Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerja sama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya Yosie, akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini adalah tentang "Kepribadian Narsistik". Kami berharap acara ini bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Y : Pak Sindu, kita sudah sering mendengar istilah narsis ya. Sangat umum beredar di kalangan anak muda, khususnya. "Ah, kamu ini narsis saja !" Sebetulnya apa sih pengertian narsis itu sendiri, Pak ? Apakah orang yang suka selfie, berfoto atau seperti apa ?
SK : Benar, Bu Yosie. Istilah ini sangat umum ya, sangat familiar kita dengar. Sebenarnya kata narsis itu diambil dari satu jenis gangguan kepribadian. Jadi, disebut gangguan kepribadian narsistik. Gangguan kepribadian narsistik ini adalah pola yang meyakinkan tentang sesuatu yang berlebihan, membutuhkan penghargaan dan kurang empati sebagaimana yang tampak dari lima atau lebih tanda-tanda berikut ini.
Y : Menarik ya, Pak. Tidak hanya yang seperti kita mengerti selama ini tapi ada yang lebih dalam. Silakan Bapak menjelaskan lebih dalam.
SK : Jadi, ada lima tanda atau lebih dari beberapa tanda berikut ini. Yang pertama, adanya waham kebesaran tentang pentingnya diri. Yang kedua, tenggelam dalam khayalan akan kesuksesan, kekuasaan, kecerdasan, kecantikan, atau cinta yang ideal. Yang ketiga, keyakinan bahwa diri mereka itu begitu istimewa dan hanya harus bergabung dengan orang lain yang dapat mengerti mereka. Yang kelima, yaitu kebutuhan akan kebanggaan yang berlebihan. Berikutnya, adanya gaya relasi antar pribadi yang bersifat memanfaatkan, mengeksploitasi orang lain. Yang berikutnya, adanya tanda kekurangan rasa empati. Kemudian adanya rasa iri pada orang lain atau percaya bahwa orang lain iri hati. Yang terakhir, adanya perilaku atau sikap yang arogan. Jadi, minimal ada lima tanda yang tadi saya sampaikan itu, berarti orang tersebut memang masuk kategori mengalami gangguan kepribadian narsistik.
Y : Seperti itu ya. Kalau istilah narsis sendiri saya pernah mendengar berasal dari legenda atau mitologi Yunani. Apakah betul dan seperti apa ?
SK : Benar, Bu Yosie. Memang kata kepribadian narsistik ini berasal dari legenda Yunani yang mengisahkan tentang seorang anak muda yang bernama Narcissus. Dia begitu tampan sekali, rupawan, ibaratnya selebritis di era Yunani Kuno. Dia disukai, dikagumi, namun dia menepis semuanya itu. Sampai suatu ketika dia berkaca pada sebuah kolam air. "Wow, siapa itu begitu tampan ? Katanya aku paling tampan rupawan. Ternyata ada seorang yang tampan rupawan ini." Dia begitu mengagumi yang sesungguhnya adalah bayangan wajahnya sendiri. Saking kagumnya dia tidak mau beranjak. Sampai makin lama karena dia tidak makan tidak minum terpesona terhisap pada rasa gandrung pada bayangannya sendiri sampai akhirnya dia tenggelam dalam kolam air itu, kemudian muncul bunga. Bunga ini diberi nama Narcissus. Itu legenda. Dari sana legenda itu diambil menjadi nama satu jenis gangguan kepribadian narsistik.
Y : Tapi ironis ya. Mengagumi diri sendiri sampai tenggelam karenanya. Jadi, boleh dikatakan kepribadian ini memang kepribadian gangguan ya, Pak ?
SK : Betul. Kalau boleh saya jelaskan di poin pertama tadi salah satu tandanya adalah adanya waham kebesaran tentang pentingnya diri. Saya akan jelaskan kata "waham". Bukan "paham" ya ! Nama lain waham adalah delusi dari bahasa Inggris delusion yang artinya keyakinan yang salah tentang diri namun sayangnya tidak mudah dikoreksi. Orang yang mengalami waham atau delusi ketika dikoreksi orang lain, dia menolak, cenderung bersikukuh.
Y : Dia tidak merasa.
