Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya Mega akan berbincang-bincang dengan Bp. Ev. Sindunata Kurniawan, MK. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Dinamika Anak Pendeta". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
M : Topik kita pada hari ini adalah "Dinamika Anak Pendeta". Sepertinya topik yang selalu ada dan akan selalu ada sepanjang sejarah ya, Pak Sindu. Cuma saya merasa topik ini jarang sekali diangkat. Bagaimana menurut Pak Sindu?
SK : Ya, jadi memang pembahasan kali ini untuk menolong kita menyadari hal-hal yang penting, mendasar sehingga kita bisa mendukung kebutuhan tumbuh kembang yang baik dari anak seorang pendeta, yang sesungguhnya juga sebagaimana anak pada umumnya.
M : Kalau dari Pak Sindu sendiri, bagaimana Pak? Selama ini dari pengalaman Pak Sindu mengamati kehidupan ya keluarga-keluarga pendeta dengan anak-anak mereka. Apa kira-kira yang mendorong Pak Sindu untuk tertarik mengangkat topik ini?
SK : Jadi, memang melihat dalam proses yang panjang seperti menjadi rahasia umum. Jadi, "Oh ya, memang anak pendeta dia ini", artinya dalam konteks negatif. Jadi sekian anak pendeta itu bermasalah baik dalam perilakunya yang ‘semau gue’, ada yang kemudian jadi pemberontak, dan melakukan hal-hal yang mempermalukan orang tua. Atau sebaliknya, sebagian tidak seperti itu, tapi tumbuh dalam model kepribadian yang tertekan. Tertekan, sangat menekankan pencitraan diri, rasa aman secara eksternal dan tidak berani mengambil langkah-langkah secara lebih apa adanya. Jadi cenderungnya mungkin sebagian legalis, penuh aturan, super hati-hati, punya rasa tidak aman yang cukup tinggi. Jadi ada dalam dua ekstrem ini dan memang tetap ada anak-anak pendeta yang tumbuh sehat, tapi itu akhirnya menjadi sesuatu yang "Wah luar biasa!" kalau bisa bertumbuh sehat. Tapi menemui anak-anak pendeta dalam perbuatan-perbuatan di masa remaja dan dewasanya itu cukup mudah. Jadi ini satu sisi kita perlu prihatin, karena itu tanggung jawab kita sebagai orang percaya: "Kenapa anak-anak pendeta ini bisa muncul produk yang demikian", itu juga tanggung jawab kita bersama.
M : Ya, kalau dari pengalaman saya sendiri, saya agak jarang melihat anak pendeta yang jadinya memberontak. Tapi kalau anak pendeta yang sangat dalam tanda kutip "kudus", tidak bercacat, tidak bercela itu cukup banyak. Tapi saya juga melihat bahwa dibalik jubah yang mereka pakai sebetulnya mereka itu tertekan dengan status anak pendeta. Bagaimana menurut Pak Sindu?
SK : Ya, tepat. Jadi, ada sisi yang demikian, maka satu hal yang kita bisa kembangkan mari ijinkan anak pendeta pun tetap menjadi anak-anak. Artinya, bahwa dari orang tua dan juga gereja atau komunitas pelayanan jangan menuntut sama dengan ayah dan atau ibunya yang menjadi pendeta. Karena yang menjadi pendeta ‘kan ayah dan atau ibunya, dan bukan anaknya. Anak tidak pernah memilih "Aku memilih jadi anak pendeta" atau mau jadi anak pengusaha atau anak dari seorang profesional. Jadi mari kita lepaskan credit card tuntutan terhadap anak-anak ini.
M : Apakah Pak Sindu, menurut pengalaman bapak dinamika mereka itu sebetulnya itu seperti apa? Jadi rasa tertekannya itu apakah memang seperti itu? Apakah anak-anak pendeta itu memang memiliki hidup yang tertekan? Ataukah sebetulnya mereka itu hidupnya baik-baik saja?
