oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kata kunci: Disiplin dalam pernikahan meliputi tanggungjawab, emosi, pergaulan, hobi, komitmen luar, sentuhan dan kerohanian.
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi dimana pun Anda berada. Kita bertemu kembali dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Necholas David, akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi, seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Disiplin Dalam Pernikahan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
ND: Pak Paul, dalam kesempatan ini kita akan berbicara tentang disiplin dalam pernikahan. Boleh Pak Paul sampaikan mengapa topik ini penting untuk kita angkat dan apa saja, Pak Paul, disiplin yang diperlukan dalam sebuah pernikahan?
PG: Biasanya kata disiplin mengingatkan kita akan masa kanak-kanak, Pak Necholas, baik itu di rumah maupun di sekolah, namun sesungguhnya disiplin bukan hanya diperlukan pada masa kanak-kanak, tapi juga pada masa dewasa, baik itu di tempat kerja maupun didalam rumah tangga. Nah, pada kesempatan ini, secara khusus kita akan melihat disiplin dalam pernikahan. Ternyata sehat atau tidak sehatnya pernikahan bergantung pada disiplin didalam hal-hal berikut ini. Yang pertama adalah tanggungjawab, Pak Necholas. Baik suami maupun istri memunyai tanggungjawabnya masing-masing, sebagai contoh didalam pernikahan yang tradisional, suami menjadi pencari nafkah dan istri sebagai ibu rumah tangga dan keduanya sebagai orang tua bertanggungjawab memenuhi kebutuhan anak dan terlibat dalam upaya membesarkannya. Pernikahan tidak mungkin sehat bila misalkan suami tidak mau bekerja atau tidak dapat memertahankan pekerjaannya atau istri menolak untuk mengurus rumah tangga, atau ayah tidak mau terlibat dalam membesarkan anak dan memaksa ibu untuk mengurus anak. Sebagaimana kita ketahui untuk bertanggungjawab diperlukan disiplin, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, bila itu adalah tanggungjawab, maka kita mesti melakukannya. Nah, ini adalah hal pertama yang mesti kita perhatikan dalam disiplin pernikahan, Pak Necholas.
ND: Jadi intinya adalah masing-masing pihak mengingat dan melakukan dengan setia tanggungjawabnya, ya Pak Paul karena tadi Pak Paul sebut ada pernikahan dalam bentuk yang lebih tradisional. Mungkin dalam keluarga yang saat ini lebih modern juga tetap diperlukan tanggungjawab itu.
PG: Betul, misalkan dalam pernikahan yang lebih modern dimana baik suami maupun istri adalah pencari nafkah, nah sudah tentu kedua-duanya juga mesti bertanggungjawab atau berbagi tanggungjawab dalam hal pekerjaan rumah, dalam hal membesarkan anak. Tidak bisa misalkan suami berkata, "Saya sudah kerja, ya sudah saya hanya mau diam di rumah, saya tidak mau lagi untuk melakukan apa-apa, membantu istri didalam pekerjaan rumah", tidak bisa begitu! Dia harus juga mengurus rumah tangga atau istri tidak bisa berkata, "Ya, saya sudah bekerja maka saya pulang ke rumah, saya mau santai, saya tidak mau mengerjakan tugas rumah sama sekali" dan membebankan semua tanggungjawab pada suami untuk membesarkan anak, mengurus anak, tidak bisa begitu. Jadi sekali lagi, dua-dua mesti berbagian dalam hal tanggungjawab rumah tangga. Kita mau menekankan betapa pentingnya disiplin dalam hal mengurus rumah dan dalam hal membesarkan anak.
ND: Jadi ini bisa disesuaikan, Pak Paul, dengan perubahan atau situasi dalam setiap keluarga.
PG: Betul, betul, jadi ini memang bisa disesuaikan dan disepakati karena memang tidak sama setiap pernikahan, tapi yang penting adalah setelah disepakati maka kedua-duanya harus melakukan bagiannya, mesti ada disiplin didalam hal tanggungjawab.
ND: Selain dalam hal tanggungjawab, apa lagi Pak Paul yang perlu disadari oleh setiap pasangan?
PG: Yang kedua adalah emosi. Baik suami maupun istri harus berdisiplin diri menguasai emosinya. Pernikahan dibangun dan dipertahankan lewat penguasaan diri. Tanpa penguasaan emosi, relasi niscaya hancur. Kadang konflik terjadi dan kata-kata meluncur keluar tanpa kendali. Alhasil hati terluka, meninggalkan bekas yang dalam. Itu sebab perlu disiplin dalam berkata dan beremosi didalam pernikahan.
