Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerja sama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya Yosie, akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini adalah tentang "Kepribadian Obsessive Compulsive". Kami percaya acara ini akan bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Y : Pak Sindu, apa artinya kepribadian obsessive compulsive ? Dari namanya saja sepertinya jarang kita dengar, terutama saya masih belum mengerti apa artinya. Silakan, Pak Sindu.
SK : Kepribadian obsessive compulsive mengandung dua kata. Yang pertama kata "obsessive". Obsessive ini artinya satu ide yang terus diulang-ulang muncul dalam pikiran. Itulah kata obsesi atau muncul kata obsesif. Compulsive adalah satu perilaku yang diulang-ulang. Tadi ide, sekarang perilaku. Kemudian ada gabungannya kepribadian. Jadi, ini memang salah satu jenis gangguan kepribadian atau dalam bahasa Inggris disebut personality disorder. Ini berbeda dengan istilah dengan OCD (Obsessive Compulsive Disorder) gangguan obsesi kompulsi. Ini berbeda. Kalau ini adalah gangguan kepribadian. Mengenai gangguan kepribadian obsessive compulsive ini ditandai adanya pola keterpakuan, pola keterpusatan pada urutan kesempurnaan serta kontrol mental, pikiran, jiwa, dan kontrol relasi antar pribadi, relasi dalam berhubungan sosial yang bersifat menetap pada saat sesungguhnya diperlukan fleksibilitas, diperlukan keterbukaan dan efisiensi. Jadi, pada saat seseorang butuh luwes, fleksibel, terbuka, efisien, eh malah diri kita terpaku mengejar hal-hal urutan, kesempurnaan, kontrol diri, kontrol relasi, sehingga kita tidak fleksibel dan efisien.
Y : Lalu, apa ciri-cirinya seseorang bisa dikatakan memiliki gangguan kepribadian obsessive compulsive ?
SK : Minimal harus ada empat tanda atau empat gejala di antara delapan tanda yang nanti kita akan bahas.
Y : Baik, Pak. Kita bisa lanjutkan. Sepertinya menarik.
SK : Tanda pertama adalah adanya keterpakuan pada detail, keterpakuan pada aturan, keterpakuan pada urutan, keterpakuan pada organisasi, keterpakuan pada jadwal sehingga inti dari suatu kegiatan menjadi hilang.
Y : Jadi, esensinya malah terkaburkan dengan yang dikejar itu tadi ya ? Peraturannya, strukturnya, mungkin seperti itu ?
SK : Betul. Sederhananya, misalnya kita mau membuat surat lamaran kerja buat kita yang mau cari kerja. Kita ketik, setelah itu, "Aduh, komanya dimana ini ya ? Pakai tanda koma atau tidak ya ?" Kita gelisah karena sudah di-print, diperiksa-periksa lagi, diubah-ubah lagi, diketik lagi. Tanya orang lain. Oh, sudah, kirim. Setelah itu mau kita poskan, rasanya perangkonya kok…
Y : Miring! Hahaha.
SK : Miring, iya. Kurang proposional, kurang presisi. Kita bongkar lagi. Jadi, tidak efisien. Terlalu terpaku, karenanya kita jadi bimbang dan kuatir.
Y : Sampai akhirnya suratnya tadi tidak terkirim-kirim ya.
Sk : Betul. Misalnya dalam bentuk yang lain, bersih-bersih rumah. Sudah disapu dan dipel, mengapa rasanya masih kurang ya ? Tambahi ini tambahi itu sehingga membersihkan rumah yang mungkin cukup 1 jam jadi 5 jam !
Y : Mengapa orang bisa terpaku pada hal-hal detail tapi bukan esensi ya ?
