Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerja sama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya Stella akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, MK. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini mengenai topik "Kala Karier Istri Menanjak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
St : Pak Sindu, belakangan ini cukup tren para istri bekerja dan ternyata mengalami banyak kenaikan karier dan jabatan. Nah, secara alami bagaimana reaksi suami pada umumnya ?
SK : Secara alami memang wajar kalau para pria atau para suami mengalami perasaan terancam, mengalami perasaan bingung dengan perubahan yang terjadi akibat sang istri mengalami karier yang menanjak.
St : Jadi apa dampak-dampak yang perlu dikenali oleh para suami ?
SK : Mari para suami ketika mengalami hal ini jangan merasa, "Kok aku jelek sekali ya." Itu manusiawi. Kalau merasa terancam itu memang masyarakat kita umumnya paternal, yang artinya laki-laki ditempatkan secara alami lebih superior di dalam relasi masyarakat, sehingga kalau istri lebih menanjak kariernya bahkan penghasilannya lebih besar, sepertinya itu mengakibatkan posisi suami atau pria menjadi lebih inferior dan itu seperti menyerang harga diri. Kalau itu dirasakan, jangan disangkali. Karena itu fakta bahwa itu yang dirasakan oleh sang suami ini.
St : Jadi kadang merasa terancam posisinya, Pak ?
SK : Iya. Mungkin muncul tuduhan atau praduga bersalah, misalnya "Nanti istriku tidak akan menghormati aku lagi. Nanti pasti anak-anakku akan mengatakan papanya ini bukan apa-apa lagi. Nanti pasti keluargaku akan menghina aku. "Apa itu, suami kok bersembunyi di ketiak istri. Suami kok tidak bisa jadi soko guru ekonomi keluarga. Malah istri yang jadi soko guru ekonomi keluarga, suami hanya punya penghasilan tambahan. Penghasilan utama dari istri." Tuduhan-tuduhan ini bisa muncul. Jadi marilah akui dan lakukan langkah aktif untuk mengecek diri, "Benar tidak yang aku pikirkan ? Apakah ini yang mau aku pertahankan ?" dan mari dialogkan dengan istri. Karena kalau ini dibiarkan tertutup, nanti suami bisa berperilaku agresif.
St : Agresif misalnya seperti apa, Pak ?
SK : Agresif yang menyerang. Bisa bersifat aktif atau pasif. Agresif aktif misalnya sedikit-dikit memukul anak, membentak-bentak istri, atau mengata-ngatai istri. Agresif pasif misalnya ‘ngambek’, tidak mau melakukan bagiannya, tidak mau bekerja, tidak mau menjemput anak, tidak mau di rumah lagi dan lebih banyak bepergian. Itu pasif, artinya tidak mau langsung menghadapi orangnya tapi marah di belakangnya dan melakukan semacam sabotase. Ini karena tidak mau mengakui perasaan terluka ini, harga diri yang terluka ini. Akibatnya malah merugikan pasangan, anak dan sebenarnya merugikan dirinya.
St : Jadi penghargaan diri suami itu bisa terancam ketika karier istri menanjak, begitu ya, Pak. Selain penghargaan diri, apalagi yang kira-kira terancam ?
SK : Yang kedua adalah waktu kebersamaan suami istri dan waktu kebersamaan orang tua anak juga bisa terancam berkurang. Karena karier menanjak berarti lebih mungkin waktu yang dipakai untuk bekerja lebih lama, sehingga waktu-waktu kebersamaan sebagai suami dan istri serta ibu dan anak juga semakin berkurang. Ini ancaman yang kedua.
St : Mungkin ancaman yang lainnya juga berkaitan dengan tugas-tugas yang biasa dilakukan oleh istri di dalam rumah ya, Pak ?
SK : Benar. Biasanya istri ‘kan punya tanggung jawab tertentu secara domestik dalam intern kerumahtanggaan, soal kebersihan rumah, penyediaan makanan dan sebagainya. Tapi karena karier istri menanjak dan waktunya lebih banyak di luar, pulang juga sudah lelah, sehingga tugas kerumahtanggaan ini terancam terabaikan.
St : Pak, ancamannya ‘kan banyak, minimal tiga yang tadi kita sebutkan. Apakah ini artinya istri lebih baik tidak perlu menikmati kenaikan karier dan jabatan ?
