Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerja sama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Hendra, akan berbincang-bincang dengan Bp. Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Kekerasan Terhadap Anak" bagian kedua. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
H : Pak Sindu, melanjutkan percakapan kita sebelumnya, apa faktor penyebab kekerasan terhadap anak ?
SK : Ada tiga faktor yang menimbulkan kekerasan terhadap anak. Yang pertama, faktor dari orang tua dan keluarga. Yang kedua yaitu faktor lingkungan sosial atau komunitas. Yang ketiga, faktor dari anak itu sendiri.
H : Jadi kalau faktor pertama yang berkaitan dengan orang tua dan keluarga, penjabarannya seperti apa, Pak ?
SK : Yang pertama, ketika orang tua tumbuh dengan kekerasan dimana terjadi pewarisan kekerasan antar generasi. Jadi orang tuanya juga merupakan korban dari kekerasan orang tua di waktu kecil. Karena dia tumbuh sebagai anak korban kekerasan maka menciptakan sebuah potensi bagi dirinya, ketika menjadi orang tua bagi anak-anaknya, diapun akan melakukan proses peniruan, proses pengulangan dari kekerasan yang dulu dia terima, sekarang dialah yang menjadi pelaku kekerasan terhadap anaknya sendiri.
H : Yang tadinya dia korban, sekarang menjadi pelaku.
SK : Benar. Jadi bagi anak-anak yang tumbuh dalam pola kekerasan orang tuanya dan kemudian dia meyakini bahwa cara kekerasan itu adalah cara yang terbaik, maka dia akan punya potensi yang lebih besar untuk menjadi orang tua yang melakukan kekerasan terhadap anaknya. Apalagi misalnya pola tersebut akhirnya membentuk semacam iman atau keyakinan, "Kalau aku dulu diperlakukan dengan keras, itu ternyata baik. Kekerasan terhadap anak adalah kunci untuk menghasilkan anak yang sukses !" Jadi karena dia yakin suksesnya hari ini di masa dewasa karena perlakuan keras dari orang tuanya di masa kecilnya, maka itu membentuk iman keyakinan, dan dia akan ulangi pola asuh itu kepada anaknya sendiri dan memang, data survei membuktikan bahwa 30% dari anak yang mengalami kekerasan dari orang tuanya, ketika tumbuh menjadi dewasa, menjadi orang tua yang melakukan kekerasan terhadap anak-anaknya. Jadi ada 30 %, angka yang memang tidak terlalu besar, tapi lumayan. Kurang lebih kurang dari sepertiga anak korban kekerasan, dia akan menjadi orang tua yang melakukan kekerasan terhadpa anaknya. Sementara yang 70%, mereka mungkin tidak melakukan pengulangan kekerasan itu karena dia mendapati bahwa kekerasan yang dulu dia terima itu tidak baik dan menimbulkan dampak yang buruk bagi dirinya. Maka ketika dia menjadi orang tua, dia pun menghentikan pola kekerasan yang dulu dilakukan oleh generasi di atasnya.
H : Artinya bukan mustahil iman keyakinan ini bisa dikoreksi. Tujuh puluh persen itu berhasil dikoreksi, begitu ?
SK : Ya. Malah bukan hanya dikoreksi malah tidak membentuk iman keyakinan itu. Dia malah membentuk keyakinan yang lain, "Karena aku diperlakukan dengan keras, baik secara fisik dan psikis atau dalam bentuk yang lain, itu ternyata berdampak buruk bagi diriku." Jadi dia muncul keyakinan, kekerasan terhadap anak adalah kunci menghasilkan anak-anak yang terhambat sehingga dia pun tidak mau melakukan kekerasan atau berusaha mencari cara supaya kekerasan itu tidak muncul dari dirinya terhadap anak-anaknya.
H : Selain faktor pewarisan antar generasi, faktor apa lagi yang bisa melatarbelakangi terjadinya kekerasan terhadap anak ?
SK : Faktor orang tua dan keluarga ini bisa berupa dimana sang orang tua sebenarnya belum mencapai kematangan fisik, emosi maupun sosial untuk memiliki anak, khususnya ketika orang tua menikah dini atau sudah mempunyai anak sebelum mereka berusia 20 tahun. Memang menikah itu membagi hidup. Berarti dia sendiri butuh mempunyai diri yang memang sudah cukup mantap untuk kemudian dibagikan kepada pasangannya. Bahkan dibagi juga kepada anaknya ketika sudah anak bayi. Jadi dia membagi hidupnya dengan dua orang. Jadi itu membutuhkan kematangan fisik dan terutama emosi dan sosial, sehingga dia menjadi orang tua yang siap dan tidak melakukan kekerasan terhadap pasangannya terlebih kepada anaknya.
