Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Kebahagiaan Keluarga dan Mengampuni". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lampau kita membicarakan tentang kebahagiaan keluarga hubungannya dengan murah hati, dan sekarang kita akan memperbincangkan tentang hubungan kebahagiaan keluarga dan mengampuni. Namun saya melihat ada kaitan yang erat sekali antara murah hati dan pengampunan. Orang tidak mungkin bisa menunjukkan kemurahan hatinya kalau tidak ada pengampunan dan pengampunan itu sendiri juga membutuhkan sikap murah hati dari seseorang. Karena pembicaraan ini saling terkait, mungkin Pak Paul bisa mengulas secara singkat apa yang kita bicarakan pada kesempatan yang lalu.
PG : Kita belajar bahwa untuk membuat keluarga kita sehat dan bahagia diperlukan beberapa karakteristik atau sifat. Salah satunya adalah murah hati dan ternyata kita belajar bahwa murah hati muncul lewat beberapa tindakan, misalnya yang pertama adalah kita lebih sering mendengarkan suara hati dan bukan suara pikiran kita, sehingga kita lebih cepat tergerak untuk memberikan atau menolong atau berkorban sesuai dengan kata hati kita. Kita juga lebih bisa murah hati kalau kita lebih banyak iman, lebih percaya bahwa Tuhan akan memelihara hidup kita dan kita menjadi lebih rela untuk memberi dan berkorban. Dan yang ketiga untuk kita bisa menjadi murah hati maka kita harus bisa menekan diri kita, kepentingan pribadi kita dan kita harus mengecilkan semua itu, karena orang yang ber-ego besar tidak mungkin menjadi murah hati. Kalau kita bisa menekankan ketiga hal itu yaitu kita lebih sering menggunakan hati, lebih sering bersandar pada iman dalam Tuhan dan juga lebih mengecilkan diri, maka keluarga kita juga pada akhirnya akan lebih bahagia.
GS : Bukannya tidak mau, ada banyak orang yang mengetahui akan hal itu tetapi ketika dia mulai mengaplikasikannya atau menerapkan itu dalam kehidupan keluarganya, disalah tanggapi baik oleh pasangan atau anggota keluarga lain, sehingga dia menjadi marah-marah. Padahal dia sudah berusaha berkali-kali dan terus gagal, maka di situ saya melihat ada kebutuhan untuk dia mengampuni orang yang memang tidak mengerti itu. Tetapi karakter mengampuni sulit terbentuk dalam diri seseorang. Sebenarnya pengampunan macam apa, Pak Paul ?
PG : Betul sekali bahwa kadang-kadang kita dalam pernikahan atau keluarga, baik kepada pasangan maupun kepada anak kita merasa capek, kita sudah berbuat dan berusaha tapi responsnya tetap bahkan kadang-kadang baik pasangan atau anak kita menyakiti hati kita sehingga kita akhirnya seringkali semangat kita padam untuk mencoba lagi untuk murah hati atau membahagiakan keluarga kita. Salah satu karakter yang diperlukan dalam keluarga supaya keluarga kita bisa bertumbuh bahagia adalah kita harus memunyai sikap mengampuni, kalau kita tidak bisa mengampuni maka mustahil kita bisa membangun keluarga apalagi membahagiakan pasangan dan anak-anak kita. Mengampuni merupakan karakter utama Allah yang dinyatakan lewat kematian Yesus Putra Allah. Mengampuni seyogianya menjadi karakter utama kita, anak-anak Allah. Keluarga didirikan di atas cinta, namun keluarga dipelihara melalui pengampunan dan tanpa pengampunan keluarga runtuh, sebab dendam tidak bisa berjalan bersama keluarga. Jadi kalau ada orang yang mendendam maka sudah pasti akan menghancurkan keluarga sebab keluarga didirikan di atas pengampunan.
GS : Seperti itu tadi contohnya, ketika orang berusaha murah hati kemudian disalahpahami dan itu diberitahukan kepada pasangannya bahwa sebenarnya dia bermaksud murah hati dan itu menimbulkan kemarahan dan memberikan kesempatan lagi kepada pasangannya untuk bisa mengerti namun gagal lagi maka pengampunan itu lama-lama habis, dan dia merasa, "Sampai kapan saya harus terus mengampuni orang ini, saya sudah berusaha bermurah hati tapi selalu ditanggapi negatif, minta maaf juga sudah dimaafkan tapi itu berulang kali terjadi" karena memang ada orang yang sulit menerima kebaikan orang lain.