ND: Setiap kita tentunya juga berbeda ya Pak Paul, dalam kemampuan kita mengontrol emosi dan kata-kata kita. Disini berarti Pak Paul ingin menekankan bahwa kita harus ingat bahwa kata-kata itu dan tindakan kita yang disertai emosi bisa merusak pernikahan.
PG: Tepat sekali, Pak Necholas. Jadi kita sudah membicarakan disiplin dalam pernikahan. Nah, ini adalah bagian yang penting, disiplin dalam mengendalikan emosi kita. Pernikahan tidak mungkin bisa sehat, bisa bertumbuh bila tidak ada disiplin dalam mengendalikan emosi. Betapa banyaknya pernikahan yang akhirnya berantakan, hancur karena tidak ada disiplin didalam penguasaan diri atau emosi. Mau marah semua kata-kata keluar, nanti setelah itu, mau berbaikan, dia baikan. Betapa sering kita mendengar orang mengeluh. "Saya ini memangnya apa, talenan? Enak-enak saja, dia mau marah, dia mau mengiris-iris kita, dia semaunya saja mengiris-iris kita, setelah begitu dia mau berbaikan, dia bersihkan, dia cuci seperti talenan". Tidak bisa, akhirnya pernikahan yang seperti itu, ya rusak.
ND: Ada hal lain, Pak Paul, yang perlu diingat oleh setiap pasangan dalam pernikahan ketika mereka mau menjalankan disiplin dalam pernikahan mereka?
PG: Yang ketiga adalah pergaulan. Suami dan istri mesti berdisiplin diri dalam pergaulan dengan teman. Percakapan lewat media sosial atau bepergian dengan teman harus dilakukan secara bijak dan terbatas. Kita mesti memberi waktu yang cukup untuk keluarga, kita tidak boleh hidup semaunya. Banyak perselingkuhan yang terjadi akibat kontak berkepanjangan lewat media sosial atau perkumpulan sosial, rekreasional atau olah raga. Kumpul-kumpul, main kesana-kesana, rekreasi, olah raga akhirnya tidak ada disiplin dalam pergaulan, berlanjut masuk kedalam perselingkuhan. Kita mesti ingat bahwa pernikahan yang sehat dibangun diatas disiplin dalam pergaulan. Kita bergaul dalam batas, bukan tanpa batas.
ND: Ini mungkin terkait juga dengan kesukaan dari tiap-tiap orang, ya Pak Paul ?
PG: Memang ini nantinya berkaitan dengan poin berikut yang kita mau bahas yaitu disiplin dalam hobi atau kesukaan kita, betul sekali. Suami dan istri boleh dan baik memunyai hobi, namun masing-masing mesti berdisiplin dalam berhobi. Kita tidak boleh menghabiskan uang dan waktu yang terlalu banyak untuk hobi, sebab setiap jam yang dihabiskan untuk hobi, diambil dari waktu untuk keluarga. Dan setiap rupiah yang dihabiskan untuk hobi, diambil dari dana untuk keluarga. Untuk membenarkan diri, orang kerap berkata demikian, Pak Necholas, "Hobi tidak dapat dinilai dari uang". Perkataan ini tidak tepat, sebab hobi bisa diukur dari seberapa banyak uang yang dikeluarkan. Nah, pernikahan yang sehat dijaga lewat disiplin berhobi. Bila tidak, hobi niscaya merusak pernikahan. Jadi kadang saya mendengar kata-kata seperti ini atau cerita seperti ini. "Pasangan saya mengeluarkan uang begitu banyak untuk hobinya". Mula-mula ia hanya mengeluh, pasangannya mengeluarkan uang begitu banyak untuk hobinya, namun lama-lama karena ia kesal, ia akhirnya juga mengeluarkan uang yang banyak untuk hobinya. Tadinya tidak, tadinya ia berhati-hati dalam pengeluaran uang, namun lama-lama karena pasangannya terus mengeluarkan uang dan menghabiskan banyak waktu untuk hobi itu, ya dia akan berkata, "Mengapa saya bodoh benar? Mengapa saya hanya diam saja?" Akhirnya dia mulai juga menghabiskan waktu yang banyak, mengeluarkan uang yang besar untuk hobi-hobi itu dan akhirnya apa yang terjadi, masing-masing semakin menjauh, makin hubungan mereka retak.
