Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), bersama Ibu Esther Tjahja, S.Psi. dan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi beliau berdua adalah pakar konseling keluarga dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang, akan menemani Anda dalam perbincangan yang pasti sangat menarik dan bermanfaat. Dan kali ini kami akan melanjutkan perbincangan kami pada waktu yang lalu yaitu mengambil tema "Keluarga dan Permasalahan Jiwa". Dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
PG : Pak Gunawan dan Ibu Esther, mungkin para pendengar setia kita merasa sedikit bosan dengan tema-tema yang berkaitan dengan keluarga. Betapa seringnya kita ini membahas mengenai keluarga, tai seperti nabi kalau saya boleh gunakan istilah nabi.
Kita adalah nabi-nabi yang Tuhan panggil untuk terus-menerus memberikan peringatan pada para keluarga bahwa hal yang sangat penting ada pada pundak mereka sekarang ini, yakni tugas untuk membesarkan anak dengan baik. Semakin saya mempelajari masalah-masalah dalam kejiwaan, makin saya menemukan bahwa pangkal dari segalanya boleh dikatakan adalah keluarga. Bagaimana seseorang dibesarkan akan sangat menentukan bagaimana dia nanti memperlakukan dirinya dan memandang dunianya, bagaimana juga dia nanti akan bersikap terhadap orang-orang lain. Pada kesempatan yang lampau kita telah membahas bahwa seorang anak memerlukan yang kita sebut struktur kepercayaan. Bahwa dia bertumbuh besar, percaya bahwa lingkungan itu akan menerimanya, akan merawatnya sebab dia itu anak yang juga disayangi oleh orang tuanya. Dan dengan modal kepercayaan itulah si anak nanti akan mengembangkan kemampuan untuk intim dengan orang, untuk akrab dengan orang karena bukankah itu semua memerlukan kepercayaan, tidak curiga pada niat atau motif orang, tidak menjaga jarak dengan orang sehingga dia menjadi seorang anak yang mudah sekali diterima oleh lingkungannya pula. Tapi kalau dia menjaga jarak, tidak bisa dekat dengan orang, dia menjadi seseorang yang bermasalah dan pergaulan yang sempit itu juga akan mempengaruhi perkembangan jiwanya di kemudian hari. Dia tidak berkembang dengan bebas karena lebih banyak kecurigaan-kecurigaan dan ketakutan-ketakutan terhadap orang-orang. Jadi sekali lagi itulah salah satu kebutuhan anak yang harus dipenuhi oleh orang tua.
GS : Nah kalau begitu selanjutnya, kali ini kita akan melanjutkan perbincangan itu. Kebutuhan lain apa yang dibutuhkan oleh anak sejak kecil?
PG : Yang kedua adalah penghargaan, penghargaan merupakan suatu perasaan bahwa dia itu bernilai. Saya akan mengutib perkataan psikolog Kristen bernama Larry Crabb, beliau berkata bahwa setiap mnusia itu mempunyai kebutuhan pokok yaitu penghargaan.
Dia merasa bahwa dia mempunyai nilai dan memang dia itu dianggap bernilai oleh lingkungannya. Yang pertama-tama yang bisa menyampaikan penghargaan tersebut adalah orang tua, sebab anak sebelum sekolah dia ada di rumah. Di dalam rumah itulah seharusnya si anak mulai menerima masukan, respons, tanggapan dari orang tua bahwa dia adalah seseorang yang berharga.
(1) GS : Caranya bagaimana Pak Paul?
PG : Pertama-tama kita harus menyadari bahwa menghargai itu sebetulnya mencakup 2 unsur. Pertama adalah menghargai dirinya dan yang kedua adalah menghargai perbuatannya. Apa yang saya maksud degan menghargai diri, menghargai diri berarti tanpa si anak harus berbuat apa-apa dia sudah menyenangkan hati orang tuanya.
