Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Hidup dalam Realitas". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Hal-hal apa saja yang ingin Pak Paul sampaikan tentang hidup dalam realitas ini ?
PG : Untuk mengawalinya, saya akan mengutip perkataan dari Scott Peck. Dia adalah seorang psikiater di Amerika Serikat dan dia pernah mendefinisikan apa yang dimaksud dengan kesehatan jiwa. Bahwa orang yang hidup dalam realitas adalah orang yang sehat. Jadi seberapa jauhnya kita melenceng dari realitas, menandakan seberapa tidak sehatnya kita dari realitas. Tapi semakin kita dekat dengan realitas, semakin kita sehat secara jiwani. Berangkat dari pemikiran itu, saya kemudian membandingkan dengan firman Tuhan, terutama beberapa ayat yang saya temukan di Amsal 12. Dan ternyata, Pak Gunawan, firman Tuhan juga menekankan pentingnya kita hidup dalam realitas. Tuhan tidak mau kita hidup dalam alam pemikiran kita sendiri, tapi Tuhan mau kita hidup di dalam kenyataan ini. Dan seringkali Tuhan bekerja justru sewaktu kita berani menghadapi realitas kehidupan ini.
GS : Apakah cukup banyak orang-orang yang hidup di luar realitas ?
PG : Memang dalam kasus yang ekstrem, orang-orang yang hidup di luar realitas adalah orang-orang yang menderita gangguan jiwa yang serius, misalkan kategori skizofrenia. Itu adalah orang-orang yang memang hidup dalam alam fantasinya 100 %, tidak bisa lagi melihat realitas apa adanya. Di dalam kadar yang lebih ringan. Kita bisa melihat kadang-kadang kita pun juga tidak hidup dalam realitas. Sesuatu yang mestinya kita lihat sebagai kenyataan, kita sangkali. Kita tidak mau mengakui itu sebagai kenyataan. Jadi, firman Tuhan mendorong kita untuk benar-benar melihat realitas seperti apa adanya kemudian datang kepada Dia dan Dia pasti akan bisa menolong kita menghadapinya.
GS : Apa yang dikatakan oleh Amsal, Pak Paul ?
PG : Yang pertama saya bacakan dari Amsal 12:11, "Siapa mengerjakan tanahnya akan kenyang dengan makanan. Tetapi siapa mengejar barang yang sia-sia, tidak berakal budi." Barang yang sia-sia disini terjemahan lainnya adalah "fantasi". Jadi, barangsiapa mengejar fantasi, tidak berakal budi. Tapi barangsiapa mengerjakan tanahnya – artinya dia itu mengerjakan apa yang ada di depan matanya yang menjadi realitas kehidupannya – orang seperti itulah yang akhirnya akan dapat mengenyam apa yang telah ditaburnya itu. Jadi, kita mau melihat disini, firman Tuhan meminta kita untuk menghadapi realitas seperti apa adanya. Yang kita mau tanyakan sekarang adalah mengapakah kita kadang-kadang tidak mau melihat realitas. Penyebab yang pertama adalah, kita tidak mau melihat realitas sebab fantasi itu menyenangkan. Fantasi itu ‘kan sesuai dengan pemikiran kita, sehingga akhirnya kebanyakan atau sebagian dari kita lebih suka hidup dalam realitas yang kita ciptakan sendiri yang sesuai dengan keinginan kita daripada kita harus benar-benar melihat realitas seperti apa adanya. Itu penyebab pertama mengapa kita sukar hidup dalam realitas.
GS : Yang Pak Paul maksudkan dengan fantasi ini apakah seperti berkhayal? Orang ini mengkhayalkan atau mengharapkan sesuatu yang berlebihan, begitu?
