Saudara–saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini akan membahas tentang "Penyesuaian di Awal Pernikahan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, pernikahan memang melibatkan lebih dari satu orang, tepatnya dua orang yang kemungkinan besar berbeda latar belakang dan kebiasaan yang mereka bawa masuk ke dalam pernikahan. Tentu ini menimbulkan gejolak yang keras sekali terutama di awal-awal pernikahan itu, di tahun-tahun awal itu. Sebenarnya bagaimana kita bisa melakukan penyesuaian supaya tidak terjadi gejolak yang terlalu berat ?
PG : Betul sekali yang Pak Gunawan katakan. Pada masa awal pernikahan memang kita mesti banyak melakukan penyesuaian diri. Itu sebabnya ada ucapan "selamat berbahagia" pada orang yang menikah mungkin lebih tepat bila diganti dengan "selamat bekerja" ya. Sebab akan ada banyak hal yang mesti dikerjakan untuk menyesuaikan diri. Pada akhirnya kita menyimpulkan bahwa kebahagiaan itu tidak datang begitu saja. Kebahagiaan adalah buah dari kerja keras, saling menyesuaikan dan saling membahagiakan pasangan. Itu sebab pada kesempatan ini kita mencoba menyoroti beberapa hal yang mesti kita sesuaikan. Mudah-mudahan kalau kita berhasil melakukan ini, maka pada akhirnya kita bisa menikmati buah pernikahan yang lebih sehat.
GS : Bagi kita yang sudah menikah mungkin di awal-awal pernikahan itu bukan hanya sekadar bekerja tapi sebuah perjuangan. Mungkin bisa juga katakan "selamat berjuang" kepada kedua mempelai, sebab itu betul-betul pergumulan yang tidak mudah.
PG : Betul. Betul sekali, Pak Gunawan.
GS : Kita semua sepakat bahwa kebahagiaan itu memang tidak datang begitu saja, tidak otomatis setelah menikah lalu bahagia. Jadi sebenarnya ada banyak impian-impian yang tidak sepadan dengan kenyataannya di dalam pernikahan itu, Pak Paul.
PG : Betul.
GS : Apa yang perlu disesuaikan, Pak Paul ?
PG : Ada beberapa hal, Pak Gunawan. Yang pertama, kita mesti membiasakan diri untuk mendengar suara pasangan. Mungkin nasihat ini terdengar lucu sebab kita berpikir bukankah kita sudah terbiasa mendengar suara pasangan. Pada kenyataannya sebelum pernikahan kita hanya mendengar suara pasangan beberapa jam dalam seminggu. Selama itu kita lebih terbiasa mendengar suara anggota keluarga kita sendiri, seperti ayah, ibu, adik dan kakak, atau orang-orang lain. Nah, setelah pernikahan satu-satunya suara yang kita dengar adalah suara pasangan yang nanti sampai anak-anak lahir, ya suara pasanganlah yang paling sering kita dengar. Itu sebab kita mesti menyesuaikan diri. Sebab memang mendengar suara pasangan selama berjam-jam setiap hari menuntut penyesuaian. Ada yang tidak terlalu terganggu, tetapi ada pula yang merasa terganggu kalau terus mendengarkan suara pasangan. Bila terganggu, pada umumnya reaksi awal kita adalah menghindar. Sudahlah daripada nanti banyak omong, nanti harus mendengar suara pasangan kita, sudahlah kita menghindar. Mungkin kita menyibukkan diri dengan kegiatan tertentu atau kita berupaya memperpendek percakapan supaya tidak berlarut-larut. Sudah tentu disini diperlukan penyesuaian. Nah, kalau misalkan kita berkata kepada pasangan kita, "Aku sedang letih. Aku sedang butuh waktu untuk bisa sendiri dulu sepulang kerja. Tolong berikan aku waktu." Nah itu hal yang baik. Daripada kita menghindar, daripada kita memberikan reaksi yang buruk kepada pasangan kita yang akhirnya mengakibatkan pertengkaran, lebih baik kita meminta waktu supaya kita bisa sendiri dulu, lalu dia bicara kemudian. Jadi penyesuaian ini mesti dilakukan.
GS : Dalam rangka belajar untuk mendengar suara dari pasangan, apa yang sebenarnya bisa kita lakukan ?
