Pasangan Muda di Tengah Himpitan Pekerjaan dan Pelayanan (I)
Kehidupan kita tidak selalu berada di puncak gunung (gambaran keindahan dan keberhasilan), namun ada saat dimana kita berada di lembah kekelaman (gambaran kesulitan, kesusahan dan penderitaan). Lembah kekelaman ini terlihat sejak penyebaran Covid-19 pertama kali dilaporkan di Wuhan, China pada 31 Desember 2019. Dunia digoncangkan oleh pandemi Covid-19 yang telah menelan banyak korban. Tidak terkecuali di Indonesia yang sejak bulan Maret 2020 mengumumkan penyebaran virus Covid-19. Sebuah pertanyaan muncul: -Mengapa Tuhan yang Maha Kasih mengizinkan bencana yang mengerikan ini terjadi?- . . . Sebuah misteri Ilahi yang sulit untuk dijawab.
Mari kita lihat catatan dalam surat Roma 8:28 yang mengatakan, -Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.- Melalui ayat ini ada dua alasan yang mendasari pengenalan kita akan Allah yaitu: pertama, mengasihi Allah tanpa syarat. Dalam Roma 8:28 tertulis -- mereka yang mengasihi Dia.- Kata kerja mengasihi berasal dari bahasa Yunani agapao, yang berarti mengasihi tanpa syarat (unconditional love). Mampukah kita mengasihi Allah tanpa syarat? Ini tentu tidak mudah. Namun dasar pijaknya adalah, -Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih- (1 Yoh. 4:8). Dalam ayat ini, kata kasih berasal dari bahasa Yunani agape, yang berarti kasih tanpa syarat (unconditional love). Ini menunjukkan bahwa Allah mengasihi manusia tanpa syarat.
Pernahkah kita meragukan kasih Allah? Jika sesuatu berjalan dengan baik, mudah bagi kita untuk berkata, -Allah sangat mengasihiku.- Sebaliknya, ketika sesuatu yang buruk dan penderitaan menimpa kita, mungkin kita mulai meragukan kasih Allah? Allah telah membuktikan kasih-Nya dengan mengorbankan Yesus Kristus mati di atas kayu salib bagi kita, orang-orang berdosa. Refleksi bagi kita: ketika kita berada dalam lembah kekelaman (sesuatu yang buruk menimpa kita), masihkah kita mengasihi(unconditional love) Allah?
Kedua, memercayai Allah dengan segenap hati. Mari kita perhatikan ayat 28 yaitu Allah turut bekerja di dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan. . . sesuai dengan rencana-Nya. Kata turut bekerja berasal dari bahasa Yunani sunergeo (yang juga berarti menolong). Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidup kita sering dikaitkan dengan Allah. Terkait dengan pandemi Covid-19, mungkin kita bertanya, -Apakah kebaikan dan rencana Allah dibalik bencana dahsyat ini?- Pandemi Covid-19 ini menyadarkan manusia akan keberadaan Allah bahwa manusia membutuhkan Tuhan, Sang Juru Selamat. Tuhan bekerja di balik layar melalui para dokter dan tim medis yang menemukan vaksin dan menolong orang-orang yang sakit. Tuhan juga menggerakkan hati orang-orang untuk peduli dan berbagi dengan sesama yang lemah. Bahkan Tuhan menolong kita dalam berbagai pergumulan yang kita hadapi hari lepas sehari.
Pandemi Covid-19 mungkin memorak-porandakan rencana yang telah kita susun dengan baik (rencana karier, rencana studi, rencana pernikahan dan sebagainya). Ketika segala sesuatu tampaknya tidak berjalan seperti harapan kita, masihkah kita memercayai Allah dengan segenap hati? Walaupun, kita terbatas untuk menyelami rencana-Nya, namun percayalah pada hati Allah yang sangat mengasihi anak-anak-Nya. Oleh karena Allah, Sang Perancang Kehidupan tahu apa yang terbaik dan Dia pasti sanggup menolong apa pun pergumulan yang kita hadapi.
Renungan dibuat oleh :
Ev. Sri Wahyuni, M.Th. Konseling
Ketua PKTK Sidoarjo
Setiap zaman memunyai tantangannya masing-masing; menurut saya, tantangan zaman ini adalah waktu. Sudah tentu benar bahwa di masa lampau pun kita mesti bergumul dengan masalah waktu tetapi saya kira pada zaman ini masalah waktu telah menjadi masalah yang jauh lebih besar. Ada dua sumber yang menguras banyak waktu, setidaknya buat orang percaya: pertama adalah pekerjaan dan kedua adalah pelayanan. Tidak bisa tidak, keduanya memberi dampak pada kehidupan berkeluarga; itu sebab penting bagi kita membahas masalah ini. Pertama, marilah kita menyoroti realitas pekerjaan dan pelayanan dewasa ini. Dan kedua, marilah kita bahas bagaimana membagi waktu dengan bijak.