PG : Iya, Pak Gunawan. Saya berikan contohnya. Saya pernah bertemu dengan seorang pemuda. Sebetulnya dia memunyai talenta ya. Tapi masalahnya adalah dia berpikir bahwa dengan talentanya itu dia harus melakukan pekerjaan-pekerjaan yang jauh lebih besar daripada apa yang dia lakukan sekarang ini. Masalahnya adalah dia tidak bisa melakukan semua itu. Tapi dia terus bersikukuh bahwa dia harus melakukan semua yang dia mimpikan itu. Akhirnya dia menolak untuk mengerjakan apa yang ada di depan matanya. Akhirnya dia menunda-nunda pekerjaannya karena dia beranggapan ini bukanlah porsinya. Bukankah itu adalah contoh orang yang tidak mau hidup dalam realitas? Jadi daripada dia menghadapi kenyataan, dia belum bisa melakukan apa yang dia impikan itu, ya lebih baik dia hidup dalam fantasinya terus.
GS : Tapi ada juga orang yang mengatakan bahwa setiap orang harus punya mimpi supaya dia bisa maju dan berkembang, Pak Paul?
PG : Itu baik, Pak Gunawan. Memang seharusnyalah kita memunyai kerinduan atau mimpi. Kita ingin memunyai apa, ingin mengerjakan apa, tidak apa-apa, itu target kita. asalkan kita tidak sampai meninggalkan realitas kehidupan ini, tanggung jawab kita sekarang ini, apa yang harus kita kerjakan sekarang ini. Selama kita mengerjakan tugas kita, namun kita juga memunyai impian ke depan, itu tidak apa-apa. Yang memang saya angkat adalah kasus orang-orang yang gara-gara hidup dalam mimpi, diobsesikan oleh mimpinya, akhirnya yang di depan mata yang mesti dikerjakan itu tidak dikerjakan.
GS : Tapi memang berkhayal atau bermimpi itu nikmat sekali, Pak Paul. Sehingga kita senang melakukan hal itu.
PG : Betul, Pak Gunawan. Memang kita senang terus berangan-angan dan hidup di dalam angan-angan kita. Kenapa ? Salah satu penyebab lainnya adalah di dalam angan-angan itu kita melihat diri kita besar, Pak Gunawan. Kita melihat diri kita sehebat itu. Sehingga akhirnya kita tidak mau menerima kenyataan bahwa sesungguhnya kita tidak sehebat itu. Seperti contoh pemuda yang saya sebut tadi, dia tetap beranggapan dia seharusnya mengerjakan pekerjaan yang sehebat itu. Tapi memang masalahnya tidak ada kesempatan jadi memang tidak bisa. Namun dia akhirnya menolak mengerjakan yang harus dikerjakannya sekarang ini. Tapi kenapa kok dia terus begitu ? Ya karena itu, dalam impiannya dalam fantasinya daia melihat dirinya sebesar itu, seindah itu, sehebat itu.
GS : Mungkin bukan hanya dirinya yang besar, tapi dia juga mengharapkan pekerjaan yang besar yang hebat, Pak Paul ?
PG : Betul, Pak Gunawan. Jadi, memang dalam bayangannya kalau dia bisa mengerjakan pekerjaan yang besar seperti itu, dia akan mendapatkan imbalan-imbalan keuangan yang besar juga. Sehingga akhirnya terus hidup di dalam alam mimpinya. Firman Tuhan jelas-jelas berkata siapa mengerjakan tanahnya akan kenyang. Jadi ya sudah, sekarang tanahnya ini kecil, kerjakan saja. Belum ada tanah yang besar, ya sudah jangan pikirkan tanah yang besar. Yang kecil dulu kita kerjakan. Ada satu lagi penyebab kenapa kita lebih suka hidup dalam mimpi kita. Yaitu, di dalam fantasi kita, kita tidak harus berhadapan dengan kekurangan atau kelemahan kita, bahwa kita tidaklah seperti yang kita bayangkan itu. Di dalam alam impian kita itu kita terus-menerus melihat kita adalah orang yang hebat atau sempurna sehingga kita tidak usah menghadapi kenyataan bahwa sesungguhnya kita tidak seperti itu. Jadi ada orang-orang yang memang sulit menerima kenyataan bahwa dia adalah biasa-biasa saja. Dia terus beranggapan dia bukan orang yang biasa-biasa. Ini yang tidak sehat, Pak Gunawan.