H : Sesungguhnya pada usia sebelum 20 tahun itu, fase perkembangan fisik, emosi, dan sosial seperti apa yang sedang dialami oleh pasangan yang sudah memutuskan melakukan pernikahan dini sehingga mereka tidak berfungsi sebagaimana seharusnya orang tua yang sudah matang.
SK : Kalau menikah di usia 18 tahun memang secara fisik sudah memadai. Tapi kalau menikah di usia 15 tahun, memang secara fisik belum matang. Dia sedang memasuki masa pubertas. Bahkan ketika seorang wanita melahirkan di usia belasan tahun, di bawah 18 tahun, itu sebenarnya mempengaruhi kualitas sang ibu dan kualitas sang janin. Itu membahayakan secara perkembangan fisiknya. Tetapi kalaupun menikah di usia 17-18 tahun, fisiknya sudah oke, sudah melewati masa pubertas, khususnya bagi wanita. Tetapi secara psikis belum siap. Masih ingin main-main, ingin kumpul dengan teman sebaya, pelesir kesana kemari, enggan bekerja, bekerja pun untuk senang-senang bukan untuk menafkahi. Sementara sudah ada bayi atau anak. Akhirnya sang ibu muda atau ayah muda itu lebih memberikan sebuah persepsi bahwa anak adalah beban atau kutuk bukan berkat. Anak bukan lagi kado atau hadiah tapi anak menjadi sesuatu yang merugikan dirinya, merebut kebahagiaannya sebagai orang muda sehingga dia lampiaskan kemarahan kepada anaknya dalam bentuk tindak kekerasan ataupun dalam bentuk mengabaikan menelantarkan sang anaknya yang masih balita. Itu karena belum siap secara psikis, emosional, mental, dan sosial untuk mengasuh anak.
H : Selain 2 poin ini, poin apalagi yang berkaitan dengan faktor orang tua atau keluarga, Pak ?
SK : yang menjadi faktor kekerasan kepada anak yaitu ketika orang tua adalah pecandu minuman keras atau obat-obatan. Memang orang yang suka minum minuman keras atau beralkohol atau obat-obatan terlarang yang tergabung dalam kelompok psikotropika, itu justru memperbesar ketertekanan jiwa dan merangsang perilaku kekerasan bagi orang tua tersebut yang adalah pecandu. Dalam hal ini, semakin orang mengalami keterikatan dengan minuman keras dan obat-obatan psikotropika itu emosinya labil dan kata-kata serta tindakannya tidak terkendali. Dirinya saja tidak bisa dia urus dengan baik, apalagi harus mengurus pasangannya, apalagi mengurus anaknya yang masih kecil belum bisa mandiri dan butuh banyak perhatian dan bantuan. Malahan sang anak yang masih kecil itu dan pasangannya kemudian dieksploitasi oleh kecanduannya.
H : Saya rasa hal ini tidak hanya terjadi untuk para pecandu untuk orang tua yang mengalami gangguan jiwa atau mental juga bisa begitu, Pak ?
SK : Orang tua yang punya gangguan jiwa juga berpotensi menjadi orang tua yang melakukan kekerasan secara psikis dan fisik kepada anaknya. Misalnya orang tuanya mengalami gangguan depresif secara klinis. Murung terus, berputus asa dan anak hidup dengan orang tua yang demikian, itu berarti orang tuanya mengabaikan anak. Orang tua akan menangis terus dan anak akan tercekam dengan emosi negatif tersebut karena hidup bersama orang yang berhari-hari, berminggu-minggu, bertahun-tahun hidup dengan emosi yang negatif terus. Akhirnya anak menyerap dan meniru pola yang demikian dan anak mengalami kekerasan secara psikis. Atau dalam bentuk lain ada gangguan bipolar, manik depresif, ada saatnya begitu sedih, putus asa, lunglai, lemas, tidak berdaya, tapi dalam beberapa saat kemudian mengalami kondisi euphoria, senang-senang, jingkrak-jingkrak, bicaranya seperti kereta api yang tidak berhenti, bahkan kata-katanya begitu menyakitkan karena terstimulasi dengan kemarahan yang meledak-ledak tapi tiba-tiba muncul kesedihan. Anak bingung. Itu kekerasan secara psikis. Atau dalam kondisi manik, anak dipukul, orang tua tidak sabar, terjadilah kekerasan secara fisik. Demikian juga kalau terjadi gangguan skizofrenia atau halusinasi, orang tua mengalami kondisi gangguan yang berkaitan dengan obsesif kompulsif, paranoid, curiga tanpa alasan, anak dalam kondisi yang tidak sehat dan minimal menjadi korban kekerasan secara psikis. Yang kedua bisa juga kekerasan secara fisik.
