Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya, Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Menghadapi Kematian Anak Bayi". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, kematian memang bisa terjadi pada siapa saja ya. Bisa orang yang sudah lanjut usia, tetapi juga bisa anak bayi yang meninggal itu. Bahkan sebelum dilahirkan, artinya meninggal di dalam kandungan pun bisa terjadi hal seperti itu. Tetapi bagi keluarga yang memang sudah lama mendambakan kehadiran anak, hal seperti ini tentu memberikan pukulan yang dahsyat sekali, Pak Paul. Jadi, perbincangan ini hendak membantu para orangtua yang mengalami hal yang seperti itu. Bagaimana, Pak Paul?
PG : Pak Gunawan, kematian anak semasa bayi bukan saja mematikan impian dan harapan tetapi juga sebagian diri kita. Jadi, kita itu tidak bisa mengukur kematian berdasarkan ukuran tubuhnya seolah-olah kalau sudah besar sudah dewasa tubuhnya juga sudah besar dan dewasa maka kehilangannya juga akan besar; kalau masih kecil, tubuhnya juga masih kecil, berarti kehilangan atau kedukaannya juga kecil. Tidak. Kematian itu tetap punya efek yang sama di usia berapa pun, termasuk di usia bayi, kadang-kadang termasuk di dalam kasus keguguran dimana anak itu belum dilahirkan tapi akhirnya keguguran. Jadi, kita mau mengangkat hal ini karena kita tahu bahwa ada di antara pendengar kita yang mengalami hal seperti ini. Sudah tentu kita tidak berharap ini terjadi pada siapapun tapi ya nanti harus terjadi pada para pendengar kita, maka mudah-mudahan apa yang kita lakukan hari ini dengan diskusi ini bisa menolong mereka.
GS : Iya. Sama seperti peristiwa kematian dimana pun juga, keluarga yang ditinggalkan itu memang tidak pernah siap, Pak Paul. Tidak pernah siap. Walaupun sebenarnya misalnya dokter sudah mengatakan bahwa anak yang dikandung ini tidak bakal bisa hidup lama bahkan dikatakan akan gugur sebelum dilahirkan. Kalau dia mendapat penjelasan dari dokter seperti itu dengan jujur, sedikit menolong, tetapi pada saatnya orang ini tetap mengalami goncangan batin.
PG : Iya. Tidak bisa dihindari, Pak Gunawan. Karena salah satu berita paling menggembirakan yang dapat kita dengar adalah bahwa kita hamil setelah menikah ya. Bulan-bulan berikut biasanya ‘kan menjadi masa penuh harap dan impian dimana kita terus menghitung hari kelahiran anak. Benar-benar selain keguguran, kematian anak di masa bayi itu benar-benar sesuatu yang berat yang harus kita tanggung.
GS : Iya. Jadi, apa yang ingin Pak Paul sampaikan atau beri pendapat kepada orang-orang yang mungkin bisa mengalami hal seperti ini?
PG : Hal pertama yang mesti kita sadari adalah KEMATIAN ANAK MERUPAKAN SUATU PERISTIWA YANG KOMPLEKS, Pak Gunawan. Berbeda dengan kematian orang yang sudah lanjut usia, pada umumnya kematian anak melibatkan pelbagai faktor yang membuat proses penerimaannya menjadi lebih sulit dan rumit. Hampir semua kasus kematian anak semasa bayi terkait dengan problem yang terjadi pada masa kehamilan. Masalahnya adalah tidak selalu kita dapat mengetahuinya. Ada kalanya kita sudah tahu bahwa anak yang dalam kandungan bermasalah dan kemungkinan lahir membawa masalah kesehatan. Tetapi kadang kita sama sekali tidak tahu sebab tidak semua masalah dalam kandungan dapat terdeteksi. Alhasil kematian anak semasa bayi bukan saja mengejutkan tetapi juga membingungkan dan menyisakan banyak pertanyaan. Di samping pertanyaan yang sudah tentu tidak mudah dijawab, satu hal lagi yang seringkali menandai reaksi orangtua yang kehilangan anak semasa bayi adalah RASA BERSALAH, Pak Gunawan. Tidak bisa tidak sebagai orangtua kita bertanya-tanya apakah ada hal-hal yang seharusnya kita perbuat atau tidak perbuat yang menyebabkan timbulnya masalah pada masa kehamilan. Mungkin kita menyalahkan diri karena terlalu sibuk sehingga tidak memeriksakan kandungan secara teratur, mungkin kita menyalahkan diri karena terlalu aktif berolahraga bahkan hingga di trisemester terakhir dan sebagainya. Ketidaktahuan dengan pasti penyebab munculnya masalah pada masa kehamilan membuat proses kedukaan rumit dan sulit, Pak Gunawan. Kalau orang sudah dewasa, sudah sakit dan meninggal, kita ‘kan masih bisa menjelaskan. Memang kematian bayi itu susah kita jelaskan, kadang-kadang kita tidak mungkin tahu. Bukannya dokternya kurang teliti atau apa, tapi kadang memang sulit sekali untuk bisa diketahui.