ND: Dalam hal pergaulan dan hobi yang Pak Paul sebutkan ini, apa bisa dikatakan bahwa sebaiknya suami dan istri punya hobi dan pergaulan yang relatif sama, misalnya si suami suka lari pagi dan suka kumpul-kumpul dengan teman. Mungkin istri sebaiknya juga ikut, apakah demikian, Pak Paul?
PG: Idealnya demikian, Pak Necholas, bahwa suami dan istri memunyai hobi atau kesukaan yang sama sehingga mereka bisa menghabiskan waktu bersama, tapi kita mesti realistik bahwa tidak selalu kasusnya seperti itu. Nah, jadi disini memang diperlukan dua hal, pengertian dan tahu diri. Yang satu mesti memang oke-lah mengerti pasangan saya senang misalnya bersepeda, saya tidak senang bersepeda, biarkan dia bersepeda. Tapi pihak yang bersepeda mesti tahu diri, misalnya ya sudah naik sepeda ikut dengan teman-teman, klub atau apa, tapi tidak yang sampai dari pagi sampai besok pagi baru pulang, misalnya. Atau yang setiap bulan akan pergi ke luar kota atau ke luar pulau sampai empat lima hari baru kembali lagi. Nah, hal-hal seperti ini memang mesti dijaga dan memerlukan disiplin. Jadi yang satu oke, bersedia mengerti, yang satunya harus juga tahu diri.
ND: Bagaimana Pak Paul, jika ada salah satu pasangan yang hobinya atau kegiatannya justru lebih banyak dalam hal-hal yang kita rasa baik, seperti pelayanan atau dalam aktifitas di komunitas gereja?
PG: Sudah tentu meskipun baik, sehat tapi tetap kita mesti memerhatikan soal waktu juga, sebab tadi saya sudah singgung, setiap jam yang kita habiskan akan harus diambil dari waktu untuk keluarga. Tidak berarti tidak boleh, sudah tentu boleh untuk hal yang baik dan yang perlu, maka kita perlu berhati-hati, apakah memang ini perlu. Kalau memang tidak perlu, kita mesti berikan waktu ini kembali pada keluarga kita. Ini memang nantinya berkaitan dengan faktor yang berikut, Pak Necholas, yaitu komitmen luar. Kita mesti memunyai disiplin dalam hal komitmen luar, misalnya apa? Bekerja dan aktifitas sosial atau pelayanan, sudah tentu semua baik namun tetap bila tidak berdisiplin diri dan menghabiskan terlalu banyak waktu untuk itu, maka ini akan mengganggu rumah tangga. Pada akhirnya kita mesti menentukan prioritas mana yang lebih penting, sebab mustahil kita bisa melakukan semuanya. Bila kita sudah memilih untuk menikah, maka kita harus konsekwen mengorbankan komitmen lainnya, singkat kata disiplin bekerja dan melayani mesti diimbangi dengan disiplin berkeluarga.
ND: Bisa dikatakan bahwa setiap pasangan sebaiknya tetap ingat bahwa berkeluarga itu pun adalah sebuah komitmen yang perlu dijaga dan perlu dirawat.