Nah saya ingin kita berhenti di sini untuk lebih bisa menyoroti yang tadi baru saja saya ucapkan. Bukankah kita sebagai orang tua adakalanya kita terlalu terpaku pada perbuatan anak untuk menyenangkan hati kita. Bukankah kata-kata yang sering kali keluar dari mulut kita adalah nah......begitu dong baru papa senang, nah begitu dong baru mama bangga denganmu. Jadi memang kita memberikan penekanan yang sangat berat pada apa yang anak lakukan untuk kita, seolah-olah kalau tidak dia lakukan semua itu tidak ada yang dia bisa lakukan untuk menyenangkan hati kita, saya kira kita perlu sadari itu. Salah satu hal yang penting adalah kita justru mau mengkomunikasikan pada anak-anak bahwa tanpa engkau harus berbuat apapun, engkau sudah menyenangkan hati kami. Saya suka menggunakan istilah menikmati anak di sini, Pak Gunawan dan Ibu Esther, artinya anak tidak perlu berbuat apa-apa kita sudah menikmati kehadirannya. Tanpa dia harus berbuat yang luar biasa, dia sudah menyenangkan hati kita sebagai orang tua. Saya kira ini point yang perlu menjadi bahan introspeksi bagi semua orang tua, apakah kita hanya bisa senang dengan anak kalau si anak melakukan A, B, C, D, E, F, G ataukah kita bisa tetap senang dengan dia apa adanya, tanpa dia harus berbuat apa-apa.
ET : Ini yang tidak mudah rasanya, Pak Paul, karena mulai anak masih kecil itu rasanya kebahagiaan orang tua akan bertambah setiap kali melihat kemampuan-kemampuan baru yang dikuasai anak, misanya dia bisa berjalan, dia bisa bicara.
Jadi setiap hal yang mereka lakukan mendatangkan kesenangan buat orang tua, mungkin awalnya saya rasa itu. Apa yang anak lakukan, orang tua senang karena keterampilan-keterampilan yang meningkat itu sehingga akhirnya sadar tidak sadar memang pola yang terbentuk sudah seperti itu. Sehingga orang tua mungkin juga tidak bilang apa-apa, tidak pernah memberikan penegasan apa-apa tetapi yang ditangkap oleh anak sudah seperti itu bahwa saya tambah satu kepintaran, saya bisa melakukan satu hal lagi, orang tua akan senang begitu.
PG : Saya mau memberikan suatu perbandingkan Bu Esther, supaya para pendengar kita khususnya orang tua bisa sedikit banyak memahami apa yang kita sampaikan kepada mereka. Misalkan saya minta seua para pendengar kita ini membayangkan dirinya dalam pekerjaan.
Dalam pekerjaan sudah tentu penghargaan dari atasan atas karya mereka, perbuatan atau prestasi akan menggembirakan hati mereka. Tapi kalau boleh saya bertanya kepada para orang tua, bukankah akan lebih senang lagi kalau mereka tahu bahwa atasan mereka atau perusahaan mereka mengasihi, menghargai mereka tanpa harus selalu mengaitkan hal itu dengan prestasi mereka. Misalkan diberikan bonus tanpa ada kaitan dengan mereka itu berhasil memenuhi kuota atau apa, tapi perusahaan berkata kami mau menghargai saudara semua sebagai karyawan jadi kami memberikan bonus ini. Saya kira sukacitanya sangat berbeda dengan kalau diberi bonus karena prestasi kerja mereka. Nah jadi kita bisa melihat di sini, bahwa memang kita sebagai manusia memiliki kerinduan dihargai apa adanya, tanpa harus kita berbuat apa-apa. Bukannya saya mau katakan yang dihargai atas prestasi itu buruk, itu juga perlu, tapi saya kira memang faktor yang agak terhilang. Jadi saya setuju dengan Ibu Esther, bahwa kebanyakan kita