Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Hikmat Membagi Warisan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Mengenai warisan, seringkali ini ditunggu-tunggu oleh anak-anak kita. tapi kadang orang tua juga kesulitan. Satu hal yang membuat orang tua enggan meninggal cepat-cepat karena warisannya ini mau diapakan nantinya. Bagaimana menurut pandangan iman Kristen, Pak Paul ?
PG : Saya akan membuka dengan perkataan ini: Tatkala muda, kita membagi kasih dengan anak. Tatkala tua, kita membagi warisan dengan anak. Nah, dalam membagi warisan kita mesti bersikap bijak. Apabila kita keliru membagi warisan, kita dituduh pilih kasih atau tidak adil. Itu sebab penting kita memperhatikan hal ini. Supaya setelah kita meninggalkan dunia, kita tidak meninggalkan masalah buat anak. Ini cukup sering terjadi, mungkin Pak Gunawan juga tahu, orang tua pergi meninggalkan dunia sekaligus meninggalkan masalah yang berkaitan dengan warisan. Sebab setelah mereka pergi anak-anaknya bertengkar memperebutkan harta warisan orang tuanya. Jadi sekarang kita mau belajar bagaimana bersikap bijak dalam hal membagi warisan.
GS : Kalau yang ditinggalkan itu warisan yang berwujud, masih lumayan, Pak Paul. Kadang-kadang ada orang tua yang meninggalkan warisan berupa utang. Sehingga anak-anaknya kebingungan menyelesaikan utang orang tuanya, Pak Paul.
PG : Iya. Memang ada orang seperti itu yang meninggalkan masalah bagi anak-anak karena harus membayar utang orang tuanya.
GS : Tapi meninggalkan harta pun meninggalkan masalah karena seringkali anak-anak bertengkar karena warisan ini. Bagaimana ini ?
PG : Betul. Maka sebelum kita pergi, kita harus dengan jelas memutuskan tentang warisan. Supaya setelah kita pergi, anak-anak tidak harus membereskan di antara mereka.
GS : Tapi ada sebagian orang tua yang berpikir toh itu akan diselesaikan sendiri oleh anak-anak. Mereka sudah dewasa dan sudah mengerti.
PG : Orang tua mesti ingat bahwa anak-anak kita bukan malaikat. Anak-anak kita orang-orang berdosa sama seperti kita. dan orang berdosa itu bisa tamak. Maka kita mesti menjaga jangan sampai akhirnya justru setelah kita meninggalkan dunia ini kita malah meninggalkan masalah buat mereka.
GS : Jadi apa yang bisa kita lakukan, Pak Paul ?
PG : Prinsip yang pertama adalah kita harus menyiapkan warisan sebelum kita pergi meninggalkan dunia ini. Kadang kita beranggapan tidak perlu mengurus warisan sebab anak-anak pasti akan dapat membagi dan mengurusnya sendiri. Kenyataannya begitu banyak masalah yang timbul gara-gara warisan. Pada akhirnya kita mesti menyadari bahwa sebaik-baiknya anak, ia tetap manusia berdosa, ia dapat jatuh ke dalam dosa keserakahan dan keegoisan. Karena itu penting kita mengurus warisan sebelum kita meninggalkan dunia ini. Nah, pembicaraan hal warisan mesti keluar dari inisiatif kita sendiri. Pada umumnya anak merasa tidak nyaman membicarakan hal warisan karena takut dituduh mengharapkan orang tuanya segera mati. Jadi kita sebagai orang tua sebaiknya berinisiatif mengajak anak-anak berunding. Sampaikan kepada mereka bahwa kita berkeinginan menyiapkan warisan demi kebaikan bersama. Setelah itu konsultasikan hal ini dengan pihak yang berkompeten untuk mengurusnya.
GS : Pak Paul, apakah itu berarti kita perlu membicarakan warisan dengan anak-anak ketika kita, suami-istri ini, masih hidup atau setelah salah satu meninggal ?
PG : Sebaiknya sewaktu dua-duanya masih ada, Pak Gunawan. Sudah tentu kita tidak tahu usia kita, kita bisa dipanggil Tuhan di usia muda. Tapi ya mungkin tidak terlalu muda sekali. Misalnya sudah umur 60-70 tahun, sebaiknya kita berdua bicara dengan anak-anak supaya ada kejelasan.
GS : Tapi bagaimana kalau anak-anak merasa, "Wah, papa mama masih sehat. Lain kali saja."