SK : Kalau saya menduga, memang terjadi kondisi salah satunya kebiasaan dari kecil. Misalnya, dia memang punya kecenderungan itu dari kecil tapi dibiarkan tanpa disadari oleh orang-orang terdekatnya, oleh orangtuanya. Oh dipikir tidak apa-apa anaknya rapi, super bersih, teratur. Misalnya mengatur buku, benar-benar diurut, tingginya diukur dari yang tinggi sampai yang rendah. Kemudian sampai ketika orang lain mengambil buku, dia langsung tahu, marah dan dikembalikan ! "Bagaimana, sih ! Jadi tidak harmonis, tidak seimbang. Ini tidak proporsional." Orangtua membiarkannya. Bisa jadi begitu. Atau malah dipuji-puji, "Oh, rapi ya. Sepatunya mengkilat. Dandanannya, penampilan, tasnya" dan berbagai hal. Akhirnya kebablasan. Sisi yang lain bisa jadi berangkat dari kekosongan jiwa. Kurang pengakuan yang positif, kurang kasih sayang yang dalam bahasa yang dimengerti anak lewat kehadiran, sentuhan yang sehat. Akhirnya dia dalam kekosongan itu menikmati sesuatu yang detail, teliti dan ternyata kok dipuji. "Rapi, ya." Nah, dari sana dia mendapatkan satu jalan masuk "Aku dihargai" dan itu akan terus diulangi. Bisa seperti itu, Bu Yosie. Memang yang kebablasan bisa jadi misalnya dalam bentuk keterpakuan itu tadi, orangnya bisa jadi sangat birokratis. Jadi, misalnya "Harus seperti ini. Tidak bisa kamu melompati prosedur, ini ‘kan situasi yang tidak bisa, sudah ditulis di buku aturan. Hurufiah." Dia begitu kaku sehingga kurang fleksibel.
Y : Terlalu ‘zaklijk’ (lurus) juga bahaya ya, Pak. Apa gejala berikutnya ?
SK : Sangat mengejar kesempurnaan sehingga mempengaruhi penyelesaian tugas.
Y : Maksudnya seperti apa, Pak ?
SK : Mengenai pekerjaan ini ada perbedaan antara seorang pekerja keras yang sehat dengan seorang yang pribadinya obsessive compulsive. Seorang pekerja keras yang sehat, dia memang punya standar tinggi dan dia punya upaya untuk menyelesaikan pekerjaan dengan benar. Tapi orang dengan kecenderungan kepribadian obsessive compulsive sesungguhnya menjadikan dirinya tidak produktif. Upaya untuk meraih kesempurnaan terlalu kuat dan terlalu berlebihan sehingga dia punya harapan-harapan yang tidak realistis dan terus berupaya menghindari kesalahan sampai dia akhirnya tidak menyelesaikan kerjaan itu.
Y : Jadi, ini yang membedakan dengan pekerja keras ya. Terlalu berlebihannya ya ?
SK : Ya. Pekerja keras yang sehat tetap punya standar yang tinggi tapi dia bisa melihat secara praktis mana yang perlu dia dahulukan, mana yang perlu dikejar, mana yang mungkin perlu dilepas supaya poinnya tetap bisa selesai.
Y : Sedangkan orang obsessive compulsive mengejar yang kecil-kecil sehingga yang besar tidak terselesaikan.
SK : Betul. Ini memang berangkat dari rasa tidak berharga. Terlalu sensitif dengan nanti apa kata orang. Kalau aku ditolak bagaimana, kalau aku dicacat bagaimana. Akhirnya berlebihan dan kehilangan proporsinya.
Y : Baik, Pak. Saya mulai mengerti. Silakan dilanjutkan poin-poin berikutnya.
SK : Tanda yang ketiga, adanya kesetiaan berlebih pada pekerjaan, pada produktivitas hingga menghilangkan kegiatan bersenang-senang, kegiatan relaksasi, kegiatan pertemanan yang bukan disebabkan karena keterbatasan ekonomi.
Y : Terlalu fokus mengejar ya. Mungkin pekerjaan sehingga kalau santai jadi ada rasa bersalah. Apakah seperti itu, Pak ?
SK : Ya. Ada kondisi workaholic, gila kerja. Orang yang gila kerja sangat mungkin punya sisi kepribadian obsessive compulsive. Kerja, kerja, kerja! Tidak kerja, gelisah. "Ayo, liburan. Ini lho sudah dapat tiket." Ya sudah, terpaksa pergi. Tapi dia akan bawa laptopnya, dia akan bawa bukunya. Tidak bawa apapun, misalnya ditahan oleh pasangannya atau temannya, tapi mungkin nanti dia akan keluarkan kertas, dia catat, ini daftar kerjaan yang mesti dikerjakan. Mungkin dia sibuk dengan teleponnya, dengan komputer tabletnya segera membalas, "Bagaimana ini, perlu segera." Jadi, di tempat liburan pun, mungkin di dalam gereja sedang ibadah pun, sedang retreat tiga hari dua malam menarik diri dari kesibukan, tetap saja sibuk. Inilah kepribadian obsessive compulsive. Akhirnya juga memengaruhi teman-temannya, apalagi bawahannya kalau dia menjadi atasan. Akhirnya bawahannya pun jadi merasa bersalah, "Aduh, atasanku mengapa kerjanya nyaris 24 jam ?" Akhirnya bawahannya akan mengikuti, jadi budaya kerja, budaya organisasi yang sayangnya kurang sehat. Dalam hal ini saya teringat satu kisah nyata yang saya baca beberapa waktu lalu, Bu Yosie. Situasi ekstrem di Jepang sampai orang meninggal dunia.