GS : Tapi ‘kan memang sejak kecil orang terbiasa berkhayal ya. Anak-anak paling senang melihat tokoh-tokoh superhero. Apakah ini memang berpengaruh ketika dia menjadi dewasa ?
PG : Seharusnya tidak, Pak Gunawan. Anak-anak berkhayal adalah bagian dari perkembangan anak. Sebetulnya hal itu justru sehat bagi anak-anak. Tapi makin besar makin dia menghadapi realitas, maka khayalan itu secara sendirinya akan makin berkurang sebab dia harus menghadapi kenyataannya. Memang ada orang-orang dewasa yang akhirnya menolak untuk menghadapi kenyataan itu. Sudah tentu orang-orang ini bukan orang yang menderita gangguan jiwa seperti yang saya sebut. Tapi ini adalah bentuk kekurangsehatannya ya. Berdasarkan kutipan yang saya berikan dari Dr. Scott Peck, orang-orang ini akhirnya tidak mau menghadapi kenyataan dan seringkali gara-gara dia begitu dia merugikan orang-orang di sekitarnya, Pak Gunawan. Bagaimana kalau dia sudah ada keluarga ? Kalau sudah anak ? Mereka menderita.
GS : Memang ada beberapa orang yang kalau omong-omong itu sering menggunakan kata-kata, "Seandainya saja… misalkan saja saya itu…" apakah itu pertanda bahwa dia suka berkhayal ?
PG : Tidak apa-apa sih kalau hanya sebatas itu. Yang penting dia itu menghadapi tanggung jawabnya, melakukan tugas-tugasnya, dia mengerti realitasnya seperti apa sekarang ini.
GS : Yang sulit itu kapan dia harus bekerja sesuai realitas dan kapan dia boleh berkhayal, Pak Paul ?
PG : Betul. Tidak apa-apa memunyai impian asalkan memang kita mengerti apa tanggung jawab kita sekarang ini. Begitu.
GS : Ada orang yang berkhayal karena mau melarikan diri dari kenyataan hidup yang berat bagi dia.
PG : Kadang-kadang itu kita lakukan, Pak Gunawan. Kalau kita berkhayal sejenak, kemudian kita sadar ya ini hanya impian, tidak apa-apa. Yang bahaya adalah kalau kita akhirnya melarikan diri dan tidak menghadapi kenyataan itu.
GS : Seringkali kebablasan, Pak Paul. Lebih sering merenungnya daripada bekerjanya.
PG : Mungkin kita kadang-kadang mendengar cerita tentang istri yang mengeluhkan suaminya yang tidak mau bekerja, yang mengkhayal terus dan yang memimpikan bahwa nanti dia akan dapat pekerjaan yang baik, atau menunggu-nunggu adanya kesempatan tapi tidak berbuat apa-apa. Dia diam saja di rumah. Itu yang saya pikir contoh orang-orang yang tidak mau menghadapi kenyataan. Itu adalah contoh dari firman Tuhan yang mengatakan siap yang mengejar-ngejar barang yang sia-sia tidak berakal budi.
GS : Apakah ada yang lain, Pak Paul ?