PG : Justru masih sehat, mumpung masih berpikir dengan akal sehat, inilah saatnya kita membicarakan hal ini. Kalau nanti kita sudah renta, ingatan kita terganggu, pikiran kita sudah tidak jernih lagi, ‘kan sudah sulit untuk kita memutuskan dengan baik. Jadi beritahu anak-anak, "Tidak, sudah umur segini, kita tidak tahu kapan Tuhan panggil. Maka sebaiknya hal ini dibereskan."
GS : Ada anak-anak yang menunda-nunda dengan maksud supaya nanti mereka bisa menyelesaikannya sendiri ketika orang tuanya tidak ada, Pak Paul. Memang selalu ada saja alasan yang dibuat untuk tidak sampai terjadi pembicaraan tentang warisan ini.
PG : Betul. Maka sekali lagi tanggung jawab ini ada pada kita. karena memang ini harta kita sebagai orang tua. Jadi kita yang berinisiatif dan kita yang memutuskan, kita akan melakukannya. Memang kita tidak meminta persetujuan anak. Ini hak kita. jadi kita putuskan saja, tapi kita memberitahu ini yang akan kita lakukan.
GS : Kalau anaknya sedikit, misalnya dua orang, dibandingkan dengan lima orang anak, lebih mudah yang mana menyelesaikannya ?
PG : Sudah tentu lebih sedikit anak lebih mudah. Makin banyak anak berarti makin repot, makin rumit cara membaginya. Maka saya kira penting kita berkonsultasi dengan pihak yang berkompeten dalam hal warisan ini, supaya kita bisa membaginya dengan baik.
GS : Yang Bapak maksud dengan pihak yang berkompeten itu siapa ?
PG : Notaris atau pengacara.
GS : Jadi perlu dibuatkan surat wasiat ?
PG : Secara legal. Betul.
GS : Kalau dari pembicaraan antar anggota keluarga apakah tidak cukup kuat, Pak Paul ?
PG : Kurang kuat, harus ada surat wasiat legal yang disahkan, sehingga nanti tidak ada lagi yang bisa mengklaim apa-apa karena ini sudah diputuskan secara hukum.
GS : Kalau itu dibicarakan bersama-sama ‘kan sebenarnya masing-masing sudah bisa menyaksikan.
PG : Betul. Tapi masalahnya kalau semuanya setuju dan menaatinya ya. Tapi misalkan setelah kita tidak ada, ada yang mengklaim, "Ini saya punya. Ini saya mau." Dan ini hanya didasari atas percakapan ya tidak ada kekuatan hukumnya.
GS : Kadang-kadang kita sebagai orang tua juga tidak tahu ya. Pak Paul katakan sebaiknya membicarakan warisan ini pada saat sehat. Pada saat sehat, asset atau hartanya masih cukup banyak, Pak Paul. Namun dalam perjalanan, salah satu atau bahkan kedua-duanya sakit dan butuh biaya yang cukup banyak. Sehingga harta yang dibagikan itu menyusut bahkan sampai habis. Sehingga warisan yang kita bicarakan tadi rasanya tidak ada gunanya lagi, Pak Paul ?
PG : Betul. Misalkan itu harus terjadi, berarti kita bisa perbaharui surat wasiatnya. Misalkan kita harus memakai uang untuk biaya pengobatan, ya mumpung kita masih bisa, kita bisa perbaharui lagi.
GS : Tapi tetap butuh surat wasiat yang legal, Pak Paul ?
PG : Iya. Supaya nanti tidak ada orang yang bisa mengklaim ini dan itu.
GS : Tapi ‘kan sebelum kita datang ke notaris atau pengacara, kita harus menyelesaikan hal ini secara intern di antara anak-anak dan orang tua, membicarakan pembagiannya seperti ini. Baru setelah sepakat, kita datang ke notaris ?
PG : Betul. Nanti notaris yang mengesahkannya.
GS : Notaris membuatkan surat wasiatnya dan masing-masing bisa menyimpan salinannya.
PG : Betul.
GS : Apa prinsip yang lainnya, Pak Paul ?