Y : Saya juga melihat kabarnya di televisi.
SK : Ya. Karena tidak ada waktu istirahat sampai mengalami serangan jantung. Tentunya bukan 1-2 hari atau seminggu, tapi gaya hidup yang sudah berminggu-minggu, berbulan-bulan.
Y : Sudah terakumulasi ya.
SK : Ya. Ibarat mesin tidak pernah turun mesin, diforsir.
Y : Kata kuncinya "berlebihan" ya. Sepertinya ‘kan baik, kita menyukai pekerjaan kita, setia terhadap produktifitas, tetapi ketika berlebihan akan menjadi satu gangguan.
SK : Ya.
Y : Silakan poin yang keempat, Pak.
SK : Tanda yang keempat, ada kecenderungan untuk menjadi sangat teliti, sangat cermat dan tidak fleksibel baik dalam hal moral, etika, dan nilai-nilai yang bukan karena budaya atau agama.
Y : Misalnya seperti apa, Pak ?
SK : Kalau memang ada doktrin, ajaran, kebenaran yang dipercayai agama, iman, atau budaya ya tidak apa-apa. Tapi dalam konteks kepribadian obsessive compulsive ini melampaui sesuatu yang tidak ada tapi dia tambah-tambahkan. Sesuatu yang masih bisa tertoleransi tapi dia bakukan dan mutlakkan. Kaku. Mungkin mirip kalau kita lihat di Alkitab tentang kisah orang Farisi. Sekian hal sebenarnya di dalam Hukum Taurat tidak ada. Tidak ada di dalam Perjanjian Lama tapi kaum Farisi menambah-nambahi dalam bentuk yang lain. Sekte atau kelompok orang Farisi ini mengalami gejala kepribadian obsessive compulsive.
Y : Yang oleh Tuhan Yesus ditegur dengan keras ya, Pak.
SK : Betul. Seperti kata Tuhan Yesus, kamu menekankan yang di luar, dalamnya ini akhirnya kamu abaikan. Kamu cat putih, tapi itu kuburan dan di dalamnya tengkorak-tengkorak. Nah, orang berkepribadian obsessive compulsive bisa kehilangan fokus seperti bahasan kita di awal. Kehilangan proporsi yang sesungguhnya.
Y : Betul. Dia sibuk mengejar yang di luar atau detailnya tapi kehilangan esensinya atau pokoknya ya.
SK : Tepat. Jadi, kurang spontanitas. Terlalu moralistik, suka menghakimi orang lain termasuk suka menghakimi diri sendiri.
Y : Karena standarnya terlalu tinggi ya ?
SK : Ya. Rasa bersalahnya tinggi. Akhirnya gampang menyalahkan orang lain. Ini sebuah kesedihan.
Y : Bahaya ya, bisa mengakibatkan bunuh diri ataupun penghakiman yang berlebihan terhadap orang lain ya, Pak.
SK : Betul.
Y : Silakan untuk berikutnya, Pak.
SK : Ketidakmampuan untuk melepaskan benda-benda yang tidak penting atau tidak digunakan.
Y : Apa relevansinya, Pak Sindu ?
SK : Relevansinya adalah rasa tidak aman. Memang orang dengan kepribadian obsessive compulsive berangkat dari rasa tidak berharga dan rasa tidak aman sehingga dia butuh sesuatu yang konkret untuk dia pegang untuk memberi rasa aman secara batiniah. Mengatur jadwal dan berfokus pada jadwal, ketelitian detail, termasuk di dalamnya benda-benda, misalnya pakaian. Harusnya sudah bisa dibuang. Padahal sudah ada baju baru, numpuk. "Jangan, nanti kalau ada bencana, gunung api meletus, ada tsunami, ada cadangannya." Jadi, antisipasinya terlalu tinggi. "Buat apa kamu punya begitu banyak ini dan itu ?" "Iya, nanti, nanti, nanti. Oke, nanti akan saya bagikan." Tapi sekian tahun tidak terwujud, menimbun dan menimbun.
Y : Karena intinya rasa berharga dan rasa aman itu tadi ya.