SK : Dalam hal ini orang narsistik salah satu tandanya memunyai waham kebesaran. Artinya, "Ini lho, aku hebat. Aku itu cerdas ! Aku itu orang yang dibutuhkan. Coba kalau tidak ada aku di organisasi ini, di gereja ini, di bisnis ini, di sekolah ini, di masyarakat. Ambruk. Kacau balau." Atau, "Aku itu begitu tampan, cantik, molek. Wow !" Jadi, dia memandang diri begitu besar melebihi kenyataan.
Y : Ini menarik, Pak. Apa bedanya dengan ‘self image’ yang positif yang memang seharusnya kita miliki sebagai seorang pribadi ?
SK : Yang disebut Bu Yosie tentang self image atau citra diri atau gambar diri. Gambar diri yang sehat itu jika dia bisa melihat diri sebagai pribadi yang baik tanpa berlebihan sekaligus bisa melihat diri punya kekurangan. "Aku punya sisi lemah dan aku tidak apa-apa." Bisa menerima diri dari sisi keunggulan ataupun sisi kelemahan dan keterbatasan. Sementara seorang narsistik ini tidak bisa menolak kelemahan. Selalu melihat diri dari yang terlalu sempurna, terlalu positif tentang diri.
Y : Baik, terima kasih, Pak. Saya sudah mengerti sekarang. Yang kemudian muncul dalam benak saya, dari mana bibit narsistik ini muncul dalam kepribadian seseorang ? Apakah itu latar belakang atau apa, silakan.
SK : Munculnya ini saya menduga ada dua kemungkinan yaitu adanya situasi ketertolakan yang dialami ketika seorang yang mengalami kepribadian narsistik ini di masa kecil tidak dikasihi, tidak dihargai sebagaimana yang seharusnya diterima sebagai seorang manusia. Mungkin dari latar belakang keluarga yang miskin, dari keluarga yang bermasalah dimana orangtua tidak hadir secara emosi, dia sering diolok-olok dianggap tidak cerdas, tidak pintar, penampilan fisik dianggap sangat biasa, atau mungkin dianggap kurang ini kurang itu. Akhirnya muncul kompensasi lewat proses yang panjang menjadi pribadi yang sangat menekankan sesuatu yang bersifat di permukaan. Mengejar ketenaran, kekayaan, kepopularitasan. Termasuk ini bisa dialami bukan hanya kalangan orang-orang dunia yang tidak mengenal Kristus, orang-orang percaya pun bahkan hamba-hamba Tuhan, tokoh-tokoh pelayanan juga bisa masuk ke dalam pusaran kepribadian narsistik ketika latar belakang yang sulit ini tidak tertangani dengan baik. Sementara sisi yang lain, saya melihat bisa juga kepribadian narsistik itu muncul dari pribadi anak yang terbiasa dimanjakan. Raja kecil, ratu kecil. Dari kecil, "Kamu itu cantik lho. Dandannya harus seperti ini. Kamu itu anak orang kaya raya. Kamu itu keturunan bangsawan." atau "Kamu itu tampan ya. Baju harus merek ini." Semuanya selera tinggi dan orangtua menempelkan citra-citra dan atribut-atribut yang sifatnya wah dan super. Sehingga dia mengalami, "Saya ini hebat!" dan orangtuanya akan tunduk kepada anak ini. Tambah lama perasaan-perasaannya tentang diri itu besar. Memang salah satu karakter orang narsistik yang tadi saya sampaikan di awal adalah punya keyakinan kepercayaan bahwa mereka begitu istimewa dan mereka merasa hanya bisa bergabung dengan orang-orang yang bisa memuja. Benar juga kata bu Yosie, kalaupun kumpul, kumpul dengan sesama orang istimewa. Kalau ketemu dengan orang yang tidak istimewa, mereka lebih menjadikan bagaimana orang-orang ini bisa memuja mereka.
Y : Manipulasi ya, Pak ?
SK : Betul.
Y : Yang memanfaatkan orang lain itu ya, Pak ?
SK : Tepat. Akhirnya orang narsistik ini memanfaatkan orang lain, misalnya dia merasa diri cerdas, tampan, kaya raya. Mungkin kesannya dia mendatangi orang miskin, orang yang tidak dianggap di level sosial tinggi, orang marjinal, tapi sebenarnya kesannya penuh belas kasihan, peduli orang kecil, mau menolong, tapi ujung-ujungnya bagaimana orang-orang ini memuja memuji dia. Dimanfaatkan, akhirnya ketahuan di belakangnya, "Oh, tidak tulus rupanya. Ada udang di balik batu."