PG: Tepat sekali, tepat sekali, Pak Necholas. Memang setiap keluarga berbeda, saya tidak akan memberikan panduan, keharusan yang sama bagi setiap keluarga, tidak! Ada misalkan pasangan yang lebih bisa ditinggal, ada. Ada yang memang tidak terlalu bergantung pada suaminya atau pada istrinya, sehingga lebih bisa ditinggal, atau lebih bisa dan menikmati berdiam di rumah dengan anak-anak sehingga kalau pun tidak ada pasangannya, dia oke. Ada yang seperti begitu, maka kita mesti mengenal pasangan kita. Kita tidak bisa mewajibkan pasangan kita untuk hidup dan bersikap seperti orang lain. Kita tidak bisa berkata, "Mengapa kamu tidak bisa seperti si A atau si B yang bisa ditinggal, yang bisa tidak apa-apa merawat anak-anak di rumah". Setiap orang lain dan karena inilah pasangan yang Tuhan sediakan untuk kita, maka kita harus memerhatikannya dan menyesuaikan hidup kita sesuai dengan konteks kehidupan kita. Bila kita memaksakan diri, saya takut hasilnya akan buruk. Jadi kita sadarilah, inilah keluarga kita, inilah pasangan kita, kita coba sesuaikan diri sehingga akhirnya komitmen luar kita itu kita jaga jangan sampai mengganggu. Dan yang berikut yang mau saya singgung adalah, tidaklah selalu sama pada setiap fase, Pak Necholas. Misalkan sewaktu anak-anak kecil, sudah tentu kita lebih diperlukan, kita lebih harus memberikan bantuan, pertolongan bagi pasangan kita dalam membesarkan anak dan sebagainya. Waktu mereka sudah remaja, sudah lebih besar, kita akan lebih bebas, kita akan bisa meninggalkan mereka. Jadi setiap fase menuntut penyesuaian, tidak sama. Yang keenam adalah ini, Pak Necholas, yaitu dalam hal sentuhan. Kita mesti juga mengingat bahwa kita saling membutuhkan sentuhan, baik secara fisik maupun emosional dan diperlukan disiplin untuk dapat memenuhi kebutuhan sentuhan ini. Secara fisik, kita saling menyentuh bukan saja sewaktu berhubungan intim tapi juga dalam berinteraksi sehari-hari seperti memeluk, memegang tangan atau mencium pipi. Sentuhan fisik adalah kebutuhan yang mesti dipenuhi dan untuk itu diperlukan disiplin untuk melakukannya secara teratur. Selain sentuhan fisik kita pun harus menyentuh hati pasangan secara emosional dan itu dilakukan melalui perbuatan baik, pertolongan, uluran tangan serta perbuatan baik senantiasa menyentuh hati dan itulah yang menyehatkan pernikahan. Jadi berdisiplinlah menyentuh satu sama lain, baik secara fisik maupun secara emosional.
ND: Dalam poin sentuhan ini, yang saya tangkap, Pak Paul ingin mengingatkan kita untuk terus akrab atau dekat dengan pasangan, begitu ya, Pak Paul, karena yang disebutkan adalah contoh seperti sentuhan fisik, juga sentuhan secara emosi.
PG: Betul, jadi kita ini membutuhkan keintiman dan keintiman itu dipupuk serta juga ditunjukkan lewat sentuhan. Nah, selain itu memang kita membutuhkan sentuhan ini, bukan saja ini baik untuk keintiman tapi memang kita membutuhkan. Kita membutuhkan sentuhan, dipegang, dibelai, kita perlu mendengar kata-kata yang menyejukkan hati, kita perlu mendengar pujian. Tapi yang satu lagi adalah perbuatan baik, waktu kita menawarkan diri, menolong, kita mau misalnya melakukan sesuatu meskipun tidak diminta oleh dia, kita tengah menyentuh hatinya. Nah, pernikahan mulai bermasalah sewaktu sentuhan-sentuhan ini mulai menghilang dari pernikahan. Misalnya tidak lagi memegang, tidak lagi menyentuh, tidak lagi membelai, tidak lagi memeluk, itu akan menciptakan jarak, menjauhkan dan sewaktu miskin perbuatan baik, menolong, menawarkan diri, berkorban. Hal-hal itu misalkan mulai menghilang dari dalam relasi pernikahan, hampir dapat dipastikan tinggal tunggu waktu maka pernikahan itu akan retak. Jadi penting sekali kita memelihara disiplin sentuhan ini, Pak Necholas.
ND: Saya teringat lima bahasa kasih itu, salah satunya adalah sentuhan dan kadang-kadang kita berpikir misalnya pasangan kita bahasa kasih utamanya bukan sentuhan, akhirnya kita terus melakukan hal yang lain, misalnya menyediakan waktu bagi pasangan dan kita lupa dengan sentuhan ini. Kalau yang saya tangkap dari Pak Paul, berarti meskipun kita paham soal lima bahasa kasih itu, tapi sentuhan ini tetap harus juga dilakukan, meskipun itu bukan bahasa kasih utama pasangan kita.
