Hidup dalam Kekecewaan
Hidup tidak sempurna. Ada banyak hal tidak menyenangkan yang harus kita hadapi dan terima. Kadang kita mengalami kecurangan namun ada kalanya kita harus mengalami kejahatan. Sudah tentu hasil akhirnya adalah kekecewaan. Pada dasarnya ada tiga tahapan atau fase pengenalan kita akan pengalaman yang tidak menyenangkan itu.
- Pada awalnya kita tidak mengenal kecurangan atau kejahatan. Kita lahir dalam ketidaktahuan akan semua itu. Namun perlahan-lahan kita mulai mendengar tentang kecurangan atau kejahatan yang terjadi di sekitar kita. Kita pun disadarkan akan realitas hidup bahwa ternyata hidup ini tidak hanya diisi oleh orang yang baik dan pengalaman yang menyenangkan. Pada tahap ini kita diingatkan untuk berhati-hati sebab di sekeliling kita bahaya mengancam. Kendati percaya namun sesungguhnya kita belum sepenuhnya percaya pada hal ini karena semua ini baru berupa informasi luar.
- Pengenalan kita bertambah tatkala bukan saja kita mendengar tentang kejahatan atau kecurangan itu, tetapi akhirnya kita menjadi korban perbuatan orang yang jahat itu. Pada tahap ini kita disadarkan bahwa kita tidak luput dari semua hal yang buruk ini. Kita disadarkan bukan saja untuk berhati-hati tetapi juga berbuat sesuatu untuk melindungi diri dari kemungkinan terulangnya perbuatan buruk itu.
- Pengenalan kita akan kecurangan dan kejahatan mencapai puncaknya tatkala kita menjadi korban dari perbuatan orang yang kita kenal dan percaya. Pada tahap ini biasanya kita mengalami kekecewaan yang dalam. Sesuatu yang tidak pernah kita harapkan dan duga menjadi kenyataan dan kenyataan ini menimpa kita.
Ternyata kekecewaan yang keluar dari pengalaman pribadi seperti ini berdampak panjang dan berakibat mendalam. Kita masih dapat menerima diri menjadi korban perbuatan tidak adil, curang atau jahat dari orang lain namun kita tidak bisa menerima fakta ini bila perbuatan ini dilakukan oleh orang yang kita percaya, apalagi sayangi. Sekurangnya ada tiga reaksi yang dialami tatkala hal ini terjadi.
- Kita marah karena tidak menyangka bahwa seseorang yang kita percaya dan sayangi ternyata sanggup berbuat hal seperti ini.
- Kita sedih karena perbuatan ini menciptakan batas pemisah antara kita dan dirinya. Kita kehilangan seorang yang dekat dan kita sayangi.
- Kita takut sebab perbuatan ini meyakinkan kita bahwa di dalam dunia tidak ada orang yang sungguh-sungguh baik dan dapat dipercaya.
Jika inilah yang kita alami, berikut adalah beberapa masukan yang dapat diberikan untuk menolong kita hidup dengan kekecewaan.
- Kita mesti melihat fakta secara keseluruhan, artinya bukan saja kita melihat perbuatannya dari kacamata kita, tetapi juga dari kacamatanya. Dengan cara itu kita dapat memandang masalah seobyektif mungkin.
- Kita mesti mengakui kenyataan apa adanya. Jadi, bila memang pada akhirnya kita harus menyimpulkan bahwa ia berbuat hal ini oleh karena ia tidak lagi menyayangi atau menghormati kita, itu harus kita akui. Bila kita harus mengakui bahwa memang ia adalah seorang yang serakah atau egois, akuilah. Singkat kata, kita harus menyebut hitam yang hitam dan menyebut putih yang putih.
- Kita harus melepaskan genggaman, artinya kita harus rela membiarkan dia memilih garis kehidupannya. Inilah bagian yang sulit dilakukan sebab biasanya kita tetap mengharapkan bahwa dia "tidaklah seperti itu." Pada akhirnya kita harus mengakui bahwa kita tidak bisa mengendalikan sikap orang terhadap kita. Kekecewaan adalah reaksi alamiah terhadap perlakuan orang yang tidak semestinya kepada kita. Namun kita harus melepaskan "genggaman" sebab ia tidak "berkewajiban" menghilangkan kekecewaan ini.
