Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerja sama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya Yosie, akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini adalah tentang "WABAH HOAX". Kami percaya acara ini akan bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Y : Pak Sindu, perkembangan dunia digital dan media sosial akhir-akhir ini semakin marak. Bagaimana menurut pendapat Pak Sindu mengenai hal ini ?
SK : Ya, memang seperti itu. Bahkan Kementerian Komunikasi dan Informasi Indonesia sampai tahun 2015 menemukan bahwa jumlah netizen atau warga jaringan ditaksir sudah mencapai 63 juta orang !
Y : Wah, banyak sekali ya, Pak.
SK : Ya. Dan 95% di antara mereka menggunakan akun media sosial untuk berinteraksi dalam jejaring internet.
Y : Ini membawa konsekuensi yang positif dan negatif ya, Pak. Bagaimana masing-masing konsekuensi dari perkembangan dunia digital ini ?
SK : Memang ada sisi negatif dan positif seperti yang Bu Yosie sampaikan. Saya sepakat bahwa secara positif perkembangan dunia digital dan media sosial ini memberi kebaikan lewat berita dan informasi yang dengan cepat bisa kita dapatkan. Tetapi sisi yang lain, ternyata berita dan informasi yang cepat itu sebagian adalah berita bohong atau yang biasa orang sebut sebagai hoax (bahasa Inggris).
Y : Mengapa orang mau menerima kabar bohong dan menyebarkannya ?
SK : Saya melihat paling tidak ada tiga alasan mengapa hoax atau kabar bohong itu bisa muncul dan bahkan cepat tersebar. Yang pertama yaitu memang ada orang-orang yang berniat jahat dan usil. Orang-orang ini memang berniat memperkeruh situasi masyarakat dan mereka senang kalau ada kekacauan di tengah-tengah masyarakat kita, khususnya masyarakat Indonesia.
Y : Seperti akhir-akhir ini ya, Pak. Tentang SARA dan sebagainya.
SK : Betul. Jadi, muncullah upaya-upaya supaya terjadi kebencian yang makin diperbesar dengan istilah-istilah yang sekarang yang sejak jaman Orde Baru sudah kita kenal ya, istilah SARA (Suku, Agama, Ras, Antar Golongan). Perbedaan itu sebuah hal yang normal, sesungguhnya. Tetapi orang membuat perbedaan itu menjadi masalah dalam serangan-serangan dengan misalnya cerita-cerita bohong, "Ada orang dari latar belakang ini, dengan identitas ini, merobek-robek sebuah kitab suci."
Y : Seperti memunculkan rasa tidak aman ya, Pak.
SK : Betul. Akhirnya muncullah sebagian kelompok masyarakat yang tersinggung. "Kenapa kitab suci dirobek ? Ganyang! Basmi! Hukum!" Itulah yang akhirnya membuat terjadinya pembantaian, pembakaran tempat ibadah, perusakan area bisnis atau rumah penduduk tertentu yang dilempari batu, ataupun sampai kepada perkelahian.
Y : Kalau contoh niat usil itu seperti apa, Pak ?
SK : Yang sudah berkembang misalnya ada bentuk hoax usil, ringan atau tidak mengganggu. Seperti, "Kirimkan berita ini kepada 10 akun supaya akun Anda selamat karena terjadi pembaharuan program dari media sosial ini."
Y : Betul. Saya pernah mengalaminya, Pak.
SK : Dan akhirnya menyebarkan ?
Y : Oh, tidak, Pak. Saya tidak usil, Pak.
SK : Hahaha.
Y : Selanjutnya, alasan apa lagi yang membuat hoax cepat tersebar ?
SK : Yang kedua adalah kebalikan dari yang pertama, memang ada sekian banyak orang yang hatinya tulus dan baik, ingin menolong orang lain namun sayangnya tidak cermat dan tidak kritis sehingga – tadi yang pertama ‘kan ada niat jahat dan usil sehingga mereka yang memproduksi hoax itu, dikirimlah dan diterimalah oleh orang yang tulus dan berniat baik – langsung begitu saja menyebarkan hoax itu. Merekalah yang memberi perluasan. Niatnya baik, tapi sayang karena tidak kritis, mereka dimanfaatkan oleh kelompok orang-orang yang berniat jahat dan usil.