PG : Saya kira kita perlu belajar sedikit tentang pengampunan dan yang akan saya gunakan sebagai teks kali ini adalah dari Markus 11:20-26, firman Tuhan berkata, "Pagi-pagi ketika Yesus dan murid-murid-Nya lewat, mereka melihat pohon ara tadi sudah kering sampai ke akar-akarnya. Maka teringatlah Petrus akan apa yang telah terjadi, lalu ia berkata kepada Yesus: "Rabi, lihatlah, pohon ara yang Kau kutuk itu sudah kering." Yesus menjawab mereka: "Percayalah kepada Allah! Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa berkata kepada gunung ini: Beranjaklah dan tercampaklah ke dalam laut! asal tidak bimbang hatinya, tetapi percaya, bahwa apa yang dikatakannya itu akan terjadi, maka hal itu akan terjadi baginya. Karena itu Aku berkata kepadamu: apa saja yang kamu minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu. Dan jika kamu berdiri untuk berdoa, ampunilah dahulu kiranya ada barang sesuatu dalam hatimu terhadap seseorang, supaya juga Bapamu yang di sorga mengampuni kesalahan-kesalahanmu." (Tetapi jika kamu tidak mengampuni, maka Bapamu yang di sorga juga tidak akan mengampuni kesalahan-kesalahanmu.)" Nah, Pak Gunawan, firman Tuhan ini sebetulnya sarat dengan hikmat yang kita petik dan mudah-mudahan kita bisa menerapkannya dalam keluarga kita supaya kita bisa mengampuni sesama.
GS : Jarang sekali orang mengaitkan perikop ini dengan kebahagiaan keluarga, namun kita mencoba, apa yang bisa kita pelajari kalau itu dikaitkan dengan kebahagiaan keluarga dan pengampunan ?
PG : Saya pertama-tama akan mempelajari dulu firman Tuhan ini supaya kita bisa memetik pelajarannya, kita mengetahui bahwa Tuhan Yesus mengutuk pohon ara dan waktu Tuhan Yesus melihat pohon ara itu tidak memiliki buah maka Tuhan berkata, "Untuk selama-lamanya pohon itu akan kering dan tidak lagi menghasilkan buah". Tuhan mengutuk pohon ara itu, sebab Dia ingin mengajarkan sesuatu kepada para murid-Nya yaitu iman pada Allah yang Maha kuasa. Jadi kalau mereka memiliki iman kepada Tuhan yang Maha kuasa maka Tuhan akan dapat memberikan apa yang mereka doakan atau minta itu. Yang menarik adalah begitu selesai Dia mengajarkan tentang pelajaran itu, Yesus langsung mengaitkan pelajaran tersebut dengan hal mengampuni. Coba kita sekarang melihat bahwa ada dua pelajaran tentang iman dan tentang mengampuni. Penghubung di antara dua pelajaran ini adalah pelajaran tentang berdoa sebab dikatakan dalam firman ini, "Jika kamu berdiri untuk berdoa, ampunilah dahulu", langsung Tuhan menghubungkannya dengan doa. Seolah-olah ini yang Tuhan katakan. Tuhan menyediakan kuasa-Nya yang tak terhingga bagi kita anak-anak-Nya, karena itu kuasa Tuhan begitu besar sehingga Tuhan berkata, "Seolah-olah kita bisa memindahkan gunung" untuk menerima kuasa itu kewajiban kita hanyalah berdoa, namun sebelum berdoa maka kita harus membersihkan diri dari dendam. Tuhan mengundang kita masuk menjadi bagian dari kehidupan dan dari keluarga sorgawi, syaratnya untuk masuk adalah kita harus mengampuni orang yang bersalah kepada kita terlebih dahulu. Jadi inilah yang Tuhan ajarkan kepada para murid-Nya saat itu.
