Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerja sama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya Stella akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini adalah tentang "Rehabilitasi Remaja Bermasalah". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
St : Pak Sindu, kita akan membahas tentang remaja bermasalah. Sebenarnya apa yang dimaksud dengan remaja bermasalah?
SK : Yang pertama, remaja adalah masa yang bisa diberi batasan usia kurang lebih 10 sampai 20 tahun. Sepuluh sampai 20 tahun masa yang cukup panjang. Ada yang memasuki masa remaja waktu usia 10, ada yang 12. Tapi kita bisa beri toleransi pada 10 tahun. Berarti kira-kira ada yang kelas 5 SD masuk usia remaja, ada yang baru SMP kelas 1 - sampai pada masa remaja akhir itu 18 sampai 20 tahun. Jadi, masa lulus SMA hingga tahun-tahun awal kuliah. Yang disebut bermasalah disini adalah melanggar aturan-aturan umum - itu yang pertama. Misalnya bolos sekolah, melawan guru berulang kali, melanggar aturan-aturan hukum - misalnya kebut-kebutan di jalan, melakukan pencurian, bahkan tindakan-tindakan kriminal seperti merampok, termasuk menjadi pecandu atau bahkan pengedar narkoba - melakukan kebohongan-kebohongan atau bahkan pencurian di rumahnya berulang kali, pacaran di luar batas, melakukan seks di luar nikah, pulang malam atau pulang dini hari berulang kali, melanggar jam malam. Termasuk remaja bermasalah ini seperti geng-geng motor yang sempat marak di Indonesia atau dalam bentuk yang tidak terlalu mencolok di masyarakat tapi bentuk-bentuk mengalami kecanduan. Kecanduan gawai, kecanduan playstation, kecanduan pornografi sehingga akhirnya membuat hidup, sekolah, dan pergaulannya menjadi terpuruk. Jadi, kira-kira inilah rentang yang disebut dengan remaja bermasalah.
St : Kalau Bapak sebutkan seperti itu berarti populasinya lumayan banyak ya untuk remaja bermasalah? Pada umumnya kita mendengar para orangtua berkata, "Aduh, anak remaja saya itu sulit sekali diatur!"
SK : Kalau pernyataan orangtua tentang remaja yang sulit diatur ini saya melihatnya tidak serta merta dalam kategori remaja bermasalah disini karena pada dasarnya remaja adalah masa dia membangun identitas diri, masa dia untuk membangun kemandirian. "Ini aku, ini kamu" sehingga dia tidak bisa sepenuhnya tunduk pasrah pada aturan orangtua sebagaimana dulu ketika dia usia balita atau dibawah 10 tahun. Jadi, itu masih tidak apa-apa, bukan remaja bermasalah dalam kategori ini. Yang masuk bermasalah artinya dia sudah benar-benar melakukan tindakan-tindakan yang melawan otoritas, melawan hukum, melawan aturan, dan dia terpuruk dengan masalahnya dan dia tidak sanggup untuk bangkit kembali, terhisap dalam pusaran masalah yang makin lama makin dalam dan akhirnya membutuhkan pertolongan orang-orang lain, baik orangtua – kalau orangtua sudah tidak sanggup karena keterbatasan dirinya – maupun bantuan pihak-pihak lain. Ini kategori yang lebih berat dari keluhan orangtua tadi, Bu Stella.
St : Baik, Pak. Kalau begitu apa yang menjadi penyebab remaja bermasalah?
SK : Seringkali orang mengatakan ini sebagai akibat salah pergaulan, salah pilih teman, salah pilih sekolah, salah pilih tempat tinggal. Ya, saya mengamini itu faktor yang memberi sumbangsih. Tapi saya jauh lebih meyakini bahkan ada landasannya yaitu kerentanan yang muncul akibat masa 0 – 10 tahun pertama. Jadi, kalau masa 0 tahun, masa dia lahir sebagai bayi sampai 10 tahun pertama, orangtua mengabaikan perannya untuk mendidik dalam kasih sayang dan arahan serta disiplin, maka secara alami anak mengalami kerentanan untuk menjadi remaja bermasalah di usia remajanya.