PG : Ada yang lain, Pak Gunawan. Coba saya bacakan dari Amsal 12:9, firman Tuhan berkata, "Lebih baik menjadi orang kecil tetapi bekerja untuk diri sendiri daripada berlagak orang besar tetapi kekurangan makan." Ini adalah contoh orang-orang yang tidak bisa menerima bahwa dirinya memang kecil. Kata "kecil" disini sebetulnya berarti kecil di mata orang, atau artinya tidak terpandang. Kemudian, daripada mengaku dirinya kecil tidak terpandang, nah dia berlagak besar. Artinya dia menggelembungkan dirinya menjadi diri yang lebih besar daripada kondisi sesungguhnya. Kenapa orang sampai begini ? Kenapa tidak bisa melihat realitas akhirnya membesar-besarkan dirinya ? Sebab begini, Pak Gunawan. Seringkali kita ini bereaksi sewaktu kita merasa kok orang tidak memandang kita. Waktu orang menganggap kita orang yang biasa saja dan meremehkan kita. Nah, umumnya kita berontak. Kita mau mengatakan kepada orang tersebut bahwa, "Saya tidak serendah yang kau pikir, saya tidak sekecil yang kau lihat. Saya sebetulnya memunyai kemampuan ini. Saya orangnya seperti ini." Akhirnya seperti yang firman Tuhan katakan sebagai "orang yang berlagak besar", artinya membesar-besarkan diri. Nah, ini bagian dari tidak mau hidup dalam realitas.
GS : Hampir sama dengan fantasi tadi atau memang berbeda, Pak Paul ?
PG : Mirip, Pak Gunawan. Ini lebih merupakan reaksi. Daripada dilihat orang kecil tak terpandang, maka dia membesar-besarkan dirinya. Kalau yang fantasi memang terus-menerus memikirkan hal-hal apa yang bisa dia kerjakan di masa datang, nanti pekerjaannya seperti apa. Jadi memang ada sedikit bedanya, walau sangat mirip.
GS : Tapi orang yang membesarkan diri ini ‘kan untuk menutupi kelemahan-kelemahannya ?
PG : Betul. Seringkali kita membesarkan diri untuk menutupi kelemahan kita. daripada orang melihat kita seperti ini, kita mau sodorkan bagian dari diri kita yang memang sebetulnya tidak ada. Supaya orang nanti akhirnya melihat dan memuji kita. Bahayanya, Pak Gunawan, diri yang kita besar-besarkan akan mudah sekali kempes. Kenapa mudah kempes ? Karena memang tidak ada isinya ! Jadi, orang tinggal tunggu waktu akan tahu, "Ah, kamu itu hanya bicara saja. Tidak ada bobotnya. Tidak ada isinya." Akhirnya ketahuan, akhirnya kempes lagi. Dan bahaya yang kedua adalah dengan kita membesar-besarkan diri, kita kehilangan kesempatan mengembangkan diri kita. sebab akhirnya yang kita omongkan adalah diri yang bukan diri kita, diri yang sebenarnya tidak pernah kita sentuh. Sebetulnya diri yang sebenarnya bisa kita gali dan kita kembangkan. Tapi akhirnya tidak bisa karena kita memikirkan diri yang tidak ada itu. Jadi, sampai kapan pun kita tidak akan berkembang, kita tidak akan mengalami kemajuan.
GS : Apakah ini sama dengan orang-orang yang rendah diri, Pak Paul ?
PG : Saya kira pada dasarnya penyebabnya adalah keminderan, Pak Gunawan. Kadang-kadang kita suka terkecoh ya. Orang yang minder itu seringkali kita anggap orang yang akan menghina-hina diri, "Saya tidak bisa ini itu." Tapi sebaliknya, orang yang minder itu membesar-besarkan dirinya, "Saya ini, saya itu, saya ini, saya itu." Padahal tidak. Tapi sebetulnya akarnya sama. Memang orang-orang ini tidak bisa menerima dirinya. Dia melihat ada begitu banyak kekurangan di dalam dirinya. Nah, daripada mengakui realitas tersebut, ya sudahlah dia gelembungkan dirinya menjadi lebih besar.
GS : Dia menggelembungkan diri menjadi besar lalu mengempis kembali itu biasanya karena faktor luar – misalnya, diketahui oleh orang lain bahwa ini hanya upayanya dia saja – atau karena dirinya sendiri yang kelelahan, Pak Paul ?