GS : Memang sangat penting mengaitkan kuasa yang dimiliki dengan pengampunan sebab kalau tidak maka orang bisa menafsirkan hal ini dan kemudian dia mengutuki istrinya supaya cepat mati dan sebagainya, itu pasti sulit dan saya yakin bukan itu maksud dari kisah ini.
PG : Betul sekali. Jadi memang maksudnya bukan supaya kita itu mengutuki keluarga kita, tapi memang pelajaran yang Tuhan inginkan kita serap adalah bahwa yang pertama Tuhan mengundang kita masuk menjadi bagian dari kehidupan dan kehidupan Tuhan adalah kehidupan yang penuh dengan kuasa dan kuasa-Nya adalah kuasa yang supernatural. Namun di dalam doa kita untuk bisa hidup bersama dengan Tuhan maka kita harus melihat diri sendiri dan kita harus melihat apakah kita memunyai dendam, apakah kita menyimpan sesuatu terhadap orang dan kita tidak bisa memaafkan orang. Tuhan berkata dengan sangat jelas di ayat 26 bahwa kalau kita tidak mengampuni, maka Allah Bapa tidak akan mengampuni kita. Maka dengan kata lain, Tuhan mau mengatakan kepada kita bahwa kita hanya akan dapat menjadi anak-anak Allah dan menikmati berkat sepenuhnya dari Dia jika kita mengampuni. Sebuah syarat yang sangat tegas yang Tuhan berikan kepada kita manusia, kalau kita tidak mengampuni maka Tuhan juga tidak akan mengampuni, alasannya sangat sederhana sebab kita diterima oleh Tuhan lewat pengampunan-Nya, bagaimana kita sekarang tidak mau mengampuni orang lain, bukankah kita sendiri adalah penerima pengampunan Tuhan, maka Tuhan menuntut kita juga memberi pengampunan yang sama kepada orang lain; kalau kita berdoa pada Tuhan, tapi hati kita penuh dengan dendam maka Tuhan tidak bisa mendengar doa itu.
GS : Di sisi lain memang mengampuni membutuhkan suatu kuasa dari Tuhan sendiri, dalam diri kita sendiri kuasa pengampunan itu saya rasa sulit untuk ditumbuhkan apalagi dikembangkan karena pada dasarnya kita pendendam pada orang lain. Hanya dengan pekerjaan Roh Kudus di dalam diri kita, maka diri kita mampu mengampuni orang lain dengan berpedoman pada apa yang Pak Paul sudah katakan, "Karena kita sudah menerima pengampunan" tapi kalau ini dipaksakan maka juga tidak ada hasil pengampunan kepada pasangan juga.
PG : Jadi memang kita harus mau mengampuni, kita tidak bisa dipaksakan untuk mengampuni kalau kitanya tidak mau biasanya tidak mau. Maka yang Tuhan minta adalah sebuah keinginan mau mengampuni. Tuhan mengerti bahwa perjalanannya panjang untuk benar-benar bisa menghilangkan semua luka di hati akibat perbuatan orang, tapi yang Tuhan minta adalah sebuah kesediaan untuk berkata, "Tuhan saya mau memulai perjalanan untuk mengampuni orang tersebut". Jadi yang Tuhan tidak mau adalah kebalikannya, "Tuhan saya tidak mau dan tidak akan sudi mengampuni dia" itu yang Tuhan tidak mau dengar dari anak-anak-Nya, sebab mengampuni adalah ciri atau karakteristik yang sangat sentral dari Tuhan yaitu Dia mati untuk kita, Dia menebus dosa kita, Dia mengampuni kita maka kita bisa menjadi anak-anak Allah. Jadi yang dituntut-Nya adalah kita pun harus memiliki sifat yang sama.
GS : Memang ini adalah sesuatu yang sangat penting, jadi kita harus mengupasnya dengan cukup jelas sehingga menjadi berkat bagi para pendengar kita. Apa yang kita lihat dari makna mengampuni orang lain ini, Pak Paul ?