SK : Dalam hal ini saya mengusulkan beberapa hal, Bu Stella. Yang pertama pertimbangkan ketepatan waktu. Pertimbangan yang pertama saya lihat soal tumbuh kembang anak. Ketika anak-anak masih kecil, misalnya masih SD, bahkan masih TK, Playgroup, masih balita, bahkan masih bayi, saya lebih condong mengusulkan sang istri atau sang ibu muda ini lebih memprioritaskan memberi waktu yang memadai ada di rumah mendampingi tumbuh kembang anak-anak.
St : Jadi maksud Bapak kalau anaknya masih kecil, masih lebih banyak di rumah, lebih baik ada ibu di rumah mendampingi anak-anak. Tapi seiring sekolah bertambah tinggi atau mereka sudah kuliah, maka karier ibu menanjak pun oke-oke saja, begitu Pak?
SK : Ya. Ketika masa SMP-SMA waktunya ‘kan lebih panjang. Waktu lebih panjang di luar rumah, sekolah, les dan kegiatan lainnya, sehingga ibu lebih leluasa juga aktif di luar rumah lebih lama lagi. Berarti karier yang menanjak dengan waktu kerja yang lebih lama pun masih tidak apa-apa. Poinnya adalah 12 tahun pertama usia anak itu usia keemasan membentuk pondasi dasar. Pondasi secara jiwani, psikis, mental intelektual, mental emosional dan spiritual. Ibu berperan penting untuk meletakkan pondasi-pondasi ini. Bukan berarti ayah sama sekali tidak penting. Ayah juga penting, tapi ibu lebih penting lagi untuk hadir menemani. Ibu yang hadir secara stabil menemani tumbuh kembang anak-anaknya akan membuat pondasinya remaja bagus. Kenakalan remaja dan kriminalitas lebih banyak tergerus ketika 12 tahun pertama ibu dengan loyal dan sepenuh hati mendampingi. Bukan berarti saya tidak menghargai emansipasi perempuan, bukan. Tapi mau meletakkan pada porsi yang utuh, bahwa ada peran istri yang berkarier tapi jangan lupa ada peran sebagai seorang ibu selain sebagai istri. Bekerja masih bisa kita delegasikan. Menjadi ibu dan menjadi istri tidak pernah bisa kita delegasikan kepada orang lain secara penuh, karena sudah ada ikatan batin. Inilah yang menjadi sorotan saya.
St : Jadi pertimbangan waktu yang tepat itu penting ya. Selain itu adakah hal lain yang perlu dipertimbangkan ?
SK : Yang kedua, perlu perjelas komitmen sebagai suami istri. Komitmen waktu kebersamaan. Perlu diperjelas juga komitmen dengan anak-anak. Sebaiknya bukan hanya minta persetujuan suami, tapi percakapkanlah dengan anak-anak juga. "Anak-anak, Ibu dapat promosi kenaikan jabatan. Jabatan jadi lebih tinggi, ya penghasilan lebih tinggi. Tapi waktu kerja juga lebih banyak. Bagaimana menurut kalian ?" "Jangan, Bu. Kami ingin lebih banyak waktu ditemani Ibu". Atau "Tidak apa-apa, Bu. Kami juga sudah punya kesibukan sendiri tidak terlalu butuh Ibu." Karena mungkin sudah SMP atau SMA ya, biasanya anak sudah lebih banyak menarik diri dari orang tua. Kalau ada persetujuan dari anak-anak dan juga suami, maka silakan. Dalam hal ini jangan lupa kebersamaan yaitu tadi, waktu-waktu romantis suami istri jangan diabaikan.
St : Jadi harus tetap ada komitmen waktu untuk keluarga ya, baik dengan pasangan maupun dengan anak-anak.
SK : Ya. Kalau tidak demikian keintiman suami istri ini akan rawan percekcokan yang tidak sehat dan rawan perselingkuhan juga.
St : Apalagi kalau misalnya kariernya menuntut untuk sering pergi ke luar kota.
SK : Tepat. Ini juga perlu dipertimbangkan. Jangan karena atas nama aktualisasi atau emansipasi. "Toh saya bawa banyak uang." Ingat, tidak semua hal bisa kita beli dengan uang. Kemesraan, keintiman, relasi suami istri, orang tua anak tidak bisa kita beli dengan uang.