SK : Ya, tentu itu bisa macam-macam ya, dari sisi kemungkinannya. Satu sisi yang kalau saya ambil dari satu poin tentang ketertekanan, itu ‘kan karena tuntutan itu tadi. "Kamu anak pendeta ya, makanya kamu perlu rajin Sekolah Minggu. Kamu itu juga perlu aktif pelayanan seperti ayah ibumu". Nanti mungkin majelis atau jemaat, "Anak pendeta mengapa begitu gurauannya?", "Anak pendeta itu harus pintar, mengapa kamu tidak pintar?", "Perilakunya semaunya sendiri", "Tidak boleh lari-lari seperti itu, yang sopan anak pendeta itu!", padahal anak ini masih kecil, anak SD, yang memang tahapnya tahap ceria yang apa adanya maka orangtua pun perlu memberi ruang. Jadi ada saatnya anak itu punya keinginan, "Pa, aku tidak mau ke gereja", jangan "Tidak boleh kamu itu anak pendeta kamu jadi contoh buat teman-temanmu", tanya dulu "Kenapa kamu tidak mau ke gereja hari ini atau besok?". Dialoglah dari hati ke hati dengan cara itu anak akan merasa dimanusiakan sementara juga majelis dan juga jemaat, orang-orang dalam lingkungan pelayanan juga memberi tempat kalaupun mereka melakukan kesalahan. Bukankah namanya anak-anak, kalau pun diingatkan, "Hush… tenang ada kebaktian" tanpa perlu dilabelkan, dikait-kaitkan "Kamu anak pendeta, mengertilah!", nah lepaskan itu karena itu akan memberikan sebuah tindakan penekanan akhirnya anak tumbuh bukan memunyai jiwa yang merdeka tapi jiwa yang tertekan dan tertuntut.
M : Tapi kadang-kadang saya melihat, orang tua sendiri ya yang pendeta itu menekan anak-anaknya dengan kata-kata, "Kamu itu jangan mempermalukan papa dan mama. Papa dan mama itu disini pendeta, panutan orang lain. Seharusnya kamu juga sebagai anaknya papa dan mama melakukan hal-hal yang tidak mempermalukan papa dan mama". Label-label seperti itu ‘kan diindoktrinisasi setiap hari, sehingga apakah hal ini juga bisa menekan dari anak-anak ini?
SK : Oh iya, sangat bisa. Jadi tepat pengamatan bu Mega. Jadi ini ‘kan ada dua sumber yang memberi ketertekanan pada anak pendeta. Sumber yang pertama adalah dari keluarga inti ayah dan ibunya. Sumber yang kedua ialah lingkungan sekitar baik dari gereja, komunitas pelayanan ataupun masyarakat. Memang dalam hal ini dua-duanya perlu berperanan untuk melepaskan tuntutan-tuntutan yang tidak realitistik bagi kesehatan tumbuh kembang anak pada umumnya, termasuk anak pendeta. Maka dalam konteks ini, kalau dari orang tua kandung perlu melepaskan. Ijinkan anak menjadi diri apa adanya. Kemudian orang tua pun sendiri perlu membangun rasa aman yang sehat dari dalam dirinya.
M : Dirinya itu, diri orang tua?
SK : Dirinya sendiri sebagai seorang pendeta, atau sebagai suami atau istri pendeta. Tanpa sadar rasa aman kita sebenarnya bukan dibangun didalam diri, tapi bergantung kepada sekitar. "Apa kata dunia kalau anak saya begini? Apa kata dunia kalau istri saya atau suami begini? Kalau keluarga saya dikatakan negatif, berarti ‘kan saya juga negatif". Nah, itu keliru. Jadi rasa aman yang sehat, penghargaan yang sehat bahwa aku berharga sekalipun aku eksis, aku aman sekalipun pasangan nikahku, anakku punya dinamika naik dan turun, aku tetap eksis dan aman. Jadi dengan begitu dia ketika dikatakan, "Boksu, pak pendeta, bu pendeta mengapa anaknya begini?". "Oh iya tidak apa-apa itu memang usia anak-anak. Memang seperti itu". Jadi "Mestinya ‘kan begini anak pendeta", "Iya itukan mestinya. Tapi ‘kan maaf saya tidak sepakat itu kurang sehat. Anak perlu tetap diijinkan menjadi anaklah". Orang tua atau diri pendeta atau pasangan pendeta yang memunyai gambar diri yang mantap yang sehat dia berani untuk mengedukasi bahkan jemaat ataupun komunitas pelayanan yang mungkin masih memertahankan cara pandang yang keliru tentang anak pendeta itu harus bagaimana sepatutnya. Seperti itu.
