Peranan Masa Depan dalam Pembimbingan Remaja

Versi printer-friendly
Penulis: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Sumber: 
Eunike
Abstrak: 
Masalah remaja memang kompleks namun itu tidak berarti tak teratasi. Setiap kita bisa terlibat dalam bagian tertentu dari permasalahannya dan setiap bagian yang telah dipulihkan akan membawa dampak positif pada bagian lainnya. Jadi, lakukanlah bagian kita masing-masing dengan iman, pengharapan, dan kasih.
Isi: 

Mengungkap permasalahan remaja memerlukan kecermatan sebab kalau tidak, kita akan terjatuh ke dalam perangkap fokus tunggal. Upaya memetakan permasalahan remaja secara "keseluruhan" lebih merupakan upaya menyederhanakannya daripada menjabarkannya secara tepat. Secara pribadi saya tidak yakin kita bisa merangkumkan "keseluruhan" permasalahan remaja dewasa ini.

Menurut pengamatan saya, permasalahan remaja berdimensi majemuk dan setiap dimensi bukan saja terkait dengan dimensi lainnya, ia pun berdiri sendiri sebagai masalah mandiri yang memerlukan penanganan secara khusus dan terfokus. Dengan kata lain, saya melihat permasalahan remaja sebagai permasalahan yang bersifat multidimensional sekaligus idiosinkratik—setiap dimensi memiliki karakteristiknya tersendiri. Sebagai pemerhati remaja kita tetap dapat melakukan "sesuatu" untuk salah satu dimensi permasalahannya tanpa kehilangan fokus pada keterkaitan antar-dimensi.

Kita bisa menyoroti remaja dari sekurang-kurangnya tujuh dimensi, yakni Dimensi Keluarga, Dimensi Sosial-Ekonomi, Dimensi Akademik, Dimensi Rohani, Dimensi Kebutuhan, Dimensi Perkembangan, dan Dimensi Gangguan atau Penyimpangan. Ibarat akar pohon, setiap dimensi—bak belalai—terkait dan tumpang tindih dengan keenam dimensi lainnya namun setiap dimensi merupakan suatu pokok kajian terpisah yang memerlukan penanganan secara khusus pula. Pada makalah ini saya akan menelaah Dimensi Kebutuhan dan sudah tentu keterkaitannya dengan dimensi lainnya pula, yakni Dimensi Kerohanian dan Dimensi Keluarga. Pada akhirnya saya akan memberi sumbang-saran untuk menggali potensi remaja.

Memahami Perilaku Remaja dari Kebutuhannya

Berangkat dari teori Maslow (Myers, 1986), saya berpendapat bahwa Perilaku muncul dari Motivasi dan Motivasi berkembang dari Kebutuhan (Figur 1). Untuk lebih mempertajam proses lahirnya perilaku, saya melihat bahwa perilaku sebenarnya merupakan hasil pemilihan atau pertimbangan dari alternatif-alternatif yang tersedia. Pilihan ini dipengaruhi oleh sekurang-kurangnya empat faktor yakni: (a) nilai moral, (b) kondisi lingkungan, (c) kemampuan untuk mewujudkan pilihan, dan (d) kesempatan (Figur 2). Pilihan lahir dari motivasi, yakni sasaran untuk melakukan sesuatu guna memenuhi kebutuhan yang dirasakan.

Figur 1

Figur 2

Sebagai contoh, akibat pengalaman masa lalu yang sarat dengan penghinaan, seorang remaja bertumbuh-kembang membawa kebutuhan untuk berharga. Alhasil, muncullah motivasi dalam dirinya untuk mencari dan memperoleh penghargaan itu. Di hadapannya terbentanglah sejumlah pilihan yang kehadirannya dipengaruhi oleh sejumlah faktor pula. Misalnya, bila ia tidak memiliki nilai moral yang mengajarnya untuk mengasihi sesama manusia, ia mungkin terjebak dalam pilihan untuk mementingkan diri sendiri di atas segalanya. Pilihannya juga terbatasi oleh kondisi di mana ia hidup; bila ia hidup di Amerika Serikat, ia tetap bisa memperoleh penghargaan bahkan sebagai tukang kebun. Sebaliknya, di Indonesia, jabatan tukang kebun bukanlah jabatan terhormat—setidak-tidaknya bagi sebagian orang. Misalkan, pada akhirnya ia memutuskan untuk menjadi seorang dokter—jabatan terpandang di masyarakat kita.