orang tua tidak menyadari bahwa sebetulnya ini adalah hal yang penting. Contoh lain lagi yang mungkin bisa diterima oleh para pendengar kita adalah bukankah kalau kita mempunyai seorang sahabat baik, enak diajak bicara atau waktu kita masih berpacaran dengan istri atau suami kita sekarang ini pula, bukankah yang indah adalah bersama mereka dan mereka tidak harus berbuat apa-apa, tapi bersama mereka sudah menjadi sumber kenikmatan. Nah saya kira ini yang harus ditumbuhkembangkan dalam memperlakukan anak-anak kita. Bahwa kita menikmati kehadiran mereka bukan karena mereka berbuat apa-apa untuk kita. Seperti bayi yang kecil, apa yang bisa bayi itu lakukan pada kita sebagai orang tua, tidak ada apa-apa yang bisa dia perbuat untuk kita. Tapi kita menyenangi anak ini, dia adalah hadiah Tuhan untuk kita dan kita mau melimpahkan cinta kepadanya. Jadi bersama dengan bayi itu sendiri sudah membuat kita luar biasa senangnya, nah anak yang tahu bahwa orang tua senang hatinya karena kehadiran mereka tanpa mereka berbuat apa-apa akan menerima penghargaan yang tinggi sekali. Dan dia akan memperlakukan dirinya juga dengan penuh penghargaan dan kebalikannya nanti dia akan memperlakukan orang lain juga dengan penuh penghargaan. Kalau orang tua tidak senang dengan mereka yang kalau tidak berbuat apa-apa misalnya, dia juga nantinya akan memperlakukan dirinya seperti itu. Kalau dia melihat dirinya tidak berbuat ini atau kurang berbuat itu dia akan marah-marahi dirinya, mengkritik dirinya dan nantinya dia akan perlakukan orang lain juga seperti itu. Orang tidak melakukan seperti yang dia inginkan, tidak mencapai standar yang telah dia tetapkan, wah dia marah, dia tidak suka, dia kritik. Nah bukankah itu menjadi masalah besar dalam kehidupannya kelak.
GS : Apakah itu berarti bahwa penerimaan terhadap anak itu yang penting, Pak Paul?
PG : Ya tepat sekali, intinya di situ Pak Gunawan, jadi menerima anak apa adanya.
GS : Tapi selain orang tua itu senang terhadap anak, yang terutama seharusnya mengasihi anak, karena contoh-contoh yang Pak Paul katakan tadi dasarnya kasih.
PG : Betul, kasih yang bisa membuat orang tua akhirnya bisa menikmati kehadiran si anak tanpa dia harus berbuat apa-apa, menunjukkan prestasi apapun.
GS : Ada kebanggaan tertentu dari orang tua terhadap anak-anak itu.
PG : Ya, jadi setelah saya mengatakan tadi itu, Pak Gunawan, yakni menerima anak apa adanya, menghargai keberadaannya ya. Tetap juga harus ada yang keduanya yaitu memberikan penghargaan kepada nak atas perbuatannya, artinya orang tua melihat dan menghargai hal-hal tertentu yang dilakukan oleh anak tersebut.
Dan ini juga saya kira tidak ada salahnya jadi orang tua misalnya melihat anak itu senang menggambar, kita tanggapi. Misalnya berkata kamu pandai menggambar, gambarmu bagus, apa yang kamu gambar coba ceritakan kepada papa, mama mau melihat gambar yang lain coba kamu gambar ini. Itu adalah masukan-masukan yang akan menumbuhkembangkan penghargaan dalam diri anak itu.
ET : Mungkin kembali lagi kepada siklus itu yang sering kali saya lihat, tadi Pak Paul mengambil perumpamaan atau memberikan bonus tanpa melihat kepada prestasinya. Rasanya cukup sulit karena ita sudah terbentuk dalam masyarakat yang bersyarat, segala sesuatu itu sepertinya harus ada syaratnya.
