Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya, Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Keluarga Sambung". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, kehidupan keluarga yang pasangannya meninggal atau bercerai memang sesuatu yang berat. Beberapa waktu lalu kita pernah membicarakan tentang orang tua yang harus mengasuh anaknya sendirian. Berat sekali. Tetapi ada beberapa yang menikah lagi. Pengertian keluarga sambung ini berarti disambung lagi, masih ada lagi keluarganya. Tetapi dengan menikah lagi, bukan berarti tanpa masalah. Ternyata ada masalah-masalah lain, tantangan-tantangan lain yang harus dihadapi. Bukankah ini sama seperti keluar dari mulut singa masuk ke mulut buaya, Pak Paul ? Sama-sama ada masalahnya. Karena itu ada orang yang memutuskan tidak mau menikah lagi. Tetapi kalau memang dalam pimpinan Tuhan orang itu menikah lagi, tantangan-tantangan apa saja yang perlu diperhatikan, Pak Paul?
PG : Tantangan pertama adalah bagaimana kita dapat diterima oleh keluarga pasangan. Sudah tentu ada beda besar antara menerima satu pribadi dengan menerima satu keluarga. Pasti jauh lebih kompleks menerima satu keluarga ketimbang satu pribadi. Satu hal yang mesti disadari adalah kecocokan suami istri tidak menjamin adanya kecocokan antara anak dan orangtua tiri atau antara anak dan anak tiri. Masuknya orang baru ke dalam keluarga seringkali dilihat sebagai gangguan, bukan sekadar tambahan. Itu sebab tak jarang anak malah melihat ayah atau ibu baru dengan mata penuh kecurigaan dan rasa tidak senang. Jadi, kalau yang bergabung itu satu orang saja, ibu tiri atau ayah tiri, itu satu masalah. Tapi misalnya dia datang juga dengan membawa keluarganya karena istri atau suaminya sudah meninggal, berarti dua keluarga bergabung menjadi satu. Nah, itu penyesuaiannya akan menjadi lebih kompleks. Itu sebab ini yang saya sarankan kepada orang yang baru masuk ke dalam satu keluarga. Yaitu, kita harus melakukan dua hal berikut ini secara seimbang. Pertama, kita mesti menyatakan kasih. Kedua, kita mesti memperlihatkan wibawa. Saya jelaskan ya. Di satu pihak kita harus menunjukkan bahwa kita masuk ke dalam keluarga ini untuk mengasihi mereka – anak-anak ya – dan bukan hanya ayah atau ibu mereka. Itu sebab kita mau memberikan waktu untuk mereka dan menunjukkan minat yang tulus untuk mengerti mereka. Di pihak lain kita pun harus memerlihatkan wibawa, dalam pengertian kita mesti menarik garis yang jelas bila mereka mulai menunjukkan sikap tidak hormat. Kita dapat menyampaikan kepada mereka bahwa kita menghormati mereka itu sebab kita pun mengharapkan mereka menunjukkan respek yang sama kepada kita. Singkat kata tidak seharusnya kita membiarkan mereka berbuat semaunya hanya agar kita diterima oleh mereka. Jadi, kita ya mau diterima tapi kita juga mesti menjaga wibawa itu.
GS : Iya. Pak Paul, kalau ada anak-anak baik dari pihak kita ataupun dari pihak yang akan sambung dengan kita itu, apakah bijak kalau kita meminta pendapat dari anak-anak ketika anak-anak sudah remaja atau pemuda ?
PG : Saya kira iya. Karena tidak bisa tidak hidup mereka akan terpengaruh dengan kita menikah lagi. Sebaiknya kita rundingkan dengan anak-anak, ajak mereka berkenalan sebelumnya, jadi tidak benar-benar tiba-tiba setelah menikah baru bertemu dan berkenalan. Sebaiknya memang sebelum-sebelumnya sudah dilakukan penjajagan itu. Dua keluarga ini saling mengenal, mulai pergi-pergi, berbincang-bincang. Dengan cara itu mulai dipupuklah kesamaan dan ikatan di antara mereka.
GS : Iya. Memang ini penggabungan dari beberapa orang, beberapa pribadi, dan ini menjadi sangat sulit ya. Bahkan anak-anak sendiri itu kadang-kadang ada yang setuju orangtuanya menikah lagi tapi ada anak yang tidak setuju.