Sampai jenjang karier tertentu PEKERJAAN hanya menuntut waktu yang relatif sama — sekitar 8 jam per hari—dan lokasi bekerja yang juga sama. Melewati jenjang tertentu, pada umumnya pekerjaan mengharuskan kita untuk memberi waktu lebih daripada 8 jam per hari dan menuntut kesediaan kita bekerja di pelbagai lokasi. Itu sebab makin tinggi jenjang karier, makin malam kita pulang dan makin sering kita travel ke luar kota — bahkan ke luar negeri. Saya mengenal orang yang berada di rumah hanya seminggu dalam sebulan karena harus travel ke pelbagai lokasi kerja.
Dewasa ini dunia kerja telah berubah drastik, bukan saja dari lokal menjadi regional tetapi malah sudah menjadi internasional. Keterkaitan dan jaringan kerja berkembang sedemikian rupa sehingga batas wilayah hampir lenyap. Alhasil, walau banyak hal dapat dilakukan secara online, namun tetap, ada banyak hal yang mesti dikerjakan secara langsung, terutama hal-hal yang menyangkut pengambilan keputusan. Itu sebab makin tinggi jenjang karier dan makin besar wewenang hak dan kewajiban, makin sering kita harus pergi ke luar untuk bertemu dengan orang lain yang memunyai posisi yang setara.
Mungkin kita berkata, jika kita tidak bersedia pergi, ya sudah, kita tolak saja tugas itu, habis perkara. Masalahnya tidak sesederhana itu, sebab begitu kita menolaknya, kita pun kehilangan kesempatan untuk naik tangga karier. Dengan kata lain, bila kita memilih untuk diam di tempat dan bekerja dengan jam kerja yang standar, maka karier kita pun akan stagnan. Jika performa kerja kita baik, besar kemungkinan kita tidak diberhentikan, tetapi hampir dapat dipastikan promosi akan dilewatkan.
Saya mengerti betapa sulitnya kita, yang masih muda, menentukan pilihan. Bukan saja karena kita ingin dapat mengaktualisasikan potensi diri, kadang kita pun ingin menikmati kehidupan yang lebih baik dan memenuhi kebutuhan keluarga yang lebih besar. Pada akhirnya kebanyakan kita yang masih muda memilih untuk memenuhi tuntutan kerja demi masa depan karier, dan terpaksa mengurangi waktu dengan keluarga. Meski hati nurani merasa bersalah dan tersiksa, kita terus melakukannya. Oleh karena lapangan kerja bagi wanita sudah terbuka lebar, tidak jarang, istri pun harus memenuhi tuntutan dan persyaratan kerja yang sama, yang dihadapi oleh suami.
Selain dari pekerjaan, PELAYANAN juga menuntut waktu yang lumayan besar. Mungkin kita bertanya, mengapakah pelayanan menuntut begitu banyak waktu? Sekali lagi dunia telah berubah; kebutuhan bukan saja berubah tetapi juga bertambah banyak. Sebagai contoh, di masa lampau pada umumnya gereja bersifat lokal; sekarang gereja bersifat regional, bahkan tidak jarang, internasional. Di masa lalu kebanyakan gereja tidak berjumlah besar, namun sekarang, atas anugerah Tuhan, cukup banyak gereja yang beranggotakan di atas seribu jemaat.
Perkembangan gereja dari lokal, regional, bahkan internasional sudah tentu menuntut lebih banyak perhatian. Dan, kebutuhan jemaat yang berjumlah besar, bukan saja berlipat ganda tetapi juga beragam. Misalkan, berpuluh tahun yang lalu kita tidak mengenal pelayanan kepada pencandu narkoba, namun sekarang ada pelayanan seperti itu. Singkat kata, perkembangan gereja dan menjamurnya volume serta ragam kebutuhan menuntut lebih banyak pelayan untuk memenuhi kebutuhan ini. Sebagai orang percaya, kita terpanggil untuk melayani dan akan berusaha memenuhi panggilan itu.