M : Iya. Dari penjelasan Pak Sindu tadi terlintas dalam pikiran saya, itu pengalaman saya seperti ini, pak. Tempo hari itu pernah ada seorang teman mengatakan kepada saya tentang anak pendeta yang lari-lari pada waktu di ruangan ibadah dan orang tuanya membiarkan. Jadi di sisi yang pertama ‘kan ada ekstrem anak tidak boleh melakukan hal-hal yang tidak baik. Kemudian kita juga memberikan kelonggaran bagi anak-anak pendeta itu sendiri untuk bertumbuh seperti anak-anak pada umumnya. Tapi kemudian nanti akan ada ekstrem yang kanan, ekstrem yang satunya. Orang tua mengatakan "Biarlah itu anak orang tua yang pendeta maksud saya. "Biarlah anak saya ‘kan masih anak, anak kecil. Jadi mau ramai, mau teriak, mau memukuli temannya dibiarkan sama orang tuanya ini.
SK : Jadi memang dalam hal ini, cinta yang perlu diberikan orangtua ke anak model pengasuhannya adalah otoritatif. Otoritatif itu artinya sebuah penggabungan antara kasih sayang dan tuntutan positif. Dalam hal ini juga memang seorang anak siapapun termasuk anak pendeta perlu ada penegakan batasan yang sehat, "Ini bukan wilayah untuk lari-lari. Kamu berlari-lari di halaman gereja. Tapi tolong perhatikan suaramu, teriak-teriakanmu. Jadi memang kalau lagi ada kebaktian di dalam gedung kamu boleh lari-lari tapi hindari untuk teriak-teriak". Nah, itu bukan hanya anak pendeta, anak jemaat, anak majelis sama. Jadi memang benar ada beberapa kasus akhirnya terlalu longgar. Sehingga artinya itu pemanjaan, jadi bukan satu sisi, bisa jadi pola asuhnya otoriter tapi bisa juga yang lain pola asuhnya adalah permisif, memanjakan. Jadi yang benar itu otoritatif, ada kasih sayang, anak diijinkan menjadi dirinya sendiri sebagai anak-anak tapi juga ada sisi lain paradoksnya adalah tuntutan positif bahwa, "Kamu tidak bisa dalam segala waktu dan tempat menjadi diri sendiri sebagai anak, kamu perlu menyesuaikan pada lingkungannya. Kalau lingkungannya seperti ini ya kamu sesuaikan. Tapi kalau di lingkungan yang lain kamu boleh bebas". Nah, ini batasan yang sehat juga perlu.
M : Dan tentunya ini merupakan suatu kerjasama dari semua pihak ya, pak, tidak hanya orang tua tetapi juga jemaat juga majelis pokoknya lingkup yang berada di dalam gereja itu.
SK : Betul. Nah dalam hal ini juga maka dalam soal pendidikan iman, Bu Mega, perlu orang tua yang menjadi pendeta dalam mendidik iman anaknya pun hindari cara-cara yang legalis serba harus, serba wajib, ya, pokoknya metodik harus "Pagi begini, malam begini", "Tidak boleh dilanggar. Sedikit dilanggar etikamu tidak kudus", "Kamu bersalah", artinya iman anak terbentuknya legalistik. Akhirnya dia jadi punya hati nurani yang paling lemah. Sedikit saja dia lupa saat teduh, sedikit dia bergeser ini, "Aduh aku merasa bersalah. Tuhan pasti adalah Tuhan yang akan menghukum aku". Jadi siapa Tuhan secara imani bagi setiap anak itu sudah terbentuk pondasi gambaran tentang siapa Tuhan itu dari pengalaman langsung, dari bagaimana orangtua kandung memerlakukan dirinya. Jadi kalau kita melihat firman Tuhan dalam Ulangan pasal 6 yang disebut shema, "Ajarlah, didiklah, bangunlah iman anak" itu bukan hanya dalam bentuk sebatas mezbah keluarga, saat teduh pagi, saat teduh malam, tapi dalam keseharian. Bukan hanya omong saja, tapi lewat relasi persahabatan, relasi kasih sayang, keseharian bermain, bersenda gurau, keakraban, ya dari sanalah juga itu bagian yang melekat dalam pendidikan iman dari orang tua ke anak. Jadi kita perlu lebih cair. Tetap boleh ada mezbah keluarga dan beberapa pola tapi jangan legalistik.
