Budaya Otonomy Versus Budaya Kelompok

Versi printer-friendly
Beberapa hari yang lalu saya menerima surat dari lembaga pemerintah Belanda yang isinya mengatakan bahwa semua orang yang berusia di atas 18 tahun yang tinggal di Belanda diharapkan memberi informasi kepada lembaga pemerintah apakah bersedia mendonorkan organ tubuhnya ketika meninggal. Karena bahasa Belanda saya masih belum terlalu canggih, saya perlu membawa beberapa kali sambil memikirkan organ mana dari tubuh saya yang ingin saya sumbangkan jika saya meninggal dan kepada siapa saya ingin memberikan organ tersebut (ke siapa saja yang membutuhkan, keluarga sendiri, atau orang tertentu yang saya tahu). Tapi dalam hati saya kemudian bertanya-tanya kira-kira apa tanggapan keluarga saya jika saya mati di Belanda dan organ saya diambil untuk disumbangkan di Belanda, lalu mayat saya pulang dengan 'sedikit kurang lengkap'. Hmm.. inilah beda antara orang Indonesia dan Belanda. Orang Belanda yang berusia di atas 18 tahun tidak akan berpikir apa yang dipikirkan dan dirasakan orang tuanya jika organnya diberikan ke orang lain saat dia meninggal, sementara buat orang Indonesia hal ini bukan perkara sepele. Inilah beda antara 2 dunia.. Belanda dengan budaya otonomi yang kental dan Indonesia dengan budaya kelompok yang kental... Setelah berumur 18 tahun, seseorang dianggap dewasa dan dianggap dapat hidup mandiri di Belanda. Artinya kebanyakan diharapkan keluar dari rumah orang tuanya (meskipun tinggal di kota yang sama), menyewa kamar kos dan bekerja untuk menghidupi dirinya sendiri dan biasanya orang tua hanya memberi tambahan untuk membayar uang kuliah (yang tidak begitu mahal). Kalau tidak ingin bekerja selama kuliah, mereka bisa meminjam uang dari pemerintah yang akan mereka cicil setelah lulus kuliah dan bekerja. Jadi jika seseorang sudah berusia 18 tahun, dia harus bertanggung jawab atas dirinya sendiri, dan tentu saja berhak mengambil keputusan apa pun untuk diirnya, hidupnya, dan tubuhnya sendiri. Oleh karena itu mereka dapat mengambil keputusan atas apa yang mereka ingin perbuat atas tubuhnya, termasuk mendonorkan organ tubuhnya dan orang tua diharapkan tidak campur tangan. Coba kalau ini diterapkan di Indonesia, saya pikir kebanyakan orang tua tidak akan tega membiarkan anaknya hidup sendiri. Jangankan yang baru saja lulus SMU, anak yang sudah menikah pun masih sering dibantu orang tua :) Sistem budaya kita yang memegang sistem hidup berkelompok mengharapkan setiap orang untuk saling menopang satu sama lain (dalam keluarga) secara ekonomi dan sosial, saling mengawasi agar semua orang mengikuti aturan main dalam kelompok, bahkan mengintervensi jika perlu, dan menjaga keberlangsungan dan stabilitas kelompok. Implikasi hidup berkelompok adalah keputusan ada dalam kelompok (karena dianggap akan mempengaruhi kelompok) dan bukan semata milik individu. Itu kenapa memilih sekolah, menikah, membeli rumah, dsb banyak dipengaruhi (dan atau dibantu juga) oleh keluarga besar. Kita terbiasa untuk saling mengandalkan satu sama lain. Ini tampak sekali dalam hidup sehari-hari. Misalkan kita bepergian dengan kendaraan menuju kota lain dan alamat yang belum pernah kita tahu. Kita akan PD saja pergi karena berharap dapat bertanya pada orang yang kita temui di jalan (dan memang cara ini efektif di Indonesia). Coba kita terapkan ini di Belanda, Anda pasti sangat kesulitan untuk sampai tujuan. Karena orang di jalan tidak akan mengenal siapa orang yang ingin Anda kunjungi, tidak tahu pasti jalan itu ada di sebelah mana (bahkan orang yang tinggal satu gedung pun belum tentu saling tahu nama tetangga satu gedung). Lebih baik jika Saudara mencari tahu dari google map sebelum berangkat, karena pasti akan mudah menemukan alamat bersangkutan daripada bertanya pada orang di jalan. Di Belanda, bertanya pada google lebih manjur dari pada bertanya pada orang ;) karena budaya Belanda lebih menjunjung sistem yang tertata rapi dan kemandirian daripada gotong royong dan fleksibilitas/spontanitas. Mana yang lebih baik? Saya pikir kedua-duanya punya sisi kiuat dan lemah. Di Belanda, cuaca yang dingin membuat orang lebih banyak tinggal di dalam ruangan tertutup daripada di luar. Lingkungan yang sulit juga membuat orang Belanda harus mampu bertahan tanpa tergantung pada bantuan luar yang datang. Tentu saja ini membuat kemandirian dan sistem/struktur menjadi sangat penting untuk bertahan hidup. Sementara itu di Indonesia dengan iklim yang hangat , orang bisa berada di luar kapan saja dan berkumpul di mana saja. Kehidupan kelompok menjadi lebih penting daripada kemandirian dan sistem yang tertata rapi. Bagi saya, kedua-duanya bisa dinikmati asal dapat beradaptasi dengan cepat :)