PG: Betul, sudah tentu bila itu bahasa utamanya, kita mesti memberikannya cukup atau banyak, tapi semua orang memerlukan sentuhan. Jadi itu yang mesti kita disiplin untuk melakukannya. Terakhir kita akan bahas yaitu kerohanian, Pak Necholas. Suami dan istri mesti berdisiplin diri memelihara hubungan dengan Tuhan, itu dapat dilakukan melalui saat teduh dan doa, baik secara pribadi maupun berdua. Tiap minggu sediakanlah waktu untuk pergi berbakti bersama dan berdisiplinlah untuk terlibat dalam pelayanan dan memberi persembahan. Pernikahan yang sehat dibangun diatas disiplin rohani yang kuat, sebaliknya tanpa disiplin rohani yang kuat, perlahan tapi pasti pernikahan pun mulai mengeropos. Sebagai contoh, bila misalnya suami mulai berkata, "Aduh saya repot, tidak bisa ke gereja, kamu saja pergi ke gereja dengan anak-anak". Sekali-sekali oke, tapi bila ini mulai menjadi sebuah kebiasaan, hampir bisa dipastikan ini akan menciptakan jurang. Atau istri berkata, "Oh, saya mau pergi dengan teman-teman saya kebetulan mereka ada piknik ke mana, saya mau jalan-jalan hari Minggu". Sekali-sekali tidak apa-apa, tapi misalkan mulai jadi reguler, lebih sering, lebih sering, ini akan menciptakan masalah. Dulu misalkan tiap malam sebelum tidur, kita berdoa bersama. Lama-lama,"Ah kamu saja berdoa, saya mengantuk, saya diam saja. Lama-lama langsung saja tidur, tidak ada lagi doa bersama. Hal-hal kecil seperti itu bila terjadi niscaya akan mulai memisahkan kita, jadi pernikahan membutuhkan disiplin rohani pula.
ND: Selain disiplin dalam hal kerohanian dan sentuhan yang tadi baru saja kita bicarakan, di awal juga Pak Paul bicarakan disiplin dalam tanggungjawab, dalam emosi, juga pergaulan, hobi dan komitmen luar, ada tujuh hal yang Pak Paul sudah sampaikan. Nah, ini ‘kan cukup banyak, kalau pendengar berpikir saya ingin memulai, memulai dari mana sebaiknya?
PG: Mungkin saya akan memulai dari yang nomor tujuh dulu, Pak Necholas, yaitu disiplin rohani. Ini adalah dasar yang kita mesti memang memulai pernikahan kita di atas kerohanian dalam hubungan kita dengan Tuhan, dalam ibadah kita, bakti kita kepada Tuhan. Maka jadikan ini sebagai dasarnya dulu, karena kalau kita memunyai hubungan yang erat, baik dengan Tuhan, bila kita mulai melenceng maka Roh Kudus akan dapat mengingatkan kita lewat Saat Teduh kita, lewat doa bersama kita. Kita akan mendapatkan teguran atau karena kita sebelum berdoa, kita bicara dulu baru kita berdoa, itu menjadi kesempatan untuk pasangan berkata, "Saya perhatikan, akhir-akhir ini kamu menjadi begini". Itu jadi wadah yang dapat kita bicarakan sebelum kita berdoa bersama. Ini kalau Pak Necholas tanya saya, mana yang harus kita dahulukan? Pertama disiplinan kerohanian. Di atas itu saya akan tambahkan tanggungjawab. Itu adalah hal yang penting sekali, tanggungjawab, pada akhirnya pernikahan itu sebuah kesepakatan, tanggungjawab apa yang akan harus ditanggung masing-masing dan kekonsistenan untuk melaksanakannya.
ND: Baik, terima kasih banyak Pak Paul atas penjelasannya. Mungkin ada ayat dari firman Tuhan yang boleh disampaikan?
PG: Saya bacakan dari Amsal 6:10-11, "Tidur sebentar lagi, mengantuk sebentar lagi, melipat tangan sebentar lagi untuk tinggal berbaring maka datanglah kemiskinan kepadamu seperti seorang penyerbu, dan kekurangan seperti orang yang bersenjata". Pernikahan adalah sebuah karunia dari Tuhan untuk dinikmati dan dirayakan, namun kita mesti memeliharanya baik-baik dengan disiplin. Apabila tidak, karunia itu akan lapuk dan rusak. Orang yang maunya hanya tidur dan melipat tangan, akan kehilangan karunia itu.
ND: Baik, terima kasih Pak Paul untuk pembicaraan kita di kesempatan kali ini.
Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (TEgur sapa gembaLA keluarGA), kami baru saja berbincang-bincang tentang "Disiplin Dalam Pernikahan". Jika Anda berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami melalui surat ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat mengirimkan email ke telaga@telaga.org; kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org; saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.