oleh Ev. Heman Elia
Kata kunci: Orang tua harus menjaga sikap dan perilaku diri sendiri supaya bisa dihormati oleh anak, orang tua perlu konsisten dan relatif sama dalam pandangan terhadap prinsip hidup serta cara mendidik anak, orang tua perlu menunjukkan keteladanan dalam hal kasih dan berkata-kata, dari sudut perkembangan anak, kita lebih mendekatkan hukuman atau disiplin secara lisan daripada secara fisik.
TELAGA 2022
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada. Kita bertemu kembali dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Necholas David, akan berbincang-bincang dengan Bapak Heman Elia, seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Menyeimbangkan Hormat dan Kasih" bagian yang kedua. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
ND: Pak Heman, di kesempatan yang lalu kita sudah membahas sedikit tentang tantangan terbesar bagi orang tua ketika orang tua mendisiplin anak. Sebagai orang tua kita bisa terlalu lunak, juga bisa menjadi terlalu keras. Mungkin Pak Heman boleh ulangi sedikit apa saja yang sudah kita bahas pada kesempatan yang lalu dan apa saja dampak dari didikan atau disiplin orang tua yang terlalu ekstrem ini.
HE: Baik, Pak Necholas. Di waktu yang lalu kita sudah membahas tentang perlunya menyeimbangkan antara kelembutan dan keras didalam mendidik anak. Lembut itu dominan, nah keras hanya sekali-sekali terutama ketika anak melakukan pelanggaran yang disengaja. Tentu ada pelanggaran yang tidak disengaja, itu kita latih tetapi kita hanya perlu melatih anak, pada saat dia melanggar dengan sengaja, kita perlu bertindak. Tentu keras bukan didalam pengertian kasar, keras perlu pas, sesuai dengan kondisi anak. Jadi kalau ada keseimbangan antara ini maka anak diharapkan nantinya bertumbuh menjadi dewasa dengan sifat-sifat yang lebih seimbang dan lebih baik yaitu anak bisa menghormati aturan, menghormati otoritas, bukan takut dan menghindar dari otoritas dan bersikap pasif dan di lain sisi dia juga bisa memunyai prinsip-prinsip dan dia bisa bertindak dengan tegas dan dekat dengan orang lain. Bisa mengasihi orang lain, dengan demikian terjadi keseimbangan pada diri anak untuk menghormati sekaligus mengasihi orang lain. Itu yang telah kita bahas di waktu yang lalu.
ND: Dan kita juga sempat melihat bahwa anak yang terlalu lunak dalam hal disiplin oleh orang tuanya dan juga yang terlalu keras sama-sama mengakibatkan anak menjadi pemberontak.
HE: Betul, jadi ada anak yang memberontak di satu sisi, di lain sisi kalau orang tuanya bertindak tidak seimbang maka ada kemungkinan anak terutama dibawah orang tua yang terlalu keras dan kasar, itu lalu pasif, tidak mandiri dan tidak berani mengambil keputusan karena serba takut atau dia juga bisa menyangkali kesalahan-kesalahannya kalau dia berbuat salah.
ND: Jadi antara terlalu lunak dan terlalu keras, yang lebih parah dampaknya menurut Pak Heman yang terlalu keras, ya?
HE: Yang terlalu keras tetapi yang terlalu lunak pun, dampaknya juga tidak kalah kuatnya. Keduanya tentu saja kalau terlalu dominan, kurang baik.
ND: Karena sama-sama sudah berada di ekstrem yang jauh, antara terlalu lunak dan terlalu keras. Nah, Pak Heman, kalau boleh tanya, sebetulnya apa tandanya bahwa orang tua ini sudah berhasil menjadikan anak mereka punya keseimbangan dalam hal kasih dan hormat ini.
HE: Ini berarti berbicara tentang tanda keberhasilan dari didikan orang tua yang menyeimbangkan kasih dan hormat. Bagaimana kita melihat tanda-tanda itu didalam sikap anak terhadap orang tua, begitu ya Pak Necholas?
ND: Ya, betul.
