Kata kunci: Tiga model pemimpin dalam hubungan dengan alih kepemimpinan yaitu pemimpin narsisistik, pemimpin regeneratif dan pemimpin multiplikatif. Pemimpin yang baik adalah yang berhasil melahirkan pemimpin baru yang memunculkan generasi berikutnya yang lebih kapabel dan berkembang.
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara Telaga, TEgur sapa gembaLA keluarGA. Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Yosie, akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., M.Phil, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Pemimpin Multiplikatif". Kami percaya acara ini bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Y: Wah, tema yang sangat menarik untuk pemuridan, ya Pak. Pemimpin multiplikatif, sebetulnya sebagai seorang pemimpin kita harus bisa meregenerasi orang-orang di bawah kita tetapi dalam prakteknya saya mengamati tidak semudah itu, tidak selancar itu. Kadang kita menemukan seorang pemimpin di gereja, di perusahaan, di organisasi itu begitu baik, tapi ke generasi keduanya terjadi kesenjangan. Apa ini yang melatarbelakangi Bapak mengangkat tema ini?
SK: Tepat seperti yang disampaikan Bu Yosie, bahwa regenerasi atau alih kepemimpinan itu sangat amat penting adanya kesinambungan antara pemimpin yang awal dengan pemimpin yang berikutnya, tapi memang dalam faktanya tidak serta merta mulus, maka untuk itu, Bu Yosie, saya mau membagikan paling tidak ada tiga model atau tiga pemimpin berdasarkan isu regenerasi atau isu alih kepemimpinan.
Y: Dan dari model ini kita bisa menarik pelajaran yang berharga tentunya, ya Pak?
SK: Benar, yang pertama, Bu Yosie, adalah jenis atau model pemimpin narsisistik. Jadi pemimpin narsisistik ini dari kata narsis, sebagaimana kata ini sudah akrab kita pahami, pemimpin narsisistik ini sangat puas ketika semua orang berpusat dan bergantung pada dirinya. Jadi kecenderungannya adalah "one man show" atau "one woman show". Seorang yang mengerjakan semuanya sendiri, serba direktif, serba mengarahkan. Apa-apa harus menunggu dia, komando, instruksi dari dia.
Y: Komandonya.
SK: Kalau pun orang lain berinisiatif kalau tidak sesuai dengan arahannya, dia akan meminta untuk dirombak. Disini memang pikiran dan perkataannya bersifat seperti hukum yang mutlak. Ada mirip ungkapan bahasa Jawa, "sabda pandito ratu", sabda seorang raja, seorang begawan yang berkaliber raja perkataannya benar-benar seperti perkataan Tuhan. Jadi gambarannya pemimpin narsisistik itu seperti itu. Apa yang dikatakan dan dipikirkannya cenderung bersifat hukum mutlak bahkan melampaui aturan tertulis organisasi.
Y: Ini yang agak berbahaya, sepertinya ia bisa mengubah apa saja, melakukan sesuai keinginannya.
SK: Betul, maka tidak heran supaya tampak konstitusional, supaya tidak berkesan tidak pemimpin diktator dan otoriter.
Y: Padahal memang demikian, ya Pak.
SK: Apa yang tertulis, peraturan tertulis, Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, kalau dalam konteks gereja Tata Gereja atau dalam konteks perusahaan adalah Hukum-Hukum, Peraturan-Peraturan Perusahaan bisa diubah dan disesuaikan seperti yang dia ucapkan dan dikehendaki. Perubahan, pembaharuan, revisi dilakukan atas persetujuannya sebagai pemimpin.
Y: Benar-benar dirinya adalah takhta, seperti raja, bentuk pemerintahan kerajaan.
SK: Benar, memang gambarannya, dirinya adalah takhta dan takhta adalah dirinya, jadi ada unsur kemelekatan maka kecenderungannya karena ada unsur kemelekatan, aku berharga karena aku bertakhta, aku berharga karena pemimpin. Kalau aku tidak jadi pemimpin maka aku tidak berharga. Karena gambar dirinya bergantung kepada takhta, atau posisinya sebagai pemimpin puncak, maka mau tidak mau alamiahnya kedudukan kepemimpinannya seperti pemimpin seumur hidup.