H : Mengerikan sekali kalau menjadi anak dari orang tua yang mengalami gangguan seperti itu. Padahal orang tua itu mungkin tidak menyadari keadaannya bahwa mereka sedang mengalami gangguan dan membutuhkan pertolongan.
SK : Ya. Bisa jadi tidak menyadarinya. Tapi ada kalanya beberapa orang tua menyadari. Memang ada berbagai jenis gangguan jiwa. Ada gangguan yang benar-benar dikategorikan sebagai psikotik atau terputus dari alam kenyataan atau alam realitas, tapi ada juga ganguan yang bukan psikotik dan pada saat-saat tertentu dia masih bisa berpikir dan masih bisa merasakan apa yang dirasakan anaknya.
H : Contohnya ?
SK : Ya itu tadi. Gangguan psikotis juga bukan berarti semuanya putus kontak dengan realitas. Tapi saat-saat tertentu dia bisa tampil stabil dan dia bisa melihat anak, bisa berlaku baik dan normal. Gangguan manik depresif itu juga tidak selalu kondisinya labil terus. Ada fase tertentu kondisinya seperti orang normal dan stabil. Tapi hanya di saat-saat tertentu. Semakin berat gangguan jiwanya, tentunya saat-saat normalnya itu semakin pendek.
H : Itu masalah atau faktor yang terkait dengan keadaan orang tua atau pengasuh. Apakah ada kemungkinan misalnya orang tuanya dalam keadaan baik tapi dia mempunyai asumsi yang keliru tentang anak ?
SK : Bisa. Jadi bisa ada kemungkinan orang tua berpikir bahwa anak seharusnya memberi dukungan kepada orang tua yang bekerja untuk anak-anak. Anak semestinya mengerti orang tua dan memberi perhatian kepada orang tuanya. Tetapi kemudian ketika orang tua mendapati anaknya tidak memberi perhatian dan dukungan kepadanya, maka bangkitlah kemarahan dan kejengkelan orang tua kemudian melakukan kekerasan baik fisik maupun psikis. Jadi ada pembalikan peran. Asumsi keliru terhadap anak memang memberi sumbangsih untuk terjadinya kekerasan terhadap anak.
H : Asumsi yang keliru ini juga bisa diikuti dengan ketidakmengertian tentang kebutuhan perkembangan anak, ya Pak ?
SK : Ya. Memang dalam bentuk yang lain, ketika orang tua tidak memahami kebutuhan perkembangan anak, maka orang tua salah mengira, akhirnya salah perlakuan. Misalnya, saya miris dengan fenomena anak yang sudah ikut Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) atau ikut Taman Kanak-Kanak. Tren sekarang ini anak balita dipaksa harus sudah bisa membaca, menulis bahkan menghitung. Sementara gurunya sendiri itu mengajar untuk kelas yang berisi 40an anak balita jadi dia tidak bisa memberi bantuan secara optimal. Dan dia melakukannya dengan cara yang sifatnya instruksional, serba memberi perintah, seperti kalau dia mengajar anak SD. Tapi ini 'kan anak TK atau PAUD. Maka mereka memberi tugas kepada orang tua, anak harus bisa baca, bisa nulis, bisa berhitung, kalau tidak, tidak boleh naik kelas. Orang tua frustrasi. Akhirnya memaksa anak harus bisa dan harus belajar, sedangkan anak maunya bermain. Anak dipaksa, dipukul, dihajar, dimarahi, dikunci di kamar, saking jengkelnya. Kalau orang tua mengerti tahap perkembangan anak, orang tua akan memaklumi bahwa memang belum waktunya bagi anak untuk hal itu. Kalaupun belajar, harus belajar dengan cara yang menyenangkan. Jadi tidak perlu dipaksa, ada cara-cara yang kreatif. Memang pemahaman tentang tahap perkembangan anak, tentang tipe perkembangan anak, apa kebutuhan anak, itu penting supaya orang tua lebih terjauhkan dari kekerasan terhadap anak.
