Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerja sama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya Stella akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, MK. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini mengenai topik "Menjadi Konselor yang Efektif" bagian pertama. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
St : Pak Sindu, belakangan ini banyak orang yang makin sadar akan yang namanya kebutuhan layanan konseling. Dan makin banyak orang yang akhirnya terjun untuk melayani di bidang konseling ini. Banyak mereka yang mengikuti pelatihan-pelatihan maupun ada kelas-kelas yang dibuka untuk memperlengkapi mereka agar bisa mengkonseling. Pak Sindu, sebenarnya apa yang dibutuhkan untuk menjadi seorang konselor yang efektif ?
SK : Saya sepakat, Bu Stella. Sekarang ini trennya semakin meningkat ya. Sekarang ini orang lebih terbuka untuk dilayani konseling. Kalau dulu orang sembunyi-sembunyi bahkan takut dianggap sebagai orang gila kalau datang ke konselor, tapi sekarang orang lebih terbuka. Apalagi kalau di kota-kota besar. Orang tidak merasa malu datang ke konselor sebagaimana dia datang ke dokter umum atau ke dokter spesialis, tidak merasa itu sebagai aib. Jadi kepada pembahasan tentang menjadi konselor yang efektif, saya teringat pada sebuah gambaran. Menjadi konselor itu sesungguhnya mirip menjadi dokter ‘kan, Bu Stella ?
St : Iya, betul. Bedanya yang satu fisik, yang satu jiwa, ya Pak ?
SK : Betul. Jadi kalau kita lihat dokter itu penyembuh fisik. Kalau kita sederhanakan, konselor itu penyembuh jiwa. Sama-sama penyembuh. Dan untuk sembuh butuh yang namanya obat.
St : Betul.
SK : Iya. Jadi yang diandalkan dokter itu adalah obat yang dia berikan. Memang dia perlu bisa mendiagnosa gangguan apa. Dari keluhan pasien, muncul diagnose penyakit atau gangguannya. Dari situ dokter meresepkan obat. Jadi obat yang diresepkan dokterlah yang menyembuhkan. Kehandalan seorang dokter akhirnya berujung pada kehandalan ketepatan jenis obat yang diberikan kepada pasien.
St : Kalau begitu bagaimana dengan konselor, Pak ? Mereka ‘kan tidak memberikan obat ?
SK : Betul. Konselor memang tidak memberi obat, dalam hati obat secara fisik atau secara medis farmakologi. Tetapi sebagai penyembuh jiwa, sesungguhnya konselor juga memberi "obat"!
St : Wah, apa itu, Pak ?
SK : Memang "obat" itu tidak bersifat fisik farmakologi, tetapi obat yang tidak nampak oleh mata tapi dia bisa membantu proses penyembuhan sang konselee.
St : Saya masih belum nangkap, Pak ? Obat apa itu ?
SK : Iya. Yang menarik, "obat" yang diberikan oleh konselor atau yang sepatutnya diandalkan seorang konselor adalah diri yang sehat yang dimiliki oleh konselor itu.
St : Jadi dirinya sendiri adalah obat yang menyembuhkan bagi konselee ?
SK : Betul. Jadi kualitas diri atau kualitas pribadi yang dimiliki seorang konselor itulah yang paling utama dan penting untuk menjadi faktor penyembuh bagi konseleenya. Atau sebaliknya kalau dia tidak punya diri yang cukup sehat, malah diri yang sakit secara jiwani, maka sesungguhnya dia bukan menjadi obat malah menjadi racun bagi konselee yang dilayani. Terjadi tanpa disadari seperti dokter medis yang malpraktek ya. Memberi obat yang keliru atau kadaluarsa. Bukannya sembuh, pasien yang ditanganinya makin parah !
St : Mungkin bisa komplikasi, ya Pak ?
SK : Betul. Bahkan bisa berujung kepada kematian. Demikian juga terjadi kalau konselor tidak memiliki diri yang cukup sehat, dia bukannya membawa kepada kebaikan, konselee yang dilayani malah semakin terpuruk pada masalah-masalah yang lain. Ini jadi faktor penting untuk kita perhatikan kalau kita mau menjadi konselor bagi orang lain.
St : Kalau begitu apa saja karakteristik dari diri yang sehat ini ?