GS : Kalau tadi Pak Paul katakan bahwa kematian bayi melibatkan banyak faktor. Kira-kira faktor apa saja yang paling menonjol?
PG : Kadang-kadang memang ada masalah di dalam jaringan syaraf si anak, kadang-kadang ada masalah di paru-paru si anak, kadang-kadang ada masalah di dalam pencernaan si anak yang entah mengapa tak terbentuk dengan sempurna pada masa kehamilan sehingga pada waktu dia lahir yang terjadi adalah masalah-masalah tersebut. Ada juga anggota tubuh yang tidak berkembang atau yang berkembang terlalu cepat, misalnya ada anak yang lahir dengan kepala yang kecil tapi ada anak yang lahir dengan kepala yang besar. Begitu banyak masalah yang dapat terjadi, Pak Gunawan.
GS : Ya. Kalau rasa bersalah itu memang timbul begitu saja terutama di dalam diri ibu yang melahirkan anak ini. Dia yang seolah-olah merasa paling bertanggung jawab atas kematian bayi yang dikandungnya itu. Ini ‘kan sebuah perasaan yang normal sebenarnya, Pak Paul?
PG : Ya. Tidak bisa tidak memang ada rasa bertanggung jawab dan rasa bersalah. Namun ya kita ini juga mesti melihat dengan jelas apakah memang sungguh-sungguh ada hal yang bisa kita perbuat yang kita tidak lakukan. Dan kita juga memang mesti mengetahui, kadang-kadang memang kita tidak memeriksakannya secara teratur, tapi itu bukanlah penyebab munculnya masalah. Kadang memeriksakannya dengan teratur sekalipun tidak menutup pintu kemungkinan anak kita tetap memunyai masalah itu. Jadi, yang harus kita lakukan adalah jika ada tindakan yang memang kita lakukan yang berdampak buruk pada anak semasa dalam kandungan, ya kita akui. Mungkin kita harus meminta maaf kepada pasangan atau mungkin kepada Tuhan atas kesalahan yang kita buat jika memang itulah yang terjadi. Namun pada kenyataannya, sekali lagi saya ingin mengatakan, kita tidak selalu tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Proses kehamilan adalah suatu proses perkembangan yang rumit. Seribu satu hal dapat terjadi dan memengaruhi perkembangan anak. Selain menjaga kesehatan baik tubuh maupun jiwa, tidak banyak yang dapat kita lakukan untuk memastikan anak lahir sehat walafiat. Kita tidak akan mengerti seluruhnya, Pak Gunawan. Jadi, pada suatu titik kita mesti mengatakan bahwa kita tidak akan tahu secara pasti mengapa anak ini harus meninggal dunia pada usia sedini itu. Kita mesti berdamai dengan kenyataan bahwa kalaupun kita dapat mengubah satu atau dua hal pada masa kehamilan, belum tentu dia akan bisa mengubah kenyataan. Belum tentu anak itu akan terus hidup. Belum tentu. Sebagaimana kita tidak dapat memahami mengapa ada anak yang memunyai kelebihan satu kromosom sehingga mengembangkan Down Syndrome. Kita pun tidak akan mengerti sepenuhnya mengapa anak kita ini mengembangkan masalah kesehatan lainnya yang begitu serius. Jadi, pada suatu titik ya, kita harus berhenti menyalahkan diri atau siapapun dan berdamai.