H : Selain itu, faktor apalagi, Pak ?
SK : Tentang kualitas relasi pernikahan. Kalau orang tua memiliki relasi pernikahan yang buruk atau kurang memuaskan, anak akan bisa menjadi korban kekerasan. Misalnya sang istri merasa marah kepada suami yang meninggalkan dia bahkan berselingkuh dengan wanita lain. Misalkan satu-satunya anak laki-lakinya berwajah mirip dengan suaminya. Karena dia tidak bisa marah kepada suaminya yang tidak ada di rumah, akhirnya anak laki-laki itu dijadikan pelampiasan amarah. Jadi kualitas pernikahan itu bisa mempengaruhi apakah bisa terjadi tindak kekerasan atau tidak. Sebaliknya, struktur keluarga yang sehat akan memberi sumbangsih minimnya tindak kekerasan terhadap anak. Keluarga yang kurang sehat misalnya orang tua tunggal, membesarkan anak sendirian tanpa pasangan. Tekanan dalam membesarkan anak yang semestinya dibagi berdua antara suami dan istri, jadinya ditanggung seorang diri. Ini membuat sang ayah atau ibu itu mengalami kondisi tertekan akhirnya anaklah yang jadi tempat pelampiasan rasa lelah dan frustrasinya dengan kata-kata bahkan tindakan fisik yang sebenarnya sudah merupakan tindak kekerasan terhadap anak.
H : Tekanan ini tidak hanya karena faktor kualitas relasi tapi bisa juga karena faktor lain ?
SK : Betul. Misalnya tekanan ekonomi. Kelahiran bayi yang baru sementara anak yang lain masih kecil-kecil. Ada keluarga yang masuk Rumah Sakit dengan penyakit menahun dan butuh biaya yang tinggi. Mengalami musibah mendadak seperti kecelakaan. Atau masuk penjara karena masalah pidana atau kasus kriminal. Kondisi stres mendadak itu 'kan hantaman yang begitu besar karena dia tidak bisa menanggulangi, sementara anak membutuhkan perhatian, akhirnya anak diabaikan selama berhari-hari atau berminggu-minggu, anak juga bisa menjadi sasaran pelampiasan kekesalan berupa fisik maupun psikis. Jadi betul. Sumber tekanan lain bisa turut bersumbangsih dimana orang tua melakukan kekerasan terhadap anak.
H : Selain faktor orang tua atau faktor keluarga, faktor lingkungan sosial atau komunitas itu seperti apa, Pak ?
SK : Jadi dalam hal ini ada segi tentang faktor kemiskinan dalam masyarakat, itu bisa bersumbangsih bagi timbulnya kekerasan terhadap anak. Ketika kondisi masyarakat itu miskin, maka keluarga-keluarga dalam masyarakat tersebut akan lebih terfokus pada pemenuhan kebutuhan materi semata. Sebab itu kebutuhan pokok, sehingga kebutuhan psikis dan emosi sang anak diabaikan. Atau mungkin juga karena kondisi miskin itu, kebutuhan fisik pun susah terpenuhi. Kebutuhan pangan dan kesehatan, sehingga anak mengalami penelantaran dan itu juga bagian dari kekerasan terhadap anak. Atau misalnya kondisi kemiskinan itu menyebabkan orang tua dan anak hanya tinggal dalam satu kamar yang sama. Itu 'kan kurang sehat. Anak melihat relasi orang tua misalnya ketika orang tuanya melakukan kontak seksual. Hubungan seksual yang sebenarnya sehat karena dilakukan oleh suami dan istri, tapi karena dilakukan dalam kamar yang sama dengan anak, tanpa disadari orang tua, anak bisa melihat. Paparan tersebut juga termasuk bentuk kekerasan seksual bagi sang anak. Termasuk ketika ada beberapa kamar tapi dalam satu rumah itu tinggal sebuah keluarga besar dan banyak anggotanya. Kondisi rumah yang kurang sehat atau kurang proposional ini menimbulkan ketertekanan tersendiri secara psikis dan itu membuat orang-orang dewasa di dalamnya berpotensi menjadi pelaku kekerasan terhadap anak-anak yang ada di dalam rumah tersebut. Bicara tentang kemiskinan ini, itu bukan hanya untuk orang miskin, tapi sejalan dengan faktor materi, ketika keluarga yang tidak miskin tapi memiliki penekanan yang kuat pada hal materialistik. "Sukses itu harus kaya raya. Sukses itu merupakan pengejaran, punya ini dan punya itu." Akibatnya karena pengejaran materi yang tidak ada hentinya, akhirnya kebutuhan anak secara psikis juga diabaikan oleh orang tuanya. Sebenarnya itu juga kekerasan terhadap anak yang bukan hanya terjadi pada keluarga dengan status sosial ekonomi rendah, tapi juga bisa terjadi pada keluarga yang memiliki status sosial ekonomi yang lebih tinggi.