St : Apa yang Bapak maksud dengan pengabaian dari orangtua?
SK : Misalnya orangtua kandung (ayah kandung dan ibu kandung) tidak mengasuh secara langsung, menyerahkan kepada nenek anak tersebut, menyerahkan kepada babysitter atau pengasuh atau pihak-pihak lain yang bukan orangtua kandung. Ditambah lagi yang membesarkannya itu memanjakan anak tersebut.
St : Jadi, tidak pernah aturan jelas, semua yang dia minta diberikan?
SK : Betul. Atau sebatas memberi aturan, tuntutan, dan hukuman secara otoriter tetapi tidak ada balutan kasih sayang. Yang terjadi adalah kekerasan fisik, kekerasan emosional. Ataupun bisa jadi dia hidup bersama orangtua kandung tetapi kedua orangtuanya sibuk bekerja atau pelayanan. Kalaupun hadir, hadir secara negatif yaitu dengan tuntutan dan hukuman dalam bentuk-bentuk yang tidak konsisten. Nah, dua sisi kasih sayang dan tidak adanya arahan disiplin inilah yang menyebabkan keretakan masa anak-anak dan meledak dimasa remaja dan berpotensi menjadi remaja bermasalah.
St : Apakah ada juga remaja bermasalah karena misalnya orangtuanya pun perilakunya bermasalah?
SK : Tepat! Sangat mungkin. Ada orangtua yang pelaku kekerasan, pemabuk, penjudi, emosinya labil. Ini berdampak anaknya mengalami keretakan dimasa kanak-kanaknya, mengalami disfungsi yang boleh dikatakan nyaris mirip dengan orangtuanya, bibit-bibitnya sudah ada di masa anak-anak karena parenting like father like son, sebagaimana orangtuanya demikianlah anaknya, dan meledaknya di masa remaja.
St : Tapi kalau memang anak ini sudah remaja biasanya memang lebih sulit untuk diatur atau diarahkan. Istilahnya nasi sudah menjadi bubur. Adakah yang masih bisa dikerjakan untuk mereka?
SK : Ya. Sesungguhnya anak sulit diatur karena kita memperlakukan anak remaja seperti anak kecil. Kalau kita menerapkan pola asuh yang berbeda kepada anak remaja, anak remaja akan menjadi tidak sesusah diatur yang kita kira selama ini. Anak remaja itu beranjak dewasa, maka cara kita lebih dialogis, tidak bisa hurufiah atau taurafiah. "Pokoknya ada 10 peraturan, kamu tidak boleh pertanyakan, tidak boleh debat, lakukan!." Nah, bagi anak di bawah 10 tahun itu tidak masalah. Tapi remaja tidak bisa diperlakukan demikian. Seperti kita orang dewasa diminta, "Ini 10 peraturan, kamu tidak boleh mempertanyakan, lakukan!" Nah, kita ‘kan ingin dialog. Anak remaja mirip seperti orang dewasa.
St : Jadi, maksudnya tetap ada yang bisa dilakukan untuk menolong mereka. Begitu ya, Pak?
SK : Ya.
St : Apa saja yang bisa dilakukan oleh orangtua untuk menolong remaja bermasalah ini?
SK : Kalau kategori remaja bermasalah yang kita ini secara alami orangtua akan cenderung ditolak oleh sang remaja ini. Misalnya karena, "Kamu selama ini tidak pernah menggubris saya, tidak pernah memberi kasih sayang, kenapa sekarang mau dekat-dekat? Pasti ada maksud tersembunyi." Nah, dia sudah curiga lebih dulu. Ada apa dengan orangtuaku? Tumben kok baik? Tumben kok ngajak ngomong? Selama ini acuh atau kasar. Nah, ini masa yang tidak mudah. Orangtua tetap perlu, misalnya diantaranya lewat proses konseling, menyadari ada beberapa kekeliruan di masa ketika dia membesarkan anak ini di bawah umur 10 tahun, mintalah maaf. Sekalipun minta maaf itu bukan segala-galanya tapi itu langkah penting. "Ayah salah. Ibu salah. Ada masa kamu sebagai anak SD, Ayah dan Ibu sibuk dan tidak memperhatikan kamu. Hanya bisa memarahi, hanya bisa memberi uang saja. Ada yang Ayah dan Ibu tidak sadari. Kami minta maaf."