PG : Kita mesti bersikap jelas kepada anak bahwa hak untuk membagi warisan ada pada kita sebagai orang tua. Sebelum warisan diberikan kepada anak, anak tidak memunyai hak kepemilikan atas harta orang tua. Ini penting untuk disadari oleh anak sebab ada anak yang beranggapan bahwa warisan akan diberikan kepadanya secara otomatis. Seakan-akan warisan merupakan sebuah hak. Tidak, warisan bukanlah hak anak. Warisan adalah anugerah orang tua kepada anak. Sebab pada kenyataannya kita bebas memberikan warisan kepada siapa pun. Terhadap anak yang ingin menguasai harta orang tua, kita harus bersikap tegas. Jangan biarkan dia beranggapan bahwa ia pasti mewarisi rumah atau harta orang tuanya. Jangan merasa bersalah dan merasa berkewajiban untuk menyerahkan warisan kepadanya. Kita mesti menyadari bahwa sama seperti kita, anak adalah insan berdosa. Sebagai manusia berdosa kita dapat jatuh ke dalam dosa ketamakan dan keegoisan. Jadi sekali lagi saya tekankan, warisan adalah pemberian atau anugerah orang tua kepada anak, bukan hak anak. Ini perlu saya tekankan karena memang ada anak yang orang tua belum meninggal saja sudah terang-terangan bilang, "Ini untuk saya nanti. Ini untuk saya nanti." Kita terkaget-kaget mendengarnya. Tapi memang ada orang seperti itu di dunia ini. Maka kita sebagai orang tua kita mesti bersikap tegas bahwa ini hak kita, kita tidak harus memberikan harta kepada anaknya kok. Ada orang yang tidak memberikan satu sen pun hartanya ke anak-anaknya. Misalkan dia mau menyumbangkan hartanya untuk dana kemanusiaan atau orang yang lebih memerlukan dan sebagainya. Itu hak mereka. Tidak ada kewajiban memberikan kepada anak sendiri. jadi anak mesti menyadari ini. Karena sekali lagi ada anak-anak yang sudah menunjukkan ketamakan dan keegoisan seperti itu.
GS : Jadi, sebenarnya kalau sejak awal kita memberitahu anak-anak kita bahwa jangan mengharapkan warisan dari kami sebagai orang tua. Itu tidak masalah ya, Pak Paul ?
PG : Tidak apa-apa. Itu hak kita. kalau mereka dari awal sudah tahu mereka tidak usah mengharapkan. Nantinya kalau kita mau beri, itu hak kita. sebab warisan adalah sebuah pemberian bukannya sebuah kewajiban, bukan hak anak untuk mendapatkan harta orang tuanya.
GS : Memang ada orang tua yang cukup kaya tidak memberikan warisan kepada anaknya tapi, seperti yang Pak Paul katakan tadi, diberikan kepada badan kemanusiaan, diberikan kepada orang-orang lain sehingga anak-anaknya protes. Seperti itu bisa menuntut atau tidak ?
PG : Tidak bisa. Karena memang sekali lagi ini hak orang tuanya. Ini harta orang tuanya. Anak-anak protes pun tidak ada yang bisa mereka lakukan.
GS : Tapi kesan anak-anaknya adalah, "Kami ini membutuhkannya. Mengapa malah diberikan kepada orang-orang lain ?"
PG : Saya tidak tahu duduk masalahnya, tapi saya menduga orang tua itu pasti mempunyai alasan mengapa mereka tidak mau memberikan warisan itu ke anak-anak mereka.
GS : Misalkan hubungan orang tua dan anak itu kurang baik, Pak Paul ?
PG : Besar kemungkinan begitu. Misalnya orang tua tidak mau memberikan warisan kepada anaknya karena sakit hati, dikecewakan oleh anak-anaknya, atau mereka sangat mengenal karakter anak-anaknya sehingga mereka memutuskan tidak mau memberikan kepada anak-anak mereka. Dan itu tidak apa-apa.
GS : Di kalangan anak-anaknya sendiri itu menjadi masalah, Pak Paul.
PG : Iya. Tapi anak-anak juga harus diingatkan bahwa warisan bukan hak anak. Ini tergantung kemurahan orang tua yang mau memberikannya kepada kita. kita tidak berhak menuntut warisan dari orang tua.
GS : Sehingga ada orang tua lain yang mengatakan, "Sekarang saya katakan jangan mengharapkan warisan dari kami. Tapi nanti misalnya ada sisanya setelah kami mati, ya itu kalian bagi sendiri dengan merata." Apakah itu suatu cara yang bisa dibenarkan ?