Namun, pilihannya bisa pula terpengaruh oleh kemampuannya untuk mewujudkan keinginannya itu. Misalnya, keterampilan atau kapasitas intelektualnya akan menentukan apakah ia dapat menjadi seorang dokter guna memperoleh penghargaan yang didambakannya. Terakhir, walaupun ia memiliki kemampuan intelektual untuk menjadi seorang dokter, namun kesempatan itu tidak tersedia. Ia tidak diterima di sekolah kedokteran sehingga akhirnya cita-citanya untuk menjadi dokter, kandas. Sebaliknya, jika ia mampu, kondisi finansial mendukung dan kesempatan terbuka, ia akan masuk sekolah kedokteran dan berperan sebagai seorang pelajar.

Di sini kita bisa melihat bahwa kendati Kebutuhan melahirkan Motivasi, tetapi ternyata Motivasi tidak secara langsung membuahkan Perilaku. Pilihan—yang dipengaruhi oleh sederet faktor—menjadi penentu perilaku yang dimunculkan. Selama ini, bukankah kita telah banyak membicarakan mengenai motivasi: bagaimana memotivasi remaja untuk belajar, untuk beribadah, untuk taat pada hukum, untuk hidup kudus, untuk produktif dan bukannya destruktif, dan lain sebagainya? Namun, dari kerangka pemikiran di atas ini, setidak-tidaknya kita mulai menyadari bahwa ternyata mata rantainya bukanlah dua—Motivasi dan Perilaku—melainkan empat, yakni: Kebutuhan, Motivasi, Pilihan, dan Perilaku. Ada dua pengapit yang perlu mendapat perhatian kita—Kebutuhan dan Pilihan—sebelum kita dapat memotivasi remaja untuk berperilaku sebagaimana yang kita harapkan.

Kebutuhan akan Masa Depan yang Jelas dan bermakna

Pada makalah ini saya tidak akan membahas kebutuhan akan cinta kasih, keamanan atau kebutuhan emosional lainnya yang sudah tentu merupakan kebutuhan pokok remaja (Erikson, 1968; Spotts & Veerman, 1987). Secara khusus saya hanya akan menyoroti satu kebutuhan remaja yaitu masa depan yang jelas dan bermakna.

Berbeda dari para pendahulunya yang berorientasi pada masa lalu sebagai faktor penyumbang terbesar terhadap kesehatan jiwa, Allport (1955) menekankan bahwa justru masa depanlah yang berpengaruh terhadap kesehatan jiwa seseorang. Bagi Allport, intensi—pergerakan hidup ke sasaran tertentu di masa depan—adalah tali pengikat yang mempersatukan kepingan-kepingan diri manusia. Dengan kata lain, kehidupan sekarang ini tidaklah didikte oleh pengalaman masa lalu dan manusia bukanlah penerima nasib yang pasif tak berdaya. Masa depan yang jelas dan bermakna berandil besar pada kesehatan jiwa sekarang ini.

Salah satu ciri perkembangan remaja adalah kemampuan untuk berpikir abstrak dan melihat ke depan. Ketidakjelasan masa depan berpotensi menakutkan remaja dan ketakutan ini bisa mempengaruhi perilakunya sekarang. Masa depan yang jelas namun tidak bermakna juga mencemaskan remaja. Tanpa masa depan yang jelas dan bermakna, hidup lebih merupakan sebuah petualangan daripada sebuah perjalanan. Masa depan yang jelas dan bermakna merajut kepingan-kepingan kehidupan menjadi sebuah perjalanan yang terarah (Allport, 1955; Frankl, 1963). Sebaliknya, masa depan yang tidak jelas dan tidak bermakna membuat kehidupan lebih menyerupai petualangan—tanpa sasaran dan hanya bermodalkan keberuntungan nasib. Itu sebabnya, remaja perlu dapat memandang masa depan yang jelas sekaligus bermakna.