SK : Karakter pertama dari diri yang sehat adalah diri yang memiliki penghargaan diri yang memadai. Jadi ciri-ciri yang sehat adalah memiliki penghargaan diri yang memadai.
St : Penghargaan diri yang memadai itu seperti apa, Pak ?
SK : Kita itu lahir sebagai seorang manusia, lahir dengan sebuah kebutuhan yang sehat dan normal, bahkan merupakan karya ciptaan Tuhan, yaitu kita butuh dicintai dan dihargai. Kebutuhan dicintai dan dihargai ini adalah pertama dan utama sepatutnya dipenuhi oleh kedua orang tua kandung kita, Bu Stella. Kalau tangki cinta dan penghargaan diri kita ini telah terisi dengan memadai, maka kita tidak akan butuh menyedot dari orang-orang yang kita layani, termasuk dari konselee kita.
St : Tetapi bagaimana kalau misalnya kita tidak mendapatkan cinta dan penghargaan yang cukup dari orang tua kandung kita ?
SK : Berarti dalam hal ini kita bukan merupakan diri yang cukup sehat. Dan kita akan menjadi diri yang punya beberapa kekosongan dalam tangki batin kita dan itu akan menjadi titik rawan orang yang kita layani dalam konseling akan tanpa kita sadari kita sedot perhatiannya, kebergantungannya tanpa disadari kita langgengkan. Supaya kebutuhan bahwa kita berharga, bahwa saya berarti itu terisi dari orang yang kita layani itu. Tanpa disadari proses konseling ini mengalami pembelokan arah. Yang seharusnya berfokus menolong konselee yang kita layani, tanpa disadari kita mengambil keuntungan supaya kita mendapatkan sesuatu yaitu mengisi tangki cinta dan penghargaan diri kita itu, Bu Stella.
St : Jadinya bukan kita member, tapi malah kita mengambil dari konselee.
SK : Betul. Ini yang menjelaskan kenapa dalam situasi-situasi konseling, beberapa orang akhirnya menyadari "Iya ya, saya kok tidak bisa tegas ya. Saya tahu ini yang seharusnya saya katakan atau saya responkan kepada konselee yang saya layani. Tapi kok saya tidak berani. Saya ada perasaan nanti kalau saya mengkonfrontasi apa yang benar setelah konseling tahap tertentu, jangan-jangan dia tidak mau datang lagi, tidak mau menjadikan saya konselornya lagi. Wah saya tidak siap kalau saya ditinggal oleh konselee saya ini." Bisa jadi begitu.
St : Bagaimana kalau misalnya kita memang kurang mendapatkan penghargaan diri dari orang tua ? Apakah berarti kita tidak bisa menjadi diri yang sehat ?
SK : Masih bisa! Ini kabar baiknya, Bu Stella. Berarti dalam hal ini kita perlu terbuka dilayani dulu. Dikonseling dulu. Jadilah konselee atau klien yang baik, untuk menjadi konselor yang baik. Beberapa orang lahir dari keluarga yang sangat baik dalam pengasuhan, perhatian, kasih sayang, disiplin dari kedua orang tua. Orang-orang begini ini tangki cinta dan penghargaannya sudah cukup penuh. Dan dia punya fondasi yang cukup baik untuk menjadi konselor bagi orang lain. Tapi bagi kita yang tidak demikian, masih ada harapan. Yaitu kita perlu mau dikonseling lebih dulu, sehingga luka-luka kita cukup dipulihkan. Tangki-tangki cinta kita yang kosong atau defisit itu sudah cukup terisi lewat sebuah proses penyembuhan atau pemulihan diri, dan kita mendapatkan isi yang baru untuk mengisi kekosongan masa lalu kita. Dalam posisi itu kita baru siap untuk melangkah menjadi konselor bagi orang lain.
St : Selain penghargaan diri yang memadai, apalagi karakteristik dari diri yang sehat ?
SK : Yang kedua yaitu perlu memiliki emosi yang matang.
St : Maksudnya seperti apa, Pak ?
SK : Memiliki emosi yang matang artinya bisa mengenali dinamika emosi dirinya. Jadi bisa mengenali dinamika emosi yang terjadi di dalam dirinya , bisa berinteraksi, dan bisa mengelola dengan cukup baik.