SK : Ya. Termasuk soal uang dan harta. Kepribadian obsessive compulsive bisa jadi, "Oh ini kolektor." Tapi kolektor itu lain. Yang namanya kolektor itu punya daya estetika, seni, punya sebuah nilai positif. Tapi menimbun dalam pengertian orang kepribadian obsessive compulsive daya seninya sesungguhnya tidak ada.
Y : Barang yang sudah tidak digunakan lagi sebetulnya ya.
SK : Ya ! Ini berbeda ya dengan kolektor.
Y : Ya, paham. Ternyata obsessive compulsive ini bisa berbahaya ya. Yang keenam, Pak ?
SK : Menolak mendelegasikan tugas kepada orang lain kecuali jika mereka setuju untuk melakukan suatu hal dengan cara tertentu. Pendelegasian itu harus sangat detail dan hurufiah, benar-benar tepat sesuai kontrol dirinya yang punya kepribadian obsessive compulsive. Maka dia susah, kalaupun ada sekretaris, ada asisten, ada anggota kelompok kerja." Tapi benar-benar dia akan kontrol. Tapi begitu tidak sesuai, dia marah dan panik, langsung mengambil alih mengganti sesuai apa yang menurut dia paling tepat. Tanda koma, titik, tanda seru, tanda tanya, huruf, garisnya harus tepat sebagaimana dia membayangkan.
Y : Selanjutnya, Pak ?
SK : Yang ketujuh, kikir terhadap diri sendiri dan orang lain.
Y : Mirip dengan tanda kelima tadi ya, suka menimbun bahkan menimbun uang. Jadi dia kikir terhadap orang dan dirinya.
SK : Ya. Poin kelima itu tekanannya ketidakmampuan melepas benda-benda yang tidak penting atau benda-benda yang sudah pernah digunakan. Kalau yang ini memang kaitannya dengan uang.
Y : Berkaitan ya.
SK : Ya. Akhirnya hemat. Padahal ada batas antara hemat dan kikir. Hemat artinya saya memang memakai sesuai kebutuhan. Kalau bisa lebih murah atau lebih ekonomis ya kenapa tidak. Tapi dia tetap fungsional. Artinya aku makan tetap makan, aku tetap makan yang sehat bergizi. Bukan berarti menurunkan. Sedangkan kikir, ada uang tapi turunkan sampai mengganggu kesehatannya termasuk akhirnya tidak bermurah hati pada orang lain.
Y : Iya. Yang kedelapan, Pak ?
SK : yang kedelapan, kaku dan keras kepala. Orang berkepribadian obsessive compulsive ini mengembangkan rutinitas yang sangat kaku dan sistematis yang harus dijalani dengan tepat. Mungkin olahraga, jam saat teduh merenungkan firman Tuhan, rutinitas keluarga, sampai pada model kepemimpinannya kalau dia menjadi seorang pemimpin dalam sebuah organisasi. Jadi, harus seperti ini, tidak ada toleransi atau fleksibilitas.
Y : Langsung akan mengganggu emosinya ya ?
SK : Betul. Dia bisa marah. Atau kalau tidak bisa mengekspresikan kemarahan yang meledak-ledak, dia akan menekan atau depresif, kemarahan yang ditelan.
Y : Ternyata sangat menarik, Pak. Yang terlintas di benak saya adalah apa latar belakang orang bisa terbentuk kepribadian seperti ini ? Masa kecilnya seperti apa ?
SK : Dari yang saya ungkapkan di awal, ada kekosongan diri yang tidak diberi kasih sayang dan tuntutan positif dari ayah dan ibu kandungnya sehingga dia akhirnya mengalami ternyata ketika dia melakukan satu-dua hal mengapa dipuji rapi, berprestasi, atau dia berhasil membuat sesuatu. Akhirnya itu tanpa sadar dijadikan sebuah pola yang terus diulangi atau kompulsif.
Y : Untuk memenuhi tangki yang kosong ya, Pak.
SK : Betul.
Y : Orang seperti ini kasihan ya. Dia seperti menanggung beban yang lebih berat dari yang seharusnya dia tanggung.
SK : Betul.
Y : Lalu bagaimana cara mengatasinya, Pak ? Atau ketika kita melihat teman atau rekan kita, bagaimana kita bisa membantu ?