Masa depan yang jelas dan bermakna dapat lebih terjamin dengan sistem kehidupan dan prasarana yang mendukung. Namun, sistem kehidupan dan prasarana yang mendukung ternyata tidaklah cukup untuk menciptakan masa depan yang jelas dan bermakna. Saya sudah menyaksikan ini di Amerika Serikat. Pemerintah di sana menyediakan pendidikan bebas biaya mulai dari Taman Kanak-Kanak hingga Sekolah Lanjutan Atas. Pada tingkatan perguruan tinggi (negeri), seseorang hanya perlu membayar sedikit biaya untuk meraih gelar sarjana. Atau, jika ingin belajar di perguruan tinggi swasta, seseorang bisa meminjam uang di bank dengan bunga rendah

Dan ia tidak harus mencicil balik pinjaman itu sampai setahun setelah ia menyelesaikan kuliahnya.

Ironisnya, tidak sedikit remaja di Amerika yang terlibat dalam perilaku negatif. Penggunaan narkoba, putus sekolah, dan tindak kriminal yang berkaitan dengan geng merupakan bagian kehidupan remaja di sana. Beberapa tahun terakhir ini kita pun telah dikejutkan dengan berita pembunuhan yang dilakukan oleh remaja di Amerika. Di tengah kelimpahan prasarana dan bantuan riil, ternyata sebagian remaja di Amerika tetap bermasalah.

Menurut pengamatan saya, yang terhilang di sini adalah masa depan yang jelas dan bermakna—kondisi yang tidak selalu berhubungan dengan sistem kehidupan dan prasarana yang mendukung. Sekarang saya bisa bernapas lebih lega sebab jika itulah syaratnya, saya kira, kita di Indonesia akan sarat dengan remaja bermasalah oleh karena keterbatasan kita menyediakan sistem kehidupan dan prasarana yang mendukung. Ada hal-hal lain yang mempengaruhi terciptanya masa depan yang jelas dan bermakna; dua di antaranya adalah kerohanian dan keluarga. Pada simpul inilah, Dimensi Kebutuhan bersinggungan dengan Dimensi Kerohanian dan Dimensi Keluarga (Figur 3). Saya akan mengulas kedua dimensi ini dalam kaitannya dengan kebutuhan akan masa depan yang jelas dan bermakna.

Figur 3

Kerohanian.

Kerohanian memiliki peran yang menentukan dalam pemunculan perilaku sebagai pemenuh kebutuhan akan masa depan yang jelas dan bermakna. Nilai rohani yang diyakini berpotensi berfungsi sebagai pagar yang membatasi perilaku, sedangkan kepastian akan penyertaan Tuhan dan rencana-Nya bagi kehidupan insan yang berserah kepada-Nya menyediakan makna hidup. Makna hidup bukan saja berfaedah untuk membingkai pengalaman masa lalu dalam kerangka pemeliharaan Tuhan, ia pun menempatkan masa depan dalam keterarahan dan sekaligus memberi pengharapan akan kebaikan Tuhan.

Hilangnya masa depan yang jelas dan bermakna dapat mengaktifkan sifat petualang remaja secara negatif. Hidup menjadi penuh ketidakkepastian dan di dalam ketidakkepastian yang berlaku adalah Hukum Kesempatan atau lebih tepat lagi, Keberuntungan. Petualangan direduksi menjadi sebuah upaya pencarian keberuntungan dan fokus utamanya adalah kesempatan—peluang yang harus dengan segera dimanfaatkan semaksimal mungkin. Sebaliknya, di dalam kepastian dan kejelasan akan masa depan, hukum yang berlaku adalah Hukum Imbalan berapa yang diberikan setimpal dengan berapa yang diterima.

Kerohanian membuat kita menjadi lebih sabar untuk menanti berkat Tuhan karena kita tahu bahwa Ia akan memelihara hidup kita. Tanpa kerohanian, kita lebih tergoda bertindak impulsif dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan—alias berpetualang. Menurut saya, kerohanian memberi sumbangsih besar terhadap keterkaitan antara Motivasi dan Perilaku. Saya kira sudah waktunya kita meluangkan lebih banyak perhatian dan waktu pada aspek kerohanian remaja, dan bukan hanya pada aspek intelektual dan sosialnya.

Keluarga.

Ibarat tanah, keluarga merupakan tempat bertumbuhnya individu. Upaya memahami dan mengoreksi perilaku remaja lepas dari keluarganya sama dengan mencoba memadamkan kebakaran di hutan dengan sehelai selimut. Remaja adalah produk dan bagian dari sistem keluarganya; perubahan pada sistem keluarga memungkinkan terjadinya perubahan pada diri dan perilaku remaja (Satir, 1983).