St : Maksudnya kita sendiri tahu apa yang kita alami, kita bukannya mati rasa tapi kita bisa, "Oh iya, saya sedang sedih, sedang marah, sedang kecewa." Seperti itu, Pak ?
SK : Benar. Jadi ketika kita sedih, marah, kecewa, bahkan frustrasi, kita mau mengaku dan merangkul. Ya saya akui saya sedih. Saya marah. Saya kecewa. Saya sakit hati. Dan setelah mengakui, kita bisa mengekspresikannya juga. Bukannya menekan, tapi mengekspresikan dengan cara yang terkendali. Jadi itu wujud dari kita merangkul. Jadi bukannya menolak. Bukannya menekan, merepresi atau mengabaikan. Tapi kita mengakui dan mengekspresikan secara tepat dan terkendali emosi-emosi atau perasaan-perasaan negatif itu.
St : Mungkin juga tidak dikuasai oleh emosi negatif tersebut, ya Pak ?
SK : Betul. Merangkul namun tanpa dikuasai oleh emosi itu.
St : Kalau misalnya perasaannya itu positif, apakah perlu diekspresikan juga, Pak ?
SK : Ya. Itu bagian dari emosi. Emosi atau perasaan negatif. Sebaliknya juga pada emosi atau perasaan positif. Seperti gembira, puas, bersemangat. Tidak apa-apa ekspresikan. Mengekspresikan diri tentunya dengan cara yang sesuai dengan kondisi tempatnya. Jadi memberi tempat juga pada emosi dan perasaan orang di sekitarnya. Misalnya kita sedang senang menerima berita lamaran kerja kita diterima oleh sebuah perusahaan, kita diterima sebagai pacar, atau kita berhasil, padahal kita sedang hadir di tempat perkabungan karena seseorang meninggal. Dalam suasana perkabungan tiba-tiba kita berteriak, "Hore, saya berhasil!" lihat tempatnya dulu. Kalau tempatnya memang leluasa tidak ada suasana berkabung, ya tidak apa-apa. Jadi kita memahami dan memberi ruang bagi orang di sekitar yang berbeda situasi emosi dan perasaannya.
St : Apa pentingnya emosi yang matang ini sebagai konselor ?
SK : Dengan emosi yang matang, kita sebagai konselor akan bisa pula mewaspadai dinamika emosi dan perasaan konselee yang beraneka ragam itu dan juga bisa naik dan turun.
St : Mungkin bisa dibilang istilahnya seperti kita punya ragam emosi yang banyak dan bervariasi sehingga kita pun bisa mengenali ragam emosi orang lain ?
SK : Betul. Kembali, untuk menjadi konselor yang efektif, sesungguhnya yang kita andalkan adalah diri kita sendiri, maksudnya sesuatu yang ada dalam diri. Modalnya itu perlu ada dalam diri. Dalam hal kedua yang kita bahas tadi, kita perlu memiliki emosi yang matang. Artinya kita kaya. Dalam menghayati emosi ini, bisa mengelola dan mengekspresikan dengan tepat. Dan itu akan menjadi jembatan untuk kita masuk ke dalam keadaan emosi dan perasaan konselee kita. Memahami ragam keberbedaan dan kita bisa membantu menolong konselee untuk bisa mengekspresikan dan mengelolanya dengan tepat karena kita sudah lebih dulu memahami dan bisa mengelola serta mengekspresikan dengan tepat.
St : Jadi sulit sekali ya bila kita sendiri dingin atau asing dengan perasaan-perasaan kita. Jadi kita sulit menolong orang lain.
SK : Memang karakteristik penting. Dunia konseling ini sangat dekat dengan dunia emosi dan perasaan. Nanti kalau kita tumbuh sebagai orang yang mati rasa, asing dengan perasaan dan emosi kita, bahkan mungkin kita merasa risih dengan perasaan-perasaan tertentu. Tidak mudah mengakui perasaan sendiri, lebih suka kita menyangkal diri. Mengakui bahwa kita cemburu itu tidak nyaman. Kita akan mengalami kesulitan kalau konselee sedang dalam iri hati atau cemburu. Karena kita tidak nyaman dengan perasaan itu yang ada dalam diri kita, akhirnya tanpa sadar kita mengabaikan. Atau konselee yang mengabaikan pergulatan itu, kita susah memahaminya. Betapa penting poin yang kedua, kita perlu memiliki emosi yang matang untuk menjadi diri yang sehat sebagai prasyarat menjadi konselor yang efektif.