H : Itu akhirnya membuat pola pikir masyarakat tersebut hanya menitikberatkan pada nilai materialistik sehingga anak-anak juga diberdayakan untuk bekerja ?
SK : Kekerasan secara sosial terhadap anak. Ini pada anak-anak dari keluarga yang miskin, anak-anak yang belum dalam usia kerja, misalnya usia 7-8 tahun, dipekerjakan. Padahal mestinya menurut Undang-Undang Negara kita, bekerja itu minimal untuk usia 13 tahun. Itu pun bekerja hanya untuk 3 jam. Ternyata anak usia 7-8 tahun dipekerjakan jadi pengemis, jadi anak jalanan, pekerja di sektor informal selama 7-8 jam, disini terjadi kekerasan secara sosial.
H : Selain masalah kemiskinan, masalah apa lagi yang dapat menjadi faktor penyebab dalam lingkungan sosial atau komunitas ini ?
SK : Yaitu tentang keyakinan masyarakat bahwa anak adalah milik orang tua sendiri. itu bersumbangsih kepada timbulnya kekerasan terhadap anak. Ketika anak dipandang sebagai milik orang tua sendiri, sepertinya sebuah pembenaran kalau anak diperlakukan sesuka orang tua. Orang-orang sekitar akan merasa sungkan beritndak ketika mendapati anak mengalami kekerasan dari orang tuanya sendiri. Orang-orang sekitar akan berpikir, "Itu 'kan orang tuanya sendiri, nanti kalau kita bicara ke orang tuanya tentang tindak kekerasan itu, jangan-jangan kita dianggap bersalah karena mencampuri urusan keluarga orang lain."
H : Jadi ini pemahaman masyarakat yang keliru ya, Pak, bahwa masalah orang tua dan anak adalah masalah mereka sendiri, orang luar jangan ikut campur, Pak ?
SK : Sebenarnya memang berpikirnya anak itu bukan milik orang tua sendiri, tapi anak adalah milik kita bersama.
H : Dalam arti kita juga memperhatikan. Kita tidak boleh lepas tangan kalau melihat ada yang tidak beres tentang anak itu.
SK : Ya. Jadi kita pun melihat anak itu sebagai pribadi yang perlu dihormati, dilindungi, bukan hanya oleh orang tuanya sendiri tetapi oleh orang lain juga termasuk dalam hal ini orang lain perlu menjaga supaya anak-anak orang yang lain pun diperlakukan dengan baik sekalipun oleh orang tuanya, maka orang yang lain pun perlu menjaga supaya orangtuanya tidak berlaku semena-mena terhadap anaknya. Karena ini juga telah diatur oleh Undang-Undang negara kita, Undang-Undang perlindungan anak.
H : Selain keyakinan yang keliru masyarakat tentang anak, bisa jadi masyarakat sekarang ini cenderung individualistik. Mereka tidak terlalu mau ikut campur. Jadi bukan salah persepsi, tapi karena budayanya sudah individual. Bagaimana menurut Bapak ?