Y: Karena kemelekatan yang terlalu kuat, ya Pak. Dirinya dengan jabatan atau kekuasaan tadi.
SK: Tidak heran, Bu Yosie, buahnya regenerasi kepemimpinan atau alih kepemimpinan akan terjadi dengan begitu sulit sekali.
Y: Lalu bagaimana dengan orang-orang yang di bawahnya kalau cara memimpinnya seperti itu, biasanya apa yang Pak Sindu amati yang terjadi ?
SK: Yang bertahan umumnya adalah orang-orang yang memang pengikut murni, merasa tidak memunyai pilihan yang lain. Tunduk, takluk sepenuhnya, sementara orang-orang yang kritis, yang punya potensi inovatif mengembangkan, kecenderungannya akan tidak tahan. Karena bila ada perbedaan pendapat maka dianggap perbedaan pendapat atau pandangan itu diidentikkan sebagai tindakan subversif, tindakan memberontak, tindakan kudeta. "Kamu mau melawan ya? Kamu mau menumbangkan saya ? Kamu mau menggeser posisi saya ya? Kamu mau mengobrak-abrik organisasi ini? Perusahaan ini mau kamu atur ya? Gereja ini kamu yang punya ? Usulan, hal-hal yang inovatif, yang konstruktif sebenarnya bukan menghancurkan tapi karena idenya di luar kotak, di luar garis pemikiran, kebiasaan yang diucapkan dan dilakukan oleh sang pemimpin itu maka dianggap sebagai tindakan ancaman.
Y: Mengerikan juga, ya.
SK: Akhirnya dikucilkan mungkin, "Sudah jangan diberi tugas, jabatan". Diberi label buruk, cap orang pemberontak, akhirnya orang-orang ini akan tersingkir karena tidak diberi tugas atau karena tidak tahan, dia keluar. Sementara yang bertahan, mungkin kritis tapi karena merasa tidak punya nyali untuk keluar dari perusahaan, dari organisasi, dari gereja, akhirnya lambat laun terlatih untuk menggerutu tapi tetap tunduk di belakang pemimpin itu karena merasa tidak ada pilihan lain. Disinilah aku hidup, kalau aku keluar siapa yang bisa menerima aku? Dimana aku akan bekerja? Dimana aku akan pelayanan. Ya sudahlah tidak ada yang sempurna. Menerima seperti itu.
Y: Bagaimana dengan akhirnya, ujung kepemimpinan yang seperti ini, Pak ?
SK: Memang umumnya regenerasi terjadi begitu sulit dan baru mungkin terjadi regenerasi atau alih kepemimpinan ketika pemimpin itu benar-benar uzur, benar-benar sudah sangat lanjut usianya, fisiknya sakit-sakitan, tidak berdaya, baru terjadi. Atau mungkin terjadinya ketika dia meninggal. Atau kalau pun terjadi ketika dia masih hidup, bahkan segar bugar tapi lebih mungkin penggantinya, penerusnya ibaratnya boneka dimana tali kendali ada di tangan sang pemimpin ini.
Y: Hanya untuk terlihat baik terjadi regenerasi saja, sebenarnya kendali tetap di tangannya.
SK: Dan memang kalau kita selidiki kita bisa simpulkan kepuasan dari pemimpin narsisistik ini adalah ketika sejarah mencatat bahwa sejak dia tidak lagi menjabat organisasi menjadi goyah dan kacau.
Y: Karena pusatnya adalah dirinya, bukan kepentingan perusahaan atau organisasinya, ya Pak. Seharusnya kalau pusatnya kepentingan organisasi, dia sedih kalau goyah dan kacau.
SK: Betul, ini lho ya ‘kan, karena aku coba kalau tidak aku tidak mungkin bisa berdiri, tidak mungkin bisa eksis.
Y: Bagaimana dengan pemimpin yang tipe lain selain narsisistik,Pak ?
SK: Yang kedua pemimpin regeneratif, jadi dari kata regenerasi. Kalau pemimpin regeneratif ini sejak dini berusaha membagi-bagikan kekuasaan yang dimiliki kepada beberapa orang. Kepemimpinannya lebih bercorak kolegial, partisipatoris daripada kepemimpinan tunggal.