Mungkin kita berkata, silakan tolak saja jika kita tidak sanggup lagi. Masalahnya adalah tidak sesederhana itu. Sudah tentu kendalanya di sini bukanlah promosi karier. Sering kali yang membuat kita menerima panggilan pelayanan adalah karena kita merasa bersalah bila tidak menjawab, ya. Kita merasa bersalah karena menolak panggilan Tuhan dan kita merasa bersalah sebab seakan-akan kita menomorduakan Tuhan. Apalagi jika kita merasa telah diberkati Tuhan, perasaan bersalah itu niscaya bertambah besar. Pada akhirnya kita menerima panggilan pelayanan meski kita dirundung rasa bersalah pula karena sering harus meninggalkan rumah.
Dan, ada satu lagi yang mesti dibahas yaitu KELUARGA. Setiap fase kehidupan berkeluarga memunyai tuntutan dan kebutuhannya masing-masing. Pada saat anak-anak masih kecil, kebanyakan tuntutan dan kebutuhan berbentuk jasmaniah. Sedang sewaktu anak-anak remaja dan akil balig, tuntutan dan kebutuhan anak lebih berupa arahan dan dukungan mental dan emosional. Jadi, tidak bisa tidak, ketika anak-anak masih belia, kita mesti secara fisik hadir dalam kehidupan mereka. Merawat mereka mengharuskan kita hadir; bermain dengan mereka mewajibkan kita hadir; mendisiplin mereka mensyaratkan kita hadir; dan mengasihi mereka menuntut kita hadir. Selain anak, sudah tentu pasangan juga menuntut kehadiran kita. Kalaupun tidak menuntut secara langsung, kehadiran kita diperlukan guna membangun relasi yang masih muda ini. Banyak penyesuaian mesti dilakukan dan banyak konflik yang harus diselesaikan. Banyak pengharapan yang butuh dikomunikasikan dan banyak kebutuhan yang perlu diungkapkan. Sekali lagi semua ini tidak bisa dilakukan dari jauh atau lewat telepon; kita harus hadir.
Di masa dimana tuntutan kerja dan pelayanan berada di titik teratas, di saat itu pula tuntutan keluarga berada di titik yang intens. Dapat dibayangkan betapa tidak mudahnya menyediakan waktu buat semua kebutuhan dan tuntutan ini. Tidak heran pada masa ini tingkat stres tinggi dan emosi menjadi sulit terkendali. Jika masalah tidak diselesaikan dan kebutuhan tidak dipenuhi, semua ini akan menyisakan persoalan yang akan terus menggelantungi kehidupan kita sampai di hari tua.
Sebelum kita membahas bagaimanakah seharusnya kita menghadapi pelbagai tuntutan ini, marilah kita petik hikmat Tuhan dari Amsal 27:18-19, -Siapa memelihara pohon ara akan memakan buahnya . . . . Seperti air mencerminkan wajah, demikianlah hati manusia mencerminkan manusia itu.- Pada akhirnya kita harus menentukan pilihan, dari ketiganya—pekerjaan, pelayanan, dan keluarga—manakah yang akan kita jadikan -- pohon ara.- Kita hanya dapat memilih dan memelihara satu, tidak bisa ketiganya. Kedua, pilihan kita mencerminkan nilai yang kita anut alias siapakah diri kita yang sesungguhnya. Meski pelayanan adalah untuk Tuhan tetapi pelayanan bukanlah Tuhan. Menurut saya, pada masa anak kecil, kita harus memilih keluarga—walau untuk itu kita mesti mengorbankan pekerjaan dan pelayanan.
Ringkasan T554A
(merupakan bagian pertama yang akan dilanjutkan bulan depan)
Oleh: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Audio dan transkrip judul-judul lainnya secara lengkap di www.telaga.org
PERTANYAAN :
Menjumpai Bp. Paul Gunadi,
Saya ingin konseling masalah keluarga…..saya menikah belum 1 tahun. Tidak pernah terbayangkan di awal pernikahan yang saya rasakan sedih, kecewa, ingin marah dan ada penyesalan. Kalau belum terjadi mungkin dari awal saya tetap mengikuti kata hati, saat itu saya belum yakin 100%. Yang ada dalam pikiran saya hanya untuk menyenangkan orangtua dan mungkin hanya dia yang mau karena selama ini saya belum pernah berpacaran.
Kami berpacaran selama 2 tahun jarak jauh. Pada awalnya dikira cocok ternyata jauh dari apa yang diharapkan (secara karakter). Mencoba menerima tapi koq sulit ! Sehingga saya menyalahkan diri dan merasa sepertinya saya tidak pantas mendapat pasangan yang terbaik dari Tuhan. Bulan pertama kami menikah dihadapkan dengan ujian dimana suami sakit dan harus operasi di saat ia baru saja mendapat panggilan kerja (sejak beberapa bulan saat berpacaran dia kena PHK). Hal itu seperti meruntuhkan apa yang sudah kami rencanakan di awal pernikahan kami, karena sakit itu juga akhirnya suami berhenti kerja hingga sekarang belum mendapat pekerjaan lagi.