HE: Anak yang dididik secara seimbang, lebih bisa menghormati orang tuanya, jadi bukan memberontak atau merasa takut tetapi menghormati orang tuanya, taat tanpa harus diminta untuk taat, tanpa harus dipaksa-paksa. Ini kelihatan ketika remaja, jadi anak yang diperlakukan dengan seimbang maka memang pada waktu remaja, dia punya kecenderungan natural untuk melawan, menjadi pemberontak. Semua manusia terutama anak laki-laki, pada waktu remaja, dia akan cenderung memberontak. Memang ini adalah kecenderungan setiap manusia yang bertumbuh menjadi dewasa untuk kemudian hari lepas dari orang tuanya. Tetapi kecenderungan pemberontakan pada masa remaja ini, bisa terkendali dengan baik kalau orang tuanya mendidik dengan seimbang. Jadi anak tidak belajar berbicara kasar kepada orang tuanya, anak dapat menyatakan pendapatnya dengan baik, tanpa harus marah, tanpa harus takut kalau dia tidak setuju bahkan kepada cara pandang orang tuanya. Atau dia tidak setuju kepada sikap atau cara mendidik orang tuanya atau apapun dari orang tuanya, tetapi dia sampaikan itu dengan cara yang baik, yang bisa diterima oleh orang tuanya dan orang tuanya merasa anak ini menghormati mereka. Ini bukan kurang ajar, bukan dalam tanda pemberontakan tetapi bisa mengajak diskusi atau dialog. Di lain sisi pada waktu remaja, anak bisa dekat dengan orang tuanya, bukan hanya pada waktu remaja, tetapi pada rentang usia kehidupannya, pada saat remaja, ini remaja punya ruang privasi yang lebih luas. Dia banyak main rahasia-rahasiaan, misalnya, tapi ini juga terkendali, kalau anak ini dilatih dan dididik dengan seimbang. Tandanya adalah antara lain, dia bisa bersikap lebih terbuka dibanding anak-anak lain. Dalam hal apapun termasuk siapa yang dia taksir, siapa yang dekat dengan dia, siapa yang menjadi lawan dia dan sebagainya, karena dia tahu orang tuanya menerima dia sebagai pribadi dan menghargai pendapatnya. Meskipun anak remaja secara natural punya privasi yang lebih besar, anak yang tidak suka dicampuri urusannya, tidak akan cepat marah atau tersinggung kalau privasinya dia merasa sudah dilanggar oleh orang tuanya. Dia juga bisa menerima apakah itu masukan, apakah itu kritikan dengan lebih baik dibanding anak-anak lain. Ini beberapa tanda bahwa anak ini bisa dekat dengan orang tuanya, bisa terbuka dalam segala hal, tapi dia juga hormat pada orang tuanya.
ND: Jadi ini hal yang baik sekali, anak itu bisa terbuka menyatakan pendapatnya, tidak melawan secara kasar dan juga tidak jatuh pada ekstrem yang lain. Mungkin ada anak yang istilahnya pasif agresif, jadi dia tidak mau bicara lagi dengan orang tuanya.
HE: Dan melawannya, melawan diam-diam. Jadi ada yang melawan terang-terangan, ada yang melawan diam-diam.
ND: Betul, betul, ada anak yang menyembunyikan perasaannya akhirnya dia tidak mau bicara lagi dengan orang tuanya.
HE: Marah begitu, ya, Pak Necholas.
ND: Betul, betul. Pak Heman apa boleh dari pembicaraan kita, sepertinya kita belum membicarakan contoh riil bagaimana orang tua bisa seimbangkan antara tegas dan lunak ini didalam mendidik anak?