Y : Misalnya apa, Pak ?
SK : Contohnya informasi-informasi tentang kesehatan, Bu Yosie. Misalnya hendaklah makan jenis buah ini, jenis tanaman ini. Hendaklah memakai pola gaya hidup ini. Atau misalnya hati-hati obat dengan merek-merek ini keluaran dari pabrik ini berbahaya. Atau hindari makan di restoran-restoran ini, ada pisau yang tersembunyi di balik kertas toilet. Itu sudah menyerang nama-nama restoran, nama-nama pabrik, nama-nama produk. Sebenarnya ini berbau kompetisi bisnis secara tidak sehat. Kita yang tulus dan baik hati, percaya, lalu menyebarkan ! Kita ditunggangi oleh orang-orang yang berniat jahat tadi.
Y : Oh… Betul sekali penjelasan Pak Sindu.
SK : Misalnya juga peluang-peluang beasiswa. Misalnya menjelang pergantian tahun ajaran baru, atau di tengah momen kelulusan siswa sekolah menengah dimana mereka memerlukan perguruan tinggi tapi biayanya mahal. Ini lho peluang-peluang beasiswa ! Padahal ketika diklik, situs-situs itu situs komersial. Jadi, bukan sungguh-sungguh beasiswa ataupun informasi beasiswanya tidak akurat. Itu dibuat supaya orang mengklik situs itu. Ketika orang mengklik situs itu, maka sang pemilik mendapat nilai ekonomi.
Y : Iklan ya.
SK : Iklan terselubung. Termasuk informasi tentang peluang mendapatkan penghasilan tambahan. Ternyata ujungnya harap Anda transfer ke rekening sekian Rupiah untuk mendapatkan informasi ini. Intinya adalah bisnis terselubung yang ujungnya merugikan orang yang mendayagunakan informasi itu.
Y : Bohong ya, Pak.
SK : Ya.
Y : Mengerikan ya, Pak. Kalau kita tidak cermat dan tidak kritis maka kita akan menjadi korban dari wabah hoax ini.
Sk : Betul.
Y : Berikutnya mungkin ada hal-hal yang perlu Bapak jelaskan.
SK : Hal ketiga mengapa hoax dibuat dan cepat tersebar adalah karena memang ada kelompok masyarakat yang sesungguhnya haus pengakuan, ingin menjadi penyampai berita dan informasi yang pertama kali. Memang niatnya tidak mengkritisi lebih dulu. "Aku dapat. Aku ingin yang pertama kali mengumumkannya di grup Whatsapp-ku dan di grup lain. Aku ingin menyebarluaskan ini." Akhirnya orang-orang ini mendapatkan jempol like dan ucapan terima kasih.
Y : Ada kebanggaan tersendiri ya, Pak.
SK : Betul ! Memang kondisi diri yang kurang memiliki rasa penghargaan diri yang mantap, rupanya cukup rawan untuk mendapatkan poin perhargaan diri lewat pengakuan bermedia sosial, bahwa dirinyalah yang tercepat menyampaikan berita dan informasi.
Y : Sangat kompleks ya, permasalahan diri manusia ini. Akhirnya kalau semakin banyak mendapatkan jempol like, sepertinya harga diri kita meningkat.
SK : Ya. Itu menyenangkan bagi kita yang memang merasa kekurangan penghargaan diri itu.
Y : Lalu pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kita dapat menyaringnya supaya tidak terseret wabah tadi ?
SK : Yang pertama, ketika kita mendapatkankan informasi atau berita lewat media sosial ini, lebih dulu kita perlu melihat kelengkapan datanya.
Y : Misalnya ? Seperti tanggal, bulan atau bagaimana ?
SK : Betul. Kelengkapan data yang perlu kita cek adalah apakah ada tanggal, bulan, dan tahun kejadian. Jika itu sebuah informasi peristiwa, misalnya yang pernah muncul adalah "Doakan! Malam ini terjadi penganiayaan dan pembakaran gereja-gereja di India."
Y : O…iya, itu pernah ada. Jadi, kita perlu memerhatikan tanggal kejadiannya ya, Pak, apakah disebutkan atau tidak.