PG : Betul. Dan ketidaksetujuan satu anak bisa mengganggu sekali, Pak Gunawan. Karena nantinya ini bisa menjadi pokok pertengkaran di antara ayah dan ibu ini. Tadinya baik-baik saja dan saling mencintai tapi gara-gara ada satu anak yang tidak setuju dan terus membuat masalah, akhirnya hubungan orangtua-anak terpengaruh, malah jadi retak.
GS : Biasanya lebih baik masalah dengan anak diselesaikan dulu atau bagaimana, Pak Paul ?
PG : Tentu kita mesti melihat banyak faktor ya. Kadang-kadang kita mempertimbangkan keberatan anak, tapi kadang-kadang juga tidak. Tidak bisa semuanya ditentukan oleh anak. Memang lihat juga alasan apa yang diberikan oleh anak, kenapa dia tidak setuju. Kalau alasannya memang masuk akal, kita mungkin harus menunda. Tapi kalau misalnya alasannya tidak masuk akal, mungkin kita tetap jalankan.
GS : Tantangan lainnya apa, Pak Paul ?
PG : Tantangan kedua adalah bagaimana membuat anak-anak menerima pasangan kita yang baru. Pada dasarnya kita tidak dapat membuat anak menerima pasangan baru kita. Apakah mereka menerima pasangan kita atau tidak, pada akhirnya itu adalah keputusan yang mesti mereka ambil sendiri. Kita tidak bisa memaksa anak menerima pasangan kita yang baru. Pemaksaan hanya akan mengembangkan rasa tidak suka terhadap pasangan kita. Sungguhpun demikian ada satu tindakan yang dapat kita lakukan yaitu memerlakukan pasangan kita dengan kasih dan respek. Sebab bagaimanakah kita memerlakukan pasangan kita yang baru akan menentukan apakah dan bagaimanakah anak menerima pasangan kita pula. Singkat kata, apa yang kita perbuat terhadap pasangan kita yang baru akan memengaruhi sikap mereka terhadap pasangan kita. Jika kita memerlakukan pasangan dengan baik dan penuh kasih, besar kemungkinan anak pun akan memerlakukan pasangan kita dengan baik dan penuh kasih. Bila kita menunjukkan penghargaan kepada pasangan, mereka pun cenderung menunjukkan penghargaan kepada pasangan kita. Sebaliknya, jika kita memperlakukan pasangan secara kasar dan tidak hormat, besar kemungkinan anak pun akan melakukan hal yang sama.
GS : Ya. Jadi, dalam hal ini kita tidak bisa memaksa anak untuk otomatis mengasihi orang tua barunya ini ?
PG : Atau menerimanya. Kitalah yang harus memulai dan memberikan contoh itu, Pak Gunawan.
GS : Dibutuhkan keteladanan dari pihak kita.
PG : Betul.
GS : Seringkali anak-anak itu lalu membandingkan dengan orang tuanya yang meninggal. Dulu mama atau papa begini, kalau mama dulu begini. Biasanya dibandingkan. Dan yang dibandingkan selalu tidak senang, Pak Paul.
PG : Betul. Biasanya orang tua yang baru itu harus berkata bahwa, "Saya tidak akan bisa sebaik mamamu (atau papamu). Saya tidak mungkin menggantikan mamamu dan papamu. Saya memang mengakui keterbatasan saya. Tapi saya mau berusaha untuk menjadi orang tua yang baik buatmu. Tapi saya tahu, saya tidak bisa menjadi seperti mama papamu." Tidak apa-apa orang tua baru itu berkata demikian dan orang tua yang tertinggal juga dapat berkata kepada anaknya bahwa, "Ya betul, buat kamu mamamu itulah yang paling kamu sayangi dan paling baik buat kamu. Saya tidak meminta kamu mengubah itu. Tidak. Mamamu tetap yang paling kamu sayangi dan yang paling baik buat kamu." Jadi, kita memang tidak mau melawan anak, bertabrakan dengan anak soal ini.
GS : Biasanya walaupun tadi Pak Paul katakana - sebelum mereka memutuskan untuk menikah sudah dilakukan pendekatan-pendekatan - pada awalnya memang baik, tetapi setelah kumpul satu rumah, kelihatan masalah-masalah timbul. Bagaimana, Pak Paul ?
