyebab lain yang bisa menimbulkan konflik di masa tua. Namun sebelum kita melanjutkan supaya para pendengar yang mungkin waktu itu tidak mendengarkan bisa mengikuti perbincangan kita ini, mungkin secara singkat Pak Paul bisa menguraikan apa saja yang sudah kita bicarakan itu.
PG : Pembicaraan ini muncul dari pengamatan bahwa memang banyak orang makin sering konflik di masa tua. Bukannya makin hari makin damai tapi makin sering konflik. Jadi kita coba melihat beberapa penyebabnya. Kita sudah melihat penyebab pertama adalah karena di masa yang lebih muda ada banyak masalah yang tidak terselesaikan akhirnya di usia tua masalah-masalah itu seperti gerbong kereta api yang muncul semuanya. Jadi, memang masalah terlalu banyak sehingga susah diselesaikan, akibatnya sering konflik. Penyebab kedua adalah ada orang-orang yang kurang mempersiapkan untuk hidup di hari tua. Misalkan secara finansial, misalnya bergantung pada anak saja nanti, anak bisa mencukupi kita, eh padahal nanti mungkin saja anaknya mau tapi tidak bisa karena keuangannya kurang cukup, atau dia mau tapi pasangannya tidak mau, akhirnya suami istri keteteran (ketinggalan di belakang) karena kurang persiapan. Dan yang ketiga kita juga membahas bahwa sering kali di usia tua, kebutuhan kita berubah. Yang dulu tidak kita butuhkan, sekarang kita butuhkan. Yang sekarang kita tak mau lagi terima, eh pasangan mau berikan kepada kita, akhirnya muncul konflik di hari tua.
GS : Pak Paul, mengenai perubahan kebutuhan – yang dulu tidak diinginkan dan sekarang diinginkan, itu memang bisa terjadi di masa tua. Ada sepasang suami istri yang sudah memasuki masa tua yang sepakat bahwa mereka tidak lagi tidur sekamar, Pak Paul. Bukan karena pertengkaran tapi karena kesepakatan. Istrinya bilang, "Saya ini butuh istirahat yang nyenyak tapi kamu tidur mendengkur keras sekali." Bagaimana ini, Pak Paul ?
PG : Saya akan terima, Pak Gunawan. Kenapa ? Karena memang di hari tua kita harus menyadari kebanyakan kita akan mendengkur, apalagi misalkan tubuh kita agak gemuk, tidak bisa tidak otot-otot di leher kita akan mulai merosot sehingga saluran pernafasan kita terganggu. Nah, ada yang memang bisa tahan tidak apa-apa mendengarkan pasangan mendengkur, tapi ada yang tidak bisa tidur sama sekali. Buat saya lebih baik ambil keputusan yang praktis itu, pisah tidur saja. Daripada nanti ribut-ribut atau daripada nanti tidak bisa tidur, sakit-sakitan, ya pisah dua kamar yang penting hubungannya tetap baik.
GS : Iya. Dia bilang, "Toh saya ini sudah tidak ada kebutuhan seks. Hanya butuh tidur yang nyenyak. Kalau tidur malam saja terganggu, saya tidak nyaman." Ternyata pasangannya juga memunyai pandangan yang sama. Jadi, mereka baik-baik berpisah. Tapi masalahnya bagaimana mereka mengatakan hal itu kepada anak-anak mereka, Pak Paul ?
PG : Saya kira beri pengertian, anak-anak pasti bisa mengerti. Memang bagi anak-anak itu tidak lazim, dulu papa mama tidur sama-sama kenapa sekarang tidak lagi. Ya memang karena perubahan-perubahan itu, Pak Gunawan. Contoh lain yang juga sering terjadi, ada orang yang makin tua makin sering terbangun dari tidurnya. Mau ke WC, mau kencing. Begitu dia bangun, pasangannya ikut bangun. Padahal pasangannya perlu tidur penuh 7 – 8 jam. Ada orang yang tidurnya 4 – 5 jam tidak apa-apa, ada yang tidur-bangun-tidur-bangun juga tidak apa. Tapi ada orang yang mesti tidur tak terputus selama 7 – 8 jam. Kalau dia tidak dapatkan tidur seperti itu, esoknya dia sakit-sakitan. Ini juga salah satu masalah. Jadi, daripada dipertahankan, tidak apa-apa tidur sama-sama, yang satu bangun 2-3 kali karena mau ke WC, yang satu ikut-ikutan bangun, nah lebih baik pisah ranjang atau pisah kamar sehingga tidak mengganggu yang satunya.