SK : Kalau tidak disebutkan, tolong jangan sebar luaskan. Karena akhirnya ternyata peristiwa itu sudah lima tahun yang lalu.
Y : Itu membuat kita tidak nyaman ya, Pak. Seperti ada teror ya.
SK : Ya. Dengan kata lain ketika kita menyebarluaskan kita menciptakan teror dan kebohongan. Sesuatu yang tidak berguna malah menjadi beban psikologis kelompok masyarakat yang menerima informasi ini.
Y : Betul sekali, Pak. Apalagi kelengkapan datanya, Pak ?
SK : Termasuk terjadinya di kota mana, hari dan jam kejadian. Kemudian cek kelengkapan datanya apakah ada kutipan sumber informasi. Misalnya, dikutip dari situs mana, dari surat kabar mana, dari majalah mana. Karena beberapa berita yang beredar itu mencantumkan di bagian paling bawah, biasanya berwarna biru, alamat situsnya. Tetapi kita pun harus cek, kalau itu berupa sebuah blog pribadi, misalnya blogspot.com, kita perlu beri tanda tanya besar. Itu ‘kan opini pribadi.
Y : Yang belum tentu benar ya, Pak.
SK : Betul. Atau itu informasi yang masih perlu dibuktikan atau diverifikasi. Kita perlu memastikan bahwa kita mendapatkan informasi dari sumber terpercaya baru kemudian kita percayai, barulah mungkin kita pertimbangkan apakah layak atau tidak untuk disebarluaskan. Contohnya tentang informasi, "Ada gejala alam bahwa dunia akan kiamat pada tahun sekian. Ini informasi yang selama ini ditutup-tutupi oleh para ilmuwan. NASA mengatakan demikian." Setelah dicek memang ada kutipan sumbernya tapi ternyata kutipannya dari situs pelayanan rohani. Nah, perlu diberi tanda koma, kita tidak bisa beri tanda titik atau tanda seru untuk dipercayai. Harus dicek lagi kebenarannya. Kecuali kalau yang memberitakannya adalah situs yang terbukti, misalnya jurnal ilmiah, itu masih bisa kita percayai.
Y : Kalau informasi kesehatan, bagaimana kita bisa tahu kebenarannya, Pak ?
SK : Kita perlu mengecek nalar informasi dan pemberitaannya. Nalarnya masuk akal apa tidak ? Misalnya, pantang makan ini itu harus makan ini makan itu, melakukan ini dan itu. Kalau itu misalnya sesuatu yang kita pikir masuk akal, misalnya lakukanlah gerakan senam ini, pola hidup sehat yang kita secara nalar umum masuk akal, bisa kita percayai dan kita mungkin ‘copy paste’ kepada orang lain. Tapi kalau ternyata tidak masuk akal, berlebihan, atau informasi ini sangat baru – misalnya buah ini…
Y : Buah pete, Pak! Yang sempat beredar, Pak.
SK : Oh, begitu ya ? Pete sangat bermanfaat ini ini ini! Tapi itu baru. Jangan sebar luaskan. Tanya ke ahlinya. Contohnya ya, tanpa sadar, katakan 50 tahun yang lalu atau 30 tahun yang lalu ada hoax lewat sebuah film kartun yaitu Popeye.
Y : Yang makan bayam itu ya ?
SK : Betul ! Ternyata itu hoax. Karena waktu Popeye itu dibuat memang ada penelitian bahwa bayam itu ternyata memiliki manfaat yang sangat luar biasa, sehingga muncullah film Popeye. Ternyata setelah diteliti lagi beberapa waktu kemudian, itu keliru !
Y : Wah, sudah terlanjur ya, Pak!
SK : Iya ! Itu hoax. Jadi, informasi yang benar-benar baru belum tentu akurat kebenarannya. Lebih baik kita tunda, kita cari pembuktiannya dulu, kita cari pendapat ahli.
Y : Ya. Hal apa lagi yang dapat kita lakukan untuk menyaring hoax supaya tidak terlalu cepat beredar ?
SK : Yang ketiga, kita perlu senantiasa mengacu pada media arus utama. Hal ini akan menolong kita untuk memberi perbandingan yang lebih akurat.