HE: Ya, baik. Katakanlah sebagai contoh, kita ingin anak kita jujur, ini yang paling susah dan paling sering terjadi. Maka ketika anak mulai berbohong, lebih baik kalau kita menindak pelanggaran ini pada saat pertama kali terjadi. Menindak bukan berarti harus langsung dihukum. Kita menegurnya lebih dahulu, dia belum memahami, belum mengerti dan belum tahu betapa buruknya tidak jujur, bahkan mungkin kita bisa bercerita, menceritakan satu dongeng yang mendidik, yang memberi pengertian kepada anak. Mungkin kita beri peringatan-peringatan juga selanjutnya, tetapi mungkin peringatan itu kita pertegas, semakin ditekankan. Kalau dia sudah melakukan ketidakjujuran berulang-ulang, barulah kita berikan hukuman tanpa harus berteriak, tanpa harus kasar kepada dia. Tentu kalau dia sudah mulai besar, maka hukuman ini sebaiknya hukuman yang memadai, yaitu misalnya dia dikurangi haknya, umpamanya dia tidak jujur didalam menggunakan waktu bermain, maka hak untuk bermain misalnya sehari dia punya waktu main tiga atau empat jam, kita kurangi. Untuk anak-anak yang lebih dewasa tentu orang tua bisa memberi waktu bermain yang lebih singkat, tetapi dengan kompensasi pemberian hak yang lain lagi. Hak ini yang bisa dikurangi sebagai hukuman, tetapi di lain sisi orang tua tidak boleh lupa untuk menghargai, memuji atau kalau sudah sering anak itu berkata terus terang dan jujur, orang tua perlu memberi lebih banyak lagi hak kepada anak. Hak itu suatu kepercayaan kepada anak dan ketika anak bisa dipercaya, ia semakin berani berkata jujur meskipun ada risiko yang mungkin merugikan dirinya. Orang tua perlu tegas, tidak takut bertindak menghukum anak ketika diperlukan, tetapi juga bisa berbicara dengan baik kepada anak. Kita juga perlu mengingat bahwa pada dasarnya menyeimbangkan rasa hormat dan kasih adalah sebuah seni. Berarti awalnya kita sendiri mungkin berusaha, berusaha menyeimbangkan tetapi gagal, tidak apa-apa kita belajar terus sekaligus juga menyesuaikan dengan kondisi anak. Tidak ada salahnya kita mencobanya sampai kita merasa telah mencapai keseimbangan atau pas dengan cara mendidik seperti itu. Seiring dengan bertambahnya usia anak, kita juga perlu semakin melonggarkan sikap otoritas kita dan bersikap lebih sebagai rekan dialog anak, ajak anak berbicara, berbincang-bincang dari hati ke hati. Nah, kalau orang tua telah mendidik anak dengan baik, maka pada akhir masa remajanya misalnya menjelang dia lulus SMA, anak sudah tidak perlu lagi ditegur dan mendapat disiplin karena dia sudah mandiri, dia sudah terbiasa hidup didalam aturan dan bisa mengambil keputusan dengan bijak. Nah, ini cukup tentang kejujuran misalnya.
ND: Jadi kalau Pak Heman lihat anak itu harus didisiplin terutama dari kecil, kemudian kita perhatikan porsinya seiring dengan perkembangan usia, kita sesuaikan dan kita bisa berharap akhir masa remaja sudah selesai tugas kita.
HE: Persis seperti itu, Pak Necholas, bukan selesai 100% tentu saja, tetapi tugas orang tua sudah sebagian besar, tentang mendidik anaknya sudah tidak perlu lagi dengan menyeimbangkan kasar dan lembut, tetapi cukup dengan bicara.
ND: Jadi yang Pak Heman katakan bahwa akhirnya anak itu bisa menjadi rekan dialog. Anak sudah dianggap dewasa bisa bertukar pikiran dengan orang tua.
HE: Iya begitu, tepat sekali, Pak Necholas.
ND: Tentu indah sekali kalau kita bisa melakukan hal ini dalam kita mendidik anak, ada keseimbangan antara tegas dan lunak. Lalu, Pak Heman, apakah boleh tahu, apakah Pak Heman juga ada tips-tips, hal-hal yang harus dilakukan, diperhatikan oleh orang tua supaya orang tua bisa seimbang dalam lunak dan keras, dalam mereka mendidik anak.