St : Selain itu, apalagi yang perlu dipertimbangkan oleh istri yang mengalami kenaikan jabatan ?
SK : Perlu diperjelas tugas-tugas kerumahtanggaannya akan didelegasikan kepada siapa. Mungkin sebagian kepada anak-anak yang sudah menginjak usia remaja, mungkin sebagian kepada suami, atau juga kepada pekerja rumah tangga. Jadi ini perlu diperjelas.
St : Jangan sampai serumah jadi kapal pecah ya, Pak ?
SK : Iya, betul.
St : Nah, kalau dari sisi suami, kira-kira apa yang perlu dilakukan oleh suami, Pak ? Karena secara alamiah pasti ada penghargaan diri yang terancam.
SK : Benar. Poin pertama yang kita bahas tadi ada rasa harga diri yang terancam. Saya mengajak untuk tidak menyangkali hal itu. Itu manusiawi. Setelah itu lakukan langkah berikutnya. Ini yang perlu kita bahas. Yang pertama, mari para suami bertumbuh meletakkan rasa amannya, kebermaknaan dirinya, rasa penghargaan dirinya bukan semata-mata bertumpu pada karier dirinya. "Kok karier istriku lebih meningkat ? Berarti aku lebih rendah dan aku tidak punya apa-apa." Keliru ! Hidup kebermaknaan diri dibangun oleh banyak pilar, beberapa pilar. Salah satunya selain pilar relasi suami dan istri / keintiman, jangan lupa ada relasi intim dengan Tuhan, relasi intim dengan anak-anak, relasi kebermaknaan yang sehat dengan pria-pria lain, dan kebermaknaan dari bagaimana kira menjawab panggilan hidup lewat karier atau pekerjaan kita.
St : Jadi, suami tetap bermakna, tetap berharga dan tetap punya martabat sekalipun karier istrinya menanjak.
SK : Benar. Kalau kita hanya meletakkan telur-telur keberhargaan kita pada keranjang posisi jabatan saya lebih tinggi dari istri, penghasilan saya sebagai suami lebih tinggi dari istri, itu keliru. Itulah kesesatannya, bukan karena karier istrinya menanjak, tapi kesesatan problemnya pada cara pandang kita yang keliru. Maka mari kita sejak dini bahkan saat inipun mau belajar bahwa rasa aman penghargaan diri saya pertama-tama dari relasi saya dengan Tuhan.
St : Apa yang bisa dilakukan oleh para suami untuk mengembangkan kebermaknaan relasi dengan Tuhan ?
SK : Mari kita bangun keintiman dengan Tuhan, baik dari peristiwa kelahiran baru kita bahwa "saya ditebus oleh darah Yesus, darah yang mahal itu, darah Allah sendiri tercurah untuk saya manusia berdosa", hayati, resapi, kontemplasikan, meditasikan lewat pergaulan dengan firman baik secara saat teduh pribadi, lewat kelompok pertumbuhan iman di gereja, kita mendengar khotbah atau renungan, kita membaca buku rohani, kita mengambil waktu kontemplasi. Inilah yang membangun pikiran-pikiran yang benar dari Allah tentang keberadaan kita dan menjadi satu pilar utama, "Saya berharga karena Allah telah menghargai saya. Perkara istri lebih meningkat kariernya, perkara situasi yang sulit begini, itu tidak terlalu berpengaruh, karena faktor utamanya saya dengan Allah". Ini yang perlu kita capai.
St : Jadi kita menemukan intinya ya, Pak. Inti dari kebermaknaan hidup kita memang di dalam relasi kita dengan Tuhan.
SK : Betul.
St : Tadi Bapak juga bilang kebermaknaannya itu di dalam panggilan hidup lewat karier. Bagaimana itu, Pak ? Hal-hal apa yang perlu dilakukan untuk mengembangkan hal itu ?
SK : Tuhan memanggil kita menjadi anak-anak-Nya yang turut berkarya melayani Dia. Kita melayani Tuhan lewat panggilan hidup. Panggilan hidup kita kenali lewat karunia, pengalaman-pengalaman, bakat dan kemampuan kita. Mari temukan itu. Disanalah kita menemukan tempat khusus yang Allah sediakan.