SK : Saya melihat isu utamanya adalah pertama, bagaimana dia bersedia mengakui bahwa dirinya memang punya kepribadian obsessive compulsive. Dari sana kemudian kita bersedia untuk mencari dan menerima pertolongan. Yaitu ada isu-isu rasa tidak aman, rasa diri tidak berharga. Bagaimana kita dibantu lewat konselor atau rekan yang memahami cara-cara yang tepat, membongkar sampah-sampah rasa tidak berharga, sampah-sampah rasa kesepian, rasa tidak dicintai. Kita membawa ke permukaan sampah-sampah jiwa kita ini, berduka, mungkin juga menangisi satu duka yang tertunda. Dengan begitu kita mengeluarkan sampah-sampah jiwa. Mengambil langkah iman, mengampuni orang-orang yang bersalah, yang mungkin tidak menyadari kesalahannya tapi nyata memang mengakibatkan luka. Mungkin orangtua kita atau anggota keluarga yang lain. Kemudian bagaimana kita mengundang Kristus untuk mengganti yang hilang itu, mengganti rasa keberhargaan dan rasa aman kita, bukan lagi pada cara-cara kepribadian obsessive compulsive. Tapi rasa berharga dan aman karena Kristus sudah mati menebus dan bangkit untuk aku. Kemudian langkah kedua diulangi terus. Karena ini bukan langkah sesaat. Luka dan kekosongan pola diri itu bukan satu – kalau ibaratnya benda ya – bukan sekadar sebuah batu dan hilang, dibuang hilang.
Y : Kita buang maka semua beres, begitu ya Pak.
SK : Ya. Kalau diumpamakan benda itu seperti bawang merah, ada lapis-lapisnya. Kita kupas, kita kupas. Di hari yang lain kita kupas. Di tahun yang lain kita menemukannya kita kupas dan diganti dengan penghargaan yang benar dari Kristus. Sejalan dengan itu mari membangun batas-batas yang sehat. Biasanya tidak pernah istirahat, ambillah hari Sabat. Benar-benar lepas dari laptop, lepas dari gadget. Matikan, puasa teknologi, puasa digital. Puasa abad 21 tidak cukup puasa makan dan minum. Mungkin tidak usah puasa makan dan minum tidak apa-apa, karena isu kita bukan itu lagi tapi pada teknologi atau dunia digital.
Y : Bukan ketergantungan makan minum lagi ya, Pak.
SK : Ya. Puasa teknologi, menikmati bahwa aku bisa bahagia dengan Tuhan. Manusia hidup bukan dari teknologi saja tapi manusia hidup dengan relasi yang hidup dengan Tuhan dan dengan tubuh Kristus.
Y : Wah, terima kasih, Pak. Apa yang Bapak sampaikan sangat menarik dan sangat mencelikkan saya bagaimana diri saya sendiri dan membantu orang lain.
SK : Kalau boleh saya tambahkan, Bu Yosie. Bagaimana kita yang punya kepribadian obsessive compulsive belajar menerima ketidaksempurnaan. Itu ‘kan isu pertama. Misalnya kita naik kendaraan, kok macet, langsung klakson. "Bagaimana ini, Tuhan ! Bukankah aku sudah berdoa, aku sudah melakukan ini dan itu, aku juga sedang pergi ke tempat pelayanan atau mau menolong orang lain memberitakan kemuliaan Tuhan. Kenapa, Tuhan ?" Mari kita terima bahwa Tuhan mengijinkan itu terjadi. Kita berdamai, malah kita berdoa, "Tuhan, berkati kanan kiri depan belakang saya di tengah kemacetan ini supaya mereka menerima damai sejahtera Tuhan." Kalau dalam bahasa Inggrisnya God is in control, Tuhan yang pegang kendali. Orang dengan kepribadian obsessive compulsive, salah satu isunya adalah isu kuasa atau kendali. Itu harus dilepaskan. Percayakan diri kepada Tuhan.
Y : Yang terakhir, apakah ada kebenaran firman Tuhan yang boleh menjadi acuan buat kita semua ?
SK : Saya kutip dari Mazmur 37:3, "Percayalah kepada Tuhan dan lakukanlah yang baik. Diamlah di negeri dan berlakulah setia." Firman Tuhan ini mengingatkan pondasi bangunan utama rasa berharga dan rasa aman kita adalah bahwa kita memercayai Tuhan sepenuhnya, bukan memercayai pada kontrol diri kita. Tugas kita adalah lakukan yang baik, lakukan dengan setia kebaikan itu, selebihnya serahkan pada Tuhan yang pegang kendali. Maka kita akan menjadi diri yang sehat terbebaskan dari kemungkinan menjadi orang yang memiliki kepribadian obsessive compulsive.
Y : Amin. Terima kasih banyak untuk perbincangan kita kali ini, Pak Sindu. Tuhan memberkati. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "Kepribadian Obsessive Compulsive". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.