Y: Jadi lebih mengharapkan rekan, partisipasi orang yang dia pimpin.
SK: Ya, artinya kolegial itu dari kata kolega. Ada pertemanan kemitraan, melibatkan orang lain. Kalau tadi kepemimpinan narsisistik itu kepemimpinan tunggal, ini tidak. Mengajak yang lain untuk turut mengelola. Partisipatoris dari kata partisipasi. Melibatkan orang lain untuk ikut serta, sama-sama memerintah, sama-sama mengelola, tidak tunggal tapi kelompok.
Y: Pemimpinnya seperti tim, ya Pak.
SK: Tepat, lebih condong kepemimpinan tim. Ada tim kerjanya, tidak individual seperti yang tadi itu.
Y: Apa ciri-cirinya lebih dalam tentang kepemimpinan regeneratif ?
SK: Pemimpin regeneratif sejak awal condong menjaga jarak terhadap takhta. Takhta kekuasaan, kepemimpinan, posisi pemimpin semata hanyalah amanah pengabdian dan bukan lumbung status keberhargaan diri yang perlu digenggam erat. Kepemimpinannya bercorak menghamba dan memberdayakan bukan mentuhankan diri, maupun memperdaya bawahan. Aturan tertulis organisasi bukanlah kosmetik pajangan semata melainkan benar-benar menjadi kompasnya dalam bekerja sebagai pemimpin. Kalau dilihat ada hal yang perlu diperbarui dari aturan tertulis, tata gereja atau Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, peraturan perusahaan atau diusulkan beberapa orang adanya pembaharuan hal yang tertulis, maka ia akan melakukan dengan segenap hati demi pengembangan organisasi kini dan ke depan.
Y: Dan tetap melibatkan timnya juga, ya Pak.
SK: Betul, jadi tidak heran perbedaan pendapat dari pemimpin tipe regeneratif sengaja dihidupkan sebagai bagian integral, bagian yang menyatu dari budaya organisasi. Diminta orang untuk berargumentasi secara jernih dan santun. Perbedaan justru dirayakan bukan diharamkan. Perbedaan pendapat, perbedaan gagasan dimoderatori, dimediasi dengan bijak demi sinergitas seluruh potensi terbaik organisasi. Perbedaan itu bukan musuh tapi kawan bagi pertumbuhan dan kemajuan organisasi. Ayo, kamu punya pendapat apa? Kamu punya pendapat apa? Beda ya ? Mari kita saling pahami, kita cari apa yang positif. Apa yang bisa ditemukan, apa yang bisa dikawinkan, apa yang bisa digabungkan ? Wah ini, o iya ini ada ide yang ketiga, ide yang keempat.
Y: Untuk memerkaya.
SK: Oke, oke akhirnya muncul sebuah ide yang jauh lebih baik dari sekadar ide satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, karena digabungkan dan saling ditimpali, saling merangsang gagasan baru dan akhirnya muncul sebuah ide yang di luar kotak dari 7 atau 10 orang ini.
Y: Ini sangat menarik, Pak, kalau melihat perbedaan antara pemimpin tipe pertama dan kedua. Menurut Bapak, apa faktor yang membuat orang bisa sadar dari tipe narsisistik beralih menjadi tipe regeneratif. Istilahnya saya lihat seharusnya memunyai kemampuan mental lebih dewasa, lebih matang. Dia mampu mengakomodir pendapat orang, mampu menjembatani berbagai perbedaan, apa yang membedakan, Pak ?