Keluarga mempunyai peranan yang vital dalam penyediaan kebutuhan akan masa depan yang jelas dan bermakna. Keluarga yang tenteram merupakan prasyarat mutlak bertumbuhnya remaja secara maksimal; sebaliknya, ketegangan dalam keluarga akan menguras energi mental remaja untuk berkembang sesuai usianya (Minuchin, 1974; Hart, 1991).

Secara langsung, sekurangnya ada dua kebutuhan yang bertalian erat dengan kebutuhan akan masa depan yang jelas dan bermakna: kebutuhan akan pengarahan dan kebutuhan akan penghargaan. Anak memerlukan pengarahan dan akan melihat kepada orangtua untuk mendapatkan pengarahan (Dobson, 1997). Anak butuh untuk diberitahukan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukannya, apa yang seharusnya atau tidak seharusnya diperbuat, apa yang sanggup atau tidak sanggup dilakukannya, dan apa itu yang menjadi kekuatan dan keterbatasannya. Tanpa pengetahuan semua ini, anak bertumbuh besar tersesat dan melayang, tanpa arah.

Anak juga membutuhkan penghargaan dan ia akan menantikannya dari orangtua (Satir, 1972; McGee, 1990). Penghargaan yang diterimanya meyakinkannya bahwa ia bernilai dan dapat berfaedah bagi orang di sekitarnya. Penghargaan membuatnya sadar dan berterima kasih bahwa ia dibutuhkan dalam hidup ini; penghargaan yang diterimanya mendorongnya untuk menghargai diri secara tepat dan positif. Tanpa penghargaan, anak bukan saja tidak tahu fungsinya dalam hidup ini, ia pun akan merasa hampa dan tidak bernilai.

Singkat kata, sulit bagi anak untuk mengembangkan masa depan yang jelas dan bermakna tanpa menerima kecukupan pengarahan dan penghargaan. Dengan pengarahan dan penghargaan yang memadai, anak akan bertumbuh menjadi remaja yang memiliki makna hidup yang jelas dan tidak ada orang yang paling berperan pada tahap ini selain orangtua. Keluarga menempati posisi yang penting dalam perajutan masa depan yang jelas dan bermakna bagi remaja. Sekali lagi, semua usaha untuk membenahi permasalahan remaja lepas dari keluarganya sama dengan memadamkan kebakaran di hutan dengan sehelai selimut.

Memberdayakan Potensi Remaja

Sedikit mengulang yang telah kita bahas sejauh ini, pada dasarnya saya melihat bahwa Perilaku merupakan buah akhir dari Kebutuhan. Kebutuhan, sebagai pangkal penggerak manusia melahirkan Motivasi tetapi ternyata Motivasi tidak langsung menghasilkan Perilaku. Sebelum Perilaku, kita mempunyai Pilihan dan Pilihan menentukan perilaku yang akan kita munculkan.

Mengeksplorasi Pilihan

Sebagaimana telah saya utarakan di atas, ada empat faktor yang mempengaruhi proses penentuan pilihan, yaitu:

  1. nilai moral,
  2. kesempatan,
  3. kondisi lingkungan dan
  4. kemampuan untuk mewujudkan pilihan.
Selanjutnya, saya pun sudah menjelaskan bahwa Kebutuhan berkaitan dengan dan dipengaruhi oleh Kerohanian dan Keluarga. Pada Figur 4 kita bisa melihat bahwa Nilai Moral dan Kesempatan berkaitan dengan Dimensi Kerohanian sedangkan Kondisi Lingkungan dan Kemampuan untuk Mewujudkan Pilihan bertalian dengan Dimensi Keluarga. Di bawah ini saya akan memberikan saran untuk mengejawantahkan keempat faktor yang termaktub dalam Pilihan.

Figur 4

Nilai moral.

Pendidikan nilai moral wajib diajarkan kepada remaja secara konkret dan relevan dengan keadaan nyata. Contoh langsung dan situasi yang menuntut respons yang bersifat etis harus menempati porsi yang besar dalam pendidikan nilai moral. Menurut saya, hanya dengan cara inilah remaja baru melihat kegunaan dan relevansi agama dalam kehidupan mereka.