PG : Pada dasarnya kalau dia memang sudah melihat orang tidak memberikan pengakuan kepadanya. Kita dalam kondisi seperti itu akan sedikit banyak merasa panik, takut, aduh orang tidak mengakui kita. Pilihan kita hanya dua. Yang pertama adalah mengakui memang inilah saya, memang saya tidak bisa ini, memang saya tidak seperti itu. Tapi pilihan yang kedua adalah menutupinya. Waktu kita menutupi, kita harus tonjolkan sesuatu yang tidak ada di dalam diri kita. Nah, di dalam persimpangan itu memang akan ada cobaan kearah menutupi dan membesar-besarkan diri. Tapi akhirnya ya kita kempes, karena memang tidak ada bahannya. Nah, begitu kita kempes karena memang tidak ada bahannya, apa yang kita lakukan, Pak Gunawan ? Kita ceritakan lagi kisah yang berbeda. Kita ciptakan lagi diri yang lebih besar lagi. Dan kita akan lebih memaksakan orang untuk menerima bahwa kita seperti itu. Akhirnya bisa-bisa cerita kita tentang diri kita makin hari makin besar, Pak Gunawan. Makin jauh dari realitas. Makin orang tidak bisa terima. Makin orang melihat, "Kamu tidak ada apa-apa kok." Makin besar, makin besar, makin besar diri kita itu. Akhirnya apa yang terjadi ? Orang tidak mau mendengarkan kita. Kita benar-benar akan sendirian. Ada orang dalam kondisi itu malah marah. "Orang itu tidak bisa menghargai saya. Tidak mengerti kehebatan saya !" Padahal orang-orang sudah tahu siapa dia. Makin terputuslah dia dari realitas.
GS : Tapi ada orang-orang yang justru membakar orang seperti ini. Jadi sudah tahu bahwa orang itu hanya berpura-pura besar, lalu ada orang yang sengaja memanas-manasi dia. Dan kondisinya jadi makin parah.
PG : Ada. Betul, betul. Kalau kita adalah teman, seyogyanyalah kita bicara terus terang kepadanya, ingatkan dia. "Kamu tidak boleh bicara seperti itu. Kamu memang tidak bisa ini ya sudah, tidak apa-apa. Tidak apa-apa, mengaku saja." Jadi sebagai teman sebaiknya kita memberikan peringatan itu. Jangan sampai dia makin hari makin besar, makin besar, padahalnya kosong. Nanti jadi seperti balon tinggal meletus deh.
GS : Dan upaya untuk membesarkan diri sendiri ini ‘kan menimbulkan kelelahan bagi orang itu, Pak Paul ?
PG : Iya. Tapi yah buat dia ini lebih baik daripada dia dilihat apa adanya. Ya sudahlah, akhirnya dia harus selalu menutupi dan menceritakan diri yang tidak ada padanya supaya dia tidak usah malu, tidak usah merasa ditolak. Jadi buat dia meskipun lelah ya tidak apa-apa. Soalnya harganya dia pikir sebanding dengan apa yang dia pikir akan dia dapatkan. Tapi sekali lagi, poinnya adalah pada akhirnya ini tidak akan bisa berjalan, tidak akan berhasil. Karena akhirnya orang akan tahu dan tidak akan ada orang yang suka bergaul dengan dia.
GS : Tetapi ada orang yang supaya upayanya ini berhasil, seringkali dia bepindah-pindah tempat, Pak Paul. Jadi di suatu tempat orang sudah mulai percaya. Begitu dia tahu kedoknya mulai terbuka, dia akan pindah ke tempat lain.
PG : Iya. Atau teman juga begitu, Pak Gunawan. Tidak usah pindah kota tapi pindah teman. Waktu dia lihat temannya sudah mulai tahu dia siapa, maka dia bergeser mencari teman yang lain. Jadi dia selalu mau mencari orang yang bisa percaya pada bualannya dia bahwa dia adalah sebesar itu.
GS : Dan ada cukup banyak orang yang termakan bualan-bualan seperti itu.