St : Jadi, orangtua tidak hanya menyalahkan remaja, "Ini memang karena kamu salah bergaul. Kamu yang kurang bisa menjaga diri!" tetapi orangtua juga mengevaluasi diri mereka?
SK : Betul. Kemudian ngomong, "Sekarang kamu dalam kondisi ini, Ayah dan Ibu mau memperbaiki peran kami. Kalau boleh ayo kita sama-sama bergandengan tangan hadapi masalah ini." Entah itu masalah narkoba, kriminalitas, suka membolos, kecanduan gawai, seks di luar nikah, di hamili, menghamili – orangtua tetap mau mendampingi. "Yuk kita bersama-sama menghadapinya." Mungkin awalnya anak menolak. Tidak apa, orangtua kerjakan bagiannya, konsisten dengan kebaikan dan kasih sayangnya yang mungkin dulu tidak cukup diberikan kepada anak atau dulu kurang memberikan batasan yang jelas. Orangtua bisa melakukan bagian itu.
St : Apakah orangtua perlu meminta bantuan misalnya dari orang-orang yang memang dekat dengan anak remaja tersebut?
SK : Betul. Orangtua bisa mendekati pembina remaja gereja, guru sekolah, pelatih basket, pelatih futsal, atau orang-orang yang kita kira mengitari anak remaja tersebut.
St : Dan cukup bisa berdialog dengan remaja tersebut ya?
SK : Ya. Harapannya begitu. Disinilah pentingnya bahasan tentang rehabilitasi remaja bermasalah ini, orangtua sangat memerlukan penolong-penolong yang lain, yakni orang-orang dewasa lain yang mau menaruh kasih dan kepedulian bagi remaja bermasalah ini. Karena menjadi remaja bermasalah bukan berarti kuburan, bukan berarti kiamat dan kata akhir. Sekalipun sulit, ibaratnya kuda remaja yang liar, tetap dalam anugerah Tuhan kita bisa berdoa dan melakukan beberapa upaya untuk menolong mengubah nasib remaja bermasalah ini.
St : Langkah apa saja yang bisa dilakukan untuk menolong remaja bermasalah?
SK : Yang pertama, kita sebagai penolong atau pendamping remaja bermasalah ini adalah menangkanlah hati remaja bermasalah itu, rebutlah rasa percaya dari remaja bermasalah ini. Karena umumnya remaja bermasalah ini tumbuh dalam relasi dengan orangtua yang tidak bisa dipercayai yang hanya tahu menuntut dan menghakimi atau tahunya hanya membiarkan tapi tidak bisa mengarahkan, sehingga anak-anak ini tumbuh dengan rasa tidak percaya terhadap orang-orang dewasa. Maka penting bagi penolong atau pendamping remaja bermasalah, menangkanlah hati dan rebutlah rasa percaya dari remaja tersbut.
St : Mungkin bisa seperti mendengarkan, menjadi tempat curhat ya, Pak?
SK : Betul. Jangan datang-datang langsung menghakimi, "Tahu tidak, kamu itu salah. Masa depanmu itu suram!" Wah, langsung tolak dan menjauh. Datanglah, "Ada apa? Kenapa kamu begini?" atau diajak berteman. Mungkin diajak, "Ayo makan bakso.", "Kamu mau kemana? Ayo saya antar." Atau, "Kamu pakai narkoba ya? Iya sih, Bapak bisa maklum memang tidak gampang ya hidup tanpa narkoba." Jadi, dia tidak dihakimi. Ada empati, mengerti tanggapan-tanggapan yang mengerti dan tidak dihakimi, ini landasan awal untuk membangun rasa percaya, rasa aman dari remaja terhadap kita sebagai penolong.
St : Dengan demikian kita juga membangun dialog dengan remaja tersebut?