PG : Jadi ada beberapa yang bisa kita terapkan supaya kita bisa belajar mengampuni. Mengampuni ternyata sekurang-kurangnya memunyai tiga aspek yang pertama adalah mengampuni berarti kita tidak membalas, dengan kata lain, kita melepaskan hak untuk membalas. Kalau kita berkata, "Dia telah melukai saya, saya berhak membalasnya" itu memang betul, tapi kalau kita mau mengampuni maka kita melepaskan hak tersebut. Jadi walaupun kita punya hak membalas, tapi kita lepaskan hak tersebut. Respons alamiah kita sewaktu disakiti adalah membalas menyakiti, kenapa kita mau membalas sebab kita meyakini bahwa hanya dengan membalas sajalah, maka luka di hati akan berkurang dan ini yang biasanya ada di dalam hati dan pikiran kita. Memang tatkala membalas maka luka di hati berkurang sebab kita merasa puas, "Tahu rasa kamu sekarang, sekarang kamu menderita" kita merasa puas. Masalahnya adalah puas tidak sama dengan mengampuni, Tuhan mau agar kita bebas dari perasaan marah dan sakit hati bukan karena puas, tapi karena mengampuni. Jadi itu yang menjadi perbedaan antara cara kita manusia dan cara Tuhan, cara Tuhan adalah Tuhan mau agar kita sungguh-sungguh bebas dari kebencian dengan cara pengampunan. Tapi cara manusia adalah kita mau bebas dari kebencian dengan membalas. Puas setelah membalas hanyalah membuat relasi kita sebagai ajang pertandingan atau pertempuran, karena benar-benar seperti pertempuran, dia kalah maka kita puas. Mengampuni menyelesaikan pertempuran dengan tuntas, itu bedanya.
GS : Maka kita harus bercermin pada kehidupan Tuhan Yesus sendiri, kalau kita melihat teladan dari orang di sekelliling kita maka agak sulit dan tidak sesempurna yang Tuhan Yesus sendiri tunjukkan, peragakan didalam cara mengampuni orang lain, Pak Paul ? Namun ini membutuhkan waktu yang panjang bagi seseorang untuk belajar mengampuni.
PG : Saya sangat setuju sekali bahwa tidak mudah, sebab sekali lagi mengampuni bukanlah sifat manusia yang hakiki, yang alamiah. Yang hakiki atau alamiah adalah membalas, tapi sekali lagi saya ingatkan bahwa kalau kita benar-benar mau membereskan dan bebas dari kebencian maka caranya bukanlah dengan merasa puas karena telah membalas, tapi karena telah mengampuni makanya tuntaslah kebencian itu.
GS : Malah kadang-kadang ada satu kasus di mana orang lebih mudah mengampuni orang lain yang bukan keluarga karena ikatannya tidak terlalu akrab, tapi dengan pasangan atau anak, proses mengampuni ini jauh lebih rumit karena seolah-olah dia menjadi korban yang sangat fatal dari keluarganya sendiri yang tadinya dia kasihi.
PG : Bisa kita simpulkan kalau kita dilukai oleh orang yang kita tidak duga akan melukai kita maka sakitnya akan berlipat ganda, kalau kita sudah mengetahui orang itu adalah orang yang memusuhi kita dan akhirnya melukai kita maka kita akan merasa lebih siap, tapi kita tidak akan siap kalau kita dilukai oleh orang yang kita anggap tidak akan berbuat begitu kepada kita.
GS : Menjadi masalah yang lain didalam mengampuni ketika kita harus mengampuni seseorang didalam keluarga kita sendiri, Pak Paul.