PG : Banyak sekali, Pak Gunawan. Inilah dunia tempat kita hidup. Apalagi ada orang-orang yang memang sengaja membuat dirinya sebesar itu secara sadar untuk meraih keuntungan atau menipu, Pak Gunawan. Kadang-kadang itu juga terjadi. Jadi, dia akan cerita dia siapa, dia bisa inilah, bisa itulah, dia kenal si ini lah, kenal si itu lah. Supaya mengesankan orang dan dia bisa mendapatkan sesuatu dari orang tersebut. Biasanya akhirnya adalah penipuan.
GS : Adakah hal lain sehubungan dengan hal ini ?
PG : Pada akhirnya kita harus selalu kembali kepada Tuhan. Kita mesti percaya Tuhan menempatkan kita di dunia ini untuk menggenapi kehendak dan tujuan-Nya. Nah, Tuhan tidak bisa memakai kita menggenapi kehendak dan tujuan-Nya kalau kita tidak menjadi diri kita. Kita hanya bisa menggenapi kehendak Tuhan jikalau kita menjadi diri kita apa adanya. Saya perhatikan dalam hidup dan pelayanan saya, orang-orang yang berusaha menjadi diri yang lain, nanti tidak lama akan kempes, akan terjungkal, akan jatuh, dan akhirnya justru tidak dipakai Tuhan sama sekali. Tapi kalau kita mengaku kita adalah seperti ini, kita tidak bisa ini, pada akhirnya Tuhan akan pakai kita. Tuhan memang tidak pakai orang-orang untuk di posisi yang tinggi-tinggi saja. Tuhan memunyai banyak sekali lapangan pekerjaan-Nya. Tapi tidak semuanya di atas. Ada yang di tengah, ada yang di bawah. Ada yang di depan, ada yang dibelakang. Ya kita terimalah kalau misalnya Tuhan menempatkan kita di belakang atau di bawah. Dan itu tidak apa-apa. Sebab yang Tuhan hargai bukannya di depan atau di belakang, di atas atau di bawah, tetapi kesungguhan kita memberikan semuanya kepada Dia. Itu yang nanti Tuhan akan berikan kepada kita imbalannya. Jadi, kalau kita memang mau Tuhan pakai, mulailah dengan jadi diri kita apa adanya. Kita akui bahwa kita punya kelemahan-kelemahan. Mungkin kita malu mengakuinya tapi ya sudah, inilah diri kita. kalau orang tahu ya tidak apa-apa memang inilah diri kita dan orang yang seperti itu akan menajdi orang yang merdeka, Pak Gunawan. Di Yohanes 8:32 Tuhan Yesus berkata Engkau akan mengenal kebenaran dan kebenaran akan memerdekakan Engkau. Memang ayat itu merujuk kepada Yesus sebagai kebenaran Allah. Tapi saya kira itu bisa diterapkan juga untuk kebenaran yang lainnya. Orang yang hidup dalam kebohongan akan hidup dalam penjara. Tidak akan merdeka. Orang yang hidup dalam kebenaran akan bebas. Orang tahu ya tidak apa-apa. Saya sendiri kadang-kadang gagap, Pak Gunawan. Memang orang mungkin susah dengar karena kalau saya sedang berbicara kok sepertinya lancar-lancar saja. Tapi kadang-kadang saya bisa gagap. Pada suatu waktu dalam hidup saya, saya takut orang tahu kalau saya gagap. Sebab malu juga kalau ketahuan saya gagap. Tapi akhirnya saya pikir ya sudahlah memangnya saya gagap. Kalau saya gagap ya sudah biar saja orang tahu. Memang terpikir bagaimana kalau orang menertawakan saya karena saya gagap ? Ya sudah mau bagaimana lagi. Orang memang punya hak kalau mau menertawakan saya. Itu mulut dia, ya saya harus terima dia menertawakan saya. Waktu saya berkata begitu, saya lebih merdeka. Waktu saya mencoba menyembunyikan kelemahan saya, saya lebih dipenjara, makin tidak bebas. Dan makin tidak bebas, makin tidak bisa menjadi diri saya apa adanya dan makin tidak bisa dipakai oleh Tuhan untuk menggenapi rencana-Nya dalam hidup saya.