St : Selain dua hal itu, apalagi Pak karakteristik dari diri yang sehat ?
SK : Karakteristik yang lain, kita perlu memiliki pemahaman yang mendalam, Bu Stella.
St : Pemahaman apa, Pak ?
SK : Pemahaman yang mendalam tentang manusia dan kemanusiaan.
St : Coba jelaskan lagi, Pak.
SK : Dalam hal ini kita perlu memahami dinamika kita sebagai manusia. Memahami pikiran-pikiran, perasaan-perasaan, gerak emosi, gerak hati, pergulatan manusia yang kompleks dan beraneka ragam itu. Jadi kita perlu menjadi orang yang cukup berhikmat memahami, merasakan dan bisa membaca apa yang terjadi di dalam pergulatan manusia. Dalam hal ini kalau kita memiliki pemahaman yang mendalam tentang manusia, maka ketika konselee kita pun tidak bisa mengucapkan dengan baik apa yang jadi pergulatannya, tapi dengan melihat sorot matanya, gerak bibirnya, ekspresi wajah dan tubuhnya, kita bisa cukup peka memahami, "Oh, ini yang dia rasakan. Ini yang dia pikirkan. Ini sesungguhnya yang menjadi ruang pergumulan atau keprihatinannya." Karena kita memiliki pemahaman yang mendalam itu.
St : Oh, jadi kita pun perlu banyak belajar ya, Pak. Misalnya tentang perkembangan manusia ataupun tentang dinamika kepribadian manusia. Begitu, Pak ?
SK : Iya. Jadi tekanannya disini bukan sebatas pengetahuan kognitif, pengetahuan ilmu psikologi perkembangan tentang gangguan jiwa, tentang ini dan itu. Tapi bagaimana pemahaman yang mendalam ini kita sendiri bisa masuk – bahkan mungkin kita pernah masuk – dalam situasi itu dan kita bisa menghayati pergulatan itu. Dan itu membangun satu kebijaksanaan dalam diri kita untuk akhirnya dengan pemahaman yang mendalam itu kita peka, tidak cepat menghakimi, tapi lebih mudah untuk memahami dan memberi toleransi. Akhirnya, "Saya bisa paham kenapa kok orang ini sampai mengambil langkah drastik korupsi. Karena anak sakit, kepepet dan tidak ada pertolongan dari keluarganya, akhirnya dia mengkorupsi uang perusahaan selama sekian tahun, agar bisa membiayai anaknya yang sakit dan membutuhkan dana yang besar. Disini bukan berarti membenarkan ya, tapi bisa memahami dan memaklumi. Bukan membenarkan, ini beda. Kenapa ? Karena dia punya pemahaman yang mendalam tentang situasi pergulatan manusia. Jadi empatinya bisa tumbuh terhadap orang yang dilayani. Inilah ciri ketiga dari diri yang sehat, memiliki pemahaman yang mendalam.
St : Jadi mestinya kita bisa melihat dari sudut pandang konselee kita ya, bukan semata-mata kita dari luar melihat dari sudut pandang kita ?
SK : Tepat ! Memang untuk memiliki pemahaman yang mendalam, kita sendiri dalam wilayah tertentu memang perlu memiliki kekayaan pengalaman hidup. Misalnya hidup kita serba lurus, lancar, sukses, apa pun yang kita lakukan dari urusan sekolah, pekerjaan, dan urusan apa pun, kita mungkin akan kesulitan memiliki pemahaman yang mendalam ini. Pemahaman yang mendalam ini biasanya tumbuh justru di ruang-ruang kesulitan yang pernah kita alami. Di ruang-ruang penderitaan, yang kemudian kita proses penderitaan itu dengan baik. Bukannya kita pahit dan menghindar tapi kita merenung dan refleksi. Dan kita pernah terjun dalam situasi sehingga kita lebih mudah membangun kesepahaman dengan orang lain. Masuk ke dalam pikiran dan perasaan orang lain dan berempati didalamnya. Kita juga bisa membaca dan memahami mengapa orang bisa begini dan begitu. Kita bisa membaca gerak hidup dan gerak jiwanya dari sedikit yang kita ekspresikan ini.