St : Jadi masing-masing orang memang punya panggilan yang khusus dan unik ?
SK : Betul. Panggilan itu terwujud lewat pekerjaan kita, terwujud dalam bentuk-bentuk rupa pelayanan kita ke masyarakat atau di gereja. Mari kita kenali apa itu. Jadi, jangan cuma pokoknya saya kerja pagi sampai sore kemudian dapat gaji, ya sudah. Tapi mari, apakah pekerjaan saya ini mewakili panggilan hidup saya. Apakah ketika saya bekerja sama seperti saya sedang mengerjakan panggilan hidup yang Allah sediakan. Jadi kalau selama ini kita bekerjanya datar-datar saja, pokoknya sekadar beraktifitas dan lebih banyak menganggur dan dengan hobi kita, maka harus dipertanyakan. Apakah Allah memanggil saya hanya sampai di titik seperti ini ? Dengan kita bisa mengenali panggilan kita yang lebih spesifik dan kita kerjakan dengan sepenuh hati, disana kita mendapatkan sukacita dan kebermaknaan, sehingga istri boleh meningkat kariernya, boleh meningkat gajinya. Mungkin karier dan gaji saya tidak setinggi istri, tapi saya merasa bermakna, saya berharga karena saya sedang mengerjakan sesuatu yang bernilai kekal yang Allah sediakan untuk saya.
St : Jadi pola pikirnya bukan sekadar apa yang terlihat untuk materi tapi juga pola pikir yang kekal ya, Pak ?
SK : Benar. Inilah semangat hidup yang sehat yang perlu kita miliki, Bu Stella.
St : Selain mengembangkan hal-hal tadi, Bapak tadi juga bilang tentang persahabatan yang sehat dengan beberapa pria.
SK : Benar. Marilah kepriaan kita dibangun dalam komunitas pria yang sehat. Artinya kepriaan itu butuh peneguhan dengan sesama pria. Jadi mari kita punya sahabat-sahabat pria. Kita bahkan punya kelompok kecil pria yang mau belajar firman bersama, yang bisa otentik, kita membuka diri dan saling menjaga rahasia dan termasuk kita melakukan kegiatan-kegiatan hobi pria seperti misalnya jalan-jalan, memancing, berolahraga atau kegiatan-kegiatan semacam ‘camping’ – hal-hal dimana kita bisa merayakan kepriaan kita. Dengan begitu kita akan membangun kepriaan yang sehat bahwa pria berharga bukan karena menjajah wanita atau karena kariernya lebih tinggi dari istri. Tidak ! Pria berharga karena dia punya sahabat-sahabat pria yang saling meneguhkan kepriaannya di dalam Tuhan. Ini sangat sehat untuk kita bangun sebagai pilar yang ketiga.
St : Tapi kadang tidak mudah juga ya, Pak, mendapatkan persahabatan dengan sesama pria.
SK : Betul. Tidak mudah bukan berarti mustahil, Bu Stella. Kita bisa mendoakan, mengambil langkah iman, membagikan tentang gagasan ini, kita kumpulkan sekurangnya 2 pria. Jadi kita bisa bertiga sampai berlima. Itu cukup. Tiga orang pun cukup. Kalau pun dua orang saja bisa berdoa ada anggota ketiga. Nah, kita bertemu misalnya dua minggu sekali untuk sharing, berdoa, ada buku yang kita diskusikan, ada teks Alkitab yang kita renungkan bersama, sambil kesempatan yang ada kita bermain bersama, mengobrol, termasuk membawa istri dan anak-anak ke acara semacam ‘family gathering’ atau rekreasi keluarga bersama. Ini sehat, ini bagian yang membentuk kita untuk siap menjadi suami yang tidak merasa terancam oleh karier istri yang menanjak. Karena kepriaan kita dibangun dari pria-pria ini sebagai pilar yang ketiga.
St : Tapi apakah mungkin ada pria yang sudah menjaga relasi dengan Tuhan, sudah menemukan panggilan hidup dan memiliki beberapa sahabat pria, tapi tetap merasa terancam. Apakah mungkin seperti itu ?