Tampaknya hal ini rasanya yang lebih banyak didapatkan oleh kebanyakan orang tua dari orang tua sebelumnya, sehingga akhirnya kembali lagi juga dilakukan oleh anak-anaknya dan seterusnya. Makanya sering kali kita mendengar kalimat-kalimat seperti aduh mama akan sayang sama kamu kalau kamu melakukan hal ini, papa akan sayang sekali kalau kamu bisa berprestasi. Jadi akhirnya tetap saja yang ditangkap oleh anak kesenangan dan rasa sayang orang tua itu berkaitan dengan apa yang harus dia lakukan. Jarang yang bisa memberikan konfirmasi bahwa orang tua senang dengan keberadaan anak ini tanpa ada usaha-usaha yang dia tunjukkan.
PG : Ya siklus itu memang kita lestarikan Bu Esther, begitulah kita dibesarkan oleh orang tua kita, begitulah kita membesarkan anak-anak kita. Yang sekali lagi saya mau tekankan adalah bukan meghilangkan yang satu, yang saya mau tekankan adalah menumbuhkan yang terhilang itu yakni menerima, menghargai, menikmati anak apa adanya.
Sudah tentu kita juga mau memberikan kepada anak penghargaan atas kebisaannya atau kemampuannya, sebab inipun penting sehingga si anak juga terpacu untuk mengembangkan dirinya. Anak-anak yang dihargai tanpa harus berbuat apa-apa sama sekali penghargaan itu tidak dikaitkan dengan perbuatannya, saya kira juga kehilangan keseimbangan. Anak-anak ini akan besar kepala luar biasa dan dia akan menuntut semua orang untuk menghargai dia tanpa dia harus berbuat apa-apa, nah itu juga akhirnya melewati batas tidak seimbang lagi. Tapi yang saya harapkan adalah keseimbangan antara keduanya, jadi sekali lagi penting orang tua juga melihat dengan peka dan jeli hal-hal apa yang bagus atau yang tidak harus bagus, tapi yang dilakukan oleh si anak.
GS : Bagaimana kalau anak ini tidak sendirian artinya mempunyai saudara? Dalam hal memberikan penghargaan, kita melihat perbuatan dari mereka artinya mereka yang berprestasi baik lalu diberikan penghargaan lebih dibandingkan dengan saudaranya yang prestasinya kurang, apakah hal itu cukup bijaksana, Pak Paul?
PG : Saya kira kita harus peka kalau memang anak yang satunya itu kurang dibandingkan misalnya dengan si kakak sehingga waktu kita memberikan penghargaan kepada si kakak, si adik tidak merasa jstru dibedakan dan tidak diterima oleh orang tuanya.
Misalkan kalau dia tahu si anak yang satu lemah misalnya dalam pelajaran di sekolahnya, nah dia harus rajin-rajin mendorong si anak untuk melakukan hal-hal yang lain. Dan di hal-hal yang lain itulah si orang tua memberikan hadiah atau memberikan tanggapan yang positif terhadapnya sehingga si anak tahu. Dalam hal ini kakak lebih baik, dalam hal ini saya bisa dan orang tua melihat hal itu. Mungkin ini hal yang tampaknya sederhana, tapi sekali lagi saya mau menghimbau kepada orang tua lihatlah anak-anak kita. Saya kira masalah sekarang adalah orang tua tidak berkesempatan melihat anak, itu duduk masalahnya sehingga tidak tahu apa sebetulnya yang bisa atau tidak bisa dilakukan oleh si anak, nah orang tua yang melihat akan tahu apa itu dan akhirnya bisa memberikan masukan atau tanggapan positif.
ET : Kadang-kadang penghargaan ini juga mungkin jadi sulit, karena standar yang terlalu tinggi tampaknya, Pak Paul. Maksudnya apapun yang dibuat anak rasanya tidak berharga karena belum memenuh standar yang dibenak orang tua, pujian itu jadi mahal sekali.