GS : Tapi hubungan mereka memang masih tetap baik.
PG : Betul. Jadi, pada usia tua tidak bisa tidak kita harus menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan ini.
GS : Iya. Apalagi penyebabnya, Pak Paul ?
PG : Penyebab kenapa di masa tua kita jadi lebih sering konflik adalah karena adanya perubahan kepribadian pada diri kita masing-masing. Diri kita yang sekarang bukanlah diri kita yang 40 tahun yang lalu. Apabila pada masa sebelumnya kita tidak bekerja keras menyatukan diri, maka pada masa tua kita akan terpisah. Singkat kata pada masa muda, seyogyanyalah kita berjuang untuk hidup bersama sehingga setiap perubahan yang terjadi bukan saja kita ketahui tapi juga kita mengikutsertakan pasangan kita di dalamnya. Saya berikan contoh ya. Ada orang yang pada masa mudanya itu ekstrovert, sering tertawa, mengobrol, sering bercanda dan sebagainya. Makin tua, dia makin introvert, makin tidak suka lagi tertawa-tawa, mengobrol dan sebagainya. Dia makin suka diam, kalau ada apa-apa dia juga tidak langsung bicara. Nah, pasangannya itu melihat dan menanyakan kepada dia, "Kok kamu berubah ?" Penting bagi yang berubah itu untuk bicara terus terang, "Iya. Tidak tahu kenapa ya, saya juga heran. Tidak tahu kenapa makin tua saya tidak terlalu mau lagi bercanda-bercanda, ngobrol-ngobrol. Sekarang lebih mau diam." Akhirnya apa yang harus dilakukan ? Yang satunya, karena mengerti, "Oke, pasangan saya sudah berubah, dia tidak terlalu suka mengobrol." Tidak apa-apa, dia mulai menyesuaikan diri. Kalau perubahan kepribadian ini tidak pernah dimunculkan, tidak pernah dibahas di usia tua, baru nanti dilihat dan baru nanti dikeluhkan, repot. Akan sering bertengkar.
GS : Karena ada orang mengira bahwa kepribadian itu tidak bisa berubah, Pak Paul.
PG : Kebanyakan kita berkata tidak bisa berubah. Ada hal-hal yang tidak bisa berubah, tapi sebetulnya ada hal-hal yang akan berubah sesuai dengan, misalnya pekerjaan kita. Ada orang-orang yang makin hari karena pekerjaannya menuntut dia untuk berpikir, tidak terlalu lagi banyak berbicara dengan orang, akhirnya setelah puluhan tahun bekerja, dia jadi orang yang berpikir daripada bercakap-cakap. Ada orang yang misalnya juga waktu mulai menikah keduanya lulusan perguruan tinggi, tingkat intelektualnya sama, minatnya sama, tapi dengan berjalannya waktu, si istri lebih banyak di rumah, lebih banyak memikirkan hal-hal yang praktis, sehingga cara bicara, sudut pandangnya menjadi lebih praktis, tapi suaminya tidak. Kalau dari awal tidak pernah dibicarakan dan disesuaikan, keduanya tidak pernah benar-benar berusaha mengakomodasi, nah masalahnya meledak di hari tua.
GS : Disitu diperlukan kepekaan dari pihak pasangan dan kejujuran dari pihak yang bersangkutan untuk bicara bahwa sebenarnya dia sudah berubah atau sudah mengalami perubahan itu.