SK: Yang pertama, memang berangkat dari kualitas kesehatan jiwa dari sosok pemimpin ini. Pemimpin yang sehat jiwanya, yang punya gambar diri yang sehat, punya citra diri yang positif, punya gambar yang sesuai dengan gambarnya Kristus, penghargaan dirinya berasal dari darah Kristus yang mahal, memberi nilai kepada dirinya yang tidak bisa diambil karena Kristus yang memberikan kepada dirinya maka rasa aman yang sehat ini membuat dia tidak lagi haus pengakuan orang lain. Dia tidak lagi butuh membuktikan "Ini lho aku hebat","Kamu harus menyembah aku", tidak perlu, aku sudah puas dengan diriku, aku menyembah Tuhan. Pekerjaanku sebagai Direktur perusahaan, sebagai Gembala Gereja, Ketua Majelis, sebagai pemimpin Yayasan atau Lembaga ini hanyalah sebagai pelayananku untuk Tuhan yang kuabdi. Bukan aku Tuhannya, tapi Tuhan Yesus, Raja di atas raja. Akulah hambanya Kristus, aku jadi pemimpin itu adalah pemimpin yang menghamba, the "servanthood of leadership". Bukan kepemimpinan yang "Kingship leadership". Itulah salah satu sumbernya ini. Tidak heran, Bu Yosie, kepuasannya adalah ketika sejarah mencatat sejak dia tidak lagi menjabat, organisasi tetap berjalan baik bahkan berkembang pesat karena baginya pemimpin yang terbaik bagi pemimpin regeneratif ini adalah pemimpin yang berhasil melahirkan pemimpin-pemimpin baru yang lebih hebat dan lebih baik dari dirinya. Tidak heran juga pengambilan keputusan organisasi dia akan terus upayakan, dilakukan secara partisipatif. "Ayo menurut kamu bagaimana ? Ayo musyawarah, ayo rapatkan", bersifat "bottom up" artinya dari bawah ke atas. "Menurut kamu bagaimana ? Usul kamu apa ? Kritik kamu apa ?" Bukan "top down" dari atas ke bawah. Kalau narsisistik apa-apa direktif, apa-apa menunggu komando, apa-apa harus mendengar dulu ide dari sang pemimpin ini, yang lain tutup mulut, kamu hanya pelaksana. Titik komanya, tanda serunya sama persis seperti kata pemimpin ini.
Y: Sangat menarik ya, Pak, kita belajar berbagai tipe, tidak hanya kepemimpinannya tapi sebenarnya itu bersumber tipe pemimpinnya.
SK: Tidak heran, Bu Yosie, didalam tipe model pemimpin regeneratif ini bagi bawahan yang berkinerja baik, itu akan dipromosikan terus-menerus lewat kenaikan jabatan bahkan dilakukan diklat (pendidikan latihan internal) atau dikirim ikut training, ikut sekolah ini, ikut pelatihan ini, ikut seminar ini supaya makin ‘capable’, makin mampu, makin maju. Dan lewat proses bertahap ini nantinya akan ditemukan sekelompok kecil orang-orang yang pantas menjadi penerusnya. Dan akhirnya publik, orang luar pun akan bisa menduga siapakah kandidat-kandidat, calon-calon pengganti dari pemimpin ini karena orang-orang kandidat ini diberi kekuasaan yang lebih besar lagi, mungkin satu tahap di bawah kekuasaan sang pemimpin dan kinerja baik juga ditampakkan oleh pemimpin-pemimpin muda atau lingkar dalam ini. Mereka menjadi lingkar dalam (‘inner circle’) dari sang pemimpin dan pada masanya turun dari jabatan sesuai aturan organisasi maka kandidat terbaik atau calon terbaik yang akan menggantikan sang pemimpin dan proses ini berjalan secara cukup mulus dan nyaris tanpa gejolak.
Y: Bagus sekali, tapi apakah ada pemimpin yang lebih ideal lagi, lebih baik lagi, Pak ?
SK: Itulah yang ketiga, Bu Yosie, yang ketiga adalah pemimpin multiplikatif. Multiplikatif saya ambil dari kata multiplikasi, "multiplication" dengan arti harfiah pelipatgandaan. Pemimpin multiplikatif menerapkan, memiliki semua karakteristik, semua ciri sifat dari pemimpin regeneratif.
Y: Bedanya ?
SK: Perbedaannya, pemimpin multiplikatif berorientasi bukan hanya kepemimpinan generasi kedua namun juga kepemimpinan generasi ketiga. Jadi kepemimpinan lintas generasi menjadi arah kebijakannya.
Y: Kalau begitu lebih jauh memandang, ya Pak.