PG : Mesti dihadapi, Pak Gunawan. Apapun masalah yang timbul, sebisanya orang tua kandung yang pertama-tama di gugusan terdepan bicara dengan anaknya. Pihak yang sana juga sama. Sebisanya tidak silang ya. Bukan orang tua tiri bicara dengan anak tiri ya, tapi sebisanya kandung dengan kandung dulu. Biar mereka bereskan di antara mereka dulu.
GS : Nah, bagaimana untuk menumbuhkan respek ini, bagaimana Pak?
PG : Tadi saya singgung bahwa anak belajar respek kepada orang tua yang baru itu lewat perlakuan kita kepada pasangan kita. Kalau kita ini respek kepada pasangan kita, dia juga lebih tidak berani untuk tidak respek, atau untuk kurang ajar. Tapi kalau dia lihat kita bicara dengan pasangan yang baru ini kadang-kadang kasar atau kurang hormat, dia tambah berani karena dia tahu bahwa, "Oh papa melakukannya juga ya kenapa saya tidak?" Tapi kalau kita menyayangi pasangan kita, memperlakukannya dengan hormat, dia makin tidak berani karena dia tahu kalau dia begitu maka kita akan marah. Karena dia tahu kita menyayangi dan menghormati pasangan kita. Jadi, keteladanan itu penting sekali.
GS : Iya. Tantangan lainnya apa, Pak Paul ?
PG : Tantangan ketiga adalah memerlakukan semua anak secara sama rata. Dalam keluarga sambung seringkali anak merasa bahwa ayah atau ibu tirinya tidak mengasihi dirinya sama seperti mengasihi anak kandung dari ayah atau ibu tirinya. Biasanya anggapan ini muncul dari prasangka bahwa karena dia bukan anak kandung ayah atau ibu tirinya maka dia tidak dikasihi. Itu sebab meyakinkan si anak bahwa ayah atau ibu tirinya juga mengasihinya itu tidak mudah. Sudah tentu sebagai orang tua kita akan berusaha meyakinkan mereka bahwa kita mengasihi semua sama rata. Namun terlebih penting dari perkataan adalah perbuatan. Itu sebab kita harus memerlihatkan bahwa kita tidak membeda-bedakan mereka. Kita berlakukan aturan yang sama dan kita terapkan tuntutan yang sama. Sewaktu mereka konflik, kita tidak membela anak kandung dan tidak menyalahkan anak tiri. Sebaliknya, jika anak kita salah, kita pun tidak ragu menegurnya. Pada akhirnya sewaktu anak tiri melihat bahwa kita tidak membeda-bedakan anak, barulah mereka percaya bahwa kita menyayangi mereka semua.
GS : Sulitnya, kalau terhadap anak kandung saja kita sudah membeda-bedakan, apalagi ketika ada anak-anak dari pasangan yang baru ini. Tambah lebih sulit untuk memperlakukan sama.
PG : Betul. Maka kita harus memulai, kita perlakukan anak-anak kita secara sama rata. Sewaktu ada anak-anak tiri, kita juga memerlakukan mereka juga dengan sama rata. Jadi, hormat atau respek anak terhadap orangtua tirinya berawal dari respek bahwa orang tuanya itu adil. Mungkin sayang atau mencintai dirinya itu nomor dua karena anak-anak juga mengerti bahwa ini memang orang tua tiri dan perlu waktu lama untuk mengasihi saya atau mungkin tidak akan mengasihi saya seperti anak kandungnya. Tapi yang lebih mereka soroti adalah adil apa tidak. Adil apa tidak ? "Kalau saya salah, diomeli. Kalau anaknya salah, diomeli tidak ya? Kalau saya berbuat baik, diberi penghargaan tidak ya ? Kalau anaknya yang berbuat baik kenapa langsung dihargai." Nah, hal-hal seperti itu yang lebih peka dilihat oleh anak-anak.
GS : Mereka biasanya juga suka coba-coba, Pak Paul. Semacam menguji bagaimana orang tuanya memperlakukan mereka secara adil baik dalam memberikan penghargaan atau hukuman.
PG : Betul sekali. Mungkin ini tugas pertama yang harus dilakukan oleh orang tua kalau mereka menyambungkan dua keluarga ini yaitu bersikap adil. Ini modal pertama.
GS : Ini harus kesepakatan antara suami istri sendiri ya tentang bagaimana mereka memerlakukan anak-anak mereka. Karena "sama" itu tidak berarti pemberian yang sama persis tapi diberikan sesuai dengan usia mereka. Begitu juga dengan hukuman.