Pendidikan nilai moral tidak mungkin diajarkan secara efektif bila si pengajar sendiri bukanlah orang yang mementingkan perkara rohani. Contoh kehidupan barulah nyata jika diberitakan oleh orang yang mengalaminya sendiri. Dengan kata lain, apabila kita menghendaki agar remaja memiliki kerohanian yang baik, kita pun perlu memberi contoh itu kepada mereka. Jika kita mengharapkan remaja untuk hidup dipandu—bukan di luar—nilai moralnya, kita pun harus hidup konsisten dengan keyakinan rohani kita. Saya kira tidaklah adil menyalahkan remaja atas kehidupan imoralnya bila kita sendiri tidak hidup seperti itu.

Pada dasarnya kita perlu menghidupkan atmosfer rohani di lingkungan hidup remaja melalui ibadah yang bersifat personal, bukan ritual semata. Remaja harus memiliki relasi dan pertanggung-jawaban pribadi kepada Tuhan sebelum bisa menundukkan diri pada perintah-Nya dan mewujudkan pilihan yang benar.

Kesempatan.

Pada bagian selanjutnya saya baru membicarakan tentang kesempatan yang dapat diusahakan manusia. Kesempatan yang saya maksud di sini lebih mengacu kepada aspek rohani, yakni kesempatan yang Tuhan berikan. Di dalam dunia dagang pada umumnya orang mengakui keabsahan faktor keberuntungan. Saya lebih suka menyebutnya, kesempatan. Kita bisa bekerja sekeras mungkin dan mengupayakan jalan sebanyak-banyaknya namun tanpa faktor kesempatan (yang dari Tuhan), kita tidak akan mencapai tujuan. Firman Tuhan yang tertera di Amsal 10:22 menegaskan kebenaran ini, "berkat Tuhan yang menjadikan kaya, susah payah tidak akan menambahinya."

Remaja yang bergantung pada kekuatan sendiri untuk meraih keberhasilannya berpotensi menjadi petualang. Sebagaimana telah saya singgung di atas, faktor petualang menjadi bertambah besar tatkala kejelasan akan masa depan yang bermakna, berkurang. Remaja dapat belajar untuk bergantung pada pemeliharaan Tuhan yang akan memberinya kesempatan. Pada akhirnya remaja perlu menerima fakta bahwa sesungguhnya manusia tidak bisa menciptakan kesempatan; manusia hanyalah dapat mempersiapkan diri untuk menyambut kesempatan. Kesempatan adalah sesuatu yang diberikan (oleh Tuhan) dan pada dasarnya kita tidak dapat mencari-cari kesempatan. Remaja yang berpetualang adalah remaja yang mencari-cari kesempatan dalam hidup dan orang yang mencari-cari kesempatan pada suatu ketika akan menabrak tembok.

Konsep kesempatan dari kerangka ilahi merupakan cara pandang yang sangat mempengaruhi sikap dan tindakan kita. betapa mudahnya kita menyalahkan (dan membenci) orang lain yang lebih beruntung dari kita karena kita menganggap bahwa kesempatan itu bersumber dari manusia. Sekali lagi, menurut saya, manusia tidak menciptakan kesempatan namun manusia bertanggung jawab untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya guna menyambut kesempatan yang Tuhan berikan kepada kita. Dan saya percaya, Tuhan lebih sering dan lebih senang memberikan kesempatan kepada orang yang telah mempersiapkan diri untuk menerima kesempatan.

Remaja mudah terperosok ke dalam hidup berpetualang jika mereka hanya melihat kesempatan sebagai hadiah dari manusia kepada manusia lainnya. Kita perlu menekankan kepada remaja bahwa tugas mereka ialah mempersiapkan diri sebaik-baiknya, artinya mendayagunakan dan memaksimalkan karunia dan kesempatan yang Tuhan telah berikan sejauh ini. Tanpa pemahaman yang seperti ini, remaja rawan untuk memilih tindakan yang melenceng guna memenuhi kebutuhannya akan masa depan yang jelas dan bermakna.

Kondisi lingkungan.