PG : Betul. Salah satu contoh yang sering terjadi adalah kebergantungan, Pak Gunawan. Ada orang yang pada masa muda bergantung pada suaminya. Semua ditentukan suaminya. Tidak ambil keputusan sendiri, suaminya ambilkan keputusan buat dia. Dia oke saja. Tapi makin tua, makin tua, makin tua, dia merasa makin mengerti banyak hal, dia juga bukan orang yang bodoh, dia bisa melihat apa yang harus dilakukan, akhirnya tidak begitu perlu lagi suami untuk mengambilkan keputusan buat dia. Nah, di usia tua itulah dia baru bersuara dan dia mulai tidak setuju dan mulai bisa membantah si suami. Si suami marah. "Berpuluh tahun saya atur semuanya, kamu diam saja. Kenapa di usia segini kamu tidak terima, kamu marah dan sebagainya ?" Nah, memang seharusnya ini dibicarakan pada usia yang lebih muda selama proses itu berlangsung. "Saya memang berubah. Dulu memang saya bergantung padamu, semua kamu yang tentukan. Tapi makin tua, saya tidak lagi perlu kamu untuk ambilkan keputusan buat saya." Satunya tidak terima, "Kamu berubah. Kamu tidak hormat kepada saya." Atau, "Sekarang kamu seperti orang asing buat saya." Nah, itulah akibat daripada prosesnya atau dalam prosesnya mereka berdua tidak sempat membicarakan apalagi saling menyesuaikan diri.
GS : Tapi juga bisa terjadi sebaliknya ya. Yang tadinya tidak tergantung kepada pasangan, pada masa tua dia sangat tergantung kepada pasangan. Lalu pasangan mengatakan, "Dulu kamu bisa mengerjakan ini sendiri lho. Sekarang saya yang harus terlibat ?" Kalau tanpa pemberitahuan atau tanpa pengetahuan, ini juga dapat menimbulkan konflik.
PG : Betul. Bisa. Jadi, ada hal-hal yang kita mesti siap, bahwa kita dan pasangan memang tidak sama dan seyogianyalah kita tidak sama seperti dulu lagi, kita juga berubah. Maka dalam prosesnya itu kita seharusnya mengomunikasikan perubahan-perubahan itu sehingga mulai belajar menyesuaikan diri di masa lebih muda.
GS : Mengomunikasikan itu pun ada saatnya nanti kita akan tidak bisa mengomunikasikan itu kepada pasangan, Pak Paul. Misalnya karena keterbatasan fisik kita, kita tidak bisa bicara atau apa. Tapi kalau kita sudah biasa berkomunikasi, mungkin dengan isyarat, pasangan kita bisa mengerti.
PG : Ya, betul. Jadi, pertanyaannya adalah kalau memang itu kondisinya dari mudanya tidak pernah mengomunikasikan perubahan-perubahan kepribadiannya, nah pada masa tua baru sadar dan baru mau dibicarakan. Tidak bisa tidak, keduanya mesti siap seolah-olah membangun pernikahan yang baru, Pak Gunawan. Tidak bisa tidak. Dia mesti bertanya, "Jadi sekarang apa yang kamu inginkan ? Sekarang apa yang kamu butuhkan ?" dan masing-masing perlu belajar lagi saling menyesuaikan diri. Memang tidak gampang sebab sudah puluhan tahun. Tapi mesti ada kesiapan dan kesediaan untuk berkata, "Oke, saya mau belajar. Kamu juga belajar. Yuk, kita mulai lagi."
GS : Apalagi yang bisa menimbulkan konflik, Pak Paul ?
PG : Penyebab kelima kenapa pada masa tua kita lebih sering konflik adalah karena terjadinya perbenturan gaya hidup. Mungkin dulu kita lebih sering berada di luar rumah sehingga tidak begitu memerhatikan kondisi di dalam rumah. Nah, sekarang pada usia tua, kita lebih sering berada di rumah. Masalahnya adalah keberadaan kita di rumah membuat pasangan terganggu. Mungkin ada hal-hal yang kita tuntut darinya atau sebaliknya ada hal-hal yang ia tuntut dari kita. Mulai dari penggunaan kamar mandi sampai pada acara televisi, bisa berekor panjang, Pak Gunawan.
GS : Itu karena tuntutan masing-masing ya. Sebenarnya bisa diatasi.
PG : Seharusnya bisa. Tapi memang juga perlu saling pengertian. Karena memang gaya hidup itu bisa berubah. Kita dulu, misalnya yang laki-laki, sering pergi, kerja di luar, malam baru pulang, ya kita tidak begitu memerhatikan. Sekarang kita sudah pensiun, kita di rumah dari pagi sampai malam, nah, kita mulai memerhatikan. Kita perhatikan bunga di halaman, kita perhatikan dapur atau apalah, mulut kita mulai bicara, "Kenapa begini, seharusnya begini nih. Seharusnya kamu bersihkan…" Istri tidak terima, marah, "Puluhan tahun kamu tidak pernah mengurus hal-hal begini, kamu di luar terus, sekarang jangan mulai mengurusi ini. Dari dulu ini urusan saya." Akhirnya tengkar.