Selama ini dia menghabiskan waktu dengan merokok dan gadgetnya (sosmed), bahkan ketika kami sedang rekreasi atau acara keluarga. Kesedihan saya semakin bertambah ketika mendengar cerita mama yang melihat papa berkaca-kaca sedih saat makan karena memikirkan kondisi saya (suami yang tidak bekerja dan kebiasaan merokok serta gadget yang menyita waktu bahkan di gereja, seakan-akan tidak ada inisiatif untuk bekerja dan terkesan malas). Saya merasa semakin membebani orangtua saya.
Berawal dari perasaan itu yang akhirnya berkembang menjadi komunikasi yang tidak baik (jarang ‘ngobrol’, berbicara kurang enak didengar), saya lebih sering bersungut-sungut, berhubungan seksual seperti kewajiban, takut hamil takut memunyai anak dan lain-lain. Saya berdoa sendiri (berharap Tuhan memberikan hikmat pada suami sehingga dia mau berubah) karena suami tidak memiliki kebiasaan berdoa secara pribadi. Saya bingung apa yang harus saya lakukan? Harus tetap bersyukur atau menyesali, rasanya ingin menyerah ! Terima kasih atas perhatian dan tanggapannya, Tuhan memberkati !!
Salam: BTC
JAWABAN :
Saudari BTC,
Besar kemungkinan Anda memang salah pilih suami. Tampaknya dia bukanlah orang yang tangguh dan rela berjuang untuk memelihara keluarganya. Sebaliknya, dia orang yang lebih memikirkan kesenangan sendiri. Saya tidak tahu seberapa lama Saudari BTC dapat memertahankan pernikahan yang berat sebelah seperti ini. Namun sebelum Anda mengambil keputusan untuk berpisah atau bercerai dengannya, Anda perlu berusaha untuk menyelamatkan pernikahan ini. Pertama, bicara dengannya terus terang akan pengharapan Anda terhadapnya, misalkan ia lebih peduli dengan Anda dan lebih memerlihatkan usaha untuk mencari pekerjaan. Berikan waktu kepadanya, misalkan sampai akhir tahun ini. Jika tidak ada perubahan maka Anda akan berpisah dengannya. Kedua, jaga diri baik-baik agar tidak hamil. Singkat kata, pastikan Anda atau suami menggunakan KB. Kehadiran anak akan memperumit masalah di dalam kondisi yang tidak menentu ini. Ketiga, minta dia untuk bersama-sama menemui pendeta atau konselor untuk membantu Anda dan suami menyelesaikan masalahnya. Demikian tanggapan yang dapat saya sampaikan, mudah-mudahan bisa membantu Anda.
Salam: Paul Gunadi
Apakah kamu pernah punya beban besar untuk melakukan sesuatu baik itu dalam pendidikan, pekerjaan, bahkan pelayananmu? Kemudian kamu sudah berdoa, namun tidak dikabulkan padahal kerinduan kita akan beban ini sungguhlah mulia. Kejadian ini mirip dengan kisah Adelaide Addison Pollard yang lahir pada tahun 1902, pengarang lagu hymne -- Have thine own way Lord- (Kehendak Tuhan Jadikanlah).
Adelaide adalah seorang wanita Kristen yang rajin dan setia dalam melayani Tuhan. Namun, Adelaide orang yang keras kepala, yang bersikeras mengikuti jalannya sendiri. Tetapi dalam hal yang sungguh berarti, Adelaide selalu berusaha mengikuti jalan Tuhan. Syair lagu ini di- lengkapi melodinya oleh George Coles Stebbins, yang merupakan salah satu musisi Injil terkemuka pada abad itu.
Latar belakang Adelaide menulis lagu ini adalah ketika Adelaide rindu untuk melayani di Afrika, ia sangat ingin menjadi misionaris disana. Tetapi dana yang ia butuhkan untuk melayani disana tidak mencukupi. Sempat ia merasa sedih sekali dan diliputi rasa kecewa. Hingga ditengah rasa hati yang dikecewakan Adelaide menghadiri suatu persekutuan doa. Hadir juga pada saat itu seorang wanita Kristen yang sudah lanjut usianya. Isi doa wanita tua itulah yang boleh menginspirasi Adelaide untuk menulis lagu ini. Adelaide terdorong untuk memperbaharui penyerahan dirinya kepada Tuhan. Ia boleh sadar bahwa jika memang bukan kehendak Tuhan supaya ia pergi ke Afrika, maka hal itu bukanlah masalah bagi dia.
