Antara Pekerjaan dan Rumah

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T200A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 

Pada awalnya kita memulai relasi di dalam konteks kehidupan yang serupa. Kesamaan lingkup kehidupan sedikit banyak berpengaruh menyelaraskan kedua diri yang berbeda.Tetapi setelah menikah kesamaan makin menipis berhubung kita dipisahkan oleh tuntutan pekerjaan. Perbedaan berpotensi menciptakan jarak.

Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Pada awalnya kita memulai relasi di dalam konteks kehidupan yang serupa. Kita kuliah di kota dan perguruan tinggi yang sama; beribadah dan melayani di gereja yang sama; bahkan sebagian dari kita bertumbuh besar di lingkungan yang sama. Kesamaan lingkup kehidupan sedikit banyak berpengaruh menyelaraskan kedua diri yang berbeda. Setelah menikah kesamaan makin menipis berhubung kita dipisahkan oleh tuntutan pekerjaan. Ada yang harus diam di rumah bersama anak dan ada yang bekerja di luar rumah. Kalaupun keduanya bekerja di luar rumah, pada umumnya kita bekerja di bidang yang berlainan. Ketidaksamaan lingkup pekerjaan pada akhirnya memberi dampak pada kepribadian dan gaya hidup serta komunikasi di antara kita. Perbedaan berpotensi menciptakan jarak dan untuk menghindarinya kita perlu melakukan beberapa hal berikut ini.

  1. Kita mesti menyadari dampak pekerjaan itu pada diri kita. Sebagai contoh, jika kita mengasuh anak hari lepas hari, mau tidak mau kita harus hidup dengan jadwal anak dan memahami cara hidup anak. Kita harus melonggarkan keteraturan dan bersikap fleksibel terhadap ketidakpastian. Gaya bahasa kita pun mengalami perubahan; misalnya kita menjadi lebih berputar-putar sebab untuk membujuk anak kita perlu berbicara secara tidak langsung. Kadang kita pun bernada memerintah sebab anak memerlukan instruksi. Sebaliknya, bila kita bekerja di lingkup hierarki, kita akan mementingkan aturan dan mata rantai pertanggungjawaban. Kita akan berusaha menyelesaikan pekerjaan sendiri sebelum bertanya kepada atasan. Kita berkomunkasi dengan lebih langsung dan tidak berputar-putar dan dalam bertindak, kita menekankan efisiensi. Semua ini akan berdampak pada diri kita tatkala kita di rumah bersama pasangan.
  2. Kita pun harus menyadari dampak mitra kerja pada diri kita. Pekerjaan tertentu cenderung menyedot orang-orang dengan kepribadian tertentu pula. Akibatnya, makin lama kita bekerja bersama mitra, gaya hidup dan pola pikir kita bukan saja makin serupa tetapi juga makin mengental. Masing-masing memberi sumbangsih yang makin memperkuat karakteristik tertentu itu. Misalkan perkerjaan yang menuntut kepatuhan dan disiplin yang tinggi akan menarik orang yang memiliki kepatuhan dan disiplin yang tinggi. Dapat kita bayangkan apa yang akan terjadi bila sejumlah orang yang mempunyai kepatuhan dan disiplin tinggi berkumpul hari lepas hari selama bertahun-tahun-mereka akan saling memperkuat kepatuhan dan disiplin yang tinggi.
  3. Kita tidak boleh menuntut pasangan untuk mengadopsi gaya bahasa dan pola hidup kita. Mustahil baginya untuk mengadopsi semua itu sebab ia tidak hidup di dalam dunia kita. Kita mesti menerimanya apa adanya. Jika ia berusaha mengadopsi gaya hidup kita, itu adalah bonus yang kita syukuri, bukan yang kita tuntut.
  4. Jika demikian kondisinya, sebaiknya kita memisahkan gaya hidup dan pola pikir kita di rumah dan di tempat kerja. Tetaplah berkomunikasi dengan gaya lama sebab bukankah gaya lama inilah yang telah mempersatukan kita. Jangan memaksakannya untuk menjadi diri kita.

Firman Tuhan: Berilah dan kamu akan diberi. (Lukas 6:38)

T 200 B "Gaya Komunikasi Pria dan Wanita" oleh pdt. Paul Gunadi

Salah satu sumber konflik dalam rumah tangga adalah komunikasi yang tidak tepat sasaran. Meski kita tidak dapat menggeneralisasi semua, namun ada pola komunikasi tertentu yang lebih sering ditemukan pada pria dan wanita. Memahami pola ini bisa membantu kita memperlancar arus komunikasi.

  1. Dalam berkomunikasi dengan pasangan, pada umumnya pria menuntut ketundukan istri kepadanya. Jadi, sebaiknya istri tidak langsung menyatakan ketidaksetujuannya melainkan meminta waktu untuk memikirkan ulang usulan suami. Atau, di awal bantahannya, istri langsung menyatakan kesediaannya untuk mematuhi kehendak suami namun ia ingin mengungkapkan pikirannya terlebih dahulu. Biasanya jika suami tahu bahwa istri sedia mematuhinya, ia pun akan lebih siap untuk bernegosiasi. Sebaliknya, bila ia sudah membaca bantahan dari istri, ia cenderung bersikeras memaksakan kehendaknya. Alhasil konflik pun terjadi.
  2. Dalam berkomunikasi dengan pasangan, pada umumnya istri lebih mementingkan proses pembahasannya dibanding hasil akhir atau keputusannya. Selama istri memperoleh kesempatan untuk berunding dan mengungkapkan pikirannya, selama itu pulalah ia siap untuk mengikuti kehendak suaminya. Dalam pengertian ini, wanita lebih siap untuk menghadapi konflik sebab terpenting baginya adalah proses berkomunikasi itu sendiri. Sebaliknya pria cenderung memandang konflik sebagai sinyal ketidakpatuhan dan ketidakadaan dukungan istri terhadapnya.
  3. Pria cenderung berpikir praktis, jadi, jika ia menduga bahwa istri akan tidak setuju, daripada terlibat dalam konflik, ia memilih berdiam diri. Sebaliknya, oleh istri sikap diam ini diartikan putusnya relasi (bukan hanya komunikasi). Konflik yang lebih besar pun tak terhindarkan. Bagi istri, ketidaksetujuan dalam berkomunikasi merupakan dinamika sehat, bukan sesuatu yang perlu ditakuti.
  4. Wanita intuitif dan berorientasi pada perasaan, jadi bila ia melihat sikap atau penampakan suami yang menunjukkan ketidaksenangan, itu akan sangat mempengaruhi nada komunikasi. Dalam pada itu, komunikasi menjadi tidak berdasar fakta lagi; kendati "fakta" yang dibicarakan namun sesungguhnya istri menghendaki sesuatu yang lain-jaminan bahwa suami tetap mengasihi dan bersamanya.

Firman Tuhan:". . . kalau hidung ditekan darah keluar, dan kalau kemarahan ditekan, pertengkaran timbul." (Amsal 30:33)