HE: Baik, Bapak dan Ibu pendengar yang budiman kita mau melihat ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan, yang kadang-kadang terlewatkan. Pertama, orang tua harus menjaga sikap dan perilaku diri sendiri supaya orang tua bisa dihormati oleh anak. Bukan sekadar bagaimana kita memerlakukan anak, tetapi cara kita, sikap kita sehari-hari itu juga diamati oleh anak. Sebab apa, sebab orang tua seringkali adalah lambang dari aturan terutama bagi anak yang lebih kecil, mereka selalu melihat bahwa "Lho papa yang bicara begitu, tidak boleh, atau mama yang bicara begitu, tidak boleh seperti itu", bahkan ia mengajari teman-temannya karena orang tua sebagai lambang dari aturan, kalau misalnya orang tua sendiri bertindak dan berkata itu konsisten, apa yang diajarkan juga konsisten dengan dirinya, maka anak tidak akan sinis kepada orang tuanya dan kalau dia sampai merasa bahwa orang tuanya tidak jujur atau munafik, maka rusaklah aturan yang berusaha orang tua tanamkan. Jadi ini penting sekali supaya anak juga bisa menghormati orang tuanya secara natural. Berikutnya, yang kedua adalah kedua orang tua perlu konsisten dan mereka relatif sama didalam pandangan terhadap prinsip hidup serta cara mendidik anak. Nah, ini kita sudah bahas secara singkat pada kesempatan yang lalu, kalau tidak ada konsistensi maka anak cenderung lebih sulit menghormati kedua orang tuanya. Yang ketiga, orang tua perlu menunjukkan keteladanan didalam hal kasih dan dalam berkata-kata, sangat penting bagi orang tua untuk belajar bersabar satu dengan yang lain dan anak bisa melihat bahwa orang tuanya saling mengasihi. Orang tua juga perlu meminta maaf dengan tulus dan segera jika orang tua itu berbuat salah kepada pasangannya. Jadi anak bisa melihat ini adalah pernyataan kasih didalam perilaku orang tuanya sendiri, juga orang tua perlu bisa mengendalikan diri serta menyelesaikan persoalan dengan diskusi tidak dengan bentak-bentak, marah-marah tetapi mereka bisa berbicara dengan akrab dan menyelesaikan masalah dengan diskusi. Kemudian, yang keempat atau yang terakhir, dari sudut perkembangan anak, ketegasan ketika anak melakukan pelanggaran yang disengaja dan yang berat perlu lebih terasa meskipun tetap harus dikombinasikan dengan kelembutan dan kasih. Maksudnya, kalau anak melakukan sesuatu pelanggaran dan kita orang tua merasa ini sudah tidak bisa dibiarkan dan ini sudah berat, ketika orang tua melakukan hukuman, ia tetap perlu menyatakannya dengan memancarkan kasih. Ini memang tidak mudah, tetapi tidak bisa, maksud saya ini harus ada ketegasan lebih dahulu tanpa kompromi dan setelah itu barulah pengajaran diberikan dengan cara yang lebih lembut. Semakin mendekati usia remaja, orang tua hendaknya semakin melakukan pendisiplinan secara lisan atau seperti contoh yaitu memberikan hukuman dengan mengurangi hak atau mencabut hak daripada secara fisik. Anak remaja tidak bisa dihukum secara fisik lagi, begitu Pak Necholas.
ND: Baik, Pak Heman, saya tadi tertarik dengan pemikiran Pak Heman bahwa semakin bertambah usia anak, hukuman itu mesti lebih secara lisan daripada secara fisik. Kalau secara fisik ini, boleh tahu, batasannya sejauh mana yang disebut dengan disiplin secara fisik ini?
HE: Secara fisik adalah misalnya kalau pada waktu anak-anak masih kecil, waktu kecil sekali anak-anak cenderung bermain, tentu pemikirannya terbatas, secara fisik itu misalnya bisa membuat dia berdiam di satu tempat, apakah itu dengan membatasi gerakannya kadang-kadang misalnya masuk tempat ‘mall’, itu anak ‘kan tidak mengerti bahwa dia tidak boleh lari kesana kesini lalu nanti hilang dan sebagainya. Dia tidak mengerti tentang penculikan dan sebagainya, kita bisa mengikat tangannya dengan tangan kita. Itu secara fisik, seperti memaksa dia untuk mengikuti kita atau kalau dia sedang menunjuk sesuatu, ingin ini ingin itu maka dia perlu diajak dengan menyeret dia, tetapi sekali lagi tidak dengan kasar.