GS : Iya. Tapi perasaan itu seringkali timbul secara spontan. Kita tidak mau menyalahkan diri atau menyalahkan orang lain. Tapi kadang-kadang entah karena kesedihan atau apa, muncul masalah seperti itu.
PG : Iya. Sekali lagi ini adalah hal yang serius, hal yang berat. Kematian anak, apalagi pada masa dini, sangat sulit, Pak Gunawan. Tanggung jawab itu biasanya lebih besar karena anak itu benar-benar tak berdaya, masih sangat kecil. Jadi, kita ini merasa saya seharusnya berbuat lebih lagi untuk melindunginya sehingga dia tidak harus menderita seperti itu. Jadi, rasa bertanggung jawab dan rasa bersalah itu sangat kuat.
GS : Tapi untuk sampai pada berdamai atau menerima kenyataan seperti itu, butuh waktu yang cukup lama sebenarnya, Pak Paul.
PG : Betul, Pak Gunawan. Sudah tentu kalau hubungan suami dan istri itu baik, itu akan memudahkannya. Misalnya si ibu menjalani proses kedukaan tersebut dan menyelesaikannya. Kalau hubungan suami istri tidak baik, ini akan memperumit masalah, Pak Gunawan. Biasanya kalau hubungan suami istri tidak baik, lebih banyak pertengkaran, lebih banyak menyalahkan dan sebagainya.
GS : Apa lagi yang bisa kita lakukan, Pak Paul?
PG : Hal kedua yang harus kita sadari adalah BERDUKA AKIBAT KEHILANGAN ANAK PADA MASA BAYI TIDAK MENGENAL BATAS WAKTU. Itu tidak berarti bahwa kita akan terus meratapi kematiannya seumur hidup. Dengan berjalannya waktu, kesedihan akan berkurang dan kita akan lebih siap untuk melanjutkan hidup. Berduka akibat kehilangan anak pada masa bayi tidak mengenal batas waktu dalam artian sampai kapanpun kita akan terus mengingat anak itu. Pada setiap hari ulang tahunnya kita memikirkan kira-kira seperti apa ia kini jika ia terus hidup? Sekali kita, misalnya ya, berjumpa dengan anak seusianya, pikiran kita akan menerawang membayangkan iya ya kalau dia hidup dia akan seumur anak itu seperti anak itu. Dan kita pun akan kembali bersedih. Singkat kata kematian anak akan kita bawa sampai kita mati. Jadi, ijinkanlah diri untuk mengingatnya. Biarkanlah diri untuk kembali bersedih tatkala memikirkannya. Ini bukanlah suatu kelemahan atau kelainan, Pak Gunawan. Ini adalah proses yang wajar. Terpenting adalah kita dapat kembali melanjutkan hidup dan menunaikan tanggung jawab kita. Usaha untuk mematikan reaksi duka bukan saja tidak akan berhasil tetapi juga tidaklah sehat. Kematian anak pada usia sebegitu dini menggugah rasa sayang yang luar biasa besar sebab anak berada pada kondisi sungguh-sungguh tidak berdaya. Dan reaksi kita melihat bayi mungil tak berdaya adalah ingin memeluk dan melindunginya. Pelukan itulah yang masih ingin kita berikan kepadanya walau sekarang dia telah tiada.
GS : Iya. Memang kesedihan ini bisa berlangsung lama, Pak Paul. Yang saya ingin tanyakan adalah bagaimana pengaruhnya terhadap saudara dari bayi yang sudah meninggal ini. Misalnya kakaknya, terutama kakaknya karena adiknya tidak pernah mengalami itu. Kakaknya yang melihat kejadian ini seringkali terkena dampak karena ibunya begitu sedih, sehingga anak yang jadi kakak dari bayi tadi ini seolah tidak terperhatikan karena kesedihan dari si ibu atau si ayah.