Y : Lebih dapat dipercaya ya.
SK : Betul. Yang saya maksud dengan media arus utama adalah media yang menjangkau banyak orang dan media ini terdaftar di lembaga-lembaga resmi yang diakui pemerintah. Misalnya koran-koran yang kita kenal.
Y : Yang bisa dipercaya ya, Pak.
SK : Ya. Misalnya Kompas dan Media Indonesia. Dia ‘kan terdaftar di serikat penerbit surat kabar, punya nomor induk yang tercatat. Dan lembaga-lembaga pemberitaan ini, media arus utama ini, mereka sangat terikat dengan kode etik jurnalistik, kode etik pemberitaan. Kalau mereka memberitakan hoax akan kena teguran.
Y : Dari KPI ya, Pak ?
SK : Iya kalau itu televisi ditegur oleh Komisi Penyiaran Indonesia. Kalau surat kabar ada Lembaga Dewan Kehormatan atau Komisi Etik dari PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). Jadi, media-media arus utama ini memiliki standar verifikasi atau standar pembuktian. Umumnya mereka punya prosedur operasi standar yang disebut check and recheck. Menguji dan menguji kembali sebelum diberitakan.
Y : Mereka juga memunyai kepentingan untuk memertahankan reputasi baik mereka ya, Pak.
SK : Itu dia. Tetapi memang beberapa atau sebagian kecil media arus utama ini suka atau hobi memberitakan hal-hal sensasional atau membela kelompok kepentingan bisnis, kelompok kepentingan politik tertentu. Maka sangat baik jika kita menyaring. Kalau kita rajin mengikuti pemberitaan dan informasi, rajin baca koran atau majalah tertentu, mengikuti situs-situs informasi tertentu di dunia internet, kita akan tahu mana yang bisa dipercayai dan mana yang tidak.
Y : Betul, Pak. Seandainya kita ini belum terbiasa atau masih ragu-ragu mengikuti pemberitaan media arus utama, bagaimana ?
SK : Misalnya kita ragu dan tidak terbiasa, tidak apa-apa, bukan berarti kiamat, kita bisa tanya ke rekan kita yang memang kita kenal kira-kira cukup kritis dan jeli, cukup suka mengikuti pemberitaan atau perkembangan informasi dan situasi nasional atau situasi dunia atau informasi di bidang-bidang tertentu. Mari kita punya referensi, misalnya satu atau dua orang, sebelum kita memercayai apalagi menyebarluaskan berita, kita tanya mereka dulu, kita minta pendapat orang lain. Itu menolong.
Y : Berarti kita juga harus punya wawasan yang luas dalam pergaulan kita ya.
SK : Ya. Bukan berarti kita harus punya banyak teman yang ahli, tapi cukup dua atau tiga orang yang cukup bisa kita tanyai berita ini bisa dipercaya atau tidak. Mungkin teman ini bisa menolong kita.
Y : Baik, Pak. Langkah terakhir, bagaimana kita bisa menyaring wabah hoax ini ?
SK : Langkah kelima, saya melihat sangat strategis yaitu saringan itu kita ciptakan di dalam diri kita yang sehat.
Y : Maksudnya bagaimana, Pak ?
SK : Maksudnya kita perlu membangun keberhargaan diri. Keberhargaan diri yang cukup sehat menciptakan sebuah sistem ketahanan diri dari sisi internal. Karena kadang kita mungkin sudah cukup rasional tapi karena sisi emosionalitas kita, rasa keberhargaan diri kita, mengalami defisit, mengalami kekurangan rasa harga diri, akhirnya mungkin kita paham langkah-langkah saringan yang tadi saya bahas, tapi karena diri ini tergoda untuk tetap bagaimana agar aku merasa diri hebat dan berharga.
Y : Diakui ?
SK : Ya. Tergoda untuk mencari pengakuan, akhirnya ya tetap saja. "Buat apa kritis. Biar nanti orang lain saja yang kritis. Pokoknya aku yang pertama kali siarkan dan aku ingin dapat jempol like." Akhirnya kita tidak peduli dan menyebarluaskan hoax.
Y : Rasa harga diri yang defisit tadi yang menagih untuk segera diisi lewat penyebaran ini supaya kita mencapai popularitas ya.