SK : Tepat! Jadi, perlakukan dia bukan sebagai anak kecil. Karena sekali lagi remaja bermasalah salah satunya dikarenakan orangtuanya selalu menganggap dia anak kecil, anak yang tidak tahu dan hanya bisa digurui. Maka penting dialog ini sebagai orang yang dianggap dewasa, orang yang punya pikiran dan perasaan sendiri. Dengan cara begitulah maka kita bisa menggali sudut pandang dari remaja bermasalah ini. "Oh, pantas kamu begini. Saya mengerti. Saya maklum. Sekalipun saya bukan membenarkan perilakumu tapi saya bisa memaklumi perilaku ini. Ya, tidak gampang ya." Inilah landasan yang kedua, langkah kedua yang bisa kita kembangkan, Bu Stella.
St : Jadi, setelah bisa dekat dengan dia, kita bisa memenangkan hatinya, kita akhirnya bisa membuka jalan untuk dialog sehingga dia juga lebih terbuka dan kita pun bisa menolongnya.
SK : Ya. Jadi, kita nanti bisa masuk kepada alam perasaannya. Kita bisa lapisi, bisa pahami diri seseorang itu yang pertama tampilan perilaku, yang kedua lapis lebih dalam tampilan pikiran, yang ketiga lapis yang lebih dalam lagi tampilan perasaan. Perasaan ini boleh diibaratkan seperti tanah suci, seperti Bait Allah, seperti gereja yang tidak boleh diperlakukan dengan semena-mena. Ketika kita bisa masuk dialog sambil dia bercerita tentang aspek perasaannya, nah masuklah dalam aspek perasaannya tidak dengan penghakiman tetapi dengan kasih sayang, penghormatan, penghargaan. Kita parafrasekan, "Oh, sakit ya… Susah ya… Gimana dulu waktu kamu kecil? Oh, begitu ya?" Akhirnya kita bisa tawarkan dalam proses hari-hari yang kita kembangkan itu, "Mau nggak kamu untuk ditolong? Perasaan terluka ini akan sangat baik kalau mau kamu tanggalkan. Lewat percakapan makin dalam, konseling. Konseling itu bukan untuk orang yang tidak waras lho, justru orang yang sehat butuh konseling. Kalau kamu mau, saya damping untuk mencari konselor yang bisa menolong proses luka hati yang sudah kamu alami selama 10 tahun pertama kamu sebagai anak. Mau ya?" Kita bisa tawarkan seperti itu.
ST : Selain itu, langkah apa lagi yang bisa kita lakukan?
SK : Ya. Tentunya penyembuhan luka emosi itu penting. Berikutnya kita bisa tawarkan kegiatan-kegiatan yang membangun. Karena umumnya remaja bermasalah ini tidak mengerti apa yang harus dilakukan. Dia tahu dia ditolak disana sini karena tidak berprestasi, pernah bolosan, dia sudah dilabeli citra negatif, sudah ada stigma negatif. Maka disinilah kita bisa mengembangkan satu komunitas alternatif, kegiatan alternatif - seperti basket, olahraga hobi, ataupun kegiatan-kegiatan latihan kerja jika misalnya dia putus sekolah, kegiatan-kegiatan terjadwal yang sifatnya rekreasi dan pengembangan diri. Maka kita juga bisa menjajagi komunitas kumpulan orang muda untuk memberikan penerimaan pada remaja ini untuk mendapatkan pengganti. Karena kan hidupnya dari geng, dari kelompok sesama narkoba, pencuri, kelompok yang bolosan, kelompok pembangkang, dan kelompok-kelompok lain yang negatif sehingga dia perlu kelompok-kelompok lain yang positif. Tapi secara alami kelompok ini sendiri cenderung melabeli negatif dan menolak, maka kita harus mengupayakan kelompok-kelompok ini.
St : Biasanya di gereja juga ada kegiatan-kegiatan untuk anak muda. Alangkah baiknya kalau remaja ini bisa terlibat disana.
