Buruk Muka, Cermin Dibelah

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T510B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Berikut akan dibahas tentang orang yang cenderung menyalahkan orang dan menolak melihat, apalagi mengakui kesalahan