GS : Sebenarnya suami istri ini punya daerah teritori sendiri-sendiri yang tidak boleh dicampuri ya ?
PG : Seharusnya pada masa tua itu saling menghormatilah. Kalau memang sudah jadi bagian istri kita ya sudah jangan campuri lagi. Kalau sudah jadi bagian suami kita, ya sudah jangan campuri lagi. Karena bisa dua-duanya. Suami bisa mulai mencampuri tugas-tugas istri, istri juga bisa Pak Gunawan. Misalnya di hari tua, istri bicara tentang mobil. Suami berkata, "Dari dulu urusan mobil, yang bawa ke bengkel itu urusan saya. Jangan ikut campur." Si istri berkata, "Ya iya. Tapi ‘kan mobil ini seharusnya begini sekarang, kenapa kamu tidak mengurusnya ?" jadi sering ribut karena dua-duanya lebih sering di rumah. Dengan kata lain, perubahan gaya hidup ini akhirnya berbenturan.
GS : Ya. Mengenai hal itu, kalau kita bisa saling menghormati, sebenarnya tidak ada masalah. Kalau kita tahu, misalnya dapur, sebagai suami kalau tidak diminta ya tidak usah ikut-ikut urusan dapur. Juga istri mengenai mobil, dia boleh saja mengusulkan sesuatu kepada suaminya tapi tetap si suami yang memutuskan. Mau ganti mobil atau mau ke montir. Kalau dicampuri urusannya memang tidak enak, Pak Paul.
PG : Kalau begini kalau bisa keduanya menahan diri. Hormati teritori masing-masing. Yang biasa dikerjakan oleh suami yang biarkan dia kerjakan, yang biasa dikerjakan oleh istri ya biar dia kerjakan. Apa tidak boleh memberikan usul ? Boleh. Tapi bahasakanlah sebagai usul. "Boleh tidak saya berikan saran ? Saran saya begini. Tapi ya terserah kamu." Jangan memaksakan kehendak, harus mengaturnya sesuai selera kita, kalau kita tidak bisa mengalah, tetap mau mengurusi, tidak bisa tidak rumah akan jadi medan pertempuran.
GS : Atau sifatnya pertolongan saja, sewaktu dibutuhkan saja. Kadang-kadang ada yang telanjur. Suatu saat istrinya sibuk lalu suaminya diminta tolong untuk membantu di dapur. Tetapi pada saat yang lain, tidak terlalu sibuk, mestinya suami sudah tidak perlu mengurusi lagi. Tapi karena pernah membantu disana, dia mengerjakan itu seperti pekerjaan rutinnya. Si istri tersinggung.
PG : Bisa, Pak Gunawan. Sekali lagi perlu sekali saling pengertian, Pak Gunawan. Satu hal lagi yang berkaitan dengan gaya hidup adalah hobi, Pak Gunawan. Orang kalau sudah tua bisa saja mengembangkan hobi yang baru yang dulu tidak pernah dikembangkannya. Misalnya karena dulu dia repot tidak ada waktu, si istri juga repot mengurus anak. Sekarang sudah tua mulai ada hobi. Misalnya si istri sekarang hobi ikut teman-teman persekutuan-persekutuan atau reuni-reunian, rajin sekali, senang sekali. Suaminya tidak suka. Akhirnya sering tengkar karena suami berkata, "Kamu kok jarang di rumah, sering pergi-pergi." Atau si suami sekarang punya hobi baru yaitu pelihara burung. Satu tidak cukup, pelihara dua ekor. Dua tidak cukup, jadi tiga dan empat. Istrinya mengeluh karena begitu banyak kotoran di rumah. Disini diperlukan saling pengertian. Tidak bisa pokoknya saya mau, ya kamu harus terima, kalau kamu tidak terima ya itu salahmu. Tidak bisa begitu.
GS : Apakah memberitahukannya itu sebagai penyelesaian masalahnya atau sebelum kita melakukan hobi baru, Pak Paul ?