SK : Tepat! Ini jadi satu tantangan, Bu Stella. Saya lebih banyak mengenali komunitas remaja gereja itu komunitas remaja alim yang memang dari latar keluarga yang sudah tertata baik, ataupun kalau dari keluarga yang bermasalah, anak-anak remaja ini bukan anak-anak pemberontak, tapi anak-anak yang cenderung menarik diri, mengisolasi diri, pendiam, tapi masih mau ke gereja. Tapi begitu anak-anak remaja dari keluarga bermasalah tampilannya sebagai pemberontak, sebagai aggressor, secara alami komunitas remaja atau pembina remaja, atau majelis, atau pendeta gereja itu menolak. Inilah yang sebenarnya kita perlu memberi ruang penerimaan. Maka hendaknya para pembina remaja di gereja, para majelis, pendeta, mau memahami dinamika remaja bermasalah ini. Ada ruang alternatif untuk dia bersosialisasi kembali, mendapatkan lingkungan pembanding yang menerima dengan penuh kasih sayang. Tetap dalam balutan kebenaran menjadi pembanding atau pengganti dari orangtua, keluarga, atau komunitas asal yang telah menolak dia.
St : Mungkin sosialisasi ke pembina remaja ataupun anak-anak remaja di gereja tentang remaja bermasalah ini juga penting ya, Pak?
SK : Ya. Karena pertobatan remaja bermasalah ini bisa jadi tidak tuntas. Bertobat lalu kumat, bertobat lalu kumat. Karena mengubah gravitasi masa lalu 10 tahun sebagai anak yang tertolak, terluka, dan mempunyai kebiasaan buruk itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Bisa maju padahal mundur. Maju 2 langkah, mundur 3 langkah. Nah, poco-poco seperti ini perlu ada ruang kelenturan jiwa dari penolong, pembina, atau komunitas remaja ini. Disinilah perlunya komunitas remaja ditolong untuk mempunyai kelenturan. Tetap ada batasan ketegasan, tapi ada juga pengampunan yang berulang kali kepada remaja bermasalah yang maju mundur ini.
St : Apa yang bisa kita lakukan dalam membuat batasan dan kelenturan? Maksudnya dimanakah batasan itu?
SK : Misalnya, dia mencuri uang temannya. Dia punya kebiasaan mencuri. Kita berikan sanksi, "Kamu mengaku mencuri. Okay. Kenapa mencuri?" Oh, ini, ini, ini. "Okay. Kalau begitu kamu kembalikan uang ini, mintalah maaf." Uangnya sudah saya pakai. "Oke, mau tidak kamu bekerja? Saya carikan pekerjaan, dari uang yang kamu dapat, kamu cicil dan kembalikan. Kalau kamu mau, kami terima kamu. Kami mengasihimu dan karena kami mengasihimu kami tidak membiarkan kamu bertahan dalam kesalahan yang sama." Memberi ruang pertobatan. Mau menerima tapi dengan syarat seperti ini. Jadi, nanti remaja yang dicuri uangnya juga diajak memaafkan dan beri kesempatan yang kedua. Sambil tetap ada batasan-batasan, kewaspadaan, dan ada kasih sayang. Kombinasi seperti ini dibutuhkan.
St : Jadi, tetap ada yang namanya kasih tetapi ada konsekuensi dan disiplin?
SK : Ya. Ini sebagai pengganti dari mungkin orangtuanya sekali mengasihi dan sewaktu dia salah langsung menghakimi, dia ditolak. Ternyata komunitas tubuh Kristus tidak seperti ini tetapi ada kasih karunia, ada kesempatan kedua, kesempatan ketiga. Ini yang akan memutar balik cara berpikir dari remaja bermasalah ini. Mungkin tidak instan tapi memberi dia kesempatan untuk berpikir ulang tentang hidupnya.
St : Apakah di Indonesia ada tempat khusus untuk merehabilitasi remaja bermasalah, Pak?
SK : Sejauh pelayanan saya, sayangnya belum ada tempat rehabilitasi yang khusus untuk remaja bermasalah. Saya malah menemui remaja bermasalah ini ditaruh di Rumah Sakit Jiwa atau rumah rehabilitasi kristiani yang sesungguhnya untuk para pecandu narkoba atau untuk yang gangguan jiwa. Karena itu saya mengundang kalau ada hamba-hamba Tuhan dan orang-orang yang mengasihi Tuhan, mari membuka tempat-tempat begini. Tapi penanganannya tidak cukup hanya dengan doa, kebaktian, ibadah-ibadah, tapi ada rehabilitasi secara psikologis, sosial, latihan kerja, dan langkah-langkah yang lain. Jadi kalau ada, saya akan sangat mendukung. Karena selama ini saya juga kesulitan untuk mencari tempat rehab remaja bermasalah yang kita bahas ini. Kadang orangtua sudah angkat tangan karena merasa tidak bisa belajar atau berubah atau tidak mau, atau orangtuanya memang orangtua yang bermasalah, dan sebaliknya kadang menghadapi lingkungan, komunitas gereja dan sekolah yang memang sudah membuang dan menolak anak remaja ini. Tidak ada alternatifnya. Kecuali ada tempat rehabilitasi seperti ini.