St : Apakah itu berarti orang yang hidupnya baik-baik saja atau semua lancar tidak akan bisa menjadi konselor atau pribadi yang efektif ?
SK : Tetap bisa. Beberapa mungkin punya bakat. Kalaupun dia serba lancar tetapi dia memberi ruang untuk mendengar dari pengalaman orang lain. Dia mendengar, memberi ruang, menyimak dan dia mau memberi ruang permenungan. Jadi memang pemahaman yang mendalam ini lebih dari sekadar pengetahuan. Tetapi punya kemampuan reflektif, kemampuan untuk mendaur ulang, merenungkan di dalam ketenangan, keheningan. Jadi dia menjadi orang yang kalau dalam bahasa firman dia orang yang bijak. Orang bijak tidak selalu orang yang tua. Ada orang yang usianya lanjut dia tidak bijak malah kekanak-kanakan. Tetapi ada orang muda yang bijak. Lebih banyak orang yang menjadi bijak karena pengalaman hidup. Orang muda yang tidak punya banyak pengalaman hidup tapi bijak itu biasanya langka dan minoritas. Makanya memang menjadi diri yang sehat ini juga perlu perjalanan usia atau perjalanan hidup juga. Maka akhirnya kita nanti akan masuk ke poin yang lain tentang menjadi diri yang sehat ini. Poin yang lain adalah perlu punya hati yang mau belajar. Jadi, mau belajar dari sekeliling. Memang tidak selalu kita memiliki pengalaman yang disebutkan Bu Stella tadi. Tidak apa-apa. Tapi kita punya karakter yang keempat, Bu Stella, hati yang mau belajar. Saya suka istilah dalam bahasa Inggrisnya adalah teachable heart yaitu hati yang senang dan bersedia untuk diajar. Haus belajar. Bahkan termasuk kita belajar dari konselee kita. jadi bukan serta merta kita sudah menjadi konselor yang mumpuni, berpengalaman, jam terbangnya tinggi, "Aku sudah tahu kok. Kamu cuma mengungkapkan tiga kalimat, aku sudah tahu pasti kamu begini." "Kamu pasti begini, begini, begini. Ini yang perlu kamu lakukan. Ini, ini, ini". Itu keliru. Dia bukan jadi konselor yang efektif bagi orang lain. Tapi sekalipun banyak pengalaman dan jam terbang dalam konseling, tetap mau belajar. Karena tetap ada keunikan pergulatan dari konselee yang kita layani.
St : Jadi, maksudnya kita tidak cepat berpuas diri. Merasa, "Oh, saya sudah tahu kok tentang ini. Saya sudah mengalami ini kok, saya sudah mengertilah semuanya." "Kalau kamu punya permasalahan ini, solusinya begini, begini, begini." Begitu, ya Pak ?
SK : Memiliki hati yang mau belajar berarti mau mendengarkan. Mendengarkan bukan untuk menjawab tapi mendengarkan untuk memahami. Mendengar dengan telinga kita tapi juga mendengar dengan mata kita dan mendengar dengan hati kita. Jadi, kita lihat bahasa tubuhnya. Kita lihat rona mukanya. Kita memperhatikan tempo, kecepatan atau keras lembutnya dinamika suaranya. Dengan kita mendengar dengan mata, telinga dan hati kita, maka itu menunjukkan kita juga memiliki hati yang mau belajar, memahami benar kondisi konselee yang kita layani.
St : Mungkin juga ketika kita melakukan kesalahan, Pak. Mungkin konselee berkata, "Tidak seperti itu." Kita pun tetap mau belajar ya, Pak ?
SK : Betul. Jadi, kita siap mengakui. "Oke, saya tidak tepat dalam menduga atau menengarai." Kita tidak defensif, "Tidak kok ! Menurut pengalaman saya seperti ini. Kamu yang harus menuruti saya." Itu berarti tidak punya hati yang mau belajar.
St : Jadi, memang benar-benar hatinya seperti tanah liat yang mudah dibentuk, begitu ya, Pak ?