PG : Betul sekali. Maka selain kita melepaskan hak untuk membalas, kita memutuskan tidak membalas, kita memutuskan memulai perjalanan untuk mengampuni maka kita harus berkata, "Tuhan saya serahkan orang itu kepadamu" benar-benar harus berkata, "Tuhan, saya percaya bahwa Engkau akan berhubungan langsung dengannya dan bukannya saya yang berhubungan langsung dengan dia" kalau kita marah karena disakiti, maka kita akan mau langsung berhubungan dengan dia, membalasnya dan sebagainya, tidak seperti itu tapi kita katakan ,"Tuhan, saya lepaskan hak saya untuk membalas dan saya berdoa menyerahkan dia kepada-Mu". Betapa besar keinginan kita untuk terus mengoreksi orang yang bersalah kepada kita, biasanya itu reaksi kita dan kita ingin berhadapan dengan dia langsung. Misalnya kita ingin terus memastikan bahwa dia tidak akan pernah mengulangi perbuatannya lagi atau mungkin kita berusaha mengontrol ruang geraknya atau memantau tindakannya seketat mungkin, jadi kita ingin benar-benar memaksa dia supaya dia takut dan tidak berbuat hal yang sama. Tapi pada akhirnya kita harus mengakui bahwa semua upaya ini sia-sia, sebab jika ia mau mengulang perbuatannya maka dia pasti akan dapat melakukannya. Serahkan dia di tangan Tuhan dan biarkan Tuhan membentuknya, jadi harus ada keinginan dan kerelaan menyerahkan dia kepada Tuhan. Ini sering saya lihat di dalam kasus orang yang dilukai oleh pasangannya karena perzinahan, luka yang dalam karena dikhianati tetapi sebagai respons biasanya kita ingin membatasi ruang gerak pasangan kita, memastikan dia tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Jadi kita terus seolah-olah mau bersama dengan dia, berhubungan dengan dia terus menerus, tidak seperti itu tapi serahkan dia kepada Tuhan. Sebab kalau dia ingin berbuat lagi maka dia bisa berbuat lagi dan benar-benar serahkan dia kepada Tuhan dan biarkan Tuhan yang berhubungan langsung dengan dia.
GS : Tapi kalau kita menyerahkan orang itu pada hukuman Tuhan berarti kita belum rela mengampuni orang itu, kita menyerahkan orang itu, kita mendoakan orang itu sesuai firman Tuhan yang mengatakan seperti meletakkan bara di atas kepalanya. Kalau itu yang kita inginkan terjadi pada orang yang seharusnya kita ampuni maka itu bukan pengampunan yang sesungguhnya.
PG : Pak Gunawan, kita masuk ke point yang terakhir jadi kita harus mengakui bahwa kemampuan kita mengampuni sangat tipis, maka mengampuni sebetulnya berarti kita menyediakan diri menjadi saluran kasih dan kemurahan Tuhan, kita tidak memunyai kekuatan untuk mengampuni, makanya kadang-kadang terus keluar perkataan, "Saya tidak bisa membalas dia, tapi biarlah Tuhan yang membalas", hati kita terus dipenuhi dengan kemarahan dan kebencian, seolah-olah kita sedang menunggu-nunggu kapan Tuhan membalas, akhirnya kita berkata, "Memang saya tidak memunyai kekuatan mengampuni, saya hanyalah saluran kasih, saluran kemurahan Tuhan, jadi Tuhan ampuni dia karena saya hanyalah bejana". Pada waktu kita berkata seperti itu maka sebetulnya kita itu menjadi bukti nyata bagi orang itu bahwa Tuhan telah mengampuninya. Jadi waktu kita berkata kepada dia, "Saya mengampuni kamu" maka kita itu menjadi saluran kebaikan Tuhan kepadanya dan bukti nyata bahwa Tuhan mengampuninya lewat pengampunan yang kita berikan kepadanya. Jadi ada saat-saat kita tidak akan sanggup lagi mengampuni dan pada saat itulah kita berkata, "Tuhan jadikan saya saluran kasih dan pengampunan Tuhan, jadikanlah saya penerus kasih dan pengampunan Tuhan kepada orang yang telah bersalah kepada saya".
GS : Kalau kita baca di dalam Mazmur, Pak Paul, maka seringkali kita baca ungkapan doa dari pemazmur yang meminta Tuhan membalaskan atau memberikan hukuman kepada musuh-musuhnya, itu bagaimana, Pak Paul ?
PG : Itu sudah tentu teriakan kemarahan Daud karena dia tidak salah apa-apa namun Saul begitu jahat kepada dia, dan begitu banyak orang yang mau mencelakakannya, jadi dia marah. Tapi dia memutuskan untuk tidak membalas meskipun dia memunyai kesempatan membunuh Saul dua kali, namun tidak dilakukannya. Jadi dengan kata lain, dia menyerahkan Saul kepada Tuhan dan berkata, "Biarlah Tuhan yang langsung berhubungan dengan dia" dalam doanya biar Tuhan yang mengurus dia, maka terselip sebuah permintaan biarkan Tuhan menghukum karena memang orang itu jahat dan biarlah hukuman Tuhan jatuh atasnya, itu adalah teriakan kemarahan dan permohonan keadilan Tuhan. "Tuhan keadilan itu tidak ada, Tuhan orang ini begitu jahat lalim, Tuhan tolong tegakkan keadilan, tolong hukum dia". Jadi seolah-olah itu menjadi teriakan Daud pula.