PG : Jadi waktu pasangan bicara, yang terpenting adalah awalnya kita harus mendengarkan sehingga kita tahu apa yang ingin disampaikan kepada pasangan. Sebab pasangan perlu tahu bahwa kita telah mendengar apa yang dikatakannya. Jadi kita mungkin bisa berkata, "Oke, ini ‘kan yang engkau ingin bicarakan. Ini yang jadi kekesalan hatimu." Sehingga pasangan tahu bahwa kita dengar dan mengerti apa yang sedang dia sampaikan kepada kita. Nah, kalau memang kita sedang tidak siap untuk terlibat dalam suatu pembicaraan, kita memang sedang tidak begitu tahan mendengar apa yang harus dikatakannya, kita bisa berkata, "Tapi sekarang bisa tidak kita tidak bicara dulu ? Saya harus kerjakan ini. Tapi setelah itu kita bicara." Nah kita tepati janji kita. jadi kita jangan hanya menghindar kemudian sengaja tidak mau bicara dengan pasangan kita, jangan begitu. Kalau kita katakan akan kita sambung nanti, maka kita harus sambung, kita tepati janji kita.
GS : Tapi sebenarnya yang diperlukan ‘kan bukan mendengar suaranya, tapi mendengar beritanya atau perkataannya itu dengan baik.
PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Ini membawa kita kepada poin berikutnya ya. Selain dari membiasakan diri mendengar suara pasangan, kita juga mesti membiasakan diri mendengarkan perkataan pasangan. Jadi ada beberapa hal yang berpotensi mengganggu dan menuntut penyesuaian. Misalnya, pertama, mungkin kita mesti menyesuaikan diri dengan nada bicara. Sudah tentu kita tidak memunyai masalah sewaktu berbicara dengannya tentang hal-hal yang menyenangkan. Biasanya masalah muncul pada saat kita membicarakan hal-hal yang tidak menyenangkan. Mungkin kita tidak suka dengan nada bicaranya yang cenderung meninggi atau terdengar menyentak. Mungkin sebaliknya kita tidak suka dengan nadanya yang langsung merendah dan memelan. Nah jadi kita perlu menyesuaikan diri dengan nada bicaranya. Dan yang kedua adalah berkaitan dengan mendengarkan perkataan pasangan, kita juga perlu menyesuaikan diri dengan pola bicaranya. Ada orang yang cenderung berputar-putar sehingga memakan waktu lama. Ada yang terlalu to the point (langsung pada inti pembicaraan) sehingga tidak enak didengar. Ada juga yang kalau bicara itu tidak jelas sehingga membuat kita bertanya-tanya apakah maksudnya. Nah hal-hal ini perlu penyesuaian juga. Sebab ini sudah menjadi gaya bicara pasangan kita, kita tidak bisa berkata itu cara yang salah atau apa. Ya kita minta pertolongannya untuk menyesuaikan dan kita pun juga akan bersedia menyesuaikan.
GS : Jadi kalau yang mendengar suara, kita perlu memberikan lebih banyak waktu kepada pasangan untuk berbicara sehingga kita terbiasa mendengar suaranya, Pak Paul. Tapi kalau mendengar perkataan, kita harus lebih perhatian lagi. Sebenarnya apa yang ingin dia sampaikan. Kadang-kadang apa yang dikatakan dan yang dimaksudnya itu berbeda.
PG : Betul. Memang kita bukan saja mesti mengerti tapi kita menyampaikan kepada pasangan kita bahwa kita sudah mendengar apa yang dikatakannya dan mengerti. Karena ini yang terpenting, Pak Gunawan. Sehingga pasangan itu tidak terdorong untuk mengulang, mengulang dan mengulang lagi. Seringkali yang terjadi adalah pasangan mengulang-ulang karena kita tidak memberikan tanggapan kepada dia. Jadi coba berikan tanggapan bahwa kita sudah mendengar dan ini yang telah kita dengar supaya dia bisa mengiyakan atau bisa menambahkan. Namun saya juga mau angkat beberapa hal kecil yang berkaitan dengan komunikasi, Pak Gunawan. Yaitu tentang nada bicara. Sebab adakalanya yang membuat kita tidak ingin bicara adalah karena kita mendengar nada bicaranya yang kurang pas. Mungkin kita bisa bicara dengan dia, "Kenapa nadamu begitu ? Bisa tidak nadamu begini ? Saya tidak terbiasa." Sudah tentu dia akan berkata, "Memang ini gaya bicara saya, nada bicara saya selalu meninggi." Jadi dua-dua perlu penyesuaian. Yang terlalu meninggi, cobalah turunkan. Yang terlalu terbiasa dengan nada yang rendah, cobalah toleransi dengan nada yang lebih tinggi. Atau ada yang bicara bisa langsung jelas ke pokok permasalahan, ada yang tidak bisa lho. Karena memang tidak terbiasa. Kadang-kadang hal-hal kecil ini mengganggu pembicaraan, Pak Gunawan, sehingga akhirnya kita tidak pernah sampai pada pokok pembicaraan. Karena akhirnya ribut soal-soal tadi itu. Jadi perlu penyesuaian sehingga pada akhirnya lebih mudah buat kita untuk mengerti apa yang dikatakan dan lebih mau menyampaikan apa yang ingin kita sampaikan kepada pasangan.