St : Kadang ada orangtua yang menitipkan anaknya di asrama sekolah sebagai solusi. Bagaimana pendapat Bapak?
SK : Belum tentu menolong. Saya juga tumbuh di sebuah sekolah berasrama. Bagi yang bermasalah, masalahnya kekal. Karena asrama pada umumnya ya sebatas melakukan hal-hal secara masal. Ada jam belajar, jam cuci baju, ada jam ibadah. Tidak ada pendekatan atau pelayanan secara pribadi yang mendalam. Sehingga dalam luka dan pemberontakan, mereka tetap bertahan. Misalnya setelah kelas 1 SMP terpaksa dikeluarkan dari asrama. Tidak naik kelas berulang kali, akhirnya dikeluarkan. Nah, asrama belum tentu jawabannya. Maka saya mengundang bagi rekan-rekan yang melayani dalam bentuk asrama sekolah, misalnya SMP dan SMA, mari juga kembangkan untuk punya ketrampilan atau hal-hal yang bisa membantu rehabilitasi remaja bermasalah ini. Jadi jangan cukup puas dengan hanya sebatas disiplin-disiplin umum sebagai orang asrama. Tapi berilah ruang untuk model-model pendampingan remaja bermasalah.
St : Jadi, perlu bekerja sama dengan guru BK (Bimbingan Konseling) dan konselor remaja?
SK : Ya. Termasuk sistem juga. Sistem yang mendukung. Anak-anak asrama lainnya dan pembina asrama bisa memahami dan tahu bagaimana memperlakukan remaja bermasalah ini. Jadi, tidak hanya pendekatan pribadi saja oleh konselor atau psikolog atau rohaniwan tapi juga pendekatan komunitas, pendekatan kelompok sebagai pencipta perubahan juga. Ini penting karena anak ini terluka, menjadi remaja bermasalah, lahir dari komunitas yang bermasalah, minimal keluarga asalnya. Maka pemulihannya atau rehabilitasinya komunitas yang sehat tidak hanya dari seorang individu yang sehat seperti pembina atau konselor, tapi juga komunitas yang sehat.
St : Pak Sindu, adakah ayat firman Tuhan yang menolong kita mengatasi remaja bermasalah ini?
SK : Saya bacakan dari Mazmur 127:3-5, "Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari pada TUHAN, dan buah kandungan adalah suatu upah. Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda. Berbahagialah orang yang telah membuat penuh tabung panahnya dengan semuanya itu. Ia tidak akan mendapat malu, apabila ia berbicara dengan musuh-musuh di pintu gerbang." Anak laki-laki dan perempuan adalah milik Tuhan, sebuah anugerah bagi orangtua dan keluarga. Saya juga perluas, anak-anak muda termasuk anak-anak remaja menjadi sebuah anugerah bagi sekolah kita, bagi gereja kita, bagi lingkungan komunitas kita. Sekalipun mereka dari latar anak-anak yang tertolak ada terabaikan, mari kita tetap melihat mereka sebagai anugerah yang perlu dipulihkan, perlu ditolong, perlu direhabilitasi. Dengan demikian mereka akan bisa kita selamatkan dalam anugerah Tuhan untuk menjadi anak-anak panah yang bisa kita tembakkan kearah yang tepat – untuk melayani Tuhan, untuk mempermuliakan Tuhan – dan mereka boleh bangga dan berhasil dalam mengaktualisasikan potensi baik yang sudah Allah tanamkan sejak mereka lahir.
St : Terima kasih, Pak Sindu. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Rehabilitasi Remaja Bermasalah". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.