PG : Seyogyanya memang kita harus tanyakan. Misalnya, "Saya mau beli burung. Bagaimana ?" misalnya mau beli lebih dari satu, tolong tanya lagi. Disini diperlukan saling pengertian. Atau si istri senang kumpul dengan teman-teman SMP atau SMAnya, si suami bilang, "Bisa tidak kamu jangan terlalu sering pergi ?" Sekali lagi, diperlukan saling pengertian dan saling mengalah. Sebab kadang saya melihat juga, orang makin tua bukannya makin bisa mengalah, ada orang makin tua makin tidak bisa mengalah.
GS : Iya. Dan setiap hobi itu butuh dana, itu masalahnya. Pasti ada dana yang dikeluarkan. Suami pasti mikir-mikir juga. Atau istrinya juga mikir-mikir juga kalau suaminya mau pelihara burung sampai puluhan ekor padahal harganya mahal-mahal.
PG : Betul. Saya tahu seorang suami yang sudah pensiun, dia ingin menikmati hidup. Hobinya apa sekarang ? Audio. Dia dengarkan musik tapi mau dari alat audio yang luar biasa bagus berkualitas tinggi. Jadi, dia beli alat musik yang bagus-bagus. Ya tidak apa-apa kalau ada uang. Tapi kalau pas-pasan, hobinya begitu, ya tidak bisa tidak itu akan menimbulkan tekanan ekonomi. Jadi, perlu saling pengertian dan saling bicara.
GS : Iya. Masih ada lagi, Pak Paul ?
PG : Penyebab keenam mengapa pada masa tua kita lebih sering konflik karena kita mulai sakit-sakitan dan ini berarti gangguan serta beban bagi pasangan. Jika hubungan kita kuat, sudah tentu kelemahan fisik pasangan justru menjadi kesempatan bagi kita untuk merawatnya dengan kasih. Namun bila relasi kita tidak kuat, sakit-penyakit malah menjadi gangguan yang tidak disukai. Kita mengeluh dan menyalahkan pasangan. Dia pun tidak mau mendekat dan tidak sudi meminta bantuan kita sebab dia tidak ingin diomeli. Saya masih ingat waktu saya masih kuliah dan saya bekerja sebagai orang yang membersihkan rumah orang di rumah sepasang suami istri tua di Amerika. Saya masih ingat sekali, karena suaminya sudah mulai lumpuh, susah berjalan, kebanyakan di ranjang. Istrinya marah terus, marah terus, marah terus. Sehingga saya kasihan waktu si suami bilang pada saya, "Istri saya itu selalu memarahi saya." Jadi, saya memang harus mengurus, bantu-bantu bersih-bersih, karena istrinya tidak terlalu mau mengurusnya. Nah, karena saya sudah mulai tua, saya mulai mengerti juga, bisa jadi dulu hubungan mereka tidak begitu kuat, sekarang si suami sudah sakit-sakitan, si istri mesti mengurus dan dia tidak suka itu, karena mungkin juga si istri sudah ada rencana di hari tua mau berbuat apa, eh sekarang suaminya sakit-sakitan. Sekali lagi, tidak bisa tidak, kalau memang yang satu sakit itu akan memengaruhi yang lainnya. Semua rencana nantinya harus diubah, disesuaikan dengan kondisi pasangan yang sakit.
GS : Itu memang mengubah rancangan seperti yang pernah kita bicarakan ya. Kalau rancangan itu pernah kita bicarakan pada masa paruh baya – bukankah kita tidak mengharapkan ada yang sakit – namun ternyata waktu menjalani masa tua ini pasangannya sakit, bukankah rencananya ini harus berubah?
PG : Ya, harus begitu. Ada pasangan suami istri tua yang saya kenal. Si istri sebetulnya ingin ke gereja, terus ingin ke gereja. Tapi dia merelakan diri untuk di rumah sebab suaminya sendirian dan sudah tidak bisa jalan lagi. Memang bisa saja dia panggil orang untuk jaga, tapi dia tidak enak, dia tidak tega, dia harus merawat suaminya. Karena hubungan mereka dari dulu kuat, si istri memang rela melakukan itu. Tapi saya mengerti ini tidak mudah. Karena si istri benar-benar tidak punya kehidupan sosial, Pak Gunawan. Kami yang harus membesuknya, bicara dengan dia, sebab dia sendiri tidak bisa keluar lagi. Jarang dia bisa keluar sebab dia diperlukan untuk menjaga suaminya yang sudah sakit-sakitan.
GS : Tapi di antara suami istri itu tidak terjadi pertengkaran, Pak Paul ?