GS : Tapi kadang pasangan juga menuntut kita untuk mengerti walaupun dia tidak berbicara, tidak menyampaikan.
PG : Ini poin yang bagus. Kadang ini yang kita lakukan. Kita mengharapkan pasangan mengerti tanpa kita harus menyampaikan kepadanya apa yang kita pikirkan atau yang kita butuhkan. Mungkin kita juga perlu belajar untuk mengatakannya. Kalau kita tidak suka menyampaikannya, ya kita paksa diri kita untuk menyampaikan bahwa inilah yang kita butuhkan. Kadang keluhan orang adalah, "Kenapa kok mesti berulang-ulang ? Mengapa tidak bisa sekali saja ?" sebab kadang memang orang tidak langsung mengerti, Pak Gunawan. Kita sudah beritahukan caranya, tetap saja diulang lagi, diulang lagi. Nah, kita perlu memberitahukannya lagi dan lagi. Sebab sekali lagi, berkaitan dengan bicara ini adalah sebuah kebiasaan. Dan kebiasaan memang tidak mudah untuk berubah.
GS : Apa hal berikutnya yang perlu kita biasakan atau sesuaikan, apa Pak Paul ?
PG : Yang berikutnya adalah kita mesti membiasakan diri untuk mengubah gaya hidup yang selama ini kita jalani. Misalnya, mungkin kita terbiasa tidur larut malam, atau sebaliknya kita terbiasa tidur tidak terlalu malam. Tentu kita mesti bersedia menyesuaikan jadwal tidur sebab tidak bisa tidak perbedaan ini dapat membuat pasangan dan kita terganggu. Yang biasa tidur malam, melihat pasangannya tidur, merasa kesal kok dia tidur, tidak bisa bicara. Yang tidur lebih dini terganggu, waktu pasangannya naik ke ranjang dan membuat dia terbangun. Nah, hal-hal seperti ini mesti dibicarakan dan perlu pengertian dari kedua belah pihak, bukan satu pihak saja yang menyesuaikan diri. Atau ada yang terbiasa menghabiskan waktu lama di kamar mandi. Sekarang kita harus mempersingkat waktu agar pasangan dapat memakainya pula. Atau kita terbiasa makan di luar sedangkan pasangan lebih suka makan di rumah. Ini pun menuntut kesediaan kita untuk berubah.
GS : Biasanya bukan kita yang mencoba untuk berubah. Kita justru menuntut pasangan kita yang berubah, menyesuaikan dengan kita, Pak Paul. Seperti yang tadi dikatakan Pak Paul, kalau kita terbiasa tidur malam, ya kita minta pasangan kita untuk tidur malam juga. Atau mandinya cepat, kita menuntut pasangan kita mandi dengan cepat juga. "Saya bisa, mengapa kamu tidak bisa !"