PG : Iya. Memang tidak bisa dihindari, Pak Gunawan. Misalkan bayi itu sebelum meninggal, sakit. Misalkan sejak dia dilahirkan dia harus dirawat di Rumah Sakit, misalkan sampai beberapa minggu sebelum akhirnya meninggal dunia. Hampir dapat dipastikan pada masa perawatan itu kedua orangtua akan terserap sepenuhnya pada si anak yang sakit itu. Mungkin mereka hampir tidak pernah lagi tidur di rumah karena bergantian harus tidur di Rumah Sakit. Mungkin ada yang harus berhenti kerja supaya bisa mendampingi anak di rumah sakit. Tidak bisa tidak akhirnya perhatian kepada anak-anak lain berkurang sangat drastis. Kita mungkin minta saudara atau orangtua kita menjaga si anak yang ada di rumah, pulang sekolah dan sebagainya. Kita tidak bisa memenuhi kebutuhan anak yang tidak sakit itu seperti sedia kala. Jadi, pada saat-saat anak kita sedang sakit sudah tentu kita harus prioritaskan yang sakit asalkan di rumah ada yang mengasuh anak-anak kita. Tetapi misalkan ini berlangsung terus untuk waktu yang lama, kita memang harus membuat perubahan, Pak Gunawan. Kita harus menyeimbangkan waktu sebab jangan sampai anak kita yang tidak sakit itu merasa dirinya tidak penting sehingga diabaikan.
GS : Jadi, ada dampak psikologis dari anak yang menjadi kakak dari bayi yang meninggal itu, Pak Paul?
PG : Ya. Biasanya iya, Pak Gunawan. Selain perhatian orangtua yang berkurang, waktu yang diberikan juga berkurang, satu hal lagi yang juga memengaruhi anak yang tidak sakit itu adalah mood orangtua yang sedih. Melihat mama menangis, melihat papa diam berwajah murung, melihat papa juga memberikan reaksi sepertinya baru menangis, itu membuat anak yang di rumah itu akhirnya merasa sedih juga. Murung, tidak berani main takut mengganggu papa atau mama. Jadi, ya untuk sementara benar-benar ada awan gelap yang menyelimuti rumah tangga itu. Tidak bisa tidak akan berdampak pada anak-anak lainnya.
GS : Tapi setelah kematian bayi tadi, sebenarnya orangtua bisa lebih cepat pulih untuk melihat bahwa masih ada anak-anak yang menjadi tanggung jawabnya.
PG : Betul. Biasanya mereka merasa bersalah, Pak Gunawan. Karena mereka tahu mereka juga dibutuhkan untuk memerhatikan anak-anak yang lainnya. Tapi ya mereka tidak bisa juga meninggalkan anak yang sakit itu. Jadi kebanyakan orangtua dalam posisi seperti ini tercabik-cabik perasaannya, terbelah-belah. Ada kalanya karena anak itu meninggal dunia, ada orangtua yang merasa lega, Pak Gunawan. Bukan bersyukur anak itu meninggal, tapi lega karena sudah berakhirlah penderitaan si anak yang sakit ini. Nah, JANGAN MERASA BERSALAH KARENA MERASA LEGA. Ada kalanya kita merasa, "Aduh, kok saya orangtua yang jahat ya. Orangtua yang tidak berbelas kasihan. Masa anak meninggal kok malah merasa lega?" tapi ya memang itu hal yang normal. Karena kita telah menjalani kesusahan penderitaan si anak yang begitu panjang, jadi sewaktu dia dipanggil Tuhan kita merasa lega.
GS : Ya. Apa ada yang masih bisa kita lakukan, Pak Paul?