PG : Betul. Nanti banyak sekali hal-hal kecil yang dinilai anak sebagai ketidakadilan. Contohnya orangtua berkata, "Cuci piring habis makan ya." Sebetulnya orang tua tidak membedakan. Kenapa orang tua meminta si anak cuci piring adalah karena si anak yang lebih tua. Tapi kebetulan yang lebih tua itu bukan anak kandung. Nah, dia akan merasa, "Adik kenapa tidak pernah disuruh cuci piring?" Sebetulnya alasannya bukan perkara anak kandung atau bukan anak kandung tapi usianya. Tapi si anak akan merasa dibedakan. Sekali lagi, penting sekali kita sebagai orang tua menyadari bahwa anak akan menyoroti kita apakah kita bersikap adil atau tidak.
GS : Iya. Adakah tantangan yang lain, Pak Paul ?
PG : Tantangan keempat adalah siapakah yang seharusnya mendisiplin anak tiri dan bagaimana seharusnya disiplin diberikan. Acapkali hal ini menjadi masalah, Pak Gunawan. Terutama jika anak sudah besar. Pada umumnya anak menolak atau malah melawan ayah atau ibu tiri karena menganggap bukan orang tua kandung sehingga tidak punya hak mendisiplin mereka. Tidak jarang masalah disiplin menjadi masalah karena kita dan pasangan memunyai cara yang berbeda. Di dalam keluarga sambung, hal ini menjadi lebih kompleks. Oleh karena anak tidak selalu – anak kita yaitu anak tiri atau anak kandung – maka terbuka lebar salah pengertian. Pasangan dapat marah karena menuduh kita terlalu keras terhadap anaknya (yang bukan anak kandung kita), dan juga sebaliknya. Jadi, berkaitan dengan disiplin, yang terpenting adalah kesatuan dan kepercayaan di antara kita orangtua. Jangan sampai kita terbelah dan jangan sampai kita mengembangkan rasa tidak percaya. Singkat kata jangan sampai kita berprasangka bahwa pasangan memang tidak menyayangi anak kita sehingga cenderung memberi disiplin yang berlebihan kepada mereka. Bila ada perbedaan pendapat, bicarakanlah empat mata, jangan di hadapan anak, supaya kita dapat menyelesaikannya terlebih dahulu sebelum kita berhadapan dengan anak.
GS : Iya. Sebenarnya hal ini juga harus dilakukan oleh pasangan yang bukan sambung, artinya pasangan awal pun harus seperti itu. Dalam mendidik anak, orang tua harus sepakat dulu tentang apa yang harus dilakukan terhadap anak-anak mereka. Apalagi ini keluarga sambung. Artinya tanggung jawabnya lebih besar lagi untuk menyamakan pandangan.
PG : Karena memang jauh lebih sulit, Pak Gunawan. Misalnya ya, mama kandungnya sebetulnya juga memukul. Misalnya dia nakal ya dipukul pantatnya oleh mama kandungnya. Tapi sekarang mama kandungnya meninggal sehingga ada mama tiri dalam keluarga sambung ini. Nah, si anak bisa marah sekali dan mengatakan, "Mama saya tidak pernah begitu !" padahal mamanya juga memukul dia. Tetapi kenapa dia begitu marah kepada mama tirinya ? Sebab dia beranggapan, "Kamu bukan ibu kandung saya, kamu tidak berhak memukul saya." Dan ada kecenderungan, orang tua kandung yang sudah tidak ada itu diglamourkan, dibuat lebih indah dari warna aslinya, seolah-olah orang tua yang paling sempurna di dunia. Padahal tidak. Ini yang membuat masalah lebih kompleks.
GS : Iya. Jadi, supaya anak juga merasa ibu atau ayahnya ini bukan sambungan, saya lebih condong mengajar mereka untuk tidak menyebutnya ibu tiri atau ayah tiri, tetapi disebut ayah atau ibu saja. Supaya tidak ada embel-embel "tiri". Orang tua juga tidak perlu menyebut anaknya ini anak tiri. Terutama pada relasi-relasi mereka.