GS : Kalau begitu memang sikap rendah hati itu sangat penting disini ?
PG : Sangat-sangat penting, Pak Gunawan. Buat kita yang orang awam ini sering berpikir Tuhan sepertinya memakai orang yang hebat dan bertalenta. Sebetulnya tidak, Pak Gunawan. Tuhan memakai orang-orang yang biasa, asal orang itu mau mengakui bahwa dia orang yang biasa. Nah, ini butuh kerendahan hati. Orang yang sombong, meskipun banyak kebisaannya, kebanyakan akan cepat berhenti dipakai Tuhan. Karena Tuhan tidak mau memakai mereka. Tapi orang yang merendahkan dirinya itu yang akan Tuhan pakai. Saya berikan contoh Ibu Teresa, Pak Gunawan. Dia dipakai Tuhan melayani kaum papa, orang-orang miskin, dan orang-orang berpenyakit lepra di Kalkuta, India. Ibu Teresa adalah orang biasa. Dia bukanlah seorang pembicara, seorang orator, dia bukan orang yang bisa menciptakan banyak hal, atau sebagainya. Dia orang biasa kok. Tapi dia mau dipakai Tuhan apa adanya. Dan karena dia mau dipakai Tuhan apa adanya, akhirnya Tuhan pakai dia secara luar biasa. Ada satu cerita dia datang ke kota Washington DC untuk meresmikan suatu tempat pelayanannya di sana. Begitu banyak mobil stasiun-stasiun televisi telah menunggu kedatangannya. Wartawan dengan kamera ingin mewawancarai dia. Kemudian keluarlah dia dikelilingi oleh para stafnya, para imam, para suster biarawati. Kemudian para wartawan mengerumuninya dan bertanya, "Apa yang kamu kerjakan disini ?" Ibu Teresa berkata, "Saya hendak membagikan kasih supaya orang bisa menerima kasih." Wartawan berkata, "Wah, pasti memerlukan banyak sekali uang untuk melakukan pelayanan seperti itu !" Nah, apa yang dikatakan Ibu Teresa ? "Tidak. Bukan uang tetapi pengorbanan." Dia bilang bukannya uang tetapi pengorbanan. Itulah yang kita lihat pada diri Ibu Teresa. Dia orang yang sederhana, biasa-biasa saja. Tetapi dia dipakai Tuhan karena memang dia mengakui dirinya apa adanya. Dan pekerjaan yang dia lakukan memang sangat luar biasa.
GS : Ini menarik sekali, Pak Paul. Karena dari tadi kita sudah lihat ada sebagian orang yang hidup di luar realitas. Sebelum mengakhiri perbincangan ini, mungkin ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan ?
PG : Saya akan sampaikan dari Markus 9:35 dan 37, Pak Gunawan. "Lalu Yesus duduk dan memanggil kedua belas murid itu. Kata-Nya kepada mereka: "Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya." Maka Yesus mengambil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka, kemudian dia memeluk anak itu dan berkata kepada mereka: "Barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku. Dan barangsiapa menyambut Aku, bukan Aku yang disambutnya, tetapi Dia yang mengutus Aku." Tuhan menempatkan anak kecil sebagai contoh, sebagai perkara kecil. Kita maunya mengerjakan perkara besar. Anak kecil itu perkara kecil. Tapi Tuhan berkata fokus pada perkara kecil. Waktu engkau mengerjakan perkara kecil maka engkau sedang melayani Aku. Jadi, jangan mau menjadi yang terdahulu, jangan mau menjadi nomor satu. Terimalah dan jadilah nomor dua. Dalam kehendak Tuhan, Dia bisa menaikkan kita ke nomor satu jikalau itu memang kehendak-Nya. Kalau tidak ya tidak apa-apa.
GS : Terima kasih Pak Paul, untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Hidup dalam Realitas". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.