Sepulangnya dari pertemuan doa itu, Adelaide membuka Alkitab dan membaca Yeremia 18:3-4: -Pergilah aku ke rumah tukang periuk, dan kebetulan ia sedang bekerja dengan pelarikan. Apabila bejana, yang sedang dibuatnya dari tanah liat di tangannya itu rusak, maka tukang periuk itu mengerjakannya kembali menjadi bejana lain menurut apa yang baik pada pemandangannya-. Ayat tersebut memberikan kepada Adelaide suatu pandangan yang baru: -Rupa-rupanya hingga kini Tuhan telah membentuk hidupku, seperti tanah liat di dalam tangan-Nya. Tetapi mungkin kemauan keras hendak pergi ke Afrika itu telah membuat hidupku rusak, sehingga Tuhan harus membentuknya kembali menjadi bejana lain menurut apa yang baik pada pemandangan-Nya-.
Adelaide dalam syair lagu ini juga boleh mengintepretasikan hubungannya dengan Allah, bahwa relasi dengan Allah itu seperti tukang periuk dan periuknya, kita adalah periuk yang siap dibentuk dan dibongkar sesuka hati oleh tukang periuk baik itu karena bentuknya tidak memuaskan atau karena kita tidak layak untuk menjadi bejana. Oleh karena itu, sudah sejauh mana kita dapat membuka hati untuk siap dibentuk oleh Tuhan dan boleh menyatakan biarlah kehendak Tuhanlah yang jadi dalam kehidupan kita?
POKOK DOA (BTK Oktober 2021)
Dua bulan lagi tahun 2021 akan kita akhiri. Pada tanggal 28 Oktober 2021 kita telah memeringati Hari Sumpah Pemuda yang ke 93 dengan tema -- Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa-. Di hari yang terakhir bulan Oktober, beberapa gereja juga memeringati Hari Reformasi yang tidak dibahas dalam Buletin Telaga Kehidupan ini.
Beberapa pokok doa syukur dan permohonan yang kita doakan adalah sebagai berikut:
- Bersyukur Yayasan Lembaga SABDA di Solo dalam bulan Oktober 2021 ini merayakan ulang tahun yang ke-27, ucapan syukur telah diadakan pada hari Jumat, 29 Oktober 2021 pk.10.30 – 11.30 WIB melalui zoom dan YouTube.
- Bersyukur untuk sumbangan dari Ibu Gan May Kwee di Solo, salah seorang donatur tetap di luar Malang, sejumlah Rp 500.000,-.
- Bersyukur tanggal 18 Oktober yang lalu telah dikirim 8 CD.MP3 ke radio VOZ FM di Dili, Timor Leste melalui DHL, mudah-mudahan tidak sampai 1 bulan sudah bisa diterima.
- Doakan untuk konsinyasi buku, CD dan VCD yang dititipkan di Toko Buku Gandum Mas, satu-satunya tempat yang masih dititipi di Malang.
- Doakan untuk kebutuhan dana bagi sekretariat LBKK/Telaga di Jl. Cimanuk 56 Malang yang akibat hujan deras beberapa kali, memerlukan perbaikan teras depan.
- Doakan untuk kebutuhan dana bagi sewa rumah Pusat Konseling Telaga Kehidupan di Sidoarjo yang masa kontraknya hampir berakhir pada akhir bulan Januari 2022.
- Doakan untuk penyusunan program kerja Pusat Konseling Telaga Kehidupan pada tahun 2022 dan persiapan Natal program Bina Iman Anak serta para sukarelawan yang melayani di PKTK Sidoarjo agar bisa sehati sepikir.
- Kita tetap mendoakan untuk kesehatan Bp. Heman Elia di Malang yang menjalani kemoterapi untuk kanker paru-paru dan tulang serta Bp. Paul Gunadi di Los Angeles yang sejak bulan April 2019 terdeteksi kanker prostat stadium 1 namun rencana operasi pengangkatan prostat pada akhir Oktober 2021 telah dibatalkan karena beberapa tes pemeriksaan jantung menyatakan ada yang tidak normal sementara masih menunggu hasil tes angiogram.
- Doakan untuk tersedianya vaksin Covid-19 terutama untuk masyarakat yang tinggal di luar Pulau Jawa dan para tenaga kesehatan di berbagai Rumah Sakit dalam dedikasi mereka menangani pasien Covid-19.
- Tetap doakan untuk para guru dan murid SD, SMP, SMU yang atas izin orangtuanya telah menjalani pelajaran secara tatap muka, agar protokol kesehatan tetap diperhatikan, baik oleh para guru maupun murid-muridnya.
- 1486 kali dibaca