SK : Bisa. Itu pertanyaan yang baik, Bu Stella. Mungkin ini berkenaan dengan riwayat pria itu sebagai anak dari keluarga asal.
St : Coba Bapak jelaskan lebih lanjut.
SK : Misalnya dia tumbuh sebagai laki-laki yang kurang dihargai. Dia tumbuh sebagai anak laki-laki yang melihat ayahnya sendiri minder, ayah yang banyak berdiam diri dan bersembunyi di belakang kemapanan karier dan keperkasaan istri untuk melakukan berbagai hal. Dia tumbuh sebagai pria dengan nilai-nilai yang keliru tentang kepriaan, yaitu maskulinitas yang palsu, bahwa pria hebat bila lebih hebat daripada wanita – hebat kalau bisa memerintah dan istri sepenuhnya tunduk pada apapun kemauan sang suami. Itu membentuk luka, membentuk cara berpikir yang keliru, membentuk kebohongan-kebohongan. Maka dengan kita mengenali riwayat pohon keluarga kita, khususnya dalam diri para pria tersebut, dia akan mengalami distorsi-distorsi, pikiran-pikiran yang salah, keyakinan-keyakinan yang keliru dan menyesatkan, termasuk pengalaman-pengalaman emosi yang terluka ini. Dengan mengenali semua ini kita akan bisa mengambil langkah berikutnya yaitu langkah restorasi, menyembuhkan luka, meluruskan apa yang salah.
St : Mungkin bisa juga dengan berdiskusi atau berdialog dengan istri maupun dengan sahabat-sahabat pria itu ya, Pak ?
SK : Benar. Jadi kita terbuka mengecek riwayat kita, membaca relasi ayah dan ibu kita, melihat pola-pola pria yang ada di keluarga asal kita dengan melihat pola benang merahnya yang terjadi kita akan bisa melihat itulah juga yang memengaruhi jiwa, batin, dan keyakinan kita sebagai pria.
St : Jadi para suami pun perlu kembali mengecek diri, memeriksa apakah memang ada hal-hal lain di masa lampau yang memengaruhi pemikirannya saat ini.
SK : Betul. Jadi sangat sehat, kalau memang ada kesempatan ada konselor yang bisa dijangkau ya datanglah ke konselor. Konselor sudah dibekali dengan pemahaman dan keterampilan bahkan pengalaman untuk hal-hal seperti ini, mereka akan menolong supaya kita mengenali bagian-bagian yang kadang tidak bisa kita kenali. "Kenapa ya ? Saya sudah berusaha melakukan yang terbaik tapi tetap saja ada perasaan terancam, gelisah dengan istri yang kariernya menanjak. Padahal dia baik. Kariernya menanjak tapi dia tetap menghormati saya. Tapi kenapa saya tetap iri dan marah." Konselor yang sudah berpengalaman ini bisa menjadi mitra yang baik untuk menolong kita pria-pria yang terbuka untuk mau ditolong.
St : Dengan demikian para pria pun tidak langsung serta merta menyalahkan istrinya yang kariernya begitu menanjak ya.
SK : Betul. Dengan demikian maka jangan sampai terjadi sebuah sabotase. Bicaranya mendukung, tapi ternyata dari kata, sikap dan tindakannya kok kebalikannya. Jadi ini ada proses yang tidak jujur ada proses yang berkontradiksi atau berseberangan. Tapi ketika kita bisa mengangkat ke permukaan, bisa menyelesaikannya dan kita bisa mengisi dengan tonggak-tonggak yang benar, relasi dengan Tuhan, relasi lewat kebermaknaan panggilan hidup, relasi dengan sesama pria yang sehat, termasuk dalam hal ini tetap menjaga keintiman dengan istri dan anak-anak. Hal-hal ini akan meneguhkan rasa aman pria terhadap istri yang menanjak kariernya.
St : Tapi mungkin juga perlu ada sikap-sikap yang perlu diwaspadai oleh para istri ketika kariernya menanjak ya, Pak ? Juga ada kemungkinan istri menjadi agak "meremehkan", begitu Pak ?
SK : Benar. Satu sisi yang kita bahas tadi adalah suami perlu melakukan bagiannya. Tetapi juga perlu diimbangi oleh istri yang melakukan bagiannya.