PG : Memang kita yang tidak mau berubah. Karena buat kita, mengubah diri atau kebiasaan itu hal yang merepotkan. Memang keduanya saling mengerti bahwa untuk mengubah gaya hidup itu perlu waktu. Jadi bersabarlah dan jangan bosan untuk sering-sering mengingatkan. Namun kita mesti berusaha menyesuaikan diri. Kenapa ini penting ? Begini, Pak Gunawan. Masa awal pernikahan adalah masa dimana kita mulai meninggalkan kesan kepada pasangan tentang siapakah kita. Nah, kesan ini penting, karena kesan ini subjektif. Nanti pasangan akan berelasi dengan kita sesuai dengan kesan itu. Contoh konkretnya, kalau kita bersedia mengubah, meskipun tidak langsung bisa tapi kita terus berusaha mengubah kebiasaan atau gaya hidup kita, tidak bisa tidak pasangan akan menilai bahwa kita menanggapi permintaannya dengan serius. Berarti pasangan akan berkata bahwa di mata kita dia itu penting. Karena penting maka kita berusaha untuk berubah sesuai dengan permintaannya. Sebaliknya, ketidaksediaan kita bukan saja memperlihatkan kekakuan kita tetapi juga keegoisan kita. Ini kesan, Pak Gunawan. Kalau pasangan dari awal sudah mulai memunyai kesan kita egois, hanya mementingkan diri sendiri, tidak peduli dengan saya, kesan ini akan kita bawa ke peristiwa atau persoalan yang lain dan akan memengaruhi kita sewaktu menghadapi persoalan yang lain. Dengan cepat, misalnya muncul masalah lain, kita berkata, "Kamu memang egois. Kamu hanya pikir diri sendiri, kamu memang tidak pernah menganggap saya penting dalam hidupmu." Meskipun bisa jadi masalahnya bukan itu. Sekali lagi, masa awal pernikahan adalah masa awal meninggalkan kesan dan biarlah kita meninggalkan kesan yang baik. Supaya kesan yang baik ini nanti akan menjadi pewarna bagaimana dia melihat kita dan menyelesaikan masalah-masalah berikutnya.
GS : Ini tidak mungkin dilepaskan dari kemampuan kita atau kemampuan pasangan untuk berkomunikasi, baik dengan kita maupun kita terhadap dia. Karena ini menyangkut banyak hal. Kita memberikan pandangan kita mengapa saya melakukan hal seperti ini atau kita memintanya melakukan seperti apa yang kita mau. Dan ini juga melibatkan kita, mau tidak mau untuk memberikan tanggapan atau nasehat kepada pasangan kita. Ini seringkali juga perlu disesuaikan ya.
PG : Ini poin yang baik. Memang penting kita mengkomunikasikan alasan mengapa kita melakukan hal-hal ini dengan cara seperti ini. Sebab biasanya kita memunyai alasan tertentu yang buat kita baik dan efisien, tapi mungkin sekali pasangan kita tidak tahu bahwa ini alasan di belakangnya. Maka kita perlu menjelaskan kenapa saya begini, kenapa saya begini. Misalkan saya bicara tentang hubungan saya dengan istri, salah satu hal yang saya perlu belajar yaitu untuk tidak terlalu menekankan efisiensi. Saya cenderung menekankan efisiensi. Jadi banyak tindakan saya yang saya pikirkan dari sudut efisiensi. Yang saya luput perhatikan kadang-kadang gara-gara ingin efisien akhirnya saya kurang sensitif dengan perasaan orang. Nah, istri saya mungkin tidak melihat sudut efisiensi itu, hanya melihat sudut, "Mengapa kamu tidak sensitif ? Mengapa kamu sepertinya kasar ?" Nah, jadi perlu ada kesediaan dari dua belah pihak untuk berbicara. "Sebetulnya tujuan saya hanyalah ini" sehingga pasangan mengerti dan dia bisa memberikan tanggapan kepada kita, "Kalau tujuanmu begini, kamu bisa beritahu saya jauh-jauh hari sehingga saya bisa menyiapkannya dengan lebih baik."
GS : Apa lagi yang perlu disesuaikan, Pak Paul ?
PG : Yang berikut adalah kita mesti merendahkan diri untuk menerima nasehat pasangan. Dengan kata lain, kita mesti siap ditegur. Kalau kita mau menikah, kita mesti siap ditegur, Pak Gunawan. Tapi kebanyakan kita ‘kan tidak siap ditegur. Kita masuk ke dalam pernikahan mengharapkan pasangan mendukung kita bukan menegur kita, namun pada kenyataannya kita tidak sempurna dan memerlukan teguran pasangan. Nah, kesediaan kita untuk menerima tegurannya membuka pintu komunikasi yang mendalam di antara kita. Sebaliknya, keengganan kita menerima teguran menutup pintu komunikasi yang mendalam. Pada akhirnya pasangan tidak mau menegur lagi karena merasa tidak disambut. Jadi daripada menegur, lebih baik diam. Nah, sudah tentu jika ini terjadi, komunikasi akan tersendat. Hubungan pun akan berhenti bertumbuh.