PG : Dan kadang orang tua berdalih ini untuk memacu anak, dengan standar yang tinggi ini si anak dipacu untuk lebih merentangkan dirinya. Boleh memacu anak, jadi prinsipnya adalah berikan standr sedikit di atas kemampuan si anak sehingga si anak dipacu untuk meraih yang lebih tinggi lagi.
Tapi selalu ada kesempatan di mana orang tua mengatakan cukup yang engkau lakukan itu sudah baik, cukup. Inilah bibit-bibit yang membuat si anak menyukai dirinya bahwa dia tahu bahwa dia telah memenuhi standar. Anak yang terus dikatakan atau mendengar kata-kata kurang baik, akhirnya dia akan beranggapan bahwa dia adalah anak yang tidak pernah cukup baik. Dan dia tidak akan bisa menyukai dirinya. Orang yang tidak menyukai dirinya susah menyukai orang lain, orang yang tidak menyukai dirinya akan susah sekali bisa menghargai orang lain pula. Dan takutnya nanti dia sudah besar malah menimbulkan masalah dengan orang-orang lain di sekitarnya. Nah belum lagi kepercayaan diri, anak-anak yang bertumbuh besar di rumah tanpa mendengarkan tanggapan apapun dari orang tuanya tidak tahu dia bisa apa, tidak tahu dia mengerti apa akhirnya? Tidak ada kepercayaan diri. Dia tidak tahu dia bisa apa karena tidak ada tanggapan-tanggapan dari orang-orang di sekitarnya, apalagi kalau tanggapan yang diucapkan yang negatif lagi. Jelek, kamu tidak bisa ini, bikin malu saja akhirnya anak itu ragu-ragu, tidak berani sama sekali melakukan apa-apa. Jadi akhirnya kita membunuh kepercayaan diri si anak.
GS : Selain rasa percaya dan penghargaan yang memang sangat dibutuhkan, apakah ada hal lain yang bisa dilakukan sedini mungkin, Pak Paul?
PG : Yang lain adalah arah Pak Gunawan, jadi saya panggilnya ini struktur arah. Seorang psikolog bernama Golden Elport berpendapat bahwa hidup yang bermakna ialah hidup yang memiliki tujuan hidp yang jelas, dia panggil itu intensi.
Intensi itu kita boleh terjemahkan sasaran hidup, tanpa sasaran anak akan hidup tanpa arah dan bahkan bisa tersesat. Jadi orang tua atau keluarga harus menyediakan kebutuhan sasaran atau kebutuhan akan arah, tidak ada arah si anak cenderung hidupnya tersesat seperti daun yang ditiup oleh angin.
(2) GS : Tujuan di sini atau sasaran konkretnya itu apa, Pak Paul?
PG : Konkretnya adalah si anak tahu apa yang bisa dia lakukan, apa yang dia bisa kerjakan nanti, apa yang dia nanti akan lakukan menjadi apa. Kalau kita ingat-ingat waktu kita masih lebih muda ering kali orang tua bertanya mau jadi apa (GS : Cita-citanya apa?) ya betul.
Nah ternyata cita-cita atau mau jadi apa merupakan hal yang sangat penting buat seorang anak. Jadi si anak itu merasakan adanya panggilan dalam hidupnya, adanya makna dalam hidup dia, karena dia nanti bisa menjadi seseorang. Dengan kata lain kita ini seperti 'puzzle' yang merupakan suatu penggalan saja, kita harus mempunyai tempat dalam 'puzzle' yang besar itu, kalau kita tidak tahu tempat kita dalam 'puzzle' yang besar itu kita benar-benar merasa terlempar dari hidup ini. Nah psikolog yang bernama Elport menegaskan bahwa makna atau sasaran atau tujuan hidup yang dia panggil intensi itu adalah yang mengikat seseorang menjadi seseorang yang utuh, sehingga dia berjalan menuju suatu titik atau sasaran itu. Saya kira di sinilah orang tua bisa berperan sangat besar sekali sehingga anak itu bisa bertumbuh dengan sasaran yang jelas.