M : Berkaitan dengan hal ini orang tua ‘kan harus istilahnya membimbing dan mengasuh anaknya itu dengan sepenuh hati sepanjang hari. Cuma ‘kan pengamatan saya saja, bahwa sudah tidak menjadi rahasia lagi para pendeta itu ‘kan sangat sibuk, ya pak. Dari pagi ketemu pagi, dari acara doa pagi sampai doa malam dan juga disusul dengan rapat-rapat yang lain. Nah, bagaimana Pak Sindu menengahi hal ini, di tengah-tengah kesibukan dan juga di tengah-tengah dia tetap harus menjadi orangtua yang sehat yang otoritatif seperti itu?
SK : Jadi memang juga sama batasan yang sehat perlu dimiliki oleh seorang pendeta sebagaimana juga murid-murid Kristus yang lain. Orang-orang percaya dan siapa pun, kita perlu memunyai jam kerja, kita juga perlu memunyai jam istirahat, kita perlu punya waktu untuk hobi yang sehat, kita perlu punya waktu dengan Tuhan secara khusus, kita perlu punya waktu dengan pasangan nikah kita, dengan anak-anak kita secara sehat. Jadi ada keutuhan dan keseimbangan, ada batasan-batasan sehat yang perlu kita kembangkan. Jadi dalam konteks ini kadang dalam masa-masa yang terutama masa lalu dan mungkin juga masa kini, mungkin masih ada berpikir begini, "Oh Tuhan aku hamba-Mu aku urus pekerjaan-Mu dan sebaliknya Engkau yang akan urus keluargaku". Kalau ada yang masih punya pandangan itu silakan bertobat, lepaskan. Tetap berani punya anak, berani jadi orangtua. Tidak bisa kita istilahnya, "take it for granted". "Oh nanti kasih karunia mujizat Tuhan akan mengisi tangki kasih sayangnya, saya ‘kan sibuk memberi kasih sayang Tuhan kepada para domba-domba gembalaan-Nya dan Tuhan akan menggembalakan domba-domba kecil saya di rumah", tidak bisa. Tuhan sudah memberikan fase penciptaan juga kepada orang tua pendeta kepada anaknya, dan itu perlu orang tua tangani langsung. Nah bukan berarti memang 1x24 jam orang tua perlu hadir, tapi minimal salah satu orang tua bergantian mendampingi anak dan kemudian ada saat bersama-sama anak dan mengisi apa yang menjadi kebutuhan anak baik dalam kasih sayang maupun dalam tuntutan positif.
M : Untuk mengenai masalah rumah tinggal begitu pak, apakah kalau dari pandangan Pak Sindu sendiri, apakah cukup sehat bagi anak-anak pendeta itu tinggal didalam lingkungan gereja dengan lokasi yang sama, menurut bapak bagaimana?
SK : Itu kondisi yang kadang memang karena keterbatasan ekonomi gereja sehingga pastori rumah tinggal keluarga pendeta ada di dalam satu kompleks dengan gereja. Tetapi sejalan dengan berkat Tuhan secara finansial, saya sangat mendorong gereja berani mengalokasikan dana untuk kemungkinan pastori atau rumah tinggal pendeta dengan keluarganya itu di luar kompleks gereja. Dengan tujuan supaya punya privasi dan anak-anak juga punya ruang pertumbuhan yang sehat. Misalnya anak-anak bermain di halaman rumah pastori yang notabene adalah halaman gereja juga, "Nah tidak, ini kebaktian" dan ternyata hampir tiap sore ada kebaktian atau ada ibadah, ada acara pembinaan, bagaimana anak bisa leluasa. Jadi untuk kesehatan sang pendeta dan anak, jauh lebih baik diijinkan pastori itu diluar. "Lha nanti tidak bisa begini, begitu, siapa yang jaga?" maka itu juga kembangkan ada yang jadi bagian keamanan atau juga apa yang namanya koster, dia ‘kan yang bisa melakukan fungsi-fungsi keseharian di luar kehadiran bapak atau ibu pendeta itu.
M : Wah ini akan menjadi suatu masukan yang sangat berharga ya pak, bagi gereja dan komunitas yang ada di sekitar gereja.