GS : Memang selama teguran ini disampaikan dengan baik dan benar mungkin lebih mudah kita terima, Pak Paul. Tapi kalau teguran ini dilakukan dengan cara, misalnya di depan banyak orang yang membuat kita malu atau disampaikan semacam tuntutan kepada kita, secara otomatis kita melakukan pertahanan diri dan menolak nasehat-nasehat yang disampaikan. Betapapun pasangan kita itu benar, kita berusaha menolak.
PG : Iya. Jadi kita perlu belajar cara yang pas untuk menyampaikan teguran kepada pasangan kita. Kita tidak boleh menggunakan standard kita. Misalkan kita berkata, "Saya terbiasa kalau tidak suka ya tegur. Misalnya saya menginginkan sesuatu, ya saya langsung katakan dan memintanya." Nah, pasangan kita bukan dari latar belakang seperti itu. Kita mesti mendengarkan masukannya. Jadi akhirnya kita mesti menyesuaikan diri. Jangan kita, "Pokoknya tidak mau tahu. Ini cara saya menegur ya ini yang akan saya gunakan." Perlu kesediaan untuk menyesuaikan diri dalam hal menyampaikan teguran. Namun di pihak lain, saya juga mau mengakui fakta dan kenyataan, yaitu ada orang yang memang susah ditegur. Difensif luar biasa sehingga selalu menyoroti cara pasangan dalam menegurnya. "Kamu sih caranya begini !" sebetulnya tidak pernah ada cara yang benar sebab semua cara salah buat dia. Kenapa ? Karena pada dasarnya dia memang tidak bisa menerima teguran. Jadi ada orang-orang yang misalkan terlalu terbiasa dimanjakan, semua memuji dia, tidak terbiasa ditegur. Atau ada orang yang memang penghargaan dirinya buruk, terlalu sering ditegur, terlalu sering dikritik, nah waktu dia menikah dia tidak tahan lagi. Sedikit saja dia tidak bisa tahan. Seperti air itu sudah penuh, begitu ditambahkan langsung luber. Ada orang-orang yang seperti itu juga tapi menggunakan alasan, "Cara kamu tidak tepat." Tapi tidak peduli apapun caranya selalu menjadi salah. Memang kita yang menikah harus siap ditegur. Tuhan memakai pasangan kita untuk membentuk kita.
GS : Selain kita harus siap ditegur, kita juga harus menyesuaikan bagaimana caranya kita memberikan nasehat kepada pasangan kita itu, Pak Paul ?
PG : Betul, Pak Gunawan.
GS : Jadi bagaimana kita menyesuaikan diri supaya kita bisa juga aktif memberikan nasehat kepada pasangan kita ?
PG : Kita yang menikah perlu menyadari bahwa kita tidak ingin pernikahan ini begini-begini saja. Kita ingin bertumbuh. Untuk itu kita juga mesti memberanikan diri memberikan nasehat, Pak Gunawan. Relasi yang sehat adalah relasi yang timbal balik. Jadi baik itu suami maupun istri mesti memunyai kebebasan untuk menyatakan pendapat dan menegur atau menasehati pasangan. Jangan biasakan diri untuk diam sewaktu melihat pasangan melakukan perbuatan yang tidak benar. Jadi kita jangan memulai pernikahan dengan pola yang tidak sehat itu. Tentu kita harus berupaya menyampaikan teguran dan nasehat dengan cara yang tepat. Sebab acapkali nasehat atau teguran yang tidak sampai itu karena penyampaiannya yang kurang pas. Tapi sekali lagi kita mesti tahu bahwa kita boleh dan diijinkan untuk menyampaikan teguran. Kita tidak akan bisa membangun pernikahan yang sehat dan bertumbuh kalau kita sudah merasa tidak mungkin saya bisa menegur dia karena dia tidak akan terima. Jadi kita mesti tahu bahwa kita bisa menegur dan mesti memberanikan diri menegur. Adakalanya kita terlalu mengidolakan pasangan kita, Pak Gunawan. Seolah-olah pasangan kita tidak pernah salah. Pernikahan yang seperti itu juga akan membuat pernikahan itu mandeg dan tidak bertumbuh. Karena kita selalu membela pasangan kita seolah-olah dia tidak pernah salah sekalipun.