PG : Betul. Kalau memang dua keluarga itu melebur jadi satu ya panggil ibu atau bapak. Tapi memang kadang-kadang sulit karena misalnya si anak terbiasa memanggil mama kandungnya "mama". Buat si anak, panggilan itu seolah-olah sakral, khusus. Tidak boleh dia memanggil orang lain dengan panggilan yang sama dan dia mungkin marah kalau ibu barunya memanggil dirinya "mama". Mungkin anak ini berkata, "Tidak! Kamu bukan mama saya." Buat saya, daripada itu menjadi bahan pertentangan yang tidak begitu perlu, lebih baik fleksibel saja. Misalnya dia berkata, "Ya tidak mau panggil mama juga tidak apa-apa. Panggil saja ibu atau panggilan yang lain." Mungkin si anak akan lebih terbuka kalau memanggil dengan panggilan yang lain. Atau dia bisa berkata, "Tidak apa-apa. Sampai kamu siap panggil saya mama, silakan kamu panggil saya dengan panggilan lain. Suatu hari kalau mau panggil saya mama ya juga boleh." Waktu si anak melihat ibu barunya ini tidak memaksakan dan tidak mau mengambil alih tempat ibu kandungnya, mungkin nantinya dia lebih terbuka. Jadi, panggilan itu memang tidak harus kita permasalahkan, jangan sampai itu menjadi batu sandunganlah.
GS : Iya. Rupanya ini membutuhkan waktu penyesuaian yang lebih panjang daripada hanya mengenal secara permukaan ya.
PG : Betul. Yang saya sebut tadi betul-betul terjadi, Pak Gunawan. Ada anak yang mati-matian tidak mau panggil ibunya mama. Dia berkata, "Hanya satu mama saya. Ini bukan mama saya. Saya tidak mau panggil dia mama." Nah, biarkanlah panggil ibu atau apalah, beres ‘kan ?
GS : Iya. Tapi yang terpenting adalah suami istri ini tadi ya yang harus sepakat dalam memerlakukan dan mendidik anak-anak mereka.
PG : Betul, betul. Misalnya yang ini di pihak ayah juga harus peka, jangan sampai memarahi si anak, "Kamu kok kurang ajar tidak mau panggil mama?" Nah, anak sakit hati, tambah benci pada papanya. jadi, perlu bijaksana dalam hal ini.
GS : Iya. Tapi itu bukan hanya dalam hal mendisiplin anak, Pak Paul. Dalam hal memberi hadiah pun kadang-kadang dapat menimbulkan masalah di antara anak kandung dan anak sambung ini.
PG : Ya. Sekali lagi akan ada perbandingan. Tidak bisa dihindari. siapapun yang mau menjadi ibu atau bapak bagi anak-anak ini harus siap dibandingkan. Tidak bisa tidak. Misalkan pemberian hadiah, Pak Gunawan. Si anak bisa saja mengglamourkan orang tuanya yang sudah tiada. "Wah, dulu kalau saya ulang tahun pasti mama beri saya hadiah." Padahal belum tentu begitu, tapi diglamourkan sehingga si ibu yang baru ini merasa ditolak atau tidak dihargai. Tapi, kita diamkan sajalah.
GS : Apakah masih ada tantangan lainnya, Pak Paul ?
PG : Satu lagi yang terakhir adalah meyakinkan anak bahwa kita tidak melupakan ayah atau ibu mereka yang sudah tiada. Biasanya anak dalam keluarga sambung mengalami konflik batiniah, Pak Gunawan. Di satu pihak mereka ingin melebur dengan keluarga sambungnya tapi di pihak lain mereka merasa bersalah bila mereka mulai menyayangi ayah atau ibu tirinya. Mereka beranggapan jika sampai mereka mengasihi ayah atau ibu tirinya, itu berarti mereka telah mengkhianati dan sudah tidak mengasihi serta melupakan ayah atau ibu kandungnya. Dalam pertentangan batiniah ini anak perlu melihat bahwa kita sebagai orang tua yang ditinggal tidak melupakan ayah atau ibu mereka. Bukan saja tidak melupakan, kita pun masih mengasihi ayah atau ibu mereka. Kita perlu meyakinkannya bahwa mengasihi ayah atau ibu tiri tidak berarti tidak lagi mengasihi ayah atau ibu kandung atau telah melupakannya. Jadi, contoh-contoh atau perkataan seperti ini perlu kita ungkapkan kepada anak-anak kita.
GS : Selain dengan perkataan, apakah ada kemungkinan kita menyatakannya lewat tindakan nyata, Pak Paul ? Misalkan dengan tetap menggantungkan foto mendiang ?