St : Hal-hal apa yang bisa istri lakukan ?
SK : Istri harus tetap ingat bahwa suami adalah kepala keluarga. Ini rancang bangun Allah. karier istri boleh meningkat, penghasilannya boleh lebih besar, boleh lebih bersinar di luar, tapi tetap ingat bahwa suami perlu tetap dihormati, suami tetap kepala keluarga. Dalam arti ketika di rumah tetap berikan penghormatan kepada suami. Penghormatan bukan karena soal jabatan dan uang tetapi karena Allah merancangkan demikian. Jadi dalam hal ini pun istri juga perlu bertumbuh secara spiritual. Dia perlu punya komunitas pertumbuhan yang sehat, bergaul dengan firman, meletakkan rasa aman pada Allah. Kariernya meningkat bukan berarti dia tidak butuh orang lain dan siap menjadi tuan atas hidupnya. Tapi dia tetap adalah hamba dari talenta, karunia, jabatan yang Tuhan percayakan. Dan dia tidak boleh menjadi hamba yang pongah, termasuk pongah terhadap suami. Sikap mental spiritual ini perlu disuburkan oleh istri, baik di saat teduh, atau dalam kelompok pertumbuhannya dengan para wanita. Dengan adanya komunitas iman sesama wanita maka cara pandang yang sehat akan terjagai, Bu Stella.
St : Jadi istri juga harus tetap tunduk sekalipun dia adalah pimpinan di perusahaan?
SK : Betul. Dengan sikap hati yang tulus dan terbuka mau berproses dengan Tuhan, dengan komunitas wanita yang sehat, maka dia akan menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya dan dia akan menjadi istri yang baik bagi suaminya.
St : Jadi masing-masing, baik suami maupun istri memiliki porsi yang harus dikerjakan dan bertumbuh di dalamnya ?
SK : Betul. Dalam hal ini Kristus adalah kepala dari pernikahan suami istri ini. Kristus adalah kepala dari rumah tangga mereka. Suami adalah hamba yang tunduk kepada Kristus, demikian juga istri adalah hamba yang tunduk pada Kristus. Dengan sikap yang benar inilah cara pandang dan penghayatan dengan Kristus sebagai pusat dan kepala, maka distorsi-distorsi / penyimpangan tentang suami dan istri, dengan karier, tentang keuangan, tentang problem, akan jauh lebih mudah diminimalisir bahkan dihindari. Karena sikap hati, sikap jiwa, sikap emosi, sikap keyakinan yang tepat.
St : Jadi bisa dibilang keluarganya akan berbahagia ketika ada Kristus yang memerintah dan semuanya tunduk ?
SK : Betul. Saya bicara begini bukan kesannya klise ya. Tapi saya mau teguhkan bahwa ini penting dan bukan omong saja, tapi diwujudkan dalam tindakan bergaul dengan Allah, menempatkan firman Allah dan dilakukan. Ini didukung oleh komunitas tadi itu, kelompok wanita, kelompok pria, kelompok keluarga. Ini akan jadi indah, bukan lagi mimpi tetapi fakta.
St : Bagian firman Tuhan apa yang bisa kita pelajari dari topik kali ini ?
SK : Saya bacakan 1 Korintus 7:3, "Hendaklah suami memenuhi kewajibannya terhadap istrinya, demikian pula istri terhadap suaminya." Firman Tuhan ini konteksnya tentang relasi seksual. Tapi bisa saya perluas untuk bagian-bagian yang lain yang tadi sudah kita bahas. Ada bagian suami, ada bagian istri. Mari lakukan kewajiban-kewajiban itu. Bahkan sebagaimana yang Tuhan sudah gariskan. Suami menghargai istri bahkan seperti Kristus mati bagi jemaat, menguduskan jemaat demikian juga suami menghormati istri dan menguduskan istri dengan pengorbanannya. Istri tunduk kepada suami, menghormati suami sebagaimana jemaat menghormati Kristus. Kalau pola ini kita terapkan bersama suami dan istri, maka kenaikan karier bukan lagi menjadi masalah malah menjadi berkat bagi seisi rumah tangga.
St : Terima kasih untuk perbincangan kita kali ini, Pak Sindu. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, MK. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kala Karier Istri Menanjak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.