PG : Hal ketiga yang harus kita ketahui adalah bahwa TIDAK SELALU KITA SELAKU AYAH DAN IBU MENGALAMI KEDUKAAN DENGAN CARA YANG SAMA, Pak Gunawan. Pada umumnya seorang ibu yang mengandung anak selama 9 bulan akan berduka secara lebih mendalam dan lebih lama ketimbang seorang ayah. Namun tidak selalu demikian. Ada kalanya seorang ayah dapat mengalami kedukaan secara mendalam dan lebih lama dibanding istri. Semua bergantung pada seberapa hubungan kita dengan anak itu, meski dalam kandungan dan seberapa besar harapan yang terkait dengan kelahiran anak itu. Makin besar harapan, makin besar impian, makin mendalam kesedihan dan kekecewaan yang dirasakan. Nah, mengingat bahwa tidak selalu kita ini berduka dengan cara yang sama, dalam waktu yang sama, serta untuk lamanya waktu yang sama, nah kita yang harus memberi ruang kepada masing-masing untuk menjalani kedukaan. Kita tidak boleh memaksa pasangan untuk berduka dengan cara kita. Dalam waktu bersamaan serta selama kita berduka. Jangan. Jangan kita marah kepada pasangan karena kok waktu saya sedang sedih sekarang ini kamu tidak ikut sedih. Atau kamu cepat sekali sudah tidak sedih lagi, sedangkan saya masih bersedih, berarti kamu tidak mengasihi anak. Jangan sampai kita menyimpan kemarahan kepada pasangan karena beranggapan bahwa pastilah dia tidak sayang kepada anak itu sebab dia cepat pulih dan tidak terus berduka. Atau kebalikannya, jangan sampai kita marah kepada pasangan karena dia tidak kunjung pulih dan terus berduka. Jadi, poinnya adalah kita harus memberi ruang kepada masing-masing dan itu berarti hidup kita semasa berduka akan sedikit banyak terpisah, Pak Gunawan. Jika sebelumnya kita berbagi hampir di setiap ruang kehidupan, sekarang tidak bisa. Kita harus merelakan diri untuk sendiri dan merelakan pasangan juga untuk sendiri, yang penting kita tidak memutuskan tali kasih dan persahabatan. Secara berkala berbagilah duka atau ingatkan tentang anak dan tetaplah menjalankan aktifitas kehidupan bersama. Berbagilah senyum dan canda di dalam ruang kehidupan bersama yang lain itu dan ingatkan satu sama lain bahwa bukan saja kita tetap mengasihinya kita pun bertambah mengasihinya setelah melewati fase yang sulit ini.
GS : Kalau pasangan suami istri itu mengalami proses pemulihan yang hampir sama atau seimbang, mungkin masih lebih mudah, Pak Paul. Pada waktu sedih mereka bersama-sama sedih, tetapi pada waktu sudah pulih mereka juga bersama-sama bisa pulih. Tetapi seringkali tidak seimbang, Pak Paul. Ada yang suaminya lebih cepat bisa mengatasi rasa sedihnya tapi istri masih belum. Nah, kalau hal itu terjadi lalu si suami ‘kan sebenarnya sudah tidak mau lagi membicarakan tentang kematian anaknya ini, tapi si istri karena masih dalam suasana duka itu tadi, terus mau membicarakan tentang kematian anaknya. Tapi itu menambah kesedihan lagi kalau dibicarakan. Nah, seringkali si suami mengatakan, "Tidak usah bicarakan hal itu terus menerus!" tapi salah lagi pengertiannya.
PG : Betul, Pak Gunawan. Kita memang harus mengerti dan menerima bahwa kita tidak berduka dengan cara yang sama. Dan biasanya ibu menderita lebih panjang karena dia mengandung si anak selama 9 bulan. Jadi, jangan sampai kita itu memarahi pasangan karena masih terus berduka. Beri dia waktu sebab nanti dengan sendirinya perlahan-lahan dia akan bangkit, Pak Gunawan. Juga jangan menuntut pasangan untuk melakukan tugas-tugasnya seperti sedia kala. Untuk satu jangka waktu besar kemungkinan dia tidak akan melakukan banyak hal, Pak Gunawan. Misalnya, dia tidak masak lagi, dia tidak melayani lagi dan sebagainya. Kita harus mengerti dan menoleransi hal-hal itu.
GS : Tapi si suami ini juga ingin mengangkat istrinya supaya dia cepat pulih, Pak Paul.
PG : Ya. Daripada kita memarahinya atau menegurnya kita katakan saja, "Saya akan terus berdoa dan kita akan terus berdoa memohon pemulihan dari Tuhan." Jadi, jadikan kesedihan istri sebagai kesedihan kita pula dan kita mau bawa kedukaan kita bersama itu kepada Tuhan supaya Tuhan memulihkan. Jadi, kita memang tidak menyalahkan istri kita, kenapa masih terus bersedih. Tapi kita jadikan kesedihannya kesedihan bersama dan kita bawa kepada Tuhan bersama-sama pula.