PG : Dalam hal ini memang harus dibicarakan dengan pasangan kita ya. Mungkin sekali foto itu tidak kita taruh di ruang tamu – karena memang ini sudah milik keluarga yang baru – tapi silakan foto itu ditaruh di kamar anak kita. Bagi si anak, inilah papa mamanya dan dia tidak mau melupakannya, jadi kita ijinkan. Dengan kata lain anak perlu melihat bahwa kita menyayangi ayah atau ibunya yang sudah tiada. Anak akan kecewa berat kalau dengan cepat kita tidak lagi mengingat ibu atau ayah kandungnya. Anak juga perlu melihat bahwa ayah atau ibunya yang sudah tiada itu tetap ada dalam keluarga sambung itu. Jadi, penting bagi kita untuk memelihara kenangan tentang mendiang di dalam keluarga sambung. Misalkan pada waktu ulang tahun mendiang suami atau istri kita, kita dapat membicarakannya dengan anak. "Ini hari ulang tahun mama" atau "Ini hari ulang tahun papa." Atau pada hari ulang tahun anak kita dapat berkata bahwa ayah atau ibunya pasti bangga melihatnya sekarang. Perkataan-perkataan sederhana seperti ini meyakinkan anak bahwa kita tidak melupakan ayah atau ibunya walau telah tiada. Sudah tentu untuk dapat melakukan semua ini diperlukan pengertian dari pasangan baru. Dia perlu menerima fakta bahwa orang yang kita kasihi di masa lampau masih dan akan menempati ruang khusus di hati kita. Namun kita pun perlu meyakinkannya bahwa orang yang kita kasihi di masa lampau tidak akan menjadi pesaingnya di masa sekarang. Singkat kata kita harus mengomunikasikan kepadanya bahwa kita siap dan mau membuka lembaran baru. Namun untuk membuka lembaran baru, tidak perlu kita merobek lembaran lama.
GS : Iya. Memang seringkali ini menimbulkan bagi pasangan sambung. Setelah berjalan beberapa waktu lama muncul tantangan-tantangan yang sangat berat seperti yang Pak Paul uraikan tadi. Lalu di dalam hati si ayah atau orang tua atau anak, bisa terjadi perasaan bersalah, kenapa harus menikah lagi ? Kenapa menyetujui orang tuanya menikah lagi ? Wajarkah rasa bersalah seperti ini, Pak Paul ?
PG : Wajar. Wajar, Pak Gunawan. Sebab kita mengerti bahwa tidak ada pernikahan yang sempurna. Pernikahan sambung juga mengandung masalah sama seperti pernikahan yang awal. Bedanya adalah di pernikahan sambung, rasa bersalah atau menyesal bisa lebih cepat keluar, apalagi kalau kita melihat anak-anak kita menjadi tidak bahagia. Waktu kita masih merawat sendirian kelihatannya lebih bahagia. Nah, kita bisa merasa bersalah. "Gara-gara saya menikah lagi, anak-anak jadi menderita." Itu memang bisa terjadi, Pak Gunawan.
GS : Tetapi perasaan-perasaan seperti itu harus bisa diatasi ya.
PG : Betul. Kita memang perlu mengesampingkan masa lalu dan berusaha sebaik-baiknya memerbaiki pernikahan yang sekarang.
GS : Iya. Apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan sehubungan dengan masalah ini ?
PG : Amsal 12:26 dan 27 berkata, "Orang benar mendapati tempat penggembalaannya. Orang malas tidak akan menangkap buruannya." Ada dua karakteristik yang ditekankan di sini, yaitu kata "benar" dan "malas". Orang benar mendapatkan tempat penggembalaannya, dalam pengertian bagi orang benar akan selalu ada orang yang datang padanya untuk digembalakan. Kebalikannya, bagi orang malas akan selalu terjadi kehilangan seakan-akan hewan buruan di depan matanya pun akhirnya lepas. Nah, untuk membangun keluarga sambung diperlukan dua karakteristik, yaitu benar dan rajin. Kita mesti hidup benar di hadapan Tuhan dan kita harus hidup rajin, terus berusaha menyambungkan baik diri maupun yang lainnya.
GS : Terima kasih untuk perbincangan ini, Pak Paul.
GS : Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Keluarga Sambung". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.