ET : Tampaknya ini memang masih berkaitan sangat erat dengan penghargaan tadi ya Pak Paul, kalau penghargaannya sangat kurang rasanya arahnya sudah pasti tidak jelas.
PG : Tepat sekali, jadi orang tua perlu memberikan bimbingan pertama-tama akan kemampuan si anak itu. Dan orang tua tidak perlu takut dengan kenyataan bahwa si anak nanti belum tentu jadi seperi yang dia katakan sekarang, tidak apa-apa,tidak menjadi soal.
Sebab sekali lagi yang anak perlu adalah sasaran dan kita tahu sasaran itu nanti akan diperhalus, akan dipertepat, akan dikembangkan lagi dan tidak pernah memang bisa pas sekali.. kita pun sekarang berkata o..... saya sekarang sudah menjadi seperti apa sekarang, tapi 10 tahun lagi kita jadi apa kita juga tidak tahu. Tapi tidak apa-apa, yang penting kita tahu setidak-tidaknya langkah berikutnya itu apa. Nah ini harus diberikan oleh orang tua melalui bimbingan, bimbingan yang secara spesifik menunjuk kepada kebisaan si anak. Si anak tidak harus jago baru orang tua bilang o.... kamu akan menjadi seorang apa, seorang dokter, seorang insinyur atau seorang guru tidak perlu. Sudah cukup untuk menjadi modal kalau si anak tahu akan menjadi apa nantinya, arah itu penting sekali. Saya pernah berbincang-bincang dengan seorang guru yang sudah berpuluhan tahun mengajar di sebuah kota, nah guru itu berkata kepada saya, saya melihat mulai ada perbedaan antara anak-anak sekarang dengan anak-anak dulu. Karena dia sudah senior dia mempunyai banyak pengalaman untuk bisa membandingkan, dia berkata anak-anak sekarang kehilangan arah, anak-anak sekarang ini lulus SMA tidak tahu menjadi apa nantinya. Paling tidak orang-orang sekarang atau saya takutnya anak-anak sekarang kalau ditanya mau menjadi apa, mau menjadi kaya. Hanya itu yang mereka pikirkan karena melihat begitu banyaknya materi yang ditawarkan dan dia ingin memiliki dan dia tahu perlu uang untuk memiliki semua itu. Tapi mau jadi apanya tidak penting lagi, yang penting jadi kaya, sebetulnya ini suatu kenyataan memang anak-anak tersesat, tidak ada sasaran hidup yang spesifik lagi. Kaya itu bukan sasaran hidup, jadi kaya adalah untuk bisa memiliki yang dia ingin miliki saja. Jadi peranan orang tua di sini penting sekali membimbing anak benar-benar menuju kebisaannya itu.
GS : Bagaimana supaya orang tua tidak memaksakan apa yang diinginkannya terhadap anaknya, Pak Paul?
PG : Dia harus melihat kemampuan si anak, kebiasaannya, minatnya si anak tertariknya pada hal apa dan itulah yang nanti dia gunakan untuk mengarahkan si anak. Nah point berikutnya, anak perlu mmpelajari kemampuan atau memiliki kemampuan untuk mencapai target itu.
Di sini diperlukan disiplin, maka orang tua yang tidak mendisiplin anak sama juga menyediakan mimpi buat si anak, tapi tidak bisa mewujudkan mimpi itu. Jadi disiplin diperlukan agar impian si anak bisa diwujudkan, tapi kebalikannya juga saya rasa keliru anak yang diberikan disiplin terus tapi tidak diberikan bimbingan, takutnya dia menjadi anak yang kejam, bengis, keras sama orang tapi tidak ada sasaran hidupnya.