- Terakhir, kita mesti berusaha mendoakannya sebab berdoa berarti membawanya ke hadapan Tuhan dan menjadikannya obyek yang layak didoakan. Mendoakan juga adalah mengizinkan Tuhan masuk membasuh kekecewaan kita dan menggantikannya dengan kesediaan untuk berbelas kasihan dan akhirnya kembali mengasihinya.
Firman Tuhan di Mazmur 61:5 dan 62:2
"Biarlah aku menumpang di dalam kemah-Mu untuk selama-lamanya, biarlah aku berlindung dalam naungan sayap-Mu. Hanya dekat Allah saja aku tenang, daripada-Nyalah keselamatanku."
Oleh: Pdt. Dr. Paul GunadiAudio dan transkrip secara lengkap bisa didapatkan melalui situs www.telaga.org dengan kode T 278 A.
Pertanyaan:
(ringkasan dari pengirim surat)
Kepada tim Pengasuh TELAGA,
Membaca artikel Telaga mengenai "Mengobati Kesepian" membuat saya ingin menceritakan pergumulan saya.
- Saya cepat tersinggung jika orang mengacuhkan saya atau seseorang lebih memilih yang lain daripada saya. Mungkinkah ini namanya perasaan tertolak, sehinggga saya menjadi minder? Saya berusaha untuk sabar dan mengontrol perasaan saya dengan prinsip bahwa saya harus lebih baik lagi dan saya harus fokus pada tujuan saya, tapi sering perasaan saya berkecamuk.
- Saya seorang yang tertutup, bergaul hanya dengan beberapa orang (teman-teman yang saya lebih percayai). Jadi mungkin saya tipe orang yang mudah kecewa (sejak kecil saya pernah mengalami dikecewakan lingkungan).
- Saya senang membaca artikel/kata-kata motivator yang membangun, sehingga saya selalu memotivasi diri saya untuk berubah dan maju dan berusaha mencari pergaulan baru. Tapi perasaan minder/kesepian kadang mengganggu. Saya pernah bekerja di tempat yang lingkungannya Kristen dan saya merasa nyaman dan aman sehingga saya cepat akrab dengan rekan se-kerja, tapi di tempat yang baru yang terjadi adalah sebaliknya. Tujuan saya pindah kerja adalah untuk aktualisasi diri karena di tempat kerja yang baru penuh dengan hal-hal baru yang dapat memperluas wawasan dan keterampilan saya. Tapi suasananya kadang kurang menyenangkan karena saya berada di lingkungan berbeda dengan saya dimana mereka sepertinya mengukur dari luar. Hal yang mengecewakan saya adalah karena saya jarang diajak untuk ikut kegiatan mereka. Saya merasa tidak maksimal di tempat baru padahal tujuan saya untuk masuk di lingkungan kerja baru adalah untuk melatih kemampuan/pergaulan saya serta aktualisasi diri. Tapi keadaan seperti itu membuat hal-hal masa lalu sepertinya terangkat lagi ke permukaan. Apa yang harus saya lakukan agar tujuan saya bisa tercapai di lingkungan tersebut dengan suasana seperti itu?
Semua yang Saudara lakukan adalah hal yang sangat baik dan pantas dihargai. Namun tampaknya yang Saudara rindukan adalah dikasihi apa adanya dengan tulus dan tanpa syarat. Saudara rindu dapat menjadi diri sendiri apa adanya dan orang tetap dapat mengasihi Saudara apa adanya.
Mungkin karena takut bahwa orang lain tidak dapat mengasihi Saudara tanpa syarat, Saudara jadi serba salah dalam bergaul. Hal ini mungkin saja memang dipengaruhi masa lalu. Pengalaman merasa dikasihi secara bersyarat mungkin tanpa disadari membentuk keyakinan dalam diri Saudara bahwa "orang akan menerima dan mengasihi Saudara jika….(baik, memiliki sesuatu dan sebagainya.)" Di sisi lain, pengalaman tidak dikasihi atau ditolak karena orang tidak mau mengasihi apa adanya, membuat Saudara sangat berhati-hati dalam berteman, karena menghindari rasa sakitnya. Ketika Saudara sudah sangat berhati-hati, dan berusaha menjadi sebaik mungkin untuk dapat dikasihi orang, dan tetap harapan Saudara untuk dikasihi tidak didapat, maka rasa sakitnya makin terasa dan makin menakutkan juga untuk percaya pada orang lain dalam relasi.