GS : Hal-hal yang Pak Paul sampaikan ini adalah sesuatu yang sangat penting untuk disesuaikan. Tapi saya percaya masih banyak hal yang perlu kita sesuaikan dengan pasangan kita supaya pernikahan ini bisa berlangsung dengan langgeng. Sebagai kesimpulan, apa yang ingin Pak Paul sampaikan untuk penyesuaian di awal pernikahan ini ?
PG : Sama seperti semen yang basah, masa awal pernikahan adalah masa dimana kita membangun sebuah pola relasi. Sekali terbentuk, maka akan sukar untuk kita ubah. Semua langkah penyesuaian yang telah dibahas tadi memang tidak menjamin sebuah pernikahan yang bahagia. Tapi setidaknya semua langkah itu akan mengantar kita masuk ke jalur yang sehat. Jadi masa awal pernikahan adalah masa kita bekerja keras membangun sebuah fondasi hubungan yang sehat. Pada masa ini konflik tak terelakkan. Namun jangan cepat menyerah dan berhenti menyesuaikan diri. Sekali menyerah, benih tidak sehat tertanamkan, dan suatu hari kelak benih akan bertumbuh kembang, dan pada saat itu masalah pasti muncul. Firman Tuhan di Amsal 27:18 mengingatkan, "Siapa memelihara pohon ara akan memakan buahnya." Jadi inilah yang harus kita lakukan. Anggaplah pernikahan kita seperti pohon ara, kita perlu memeliharanya. Kalau kita memeliharanya dengan baik, kita melakukan penyesuaian demi penyesuaian, maka suatu hari kita akan memakan buahnya, yaitu buah keharmonisan.
GS : Memang sebenarnya yang dibutuhkan di awal pernikahan adalah penyesuaian, Pak Paul. Tapi pada kenyataannya yang terjadi adalah perebutan kekuasaan, sehingga yang satu merasa dia harus memenangkan persoalan di awal pernikahan ini.
PG : Ini sering terjadi, Pak Gunawan. Sayang sekali kalau kita melihatnya dari sudut itu, bahwa pokoknya saya sedang mau menancapkan kuku saya. Pokoknya saya harus menjadi orang yang dihormati dalam rumah tangga saya. Sayalah yang menjadi kepala keluarga. Sehingga kita tidak rela atau tidak bersedia menyesuaikan diri. Nah, kalau itu yang kita lakukan, saya kira kita sudah menanam benih yang tidak sehat dan pada akhirnya benih ini akan bertumbuh menjadi sebuah relasi yang tidak harmonis. Jadi dari awal ingatlah, dua-dua harus menyesuaikan diri, keduanya harus saling mendengarkan, keduanya harus saling rela mengubah gaya hidupnya. Nah, kesediaan inilah yang nanti akan menjadikan pernikahan kita harmonis.
GS : Memang perlu waktu seperti yang kita baca dalam Amsal tadi, memelihara ini yang butuh waktu. Pohon ara ‘kan tidak bisa dipetik sewaktu-waktu. Jadi memang harus ada waktu yang cukup untuk mewujudkan kebahagiaan bersama ini, Pak Paul.
PG : Betul. Memelihara itu memakan banyak waktu barulah nanti berbuah. Sekali berbuah, kita tetap harus pelihara lagi. Sebab kalau kita tidak pelihara, pada musimnya tidak akan berbuah. Jangan kita puas diri, "Oh, kita sudah mencicipi, sudah ada buahnya, sudah berhenti saja, lebih enak dan santai, lebih semena-mena." Tidak bisa. Teruslah pelihara supaya nanti menghasilkan buah lagi.
GS : Saya yakin selama hidup pernikahan, penyesuaian harus terus dilakukan sampai kita dipisahkan oleh kematian.
PG : Betul sekali. Maka tidak ada habis-habisnya. Tapi memang bagian terberat adalah di awal-awal masa pernikahan itu. Kalau kita berhasil melakukannya dengan baik pada awal, fase berikutnya akan lebih mudah.
GS : Menurut pengalaman Pak Paul dalam pelayanan ini, biasanya butuh waktu berapa lama ?
PG : Saya bicara tentang pernikahan saya sendiri, Pak Gunawan. Dalam pernikahan saya penyesuaian itu perlu sekitar 10 tahun. Makin tahun makin lebih mudah, tapi saya merasa relasi kami menjadi jauh lebih ringan dan lebih gampang menyelesaikan masalah setelah 10 tahun itu.
GS : Iya. Terima kasih untuk perbincangan ini, Pak Paul. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Penyesuaian di Awal Pernikahan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.