Y : Tidak tulus ya, Pak.
SK : Tepat.
Y : Sangat menarik ya. Ternyata kepribadian manusia sangat kompleks.
Sk : Ya. Maka tidak heran ketika kemauannya tidak dipenuhi, mulai dia marah.
Y : Muncul ya.
SK : Menindas. Dalam hal ini memang adanya rasa kurang empati. Itu ciri lain, tanda lain yang tadi saya sampaikan di awal ya. Dia tidak ada perasaan peka menghargai perasaan orang lain karena begitu sangat egosentrik.
Y : Berpusat pada diri dan kepentingannya ya, Pak.
SK : Betul. Itulah yang disebut narsistik. Sisi yang lain, maka ketika ada orang lain yang masih berpikir waras, berpikir sehat memberikan masukan-masukan yang membangun, "Kamu itu bagus. Tapi tolong lebih hargai perasaan orang lain ya." Dia bisa langsung berubah 180 derajat, yang semula berteman dekat bisa tiba-tiba memusuhi, menjadikan seperti musuh bebuyutan. Apa pun langsung – ibaratnya kalau kita punya media sosial – langsung diblok namanya. Akunnya kita blok karena kita tidak suka pada orang yang seperti mau mengkritik. Ktirik adalah tanda tanda aku lemah, tanda aku tidak sempurna, tanda aku tidak layak jadi pusat perhatian. Itu sangat sensitif bagi seorang narsistik.
Y : Padahal dalam kehidupan, dalam pergaulan, tidak mungkin ya Pak kita ini tidak bergesekan atau tidak diberi masukan.
SK : Betul.
Y : Biasanya justru disitulah letak masalahnya ya ketika kita berhadapan dengan orang yang memiliki kepribadian narsistik ya.
SK : Betul.
Y : Bagaimana kita menarik batas yang tepat atau yang sehat memerlakukan anak kita sehingga mencegah dia nanti dewasanya memiliki gangguan kepribadian narsistik ?
SK : Saya melihat bahwa penting bagi anak diisi secara berimbang. Artinya ada pengakuan, ada kasih sayang, ada penerimaan, ada ujian yang nyata bukan hanya dalam hati tapi disuarakan dengan bahasa tubuh yang memeluk, membelai, menepuk punggung, memberi dukungan. Itu satu sisi. Bersamaan dengan itu juga ada batasan-batasan, "Itu tidak tepat. Yang tepat seperti ini", "Ini tanggung jawabmu, ayo lakukan", "Seperti ini salah, yang benar seperti ini. Ayo, perbaiki." Mengulur ibarat layang-layang, tapi ada saatnya kita menarik, menuntut, tetapi tetap dengan cara-cara yang positif yang tidak merusak penghargaan dirinya. Dengan pola yang berimbang ini, maka anak kita akan tumbuh menjadi pribadi yang sehat dan terhindar dari kemungkinan menjadi pribadi yang narsistik. Jadi, ini juga sebuah hal yang perlu kita waspadai, Bu Yosie. Memang mungkin kita tidak sepenuhnya menampilkan lima tanda yang membuat kita masuk dalam kategori kepribadian narsistik. Tapi mungkin beberapa hal ada. Jadi, kita tidak memerlakukannya hitam putih ya, "Oh, dia itu narsistik, saya tidak." Tapi bisa jadi kita medium, kita ada tanda-tanda atau kecenderungan. Ini pun perlu kita waspadai. Apalagi itu ada dalam diri kita, mari lewat pembahasan ini kita bisa berkaca pada diri.
Y : Sambil bercermin diri ya, Pak.
Sk : Betul. Misalnya kita dalam situasi di era abad 21 ini, kecenderungannya semakin dangkal dunia ini.
Y : Misalnya, Pak ?
SK : Lebih menghargai penampilan-penampilan luar yang wah dan besar. Muncul sudah dalam beberapa puluh tahun ini istilah mega church, gereja yang besar, jemaatnya banyak atau ribuan, gedungnya mencakar langit, kemudian aset finansialnya luar biasa kekayaannya. Ini bisa jadi juga masuk dalam area kita sebagai orang percaya, sebagai keluarga yang mengaku mengenal Kristus tetapi nilai-nilai yang di permukaan, nilai-nilai yang menekankan penampilan yang mewah kita tanamkan pada anak-anak kita.