Mungkin juga pengalaman demi pengalaman dapat membentuk keyakinan bahwa "mungkin saya kurang layak dikasihi". Namun di sisi lain, ada konsep diri yang berbeda bahwa "saya sama seperti orang lain, bisa dikasihi". Nah, artinya ada konflik dalam diri sendiri, yang mengaburkan konsep diri Saudara dalam hal ini. Untuk mengatasinya, perlu merekonstruksi konsep tentang diri tersebut. Cari sumbernya, ampuni dan terima apa adanya.
Pada saat Saudara dapat melihat bahwa Saudara berharga di mata Tuhan bagaimana pun diri Saudara dan merasakan kasih Tuhan, maka kemungkinan Saudara juga akan lebih mudah membangun konsep diri yang baru, yang lebih positif.
Tentu saja, untuk dapat menelusuri apa yang terjadi dalam diri sendiri tidaklah mudah. Jika Saudara seorang yang punya wawasan dan pemahaman yang mendalam mungkin dapat melakukannya sendiri, namun jika tidak, Saudara memerlukan bantuan orang lain, misalnya seorang konselor.
Demikian tanggapan yang dapat kami sampaikan, selamat mencoba dan Tuhan memberkati!
Salam, Tim TELAGA- Bersyukur sidang pembacaan putusan sengketa Pilpres telah diadakan oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 27 Juni 2019 dan dengan demikian Bp. H.Joko Widodo dan K.H.Ma’ruf Amin telah terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden periode 2019 – 2024.
- Bersyukur untuk sumbangan yang diterima dari NN di Tangerang sebesar Rp 600.000,-.
- Bersyukur audio, transkrip, ringkasan dan abstrak rekaman terbaru (T 539 s.d. T 549) telah diunggah di situs Telaga.
- Doakan untuk rencana rekaman bersama Ibu Vivian A. Soesilo sebagai narasumber pada tgl. 15 Juli 2019 yad.
- Doakan untuk kebutuhan dana dan tenaga yang mengoperasionalkan Radio streaming El-Ayit di Ambon.
- Contoh desain cover booklet Telaga sudah digarap oleh C.V. Evernity Fisher Media, doakan agar pada awal bulan Juli 2019 bisa dibicarakan tentang judul mana yang dipilih dan juga kemungkinan menerbitkan buku seperti Telaga-1 yang sudah ada.
- Tetap doakan untuk kelanjutan program database Telaga yang masih tetap digarap.
- Bersyukur untuk sumbangan dari donatur tetap di Malang yang diterima dalam bulan ini, yaitu dari:
015 – Rp 2.250.000,- untuk 3 bulan
Berikut merupakan profil beberapa konselor di luar Malang yang telah mendukung pelayanan Telaga, baik itu melalui konseling tatap muka atau melalui email :
1. Saudari Suzanna H. Halim yang sekarang berdomisili di Pontianak, sejak bulan Juli 2018 hingga sekarang boleh mendukung pelayanan Telaga dengan membalas surat email. Beliau sekarang melayani di Gereja Kristen Kalimantan Barat di Departemen Konseling.
2. Bapak Hendra yang berdomisili di Jakarta Barat, telah mendukung pelayanan Telaga konseling melalui email sejak Desember 2015 hingga sekarang. Beliau sekarang menjadi Pembina Pelayanan Siswa Pelita di Gepembri Kemurnian Jakarta Barat.
3. Ibu Pdt. Esther J. Rey, S.Th yang berdomisili di Bandung, sejak Februari 2012 hingga sekarang melalui konseling via email. Beliau dan suami saat ini melayani di Gereja Hok Im Tong Bandung.
Tetangga Baru -- Pada suatu malam, Ardi, bocah berumur 6 tahun, mendekati ayahnya yang tengah membaca koran. Dia bertanya,
Ardi: "Ayah, apakah hantu itu benar-benar ada?"Ayah: "Tidak, Nak, hantu itu tidak ada. Hantu hanyalah cerita bohong yang ada di film dan di TV saja."
Ardi: "Tapi, Yah, tetangga sebelah rumah kita bilang hantu itu benar-benar ada!"
Ayah: "Nak, mulai besok jangan main lagi ke rumah tetangga sebelah."
Ardi: "Tapi kenapa, Ayah? Mereka 'kan orang baik."
Ayah: "Rumah itu sudah kosong sejak 2 tahun yang lalu, Nak!!!!!"
"Anakku, dengarkanlah didikan ayahmu, dan jangan membuang pengajaran ibumu." —Amsal 1:8, AYT
Dikutip dari: [i-kan-humor][e-Humor] 2607/September 2018 oleh Yayasan Lembaga SABDA
- 2957 kali dibaca