SK: Benar, ini sebenarnya, bu Yosie, ada gagasan ini di Alkitab. Dari II Timotius 2:2, bunyinya begini "Apa yang telah engkau dengar daripadaku di depan banyak saksi, percayakanlah itu kepada orang-orang yang dapat dipercayai yang juga cakap mengajar orang lain". Ini merupakan sebuah arahan Rasul Paulus kepada anak rohaninya, Timotius, bahwa apa yang telah didengar dari Paulus oleh Timotius, generasi kedua, agar Timotius percayakan itu kepada orang yang dapat dipercayai, yang juga cakap mengajar orang lain, generasi ketiga. Jadi disini ada pelipatgandaan, ada multiplikasi kepemimpinan, multiplikasi rohani terjadi, pelipatgandaan rohani. Ini juga sebenarnya landasan pembahasan kita tentang pemimpin multiplikatif bahwa seorang pemimpin didalam masa jabatannya sejak dini, dia menjadi mentor bagi lingkar pemimpin generasi kedua dan kemudian dia pun mendorong agar para pemimpin generasi kedua mementori, membimbing lingkar pemimpin generasi ketiga demikian juga bergulir untuk generasi berikutnya.
Y: Tetapi tentunya juga tidak mudah, ya Pak, bagaimana dengan penilaian kinerjanya, lalu apa yang perlu dilakukan ?
SK: Benar, jadi memang ada prosesnya tersendiri, Bu Yosie, yaitu adalah mentoring atau pembimbingan, akuntabilitas, pertanggungjawaban dan pelipatgandaan atau multiplikasi pemimpin dari generasi ke generasi ini menjadi bagian integral, bagian yang menyatu didalam budaya organisasi. Jadi setiap organisasi ada yang namanya "corporate culture" atau dalam bahasa Indonesia, budaya organisasi, sebuah kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang itulah budaya atau tradisi. Di dalam hal ini akuntabilitas yang saya maksudkan atau pertanggungjawaban bukannya aspek professional organisasi, "Kamu sudah melakukan pekerjaan belum?", "Tugasmu sudah beres atau belum?" "Laporanmu sudah dikerjakan atau belum?", "Pengambilan keputusanmu sudah sesuai belum dengan tujuan organisasi?" Bukan hanya itu.
Y: Bukan hanya aspek professionalnya saja.
SK: Dan organisasi tetapi pertanggungjawabannya juga mencakup aspek integritas diri, baik berkaitan relasi dengan pasangan hidup, relasi dengan anggota keluarganya yang lain, baik juga berkaitan integritasnya tentang penggunaan keuangan secara jujur dan bertanggungjawab, secara spiritualitasnya, hidup rohaninya dan pertanggungjawaban secara pertumbuhan diri. Ini menarik.
Y: Holistik ya, Pak.
SK: Ya, jadi orang hidup di organisasi itu, baik organisasi gereja, atau organisasi bisnis atau organisasi pelayanan hadir bukan karena urusan pelayanan atau bisnis pekerjaan itu tapi dirinya secara utuh dicek seperti apa. Penilaian ini, Bu Yosie, dilakukan secara 360 derajat tiap enam bulan, semesteran. Jadi dia menilai dirinya, dia dinilai oleh rekan kerjanya, dia dinilai oleh bawahannya, dia dinilai oleh atasannya. Kemudian penilaian ini dijadikan satu karena dengan demikian objektif. Apa kata orang lain terdekat, atasan, bawahan dan kata dirinya sendiri dijadikan satu. Dari sana akan lahir sebuah rekomendasi atau saran organisasi berkenaan apakah orang ini perlu dipromosikan, naik jabatan atau tidak? Apa yang harus dia ubah dan pertumbuhkan? Ada kontrak target pertumbuhan untuk semester berikutnya. Dalam hal ini filosofi atau filsafat semangat yang dijunjung tinggi di dalam organisasi oleh pemimpin multiplikatif ini, Bu Yosie, adalah organisasi yang mengabdi pada manusia dan bukan manusia yang mengabdi pada organisasi.
Y: Dan organisasi ini dipakai untuk mengembangkan, menumbuhkan manusia seoptimal mungkin, ya Pak.