Y : Kita mengejar yang permukaan itu tadi ya, Pak.
SK : Atau dalam pelayanan pun, gereja atau pelayanan-pelayanan pendamping gereja mengejar kebesaran-kebesaran ini. Sehingga kalau tidak dapat menjangkau ribuan jiwa, langsung dapat hasilnya, gedungnya besar, kita tidak mau. Itu sudah merupakan sebuah gejala kita mengarah menjadi diri yang narsistik, mau menangani yang besar-besar di depan mata, padahal Tuhan kita tidak demikian. Dia menghargai ketika kita juga mau melayani 1-2 orang yang tersisih bagai domba yang tidak bergembala.
Y : Satu saja dicari oleh gembalanya ya.
SK : Bahkan Tuhan juga mengatakan, "Hai engkau hamba-Ku yang baik dan setia, engkau sudah memberi Aku makan ketika aku kelaparan, engkau sudah memberi pakaian ketika aku tidak punya pakaian, mari masuk ke dalam kebahagiaan Tuanmu. Orang percaya itu berkata, Kapan, Tuhan? Aku tidak pernah melihat Tuhan tidak punya pakaian dan kelaparan dan aku memberi pertolongan. Kata Yesus, justru yang sudah kamu lakukan kepada orang yang paling hina dan paling miskin ini sesungguhnya engkau sedang lakukan untuk Aku. (Acuan dari Matius 25:35-40 Red.) Ini sebuah perlawanan dari narasi gagasan narsistik yang berpusat pada kemegahan kebesaran menurut ukuran dunia.
Y : Menurut ukuran manusia ya, Pak. Wah, ternyata sangat dalam ya. Kepribadian narsistik bukan saja gangguan ‘kejiwaan’ tapi ternyata setiap kita bahkan pelayan Tuhan, orang percaya pun bisa memiliki kecenderungan ke arah sana. Lantas apa langkah-langkah yang bisa kita lakukan supaya kepribadian kita tetap sehat seperti yang Tuhan Yesus teladankan ?
SK : Tepat, Bu Yosie. Ini memang hal yang perlu kita cermati dan kita membuat langkah-langkah positif ya supaya kita mencegah, kalau pun kita ada beberapa tanda kepribadian narsistik, kita tidak melanjutkan. Yang pertama adalah mari kita terbuka untuk mau menerima masukan-masukan dan kritik. Mungkin satu hal ada cara penyampaiannya keliru tapi ada juga ‘kan yang cara penyampaiannya baik. Yang keliru pun awalnya mungkin kita tidak nyaman, tapi mari kita ambil waktu di jam yang lain, di hari berikutnya, merenung. Mengapa ada yang beri masukan ini ya. Apalagi kalau yang memberi masukan itu secara terpisah ada beberapa orang. Lho, ini ‘kan semakin menunjukkan ada hal yang serius. Mari kita mau mendengar menyimak. Maka penting bagi kita punya mentor, punya pembimbing, punya rekan yang kita bahkan dengan sengaja mintai masukan. "Mari, beri aku umpan balik. Beri aku evaluasi untuk membangun diriku." Jadi, kalau kita punya garis pertanggungjawban kepada mentor atau pembimbing atau pelatih atau pun rekan-rekan sebaya, itu akan menjagai kita untuk selalu dalam wilayah pengaruh masukan dan umpan balik orang lain dan itu melindungi pola narsistik yang mungkin bisa berkembang.
Y : Jadi, tolok ukur kita lebih sehat itu ketika kita bisa terbuka terhadap masukan-masukan dari orang lain ya.
SK : Tepat. Yang kedua, kita perlu mencermati latar belakang hidup kita, apakah kita punya latar belakang kelam atau tidak sebagai seorang anak dan remaja. Misalnya kita pernah mengalami posisi gagal naik kelas, bahkan beberapa kali, mendapatkan label-label atau citar-citra negatif, "Bodoh. Kamu orang yang sial. Kamu orang yang jelek." atau pun kita mengalami posisi sebagai anak yang kurang kasih sayang dari kedua orangtua kita.
Y : Tertolak.