GS : Jadi, masih ada langkah lain yang bisa kita lakukan, Pak Paul?
PG : Yang keempat dan terakhir adalah kita mesti membingkai kematian anak semasa bayi dalam bingkai kehendak dan rencana Tuhan. Dalam menghadapi peristiwa ini, salah satu pertanyaan yang kerap muncul adalah jika Tuhan berniat mengambilnya pada usia sedini itu, mengapakah Ia memberikannya kehidupan sama sekali? Bukankah terlebih baik bila Dia tidak mengaruniakannya kepada kita sama sekali? Saya kira pertanyaan ini logis ya. Selain reaksi bingung karena ketidakmengertian, biasanya reaksi lain yang muncul adalah marah, Pak Gunawan. Karena merasa dipermainkan oleh Tuhan. Ia memberi harapan dan impian tapi kemudian merampasnya. Bingung dan marah adalah dua reaksi yang umum kita rasakan menghadapi hal ini. Ada dua jawaban yang dapat saya berikan terhadap pertanyaan rohani ini. Pertama ya, Tuhan mengaruniakan anak untuk kemudian mengambilnya secepat itu karena Ia memiliki rencana atas hidup kita dan rencana-Nya itu melibatkan kelahiran dan kematian anak di usia bayi. Mungkin kita tidak akan tahu apa rencana Tuhan itu tetapi yang pasti adalah Ia mempunyai rencana atas hidup kita. Pemberian dan kematian anak karena bagian dari rencana-Nya untuk kita. Yang kedua, jawaban dari pertanyaan kenapa Tuhan mengambil anak kita di usia sedini itu adalah Tuhan mengaruniakan anak kepada kita kemudian mengambilnya secepat itu karena dia memunyai rencana atas hidup anak itu. Saya jelaskan ya. Kita tahu bahwa ada kehidupan surgawi bagi semua orang percaya termasuk anak-anak kecil. Kita semua akan pulang ke rumah Bapa di surga dan nanti Ia akan memercayakan tugas kepada kita. Nah, Tuhan membawa pulang anak kita sebab Ia memunyai rencana atas hidup anak kita di surga, bukan di dunia saat ini. Bukan. Jadi, anak kita itu tidak hilang setelah meninggal. Meskipun dia masih bayi, dia ada dalam kehidupan dan akan terus ada di dalam kehidupan, bukan di dunia tetapi di surga. Kendati berat, lihatlah kematian anak di usia bayi dari lensa Tuhan, bukan lensa kita. Tuhan memiliki rencana baik atas hidup kita maupun atas hidup anak kita sesuai dengan perkataan Tuhan di Mazmur 16:8, "Aku senantiasa memandang kepada Tuhan. Karena Ia berdiri di sebelah kananku, aku tidak akan goyah." Jadi, pandanglah Tuhan. Teruslah berdiri di samping Tuhan supaya kita tidak goyah menghadapi kematian anak di usia bayi.
GS : Ini memang sesuatu yang menyangkut kerohanian seseorang ya. Kadang-kadang ada orang yang bisa melihat peristiwa ini dari lensa atau kacamata Tuhan tetapi ada juga yang sebaliknya, menganggap bahwa Tuhan itu merencanakan sesuatu yang buruk pada mereka. Padahal kita tahu Tuhan tidak pernah merencanakan sesuatu yang buruk.
PG : Ya. Kematian memang sudah menjadi bagian hidup manusia sejak manusia berdosa. Tapi kita tahu di dalam Tuhan bahwa kematian hanyalah jembatan, menghantar kita ke rumah Bapa di surga. Jadi, kita juga mesti sama melihatnya sewaktu anak kita yang masih bayi meninggal dunia bahwa Tuhan menggunakan kematian untuk membawanya masuk ke dalam rumah-Nya di surga.
GS : Ya. Sangat penting kita hidup dekat dengan Tuhan supaya dalam kondisi seperti ini bisa melihat peristiwa itu dari kacamata Tuhan dan bukan dari kacamata kita sendiri.
PG : Betul.
GS : Terima kasih untuk perbincangan ini, Pak Paul. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Menghadapi Kematian Anak Bayi". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.