Sebagai makhluk sosial, remaja hidup di tengah-tengah sesamanya—keluarga dan orang di sekitarnya, yang secara berurut mencerminkan besaran pengaruhnya pada pertumbuhan remaja. Sebagaimana telah saya singgung di atas, upaya menangani masalah remaja haruslah mencakup unsur keluarganya. Salah satu gejala yang lebih umum kita saksikan dewasa ini adalah kekurangterlibatan orangtua dalam kehidupan remaja. Ironisnya adalah, orangtua hanya terlibat tatkala remaja sudah menjadi masalah—dan pada tahap ini usaha perawatannya akan lebih menemui banyak perlawanan.

Erickson (1968) menekankan bahwa fase remaja merupakan fase pembentukan jatidiri dan kegagalan melalui fase ini dengan baik mengakibatkan munculnya reaksi kebingungan peran. Secara sekilas teori Erickson seolah-olah mengatakan bahwa proses pembentukan jatidiri baru dimulai pada fase remaja. Sesungguhnya, teori Erickson justru mengemukakan bahwa proses pertumbuhan—termasuk di dalamnya pembentukan jatidiri—merupakan sebuah proses yang berkesinambungan di mana setiap fase mempengaruhi fase berikutnya dan setiap fase dipengaruhi oleh fase sebelumnya. Dengan kata lain, pembentukan jati diri tidak berhulu pada usia remaja; proses ini sudah beranjak jauh sebelumnya; ia hanya memasuki tahap penyempurnaan atau kematangannya pada usia remaja.

Dalam pertumbuhannya, setidak-tidaknya seorang anak akan melewati dua fase pembentukan jatidiri—fase sebelum remaja dan fase remaja. Pada fase sebelum remaja, anak akan mendefinisikan dirinya melalui tanggapan-tanggapan yang diterima dari orangtua. Pada fase remaja, ia mendefinisikan dirinya lewat respons-respons yang diberikan oleh teman-temannya. Apabila ia telah mendefinisikan dirinya secara positif—akibat perlakuan orangtua yang positif terhadapnya—ia pun cenderung untuk menemukan lingkungan pergaulan yang sesuai dengan definisi dirinya yang positif. Sebaliknya, jika ia mempunyai definisi diri yang telanjur negatif—akibat perlakuan orangtua yang negatif terhadapnya—ia juga cenderung akan mencari teman pergaulan yang sepadan dengan definisi dirinya yang negatif. Dengan kata lain, pada masa remaja, anak akan mencari habitat yang cocok dengan definisi dirinya.

Syukur kepada Tuhan, meski berakar, definisi diri merupakan sebuah entitas yang elastik—dapat dan akan berubah seturut dengan pengalaman hidup. Di sinilah terbuka pintu masuk bagi kita sebagai pemerhati remaja untuk menciptakan kesempatan bagi remaja untuk me-redefinisi dirinya dan kita bisa melakukannya melalui dua jalur. Pertama, masuk ke dalam kehidupan keluarganya dan mengajarkan mereka untuk mengubah perlakuan negatif terhadap anak dan membuatnya positif. Kedua, kita dapat pula menciptakan habitat yang berbeda untuk remaja—habitat yang positif dan secara perlahan akan mengubah definisi dirinya.

Jalur pertama dapat dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung misalnya lewat ceramah keluarga atau khotbah di mimbar. Secara langsung, misalnya melalui terapi keluarga atau kelompok pendukung (support group) yang kita tawarkan kepada orangtua yang berminat. Jalur kedua bisa diselenggarakan melalui aktivitas bersama, misalnya pelbagai kelompok kreativitas, pecinta alam, sains, kegiatan rohani dan sosial. Kuncinya di sini ialah kegiatan—segala kegiatan yang bersifat nonakademik di mana remaja berkesempatan memunculkan serta mendayafungsikan diri secara lebih luas.

Kemampuan untuk mewujudkan pilihan.

Ada beberapa tahapan menuju pada kemampuan untuk mewujudkan pilihan dan semua ini sekaligus merupakan tugas serta peranan kita sebagai pemerhati remaja. Pertama, identifikasi talenta. Pada tahap ini remaja memerlukan bimbingan agar ia dapat melihat bidang keahliannya dan keterbatasannya. Saya menyarankan agar tes dan bimbingan bakat atau karier diberikan kepada siswa selambat-lambatnya pada level SLTA II. Pengenalan bakat akan memberi arah (sense of direction) kepada remaja dan menambah motivasi untuk menjadi seseorang orang berguna.