SK : Betul. Jadi dengan hati yang mau belajar ini, bahkan belajar ini adalah belajar seumur hidup. Dengan cara begitu hal-hal yang tadi kita kurang – dari sisi penghargaan diri yang kurang memadai, emosi yang kurang matang – kalau kita masih mau belajar, masih ada ruang pertumbuhan. Asal kita mau dikonseling, kita mau dilayani, kita mau bertumbuh dalam komunitas yang sehat, jadi kapasitas kita, karakteristik-karakteristik untuk jadi diri yang sehat masih bisa kita tumbuh kembangkan kalau kita punya karakteristik ini, yaitu hati yang mau belajar.
St : Jadi, kalau bisa saya ulang lagi, tadi sudah ada empat karakteristik diri yang sehat. Penghargaan diri yang memadai, emosi yang matang, pemahaman yang mendalam, dan hati yang mau belajar.
SK : Betul.
St : Kalau karakteristik lainnya ?
SK : Karakteristik kelima adalah mempunyai kemampuan relasi yang baik.
St : Relasi yang baik dengan siapa, Pak ?
SK : Ya dengan orang-orang lain. Jadi, pada dasarnya memang tidak semua masalah psikologis atau masalah konseling itu berasal dari masalah relasi. Tetapi masalah psikologis itu berkaitan dengan soal relasi.
St : Apa maksudnya, Pak ?
SK : Dalam hal ini, ujung-ujungnya semua pergulatan manusia itu ada hubungannya dengan relasi. Relasi dengan orang lain, relasi dengan dirinya, relasi dengan Tuhan. Jadi, kalau kita memiliki kemampuan relasi yang baik dengan diri kita, relasi dengan orang lain, relasi dengan Tuhan, maka itu akan menjadi satu modal penting yang kita miliki sebagai diri yang sehat untuk kita menjadi konselor yang efektif bagi orang-orang yang datang untuk dilayani lewat proses konseling kita.
St : Jadi maksudnya kemampuan relasi ini, ketika kita juga bisa berdamai dengan diri sendiri, bisa makin mengenal orang lain, mengenal diri dan mengenal Tuhan.
SK : Betul. Relasi ini ‘kan menjembatani. Jadi kita bisa memiliki kapasitas membangun persahabatan, kita punya kemampuan untuk merawat hubungan yang baik, ketika pun ada konflik kita bisa mengelola konflik itu dengan baik. Ada salah paham, kita tidak meninggalkan pertemanan itu atau putus di tengah jalan, tapi kita bisa minta maaf atau kita bisa mengklarifikasi dan kemudian menuju ke arah rekonsiliasi atau perdamaian. Kapasitas kita untuk mampu berelasi dengan baik ini menjadi satu modal penting sebagai diri yang sehat. Dan model itu akan dibawa untuk menolong banyak orang yang juga punya kesulitan-kesulitan dalam mengembangkan relasi yang baik dengan orang lain. Ini menjadi faktor yang kelima, Bu Stella, untuk menjadi diri yang sehat.
St : Hmm, sepertinya ada beberapa faktor lainnya ya, Pak ? Tapi kita sampai disini dulu perbincangan kita kali ini. Sebelumnya, apakah ada ayat firman Tuhan yang mendasari perbincangan kita ?
SK : Saya bacakan dari 1 Tesalonika 2:8, "Demikianlah kami dalam kasih sayang yang besar akan kamu, bukan saja rela membagi Injil Allah dengan kamu, tetapi juga hidup kami sendiri dengan kamu. Karena kamu telah kami kasihi." Firman Tuhan ini menegaskan bahwa di dalam pelayanan kita, kita bukan hanya membagi Injil, membagi kebenaran secara kata-kata, secara firman yang tertulis. Tetapi kita juga perlu membagi hidup kita. Maka untuk menjadi konselor yang efektif, mari kita punya hidup yang berkualitas, punya diri yang efektif. Itulah modal penting yang sama pentingnya dengan kebenaran yang kita sampaikan dengan kata-kata, yaitu kebenaran yang kita hidupi. Diri yang sehat menjadi modal penting untuk kita menjadi konselor bagi orang lain.
St : Terima kasih, Pak Sindu. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, MK. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Menjadi Konselor yang Efektif" bagian pertama. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.