PG : Bisa. Asal ada yang bisa membaginya dengan rata. Sebab kadang-kadang ada anak yang diserahi tanggung jawab itu nantinya tidak melakukan tugasnya dengan baik dan tidak membaginya dengan rata. Jadi orang tua perlu mengenal anaknya dan percayakan itu pada anaknya. Ya kita sebaiknya memutuskan ini secara hukum yang sah. Karena kita mesti mengingat juga, anak-anak kita kemungkinan besar akan menikah dan akan punya keluarga dan akan ada mertua dan sebagainya. Nah, mungkin anak-anak kita tidak akan berbuat macam-macam kepada kita, tapi belum tentu pasangan mereka akan seperti itu. Ada pasangan yang baik, ada pasangan yang kurang baik. Ada besan yang baik, ada besan yang kurang baik. Ada yang nanti menghasut anak kita atau anaknya untuk meminta harta yang lebih besar dan sebagainya. Jadi ini bisa jadi ruwet sekali. Maka lebih baik sebelum kita meninggalkan dunia, kita bereskan sejelas mungkin.
GS : Memang kadang-kadang dari keluarga karena pernikahan inilah yang memberikan hasutan-hasutan sehingga timbul kekacauan di keluarga itu.
PG : Betul ini bisa terjadi. Misalnya pasangan berkata, "Saya perlu uang untuk usaha saya. Kenapa kamu tidak minta lebih besar dari orang tuamu ? Kita ‘kan punya hak." Dan ada anak yang nantinya benar-benar merasa mereka lebih berhak mendapatkan warisan yang lebih besar. Karena mungkin mereka berkata, "Dulu waktu papa sakit, saya yang keluarkan uang." Jadi mereka menghitung-hitung biaya-biaya yang pernah mereka keluarkan untuk orang tua dan sekarang mereka minta semua itu dikembalikan lewat warisan. Jadi, semua manusia berdoa dan bisa jatuh ke dalam ketamakan dan keegoisan.
GS : Dalam Alkitab Perjanjian Lama kita tahu bahwa anak sulung mendapatkan bagian yang lebih besar daripada adik-adiknya, Pak Paul ?
PG : Betul. Di Perjanjian Lama Tuhan memang memberi perintah itu kepada orang tua, yaitu memberi hak yang lebih besar bagi anak sulung. Sudah tentu disamping warisan yang lebih besar, Tuhan selalu memerintahkan agar kita saling menolong. Kita mesti memerhatikan keluarga kita, jadi asumsinya adalah apa pun yang kita miliki akan kita gunakan juga untuk kepentingan orang-orang atau saudara kita yang membutuhkannya .
GS : Jadi sebagai anak sulung dia memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk menggantikan posisi ayahnya, ya ?
PG ; Betul sekali. Dan biasanya juga yang meninggal pada umumnya si ayah sehingga masih ada ibu, nah si anak sulung yang nanti akan memelihara ibunya.
GS : Iya. Apa prinsip yang ketiga, Pak Paul ?
PG : Kita harus jelas dengan kriteria pembagian warisan. Tidak ada keharusan kita membagi warisan secara sama rata. Kita bebas menentukan kepada siapa kita ingin menyerahkan apa. Terpenting adalah anak melihat bahwa kita memberikan warisan kepada mereka secara tulus dan ikhlas. Jangan sampai anak menilai, bahwa kita memberi warisan kepada anak secara terpaksa. Salah satu kriteria yang dapat digunakan adalah kebutuhan, Pak Gunawan. Kita memberikan bagian yang lebih besar kepada anak yang lebih membutuhkan. Sudah tentu kita perlu menjelaskan pertimbangan ini kepada anak yang lain supaya mereka mengerti alasan di belakang pemberian warisan ini. Berkaitan dengan kebutuhan, kita juga mesti bersikap bijak. Ada anak yang terus memunyai kebutuhan karena dia tidak hidup secara benar. Akhirnya dia selalu kekurangan uang. Dalam hal ini kita mesti mendengarkan masukan anak yang lain pula. Bila mereka tidak setuju dengan keputusan kita untuk memberi porsi warisan yang lebih besar, mungkin kita perlu mempertimbangkan ulang, Pak Gunawan. Jadi tidak serta merta kalau anak berkata dia membutuhkan kita langsung memberikan porsi yang lebih besar. Tidak ya. Karena memang ada anak yang hidupnya kurang bertanggung jawab sehingga hidupnya selalu butuh.
GS : Tapi ada juga keluarga yang cukup baik, Pak Paul. Inisiatif itu datang dari anak-anak sendiri. ketika orang tua mengatakan pembagiannya seperti ini, anak yang merasa berkecukupan mengatakan serahkan saja bagian saya kepada saudara yang membutuhkan.