Kedua, persiapan yang realistik. Pada tahap ini remaja membutuhkan pengarahan bagaimana mencapai target yang diharapkan. Kata "realistik" saya gunakan untuk menegaskan perlunya penentuan langkah yang dapat dicapai, bukan hanya yang ingin dicapai. Kesulitan biaya atau kurangnya dukungan keluarga sering kali merupakan kendala yang membatasi kemampuan remaja merealisasikan pilihannya. Itu sebabnya pembimbing remaja harus bekerja di dalam keterbatasan ini, bukan di luarnya. Misalkan, jauh-jauh hari kita bisa menasehatinya untuk tidak menikah pada usia muda agar ia dapat menabung untuk sekolahnya kelak. Dengan kata lain, pada tahap ini, remaja perlu menerima bimbingan untuk mulai merencanakan masa depannya. Masa depan yang jelas dan bermakna harus diawali oleh perencanaan dan persiapan yang matang.

Terakhir, pengambilan langkah bertangga. bagi yang memiliki dukungan keluarga dan finansial, pengambilan langkah dapat dilaksanakan secara serentak. bagi yang tidak mempunyai dukungan-dukungan ini, acap kali pengambilan langkah harus dilakukan secara bertahap—bak menaiki anak tangga. Misalkan, jika remaja tidak mempunyai kemampuan finansial untuk memasuki perguruan tinggi, kita bisa menyarankannya untuk memulai langkah ke sana (ke perguruan tinggi) dengan bekerja terlebih dahulu selama setahun. Setelah biaya terkumpul, ia bisa menyelesaikan program D-1, kemudian bekerja kembali selama setahun sebelum menyelesaikan program D-2, dan seterusnya.

Kuncinya di sini adalah pembimbingan yang berkesinambungan. Remaja memerlukan pengarahan agar dapat merancang dan mempersiapkan masa depan. Tanpa perencanaan dan persiapan yang memadai, remaja akan mengalami kesukaran merealisasikan pilihannya, apalagi jika ia tidak menerima dukungan keluarga.

Kesimpulan

Jiwa petualang bisa berkonotasi positif dan negatif. Dalam makalah ini saya menggunakannya secara negatif yakni jiwa yang tidak mempunyai pegangan dan bergerak tanpa arah. Jiwa petualang membutuhkan masa depan yang jelas dan bermakna; tugas kita sebagai pemerhati remaja adalah membimbingnya agar dapat "menemukan" masa depan yang jelas dan bermakna.

Ada empat hal yang dapat kita lakukan yang akan membantu remaja menentukan pilihan yang tepat untuk tindakannya. Pertama, menanamkan nilai moral agar pilihan yang dibuatnya berpagarkan tonggak-tonggak rohani. Kedua, mengajaknya bersandar pada Tuhan yang memberi kesempatan dan belajar menerima bagian yang Ia tentukan. Ketiga, memperbaiki kondisi lingkungannya—termasuk keluarga—agar dapat menciptakan diri yang positif. Keempat, mempersiapkannya untuk bisa mencapai tujuan hidupnya.

Masalah remaja memang kompleks namun itu tidak berarti tak teratasi. Setiap kita bisa terlibat dalam bagian tertentu dari permasalahannya dan setiap bagian yang telah dipulihkan akan membawa dampak positif pada bagian lainnya. Jadi, lakukanlah bagian kita masing-masing dengan iman, pengharapan, dan kasih.

*Makalah ini pernah dipresentasikan pada Sarasehan Guru dan Konselor dengan judul, "Pemberdayaan Jiwa Petualang Remaja" di Universitas Kristen Petra, Surabaya, 18 November, 2000.

Daftar Pustaka
Allport, G. W. (1955). Becoming. New Haven: Yale.
Dobson, J. C. (1997). Solid Answers. Wheaton, Illinois: Tyndale.
Erikson, E. H. (1968). Identity: Youth and Crisis. New York: W. W. Norton.
Frankl, V. (1963). Man’s Search for Meaning. New York: Pocket books.
Hart, A. D. (1991). Healing Adult Children of Divorce.
Minuchin, S. (1974). Families & Family Therapy. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press.
Myers, D. G. (1986). Psychology (ed. 4). New York: Worth.
Satir, V. (1983). Conjoint Family Therapy (ed. 3). Palo Alto, California: Science and behavior books.
Spotts, D. & Veerman, D. (1987). Reaching Out to troubled Youth. USA: Victor books.