GS : Di dalam kehidupan keluarga memang faktor mengampuni itu penting karena kita berhubungan tiap hari dan begitu dekat dan akrab, tentu saja keakraban dan kedekatan ini menimbulkan gesekan-gesekan yang mungkin terjadi dan tanpa pengampunan sulit sekali keluarga itu bertumbuh, apalagi mencapai sebuah kebahagiaan.
PG : Ada orang-orang yang memang suka mendendam, ada orang-orang yang sangat susah mengampuni, mungkin karena dulu terlalu sering dilukai, jadi orang yang terlalu sering dilukai akhirnya berkata, "Cukup, saya tidak mau dilukai dan saya akan menjaga diri saya, saya tidak akan membiarkan orang melukai saya". Jadi begitu orang melukainya maka dia tidak bisa mengampuni dia dan membenci seumur hidup. Tapi ada juga orang yang tidak diperlakukan seperti itu dan memang memunyai tingkat keegoisan yang sangat tinggi sehingga dia tidak bisa dirugikan oleh orang dan bawaannya membalas, sifat yang seperti itu tidak mungkin menjadi berkat bagi pasangan dan anak-anak kita, sebab pada akhirnya satu keluarga menjadi sengsara karena sifat pendendam itu. Kalau kita mau menikmati keluarga yang penuh kasih dan bahagia, maka kita harus menumbuhkan sifat mengampuni.
GS : Sebelum kita mengakhiri perbincangan ini mungkin ada kesimpulan yang ingin Pak Paul sampaikan ?
PG : Di dalam pernikahan dan keluarga kesalahan terjadi dan dosa pun kadang-kadang diperbuat baik disengaja ataupun tidak, maka sebagai akibatnya hati kita terluka. Pengampunan harus diberikan sebab kalau tidak, maka relasi akan putus. Kita hanya akan dapat menikmati kehidupan sorgawi dan semua berkat Tuhan untuk pernikahan dan keluarga bila kita mengampuni, inilah dasar doa orang Kristen.
GS : Kalau begitu sebenarnya pengampunan itu lebih bermanfaat bagi yang mengampuni atau yang diampuni, Pak Paul ?
PG : Pada akhirnya yang diuntungkan adalah yang mengampuni, orang yang mengampuni adalah orang yang diberkati karena kasihnya bertambah. Jadi kalau dia mengampuni maka kasihnya bertambah mungkin berton-ton. Orang yang tidak mengampuni maka kasihnya itu dicabut keluar berton-ton juga banyaknya. Jadi yang diuntungkan adalah yang mengampuni dan hatinya akan penuh dengan kasih sayang dan berkat-berkat Tuhan juga akan dilimpahkan kepadanya.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini yang tentu saja akan sangat bermanfaat di dalam kita membangun sebuah keluarga yang bahagia. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kebahagiaan Keluarga dan Mengampuni". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
Comments
niny tumbel
Min, 27/05/2012 - 2:26am
Link permanen
keluarga
TELAGA
Sen, 28/05/2012 - 12:28pm
Link permanen
Ibu Niny Tumbel, Pertanyaan
niny tumbel
Kam, 31/05/2012 - 7:22pm
Link permanen
iya. saya belum terima
TELAGA
Jum, 01/06/2012 - 10:51am
Link permanen
Jawaban dari kami tgl. 8 Mei
niny tumbel
Jum, 01/06/2012 - 1:28pm
Link permanen
suami saya setahun kerja
TELAGA
Sel, 05/06/2012 - 12:38pm
Link permanen
Jawaban untuk Ibu Gladys
niny tumbel
Min, 10/06/2012 - 11:32pm
Link permanen
Syalom. terima kasih untuk
TELAGA
Sel, 19/06/2012 - 10:15am
Link permanen
Jawaban untuk Ibu Gladys