Menghadapi Kematian Anak Bayi

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T503B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Kematian anak dalam kandungan ataupun saat ia masih bayi bukan saja mematikan impian dan harapan tapi juga sebagian diri kita. Dukacitanya tak mengenal batas waktu, ayah dan ibu bisa berduka dengan cara yang berbeda. Tapi kita musti ingat, Tuhan menggunakan kematian untuk membawanya masuk ke dalam rumahNya di surga.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Setelah menikah dan menantikan anak, salah satu berita paling menggembirakan yang dapat kita dengar adalah bahwa kita hamil. Bulan-bulan berikut menjadi masa penuh harap dan impian, di mana kita terus menghitung hari kelahiran anak. Keguguran, yang biasanya terjadi di trimester pertama, adalah pukulan berat yang menghantam dan menghancurkan impian serta harapan. Selain keguguran, peristiwa lainnya yang sama atau bahkan lebih berat untuk dirasakan adalah kematian anak semasa bayi. Oleh karena pelbagai masalah kesehatan, anak yang baru dilahirkan akhirnya mati. Kematian anak semasa bayi bukan saja mematikan impian dan harapan tetapi juga sebagian diri kita. Apakah yang mesti dilakukan menghadapi situasi yang berat seperti ini?

  1. Yang mesti kita sadari adalah, kematian anak adalah suatu peristiwa yang kompleks. Berbeda dari kematian orang yang sudah lanjut usia, pada umumnya kematian anak melibatkan pelbagai faktor yang membuat proses penerimaannya menjadi lebih sulit dan rumit. Hampir semua kasus kematian anak semasa bayi terkait dengan problem yang terjadi pada masa kehamilan; masalahnya adalah, tidak selalu kita dapat mengetahuinya. Adakalanya kita sudah tahu bahwa anak yang dalam kandungan bermasalah dan kemungkinan lahir membawa masalah kesehatan, tetapi kadang kita sama sekali tidak tahu sebab tidak semua masalah dalam kandungan dapat terdeteksi. Di samping pertanyaan—yang sudah tentu tidak mudah dijawab—satu hal lagi yang sering kali menandai reaksi orangtua yang kehilangan anak semasa bayi adalah, rasa bersalah. Tidak bisa tidak, sebagai orangtua kita bertanya-tanya, apakah ada hal-hal yang seharusnya kita perbuat—atau tidak perbuat—yang menyebabkan timbulnya masalah pada masa kehamilan. Mungkin kita harus meminta maaf kepada pasangan atau mungkin kepada Tuhan atas kesalahan yang kita perbuat, jika memang itulah yang terjadi. Namun pada kenyataannya kita tidak selalu tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Proses kehamilan adalah suatu proses perkembangan yang rumit; seribu satu hal dapat terjadi dan memengaruhi perkembangan anak. Kita tidak akan mengerti seluruhnya. Itu sebab, sampai pada suatu titik, kita mesti mengatakan bahwa kita tidak akan tahu secara pasti mengapa anak ini harus meninggal dunia pada usia sedini itu. Pada suatu titik, kita harus berhenti menyalahkan diri—atau siapa pun—dan berdamai.

  2. Yang harus kita sadari adalah, berduka akibat kehilangan anak pada masa bayi tidak mengenal batas waktu. Itu tidak berarti bahwa kita akan terus meratapi kematiannya seumur hidup; dengan berjalannya waktu kesedihan akan berkurang dan kita lebih siap untuk melanjutkan hidup. Setiap kali kita berjumpa dengan anak seusianya pikiran kita pun akan menerawang membayangkan bahwa kalau ia hidup, ia akan seperti anak itu. Dan, kita pun akan kembali bersedih. Singkat kata, kematian anak akan kita bawa sampai kita mati. Jadi, izinkanlah diri untuk mengingatnya dan biarkanlah diri untuk kembali bersedih tatkala memikirkannya. Ini bukanlah suatu kelemahan atau kelainan; ini adalah suatu proses yang wajar. Terpenting adalah kita dapat kembali melanjutkan hidup dan menunaikan tanggung jawab kita. Usaha untuk mematikan reaksi duka bukan saja tidak akan berhasil, tetapi juga tidaklah sehat.

  3. Yang harus kita ketahui adalah bahwa tidak selalu kita, selaku ayah dan ibu, mengalami kedukaan dengan cara yang sama. Pada umumnya seorang ibu yang mengandung anak selama 9 bulan, akan berduka secara lebih mendalam dan lama ketimbang seorang ayah. Namun, tidak selalu demikian. Adakalanya seorang ayah dapat mengalami kedukaan secara mendalam dan lebih lama dibanding istrinya. Semua bergantung seberapa dekat hubungan kita dengan anak itu—meski dalam kandungan—dan seberapa besar harapan yang terkait dengan kelahiran anak itu. Makin besar harapan dan impian, makin dalam kesedihan—dan kekecewaan—yang dirasakan. Mengingat bahwa tidak selalu kita berduka dengan cara yang sama, dalam waktu yang sama, serta untuk lama waktu yang sama, kita harus memberi ruang kepada masing-masing untuk menjalani kedukaan. Jangan sampai kita menyimpan kemarahan kepada pasangan karena beranggapan bahwa pastilah ia tidak sayang kepada anak, itu sebab ia cepat pulih dan tidak terus berduka. Atau kebalikannya, jangan sampai kita marah kepada pasangan karena ia tidak kunjung pulih dan terus berduka. Kita harus merelakan diri untuk sendiri dan merelakan pasangan untuk sendiri; terpenting adalah kita tidak memutuskan tali kasih dan persahabatan.

  4. Yang mesti kita lakukan adalah membingkai kematian anak semasa bayi dalam bingkai kehendak dan rencana Tuhan. Dalam menghadapi peristiwa ini, salah satu pertanyaan yang kerap muncul adalah, "Jika Tuhan berniat mengambilnya pada usia sedini itu, mengapakah Ia memberikannya kehidupan sama sekali? Bukankah terlebih baik bila Ia tidak mengaruniakannya kepada kita sama sekali." Ia memberi harapan dan impian, tetapi kemudian merampasnya. Bingung dan marah adalah dua reaksi yang umum kita rasakan menghadapi hal ini.

Ada dua jawaban yang dapat saya berikan. Pertama, Tuhan mengaruniakan anak untuk kemudian mengambilnya secepat itu karena Ia memiliki rencana atas hidup kita—dan rencana-Nya itu melibatkan kelahiran dan kematian anak di usia bayi. Kedua, Tuhan mengaruniakan anak kepada kita untuk kemudian mengambilnya secepat itu adalah karena Ia memunyai rencana atas hidup anak itu. Kita tahu bahwa ada kehidupan surgawi bagi semua orang percaya, termasuk di dalamnya anak-anak kecil. Kita semua akan pulang ke rumah Bapa di surga dan nanti Ia akan memercayakan tugas kepada kita. Tuhan membawanya pulang sebab Ia memunyai rencana atas hidup anak kita di surga, bukan di dunia—saat ini.

Jadi, kendati berat, lihatlah kematian anak di usia bayi dari lensa Tuhan, bukan kita. Tuhan memiliki rencana, baik atas hidup kita maupun hidup anak kita. Mazmur 16:8 berkata, "Aku senantiasa memandang kepada Tuhan; karena Ia berdiri di sebelah kananku, aku tidak goyah." Pandanglah Tuhan dan terus berdirilah di samping Tuhan, supaya kita tidak goyah.