SK : Ya sisi yang lain Bu Mega saya mau singgung tentang kadang-kadang pak pendeta, bu pendeta itu bicara kalau mau meninggalkan anak, "Oh ayah mau pelayanan", "Lho ayah mau kemana kok pagi-pagi sudah berangkat. Kapan pulangnya? Kenapa kok pergi lagi ya?", "Ini mau pelayanan, mau pelayanan", saya usul diganti. Lebih baik ungkapkan dengan sesuatu yang lebih jelas misalnya, "Ayah kerja, ibu kerja", "Kenapa pergi seharian?" "Iya ‘kan kerja. Ayah kerja supaya nanti ayah juga bisa dapat uang dari pekerjaan ini dan uang ini juga untuk menyekolahkan kamu. Membelikan kamu mainan. Karena itu ayah harus kerja". Jadi bangunlah suatu konsep yang bisa lebih dipahami, "ayah bekerja". Seringkali atau mungkin masih agak umum sekian banyak komunitas gereja dan pelayan tidak berani menyebut pendeta itu adalah bekerja, lebih sering digunakan kata pelayanan, karena pekerjaan itu ibaratnya sekuler. Keliru, semua pekerjaan itu tidak sekuler, kecuali berjudi. Kita menjadi seorang kriminal itu pekerjaan sekuler tapi semua pekerjaan umum termasuk menjadi pendeta itu pekerjaan yang kudus, ketika kita lakukan didalam nama Yesus. Dengan cara begitu supaya, pencitraan pelayanan itu tidak negatif, "Oh gereja merebut" atau "Gara-gara pelayanan aku kesepian, merebut ayah ibuku", akhirnya dia akan benci terhadap pelayanan atau minimal punya sikap hati yang tidak senang. Dan itu akhirnya muncul bentuk-bentuk, akhirnya dia menarik diri, menolak iman orang tuanya, tidak mau berkomunitas dengan orang percaya karena terluka dengan kata gereja atau terlebih kata pelayanan.
M : Jadi maksud bapak kita menghindari kata-kata pelayanan, itu untuk menjaga ‘image’ anak tentang kata itu sendiri ya, bahwa pelayanan itu merebut keluarganya, merebut kasih sayang papa mamanya. Dan yang dikhawatirkan itu membawa dia jauh dari Tuhan. Begitu ya pak?
SK : Betul.
M : Ok. Pertanyaan saya selanjutnya, jika misalnya anak-anak itu sudah terluka di masa kecilnya, apa saran bapak ketika anak itu nantinya sudah dewasa, bagaimana dia bisa menyelesaikan luka-luka yang sudah terjadi di masa kecil akibat tuntutan keluarga atau tuntutan komunitas gereja yang sudah dia kecap selama bertahun-tahun itu?
SK : Ya, perlu untuk secara sengaja anak-anak pendeta yang demikian mari cari pertolongan, baik konselor yang terdidik ataupun lewat kita komunitas pertumbuhan iman yang otentik yang kita bisa saling bercerita, ada kasih karunia, ada semangat memberi dan menerima kasih karunia Tuhan didalam komunitas tersebut. Mari. Karena kalau kita membiarkan sampah jiwa itu ada dalam diri kita termasuk sebagai anak pendeta yang sudah berusia dewasa, mau tidak mau itu akan mengganggu relasi kita di masa sekarang dan ke depan, baik dengan pasangan nikah kita, dengan anak-anak kita, mengganggu relasi kita dengan Tuhan ataupun dengan komunitas orang percaya di masa sekarang dan ke depan. Jadi itu bukan hal sederhana. Dan mari mengambil langkah untuk mencari pertolongan ini.
M : Ya. Dan sebetulnya anak-anak pendeta pun pada waktu masa dewasanya tidak perlu atau tidak wajib ya pak, untuk menjadi pendeta? Bagaimana pandangan bapak?
SK : Oh iya, tentunya tidak ya. Semua ‘kan dipanggil dengan panggilan khusus masing-masing. Ya. tidak harus, sebagaimana anak pengusaha tidak harus jadi pengusaha, anak dokter tidak harus jadi dokter. Tapi sisi yang lain begini, tugas pak pendeta bu pendeta dengan pasangan nikahnya tugas dari gereja, jemaat, ataupun komunitas pelayanan yang mengitari para hamba Tuhan ini adalah menciptakan seoptimal mungkin lingkungan dan atmosfir yang kondusif, yang sehat sehingga anak-anak pendeta atau anak-anak hamba Tuhan ini memunyai kemerdekaan untuk juga boleh terpanggil, terbeban menjadi seorang pendeta atau hamba Tuhan seperti ayahnya, ibunya atau minimal mencintai gereja dan pelayanan sekalipun tidak punya panggilan khusus menjadi pendeta atau hamba Tuhan penuh waktu.