SK : Tepat. Muncul rasa minder atau inferior. Kalau kita punya sejarah itu, mari jangan ‘yang lama sudah berlalu, yang baru sudah datang’. Itu ‘kan konteks kelahiran baru. Tetapi sebagai ciptaan baru, Tuhan mau terus menerus memeriksa manusia lama kita, ada atau tidak sisi-sisi yang perlu kita tanggalkan terus menerus untuk mengenakan manusia baru terus menerus. Mari, kalau kita punya luka hati, sejarah kekosongan, kesepian, mari kita cari pertolongan, lewat mentor atau pembimbing kita, atau teman-teman sebaya kita yang kita boleh berbagi pergumulan kita, kita melepaskan dukacita di masa lalu, mengampuni yang bersalah di masa lalu dan mengundang Tuhan mengisi ruang-ruang penghargaan diri, kasih sayang yang dulunya kosong kita isi dari kasih dan penerimaan Tuhan. Supaya kita bukan menjadi tangki yang bocor dan akhirnya kita tambal dengan pola narsistik kita.
Y : Menarik ya, Pak. Selain terbuka terhadap masukan, kita kembali ke masa lalu untuk kemudian berdamai dengan masa lalu kita ya, Pak.
Sk : Ya. Berikutnya, kita perlu senantiasa membangun kepuasan di dalam Tuhan.
Y : Ini dalam. Seperti apa kepuasan di dalam Tuhan ?
SK : Kita bekerja, kita berkarier, kita pelayanan pun, itu butuh yang namanya kepuasan. Ada istilah dalam bahasa Inggris job satisfaction, kepuasan kerja. Secara alamiah, kalau Tuhan tidak hadir di dalam pengejaran karier, pekerjaan, pelayanan, hidup bermasyarakat kita, sudah hampir pasti kepuasan kerja, kepuasan hidup itu kita cari dari diri kita sendiri. Itulah sebenarnya bibit narsistik tadi. Jadi, kalau Tuhan menjadi pusat, menjadi pusaran utama, Tuhan menjadi poros hidup kita dan kita mencari pengakuan-pengakuan yang dari Tuhan, mengalami dalam pengakuan, penghormatan, kasih sayang, kepuasan, maka kita akan benar-benar terhindar dari pola narsistik yang notabene sebenarnya satu poin yaitu adalah berpusat pada diri sendiri. Dengan kita menggeser pusat dari diri sendiri menjadi, "Tuhanlah pusat hidupku. Apa kata Tuhan. Pujian Tuhanlah yang kucari, bukan pujian manusia", maka secara alami gravitasi narsistik tidak ada dalam diri kita. Malah kita masuk dalam gravitasinya Allah, Allah menjadi pusat.
Y : Boleh tidak saya garis bawahi kata kuncinya tadi adalah menggeser fokus hidup kita, yang tadinya fokus pada diriku sendiri menjadi fokus pada Tuhan.
Sk : Betul.
Y : Yang terakhir, Pak. Langkah teknis atau konkret yang bisa para pendengar petik dari kesimpulan penjelasan Pak Sindu.
Sk : Marilah kita menjadi pribadi yang apa adanya. Artinya kita mau mengakui, "Saya punya kekuatan, keunggulan. Namun saya juga punya keterbatasan, kelemahan." Mari kita rangkul kedua sisi ini dan rasa aman rasa puas kita bukan di dalam pencapaian dan pengakuan orang lain tapi di dalam pengabdian kita kepada Tuhan. Disanalah kita menjadi diri yang sehat.
Y : Luar biasa. Terima kasih untuk pencerahannya sangat menolong saya dan saya percaya juga menolong para pendengar.
SK : Sebagai bagian akhir saya bacakan dari 2 Korintus 10:17-18, "Tetapi barangsiapa bermegah, hendaklah dia bermegah di dalam Tuhan. Sebab bukan orang yang memuji diri yang tahan uji melainkan orang yang dipuji Tuhan." Mari setiap kita mencari kemuliaan Tuhan di dalam upaya kita melayani memberi yang terbaik lewat apa yang sudah Tuhan berikan. Maka disanalah kita menjadi diri yang sehat, diri yang memberkati sekaligus.
Y : Terima kasih, Pak Sindu. Tuhan memberkati. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "Kepribadian Narsistik". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.