ET : Lalu bagaimana dengan anak yang dididik dengan disiplin yang tinggi, tapi untuk mencapai arah yang diinginkan orang tuanya. Ada pesan-pesan yang memang sudah dari kecil kamu harus menjadi eperti ini, yang kadang-kadang mungkin harapan orang tua ingin anaknya menjadi arsitek tapi ternyata tidak berhasil.
Sehingga dari kecil anak sudah didisiplin sedemikian rupa supaya menjadi arsitek. Bagaimana kalau menurut, Pak Paul?
PG : Saya kira ada anak yang seperti itu dan tidak selalu negatif karena mungkin dia nanti benar-benar misalnya menjadi arsitek. Setelah menjadi arsitek bertahun-tahun saya duga pada akhirnya da akan resah dan dia akan berkata saya mau pindah, saya mau mengalihkan karier saya sebab saya bukan di sini.
Tapi itu bukanlah suatu hal yang negatif juga karena apa? Kenyataan dia berhasil mencapai standar tertentu itu cukup memberikan dia arah dalam hidupnya. Namun sayangnya adalah dia tidak langsung bisa mengembangkan dirinya.
GS : Dalam hal ini orang tua harus betul-betul bersifat obyektif terhadap anaknya, kemampuannya dia apa ya diberikan kesempatan untuk ke situ. Cuma memang ada banyak kecenderungan anak mencontoh karier orang tuanya, hampir banyak yang seperti itu.
PG : Betul, dan kalau memang itu minatnya si anak ya tidak apa-apa. Tapi kalau orang tua yang memang memaksakan kehendak ya harus berhati-hati, harus berhati-hati jangan sampai akhirnya si anakitu tidak bisa mengembangkan dirinya sendiri.
GS : Karena konsep kaya yang tadi Pak Paul katakan, sering kali itu juga bukan dari anaknya tapi dari orang tuanya. Dia menginginkan nanti anaknya jangan seperti dia, jadi orang kaya, tidak peduli kamu kerja apa pokoknya kaya, kalau tidak kaya nanti payah atau seperti ayah atau ibumu. Dan itu terus-menerus ditanamkan dalam diri anak hanya kaya...kaya..(PG : Betul ) Nah, Pak Paul, dalam hal ini hubungan keluarga dan kejiwaan dan sebagainya ini apakah ada firman Tuhan yang memberikan bimbingan untuk para orang tua khususnya?
PG : Saya akan membacakan 2 ayat Pak Gunawan, yang pertama dari Amsal 21:21 "Siapa mengejar kebenaran dan kasih akan memperoleh kehidupan, kebenaran dan kehormatan." Siapa engejar kebenaran dan kasih akan memperoleh kehidupan, kebenaran dan kehormatan.
Kalau saya boleh terapkan langsung dalam keluarga, keluarga yang menekankan kebenaran dan kasih dalam rumah tangganya akan melihat anak-anak yang mencari kehidupan dalam kebenaran dan mempunyai kehormatan. Tapi orang tua yang mengabaikan kebenaran dan kasih dalam rumah tangganya tidak ada waktu untuk anak dan sebagainya, tidak mendidik anak dengan baik ya susah untuk dia nantinya menuai kehidupan, kebenaran dan kehormatan pada anak-anak mereka. Dan saya akan tutup juga dengan
Amsal 22:6 "Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya maka pada masa tuanya pun dia tidak akan menyimpang daripada jalan itu." Nah di sini orang tua diminta untuk mendidik anak maka disebut didiklah orang muda bukannya orang tua baru kita didik. Dari kecil harus dididik, diarahkan menurut jalan yang patut baginya. Lihat kemampuannya di mana kita arahkan seperti itu.
GS : Jadi demikian tadi saudara-saudara pendengar, Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dan Ibu Esther Tjahja, S.Psi. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang keluarga dan permasalahan jiwa pada bagian kedua. Sedangkan pada bagian pertama kami perbincangkan pada beberapa waktu yang lalu. Bagi Anda yang berminat kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih atas perhatian anda, sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.