M : Jadi anak pendeta itu tidak harus ya, menjadi pendeta seperti ayahnya dan ibunya tapi tugas dia dan juga tugas lingkungan yang ada di sekitarnya untuk membawa dia memahami apa rencana Allah di dalam hidupnya dan untuk menemukan rencana Allah itu dan mendukung dia untuk menemukan dan juga mewujudkan rencana Allah itu didalam hidupnya. Begitu ya, pak?
SK : Betul. Bahwa memang ya begini, sebuah fenomena umum ya lebih banyak anak dokter menjadi dokter, lebih banyak anak pengusaha menjadi pengusaha dan seterusnya. Tapi secara umum kecenderungannya lebih sedikit anak pendeta jadi pendeta. Karena apa, menjadi anak dokter, menjadi anak pengacara, menjadi anak pengusaha itu lebih identik dengan kehidupan yang gembira dan bahagia, kehidupan yang menyenangkan. Sehingga cenderung secara alamiah, anak akan mengulangi rasa bahagia, rasa gembira, rasa kemerdekaan sebagaimana yang dia terima di masa kecil dari orang tua dengan profesi-profesi tadi. Nah, sebaliknya berbeda dalam kondisi sebagai anak pendeta atau hamba Tuhan. Nah dalam konteks ini adalah sejalan dengan berkat Tuhan sejalan dengan proses usia kita gereja dan komunitas pelayanan mari kita semakin waktu semakin memberi yang terbaik baik pendeta, hamba Tuhan dan keluarganya yang kita dukung dan naungi. Dalam beberapa kasus kadang pemimpin-pemimpin gereja awal, majelis, jemaat terlalu keras, terlalu membatasi artinya tidak memberi yang sepadan yang sesuai dengan kebutuhan dan kelayakan padahal masih cukup mampu. Sehingga anak-anak ini pun tumbuh dengan rasa tertekan dan menjadi saksi mata betapa ayah ibunya yang adalah pendeta dan hamba Tuhan diperlakukan dengan buruk. Sehingga mereka punya luka dan mereka artinya ada perasaan penuh keraguan mungkin. Satu sisi rindu melayani Tuhan tapi hati ini ciut kalau mengulangi naskah hidup orang tuanya yang dia sendiri jadi saksi mata dan mendapatkan getahnya. Nah inilah kesedihan. Karena itu di masa sekarang dan ke depan mari kita yang bukan menjadi pendeta ataupun hamba Tuhan penuh waktu kita yang menjadi pendukung, pengurus majelis, pengurus yayasan pelayanan, kita pakai dengan paradigma yang baru, bahwa seperti kata Rasul Paulus dalam Firman Tuhan "Seekor kerbau yang sedang membajak tidak boleh dibrangus mulutnya". Jadi dia masih boleh membajak sambil makan, artinya bahwa berilah kehidupan yang layak sejalan dengan berkat yang Tuhan berikan, perjuangkan juga layak. Dengan begitu kelanggengan pelayanan dari generasi ke generasi dengan sendirinya kita dukung.
M : Ya. Perbincangan kita sangat-sangat menarik ya pak dan sepertinya kita membutuhkan dukungan dari apa yang dikatakan oleh firman Tuhan bagaimana kita juga bisa mendukung anak-anak pendeta ini untuk bertumbuh menjadi pribadi-pribadi yang sesuai dengan rencana Tuhan.
SK : Saya bacakan bu Mega dari Injil Lukas 2:52, "dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmatnya dan besarnya dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia". Dari teks kecil ini menunjukkan Yesus pun bertumbuh secara alamiah dan sehat dari berbagai dimensi baik secara fisik bertumbuh sehat, secara mental, intelektual, secara emosi sosial dan juga secara spiritual. Demikian juga mari kita ciptakan lingkungan yang sehat bagi anak-anak pendeta, anak-anak hamba Tuhan untuk bertumbuh secara sehat sesuai tahap perkembangannya di semua aspek perkembangan.
M : Terima kasih Pak Sindu untuk perbincangan kita pada hari ini. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Ev. Sindunata Kurniawan, MK dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Dinamika Anak Pendeta". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat mengirimkan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.