ND: Jadi kita membatasi dia secara fisik.
HE: Betul, semakin dia mengerti karena dia waktu kecil tidak begitu luas pemahamannya, waktu bertumbuh menjadi lebih besar, waktu dia sudah lebih mengerti, maka hukuman fisik ini bisa lebih dibatasi. Misalnya untuk anak usia 3 tahun, dia kalau memukul adiknya, dia disuruh menghadap tembok tidak boleh bergerak selama 5 menit, misalnya. Kalau dia terasa dia bisa atasi dengan mudah, ditambah lagi 10 menit. Sepuluh menit bagi anak diam itu menyiksa lho, menghadap tembok lagi. Ketika makin bertumbuh menjadi dewasa, pengertiannya lebih banyak dan dia diberi hak dan dia tahu hak, dia sudah bisa membatasi diri dan sebagainya, maka ini lebih ke arah dialog.
ND: Jadi fisik disini bukan berarti yang berlebihan, misalnya anak disuruh naik turun tangga 10 kali atau ‘push up’ 20 kali, begitu ?
HE: Tergantung kondisi anak, tergantung pengertian anak dan tergantung kesalahannya apa. Tergantung juga apa yang kita inginkan dari hukuman tersebut. Tujuan dari hukuman tersebut itu apa, jadi ada anak yang malah senang dia naik turun tangga dan sebagainya. Kita memang kadang melatih anak untuk olah raga seperti itu, nah kalau itu tujuannya, itu tidak bisa dijadikan hukuman, sebab kita perlu menjadikan itu latihan untuk menguatkan fisik anak. Apalagi kalau anak menganggapnya, "Oh, main-main". Dia tidak masalah dengan itu, kita perlu pikirkan cara yang lain.
ND: Jadi sesuaikan dengan tujuan. Bagaimana juga dengan hukuman fisik seperti, terutama di zaman dulu, pukul pantatnya anak atau tangannya dipukul dengan rotan. Kalau hukuman fisik seperti itu, bagaimana menurut Pak Heman ?
HE: Saya masih berpendapat memukul itu oke, tetapi di pantat dan harus orang tua sangat berhati-hati karena hukuman fisik, bukan hanya bisa menimbulkan trauma, tetapi juga bisa membuat kalau orang tua tidak bisa mengendalikan diri, membuat berlebihan sehingga menimbulkan cedera atau luka. Itu tidak diinginkan. Alkitab mengarahkan rotan tetapi jangan menginginkan kematiannya, karena begitu rumitnya hukuman fisik yang diberikan kepada anak, maka kalau saya lebih setuju, lebih baik cara lain. Kalau memaksa anak tidak perlu sampai memukul, kalau sampai memukul, sekali-sekali, tidak boleh setiap kali, karena itu akan menimbulkan kejenuhan. Anak tidak lagi jera, anak bisa mengatasi. Mengapa saya katakan seperti itu, karena memukul anak itu kalau terlalu sering dilakukan, anak juga akan merasa bahwa hukuman, dia juga punya hak untuk memukul orang lain, seperti itu.
ND: Baik, terima kasih banyak, Pak Heman atas pemaparannya. Tadi kita sudah belajar bagaimana menyeimbangkan antara kasih dan hormat, juga cara disiplin yang jangan terlalu lunak juga jangan terlalu keras. Pak Heman juga sempat membagikan tips, ada empat, yaitu orang tua perlu menjaga sikap dan perilaku diri, kemudian harus konsisten, menjadi teladan dalam kasih dan berkata-kata, juga semakin berkembangnya anak, kita lebih mendekatkan hukuman atau disiplin secara lisan daripada yang secara fisik.
Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Heman Elia dalam acara Telaga (TEgur sapa gembaLA keluarGA), kami baru saja berbincang-bincang tentang "Menyeimbangkan Hormat dan Kasih" bagian yang kedua. Jika Anda berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami melalui surat ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat mengirimkan email ke telaga@telaga.org; kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org; saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.