SK : Betul. Memang ada langkah-langkah yang tadi dibahas, tapi juga sama pentingnya dengan langkah-langkah tadi yaitu langkah pembenahan rasa harga diri yang sehat.
Y : Apa kata kuncinya supaya kita boleh memiliki keberhargaan diri yang sehat ?
SK : Keberhargaan diri yang sehat sesungguhnya memang dibangun di atas landasan yang permanen dan stabil yaitu keintiman dengan Bapa Surgawi. Itu yang pertama. Yang kedua, sejalan dengan itu, keintiman yang sehat dengan sesama manusia. Kita ini memang makhluk yang butuh rasa berharga. Rasa berharga yang asli itu dibangun dari Pencipta kita, keintiman dengan Allah kita, mengalami bahwa aku berharga. Penghargaan dari Allah itu ‘kan permanen bukan karena apa yang kita miliki atau apa yang kita capai tapi sesuatu tanpa syarat dalam Kristus. Kita alami itu. Sambil kita bangun komunitas yang sehat, pergaulan dengan saudara-saudara seiman sehingga keberhargaan kita itu kokoh dan tangguh, punya daya perlindungan dari godaan untuk mencari penghargaan dengan cara yang tidak sehat.
Y : Untuk menutup sesi kita, mungkin ada tambahan atau kesimpulan yang bisa Pak Sindu sampaikan ?
SK : Saya tambahkan, mungkin yang kita dapatkan bukan hoax, tapi tetap perlu mempertimbangkan sebelum menyebarluaskan. Misalnya, kata kuncinya yaitu apakah akan memberi manfaat bagi orang lain ?
Y : Nah, betul, saya sangat setuju, Pak.
SK : Misalnya kita menerima foto-foto korban pembunuhan. "Ini betul, ini nyata. Baru saja terjadi 10 menit yang lalu ada satu rumah dibantai dan inilah foto-fotonya !"
Y : Tapi untuk apa ya, Pak ? Mengerikan, sebetulnya.
SK : Mengerikan dan itu melanggar kode etik rasa sejahtera secara jiwani. Kita pertontonkan di satu sisi membuat orang terteror jiwanya. Memang fakta tapi terteror melihat darah atau daging yang dibedah-bedah seperti itu. Atau misalnya rekaman video kekejaman terhadap binatang atau manusia. Atau mungkin video foto korban kekerasan seksual, korban penipuan. Itu juga mempermalukan sang korban atau keluarganya. Ini kode etik kehormatan, harkat kemanusiaan kita perlu dilindungi termasuk melindungi orang lain. Berhenti menyebarluaskan begitu kita menerima hal-hal yang tidak etis.
Y : Cukup sampai di kita saja ya.
SK : Tepat ! Bahkan akhirnya saya pakai sistem tidak selalu setiap gambar dan video akan terunduh otomatis. Kalau itu sudah kelihatan tidak benar, saya tidak mau unduh atau tidak mau melihat, daripada mengganggu jiwa saya. Itu cara sehat.
Y : Betul. Terima kasih, Pak. Mungkin ada ayat Alkitab yang berkaitan dengan apa yang kita bahas dan boleh menguatkan kita ?
SK : Saya bacakan dari Kitab Keluaran 23:1, "Janganlah engkau menyebarkan kabar bohong. Janganlah engkau membantu orang yang bersalah dengan menjadi saksi yang tidak benar." Jadi, firman Tuhan sudah sejak dahulu lewat Hukum Taurat yang Allah berikan kepada Musa dan bangsa Israel sangat relevan juga untuk masa post modern ini. Yaitu, mari kita mengkritisi setiap informasi yang kita dapatkan. Uji ulang dan barulah kita lihat, kalau itu memang benar, baik, bermanfaat bagi kemanusiaan, silakan menyebarluaskan. Tapi kalau kita tahu itu bohong atau itu benar tapi tidak bermanfaat, mari berhenti. Dengan demikian kita menjaga diri benar dan juga menyelamatkan banyak orang.
Y : Terima kasih banyak untuk perbincangan yang sangat menarik ini, Pak Sindu. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "WABAH HOAX". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.