SK: Tepat, tepat. Jadi memang organisasi itu seperti kendaraannya tapi sasaran orang yang di dalamnya. Kalau orangnya bertumbuh dalam integritas, spiritualitasnya, karakter positifnya. Itu berarti menguntungkan organisasi, karena itu organisasi akan melesat maju karena fondasinya adalah manusia-manusia yang sehat, berintegritas, bertumbuh, berkualitas. Itu beda dengan organisasi bisnis, organisasi gereja, organisasi masyarakat. Basisnya hanya aturan tertulis, hanya aset uangnya, punya gedung ini dan itu tapi tidak berlandaskan pada manusia-manusia yang bertumbuh, manusia-manusia yang berkualitas. Itu tetap akan ada korupsi, penyimpangan kekuasaan, ada skandal seks, skandal kekuasaan dan hal-hal yang memalukan akan terjadi karena basisnya bukan orang yang bertumbuh. Karena itu ujungnya, Bu Yosie, saat masa regenerasi sesuai aturan organisasi harus turun jabatan pemimpin ini. Nanti bukan hanya muncul pemimpin generasi kedua yang mampu dan cakap, tapi juga telah siap pemimpin generasi ketiga yang cukup cakap untuk kelak menggantikan pemimpin generasi kedua sesuai dengan masa jabatan yang telah digariskan oleh aturan tertulis organisasi. Memang, Bu Yosie, dari penampakan saya yang terbatas kelihatannya masih jarang praktek pemimpin multiplikatif ini di Indonesia, tapi saya pernah membaca dicantumkan dalam pernyataan misi tim kepemimpinan pelayanan para navigator Indonesia. Para navigator ("The Navigators") pelayanan berbasis pemuridan intensional untuk melahirkan murid Kristus, pekerja Kristus dan pelipatganda ini sudah tumbuh di Indonesia sejak tahun 1960-an akhir hasil dari pelayanan misi dari Amerika Serikat. Dalam tahun 1990 pertengahan itu mereka sudah mencantumkan sebagai salah satu pernyataan misi dari kepemimpinan nasional para navigator yaitu munculnya pemimpin generasi ketiga. Jadi ketika ada direktur kepemimpinan nasional, mereka sudah berpikir bukan hanya menyiapkan pemimpin penggantinya tapi penggantinya pengganti sudah mereka pikirkan. Kemudian saya temukan di tahun 2000-an mulai berkembang IDMC, Intentional Disciple Making Church , Gereja yang memuridkan secara intensional. Tokohnya adalah Pdt. Edmund Chan dari Covenant Evangelical Free Church (CEFC) di Singapura. Ternyata dia pun menerapkan gaya kepemimpinan multiplikatif dan rupanya kalau saya baca bukunya, masa mudanya dimentori, dimuridkan oleh staf navigator Singapura.
Y: Jadi benar-benar benang merah, ya Pak.
SK: Ya dan ketika tahun 2000 sekian beliau mengundurkan diri sebagai gembala ternyata digantikan dua gembala dan dua gembala itu sudah ada calon penggantinya lagi. Jadi sudah menerapkan metode ini.
Y: Kalau begitu apa pesan Pak Sindu secara praktis yang relevan dengan kehidupan kita ?
SK: Kiranya lewat pembahasan kita ini supaya kita di mana pun kita berada, dalam konteks bisnis, konteks organisasi sosial, masyarakat atau organisasi pelayanan, organisasi gereja, kita mulai berpikir dan menerapkan gagasan pemimpin multiplikatif ini. Tentu ada prosesnya tapi minimal kita sudah mau membuka diri dan mau belajar untuk mewujudkan setahap demi setahap model kepemimpinan multiplikatif ini sehingga itu akan memberkati dimana pun kita berada, bersaksi, melayani dan berkarya.
Y: Terima kasih banyak, Pak Sindu. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., M.Phil. dalam acara Telaga (TEgur sapa gembaLA keluarGA) dan kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pemimpin Multiplikatif". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK, Jl. Cimanuk 56 Malang atau Anda dapat mengirimkan email ke telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhir kata dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.