PG ; Ya. Indah ya kalau setiap keluarga seperti itu, Pak Gunawan. Tapi ya tidak setiap keluarga seperti itu. Ada yang justru nantinya setelah orang tua tidak ada, misalnya adiknya butuh dan susah seperti apa pun si kakak tidak peduli sama sekali. Sekali lagi, ini sesuatu yang harus dipikirkan orang tua. Sebab kemungkinan ini ada. Tadi sudah saya singgung, karena anak-anak sudah berkeluarga, ada pasangan, ada besan, itu juga bisa memengaruhi sikap anak-anak kita, mungkin ada anak yang mau menolong adiknya tapi pasangannya tidak setuju, akhirnya dia tidak bisa melakukannya. Jadi kita sebagai orang tua mesti jeli melihat. Kalau memang ada anak kita yang lebih butuh, kondisinya memang lebih lemah, dan yang lain tidak keberatan, ya dari awal kita tetapkan porsi yang lebih besar buat dia.
GS : Tapi memang sebaiknya orang tua menyerahkan warisan itu setelah dia meninggal. Sebab kalau sebelumnya, ini malah jadi masalah buat orang tua ini sendiri, Pak Paul.
PG : Iya. Maka biasanya surat wasiat itu disimpan dan nanti setelah kita tiada, misalkan pasangan kita masih ada, secara resmi bisa dikeluarkanlah surat itu, yang memang sudah disahkan oleh pihak hukum ya. Jadi memang tidak kita bicarakan terus-menerus.
GS : Kalau pasangannya masih ada itu pun sebenarnya warisan itu belum bisa dibagikan ?
PG : Betul. Memang setelah kedua-duanya tidak ada, barulah warisan itu diberikan.
GS : Adakah contoh di Alkitab tentang kriteria itu ? Selain kriteria kebutuhan, adakah kriteria yang lainnya ?
PG : Ada, Pak Gunawan. Kita lihat contohnya di Alkitab yaitu kriteria kesanggupan. Jangan sampai kita mewariskan sesuatu kepada anak yang kita tahu dia tidak akan sanggup mengelolanya. Ada banyak contoh kesalahan orang tua dalam hal ini. Begitu anak mengambil alih usaha setelah orang tua meninggal, maka hancurlah usaha itu. Sebagai orang tua kita harus jeli dan terbuka melihat kesanggupan dan keterbatasan anak. Ada anak yang sanggup, ada anak yang tidak sanggup. Disini kita bisa melihat hikmat raja Daud. Dia tidak memilih Absalom untuk menggantikannya. Dia pun tidak memilih Adonia untuk mewarisi takhtanya setelah kematian Absalom. Sebagaimana kita ketahui keduanya memperlihatkan watak yang tidak baik. Jika Daud mewariskan kerajaannya kepada mereka, hancurlah Israel. Sebaliknya Daud mewariskan tahtanya kepada Salomo yang jauh lebih muda dari pada Absalom dan Adonia. Kendati muda, Salomo memiliki hikmat dan takut akan Tuhan. Dan sebagaimana kita ketahui, di bawah Salomo, Israel menikmati masa kejayaannya. Itu sebab penting bagi kita dalam membagi warisan untuk melihat kesanggupan dan keterbatasan masing-masing anak.
GS : Kadang-kadang kita bahkan tidak melihat bahwa anak-anak kita ada yang bisa melanjutkan usaha yang kita rintis. Ini harus diserahkan kepada orang lain yang professional, Pak Paul.
PG : Iya. Kadang-kadang itu harus kita lakukan. Sebab kita tahu kalau kita serahkan kepada anak kita, kita bisa bayangkan, tinggal tunggu waktu akan gulung tikar semuanya.
GS : Tapi ada anak yang menyanggupi walaupun sebenarnya dia tidak mampu melakukan itu. Bagaimana, Pak Paul ?
PG : Kalau kita tahu anak kita memang tidak bisa dan daripada nanti akan jadi masalah yang besar, beritahu anak kita, "Maaf. Tidak." Tapi kalau kita tetap mau memberi warisan kepadanya, misal kalau memungkinkan berikan kepadanya harta yang lain. Atau misalkan masih memungkinkan ya kita jual usaha kita, uang itulah yang kita bagikan sehingga anak kita bisa memakainya nanti untuk bidang usaha yang memang sanggup digelutinya.
GS : Jadi ini membutuhkan pembicaraan yang terbuka dengan anak itu, Pak Paul ?