SK : Kondisi sekarang ini sejalan dengan globalisasi, perkembangan kota yang semakin padat dan desa juga menjadi kota, akhirnya kehidupan masyarakat kita bagaikan seperti pulau-pulau pribadi secara sosial yang tumbuh diantara keluarga-keluarga dalam masyarakat kita. Ada keterpisahan. "Loe loe, gua, gua" (Kamu kamu, aku aku). Kita kira jargon itu hanya untuk orang Jakarta, ternyata tidak. Di berbagai kota-kota lain di pulau lain itu sudah mulai menggejala jargon atau motto seperti itu. Kita tidak perlu sibuk dengan urusan orang lain, sibuklah dengan urusan sendiri, buat apa mengurus orang lain. Tetapi sebenarnya memang kalau kita masih bisa mengembangkan nilai masyarakat yang komunal, yang saling peduli satu sama lain, sebenarnya ini akan meminimalkan kekerasan terhadap anak. Karena selagi tanggung jawab perawatan dan pengasuhan anak menjadi tanggung jawab bersama, menjadi tanggung jawab masyarakat. Kalau itu terjadi, maka tetangga, kerabat, teman-teman, bisa membantu saat orang tua mengalami hambatan dalam mengasuh anak. Karena semangatnya semangat gotong royong, semangat komunal, maka yang terjadi saat orang tua mengalami hambatan dan tak berdaya, orang-orang lain bersedia turut serta sepenanggungan membantu pengasuhan sang anak tersebut, paling tidak sampai orang tua itu sudah dapat memadai mengasuh anaknya sendiri. Nilai masyarakat yang individualistik ini memang sebuah pertanda buruk untuk semakin suburnya perlakuan kekerasan terhadap anak-anak kita.
H : Khususnya dalam bentuk pengabaian ? Karena individualistik, jadi diabaikan, dan tidak mau peduli kepada anak-anak yang lain.
SK : Ya, pembiaran tindak kekerasan orang tua terhadap anaknya oleh masyarakat di sekitarnya karena nilai-nilai yang terlalu individualistik itu.
H : Kalau masalah perbedaan gender dalam masyarakat apakah bisa menjadi pengaruh juga, Pak ?
SK : Ya, memang status wanita sampai sekarang pada umumnya masih dipandang rendah. Akibatnya anak perempuan menjadi lebih rentan dan rawan menjadi sasaran kekerasan. Secara fisik, psikis, seksual maupun sosial. Anak perempuan seringkali menjadi korban terutama dari orang tuanya sendiri atau mungkin dari keluarga besarnya, karena dianggap, "Ah, anak perempuan. Toh nanti kembali ke dapur. Sudahlah tidak usah sekolah tinggi-tinggi, disuruh kerja saja." Anak perempuan dibatasi kesempatannya untuk berkembang dan belajar ini dan itu. Atau dia diperlakukan dengan buruk secara seksual karena dipandang menggoda secara seksual. Kalau pun anak menjadi korban kekerasan seksual, bisa jadi orang tua menyalahkan anak, "Kamu sendiri yang genit ! Kamu yang tidak bisa menempatkan diri dalam berpakaian dan berperilaku, sehingga menggoda laki-laki." Sudah jatuh tertimpa tangga ! Itu karena perempuan dipandang lebih rendah sehingga hal ini semakin menyuburkan kekerasan terhadap anak khususnya terhadap anak perempuan.
H : Karena keterbatasan waktu, kita akan lanjutkan perbincangan kita di sesi mendatang. Apa pesan firman Tuhan yang ingin Bapak sampaikan ?
SK : Saya bacakan dalam Matius 19:13-15, "Lalu orang membawa anak-anak kecil kepada Yesus, supaya Ia meletakkan tangan-Nya atas mereka dan mendoakan mereka; akan tetapi murid-murid-Nya memarahi orang-orang itu. Tetapi Yesus berkata: "Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga." Lalu Ia meletakkan tangan-Nya atas mereka dan kemudian Ia berangkat dari situ." Cerita nyata yang terjadi dalam kehidupan Tuhan Yesus ternyata memperlihatkan betapa Tuhan Yesus sangat menghargai anak-anak. Anak-anak adalah sosok pribadi yang sama berharga dan perlu dihormati oleh orang-orang dewasa sebagaimana orang dewasa juga dihormati oleh orang dewasa lainnya. Marilah kita menjadi orang-orang yang menghormati anak-anak kita dan anak-anak orang lain sebagaimana Yesus menghormati anak-anak. Dengan demikian, kalau kita punya rasa hormat yang baik yang tinggi, kita pun akan memperlakukan mereka secara terhormat, bukan memperlakukan anak-anak kita dan anak-anak pada umumnya secara buruk.
H : Terima kasih, Pak Sindu. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "Kekerasan Terhadap Anak" bagian kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.