PG : Tidak.
GS : Karena istrinya memang rela.
PG : Iya, memang rela untuk itu dan hubungan mereka memang kuat, saling mengasihi. Jadi, kalau hubungan kuat, maka yang satu itu lebih rela untuk berkorban merawat yang sakit. Tapi kalau hubungannya tidak begitu kuat, hampir dapat dipastikan kalau ada yang sakit, masalahnya tambah besar, Pak Gunawan.
GS : Iya. Bukan hanya kalau pasangan itu yang sakit, Pak Paul. Ada kemungkinan juga kalau anaknya yang sakit dan harus tinggal serumah. Ini juga bisa menimbulkan pertengkaran suami istri.
PG : Betul. Bisa si anak sakit dan suami istri yang sudah tua harus mengurusinya. Atau yang di luar dugaan adalah anak kita bermasalah dalam pernikahannya sehingga sekarang pulang ke rumah, itu juga menimbulkan beban bagi orang tua.
GS : Bukan cuma beban, tapi antara suami istri bisa salah mengerti sehingga menimbulkan pertengkaran di masa tua mereka.
PG : Iya. Bisa, Pak Gunawan. Memang masa tua idaman kita, impian kita menjadi masa yang indah, kita bisa pensiun bersama, menikmati hidup bersama, tamasya bersama, tapi kita mesti siap menghadapi kenyataan bahwa tidak tentu begitu.
GS : Tetapi bagaimana kalau ada orang yang sudah lama berpisah dan pada masa tuanya kumpul lagi. Biasanya hubungannya baik atau kurang baik?
PG : Biasanya kalau sudah lama berpisah kemudian kumpul bersama lagi tidak bisa tidak perlu penyesuaian, Pak Gunawan. Atau misalnya perpisahannya dulu melibatkan banyak sakit hati, luka, nah waktu mereka bergabung kembali juga tidak gampang karena sakit hati itu mungkin masih ada dan perlu dibereskan.
GS : Iya. Apakah ada contoh di dalam Alkitab yang mengajar kita untuk mencegah atau mengurangi pertengkaran di masa tua ini, Pak Paul ?
PG : Di Kitab Lukas 10:25-37 Tuhan Yesus menceritakan perumpamaan orang Samaria yang baik hati. Kita tahu dalam perumpamaan itu si orang Samaria tetap menolong korban perampokan yang adalah orang Yahudi. Walau dalam kesehariannya, orang Samaria itu dipandang sebelah mata oleh orang Yahudi. Nah, dari pelajaran ini yang Tuhan katakan, kita bisa menarik kesimpulan yaitu terpenting adalah berilah pertolongan. Berilah pertolongan kepada orang, kepada pasangan kita yang sakit. Jangan kita mengingat-ingat perbuatannya di masa lampau. Biarlah dia memertanggungjawabkan perbuatannya kepada Tuhan. Yang penting adalah kita mengingat tugas kita. orang butuh pertolongan, kita bantu, kita tolong dia.
GS : Iya. Itu suatu tindakan yang mulia jadi kalau kita bisa memerhatikan orang lain apalagi ini pasangan hidup kita sendiri, ini sesuatu yang sangat penting. Apakah ada ayat firman Tuhan yang meneguhkan kita untuk makin mengasihi pasangan dan pasangan kita juga mengasihi kita ?
PG ; Saya akan bacakan dari Amsal 11:25, "Siapa banyak memberi berkat, diberi kelimpahan. Siapa memberi minum, ia sendiri akan diberi minum." Inilah pedoman bagi kita untuk hidup bersama pasangan di hari tua, Pak Gunawan. Makin banyak dan makin sering kita memberkati pasangan dengan hal-hal yang baik, makin banyak dan makin sering Tuhan melimpahkan kita dengan kebaikannya. Makin kita mengasihi pasangan, makin dia mengasihi kita pula. Jadi, pokoknya kita lakukan bagian kita. Tuhan minta kita memberi berkat, Tuhan meminta kita memberi minum, itu yang akan kita lakukan.
GS : Ya. Kiranya firman Tuhan ini menjadi pegangan dan pedoman bagi kita di dalam membina hubungan suami istri di masa tua. Terima kasih untuk perbincangan ini, Pak Paul.
GS : Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Masalah Suami Istri di Masa Tua" bagian yang kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.