PG : Iya. Karena kadang-kadang ada orang tua yang pokoknya memaksa anaknya harus bisa meneruskan. Dan ada anak yang tidak bisa meneruskan. Tapi ada juga anak yang bisa tapi tidak mau meneruskan karena mau mengerjakan pekerjaan yang lain. Nah, orang tua mesti bijaksana dan melihat. Mungkin usahanya dijual lalu uangnya diberikan sebagai modal bagi anak yang bisa menggunakannya untuk bidang usaha yang lain.
GS : Tapi banyak orang tua yang merasa sayang. Usaha yang sudah dirintis seperti ini mengapa anak-anaknya tidak ada yang mau melanjutkan. Padahal anak-anaknya sudah punya usahanya sendiri dan cukup sukses.
PG : Iya. Memang kadang ada orang tua yang merasa tidak rela. Tapi saya pikir nanti kalau dia sudah tiadapun dan anak-anaknya tidak bisa meneruskan ya sama saja usahanya akan tutup atau akan dijual juga.
GS : Malah menimbulkan kerugian yang besar.
PG : Seringkali begitu.
GS : Prinsip yang lainnya apa, Pak Paul ?
PG : Prinsip yang keempat adalah warisan paling bernilai yang dapat kita titipkan kepada anak cucu adalah kehidupan kita yang benar dan berhikmat. Kehidupan berhikmat berawal dari kehidupan yang dialasi takut akan Tuhan. Dan kehidupan benar berawal dari kehidupan yang memprioritaskan kehendak Tuhan di atas segalanya. Inilah warisan yang paling berharga yang dapat kita berikan kepada anak cucu kita. Firman Tuhan di Amsal 13:22 mengingatkan, "Orang baik meninggalkan warisan bagi anak cucunya. Tetapi kekayaan orang berdosa disimpan bagi orang benar." Jika kita hidup tidak berkenan kepada Tuhan, apapun yang kita hasilkan tidak akan kekal. Bahkan Tuhan akan memindahkan hasil itu dan memberikannya kepada orang yang benar. Sebaliknya orang yang baik akan meninggalkan warisan yang kekal kepada anak cucunya. Jadi, jangan mengejar harta sebanyak-banyaknya dengan tujuan untuk memberikan warisan sebesar-besarnya kepada anak. Sebaliknya kejarlah hidup yang benar dan berkenan kepada Allah. Wariskanlah itu kepada anak dan cucu kita.
GS : Pak Paul, kalau kita kembali ke warisan dalam bentuk harta, apakah kita juga harus memikirkan warisan untuk cucu ? Mengapa disebut ‘anak cucunya’. Biasanya kita ‘kan mikir hanya sampai anak.
PG : Memang firman Tuhan karena biasanya kata-kata itu digabung ya ‘anak dan cucu’ dalam pengertian untuk keturunan kita. Sudah tentu kita tidak berkewajiban untuk menyediakan bagi cucu-cucu kita. Kita berkewajiban menyediakan untuk anak-anak kita, dan anak kita berkewajiban menyediakan bagi anak-anak mereka.
GS : Sedang untuk anak-anak pun itu bukan hak mereka ya. Itu ‘kan anugerah yang orang tua berikan kepada mereka.
PG : Betul. Memang kalau kita punya ya kita berikan kepada anak-anak. Nanti anak-anak yang wariskan itu kepada cucu kita, tapi saya juga tahu ada orang yang mewariskan sesuatu kepada cucunya. Itu tidak apa-apa, itu hak orang tua.
GS : Iya. Dalam hal ini warisan yang penting itu justru warisan iman ya. Kita memberikan warisan iman kepada mereka agar mereka memeroleh keselamatan di dalam Tuhan Yesus.
PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Sebab buat apa harta kalau kita tahu mereka nanti akan binasa dan tidak bisa menikmati hidup yang kekal di dalam Tuhan ? Jadi inilah harta warisan yang paling penting. Kehidupan yang mencerminkan kemuliaan Tuhan dan iman dalam Kristus supaya mereka pun nanti mencicipi keselamatan dari Tuhan dan hidup di dalam Tuhan selamanya.
GS : Ya. Warisan seperti itu yang sulit untuk diperebutkan atau menjadi barang pertengkaran di antara keluarga, Pak Paul. Malah menyatukan mereka.
PG : Betul sekali, Pak Gunawan.
GS : Jadi di masa tua kita, kita bisa melihat anak cucu semuanya di dalam Tuhan. Sebenarnya itulah yang membahagiakan.
PG : Betul. Betul, Pak Gunawan.
GS : Terima kasih Pak Paul, untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Hikmat Membagi Warisan".Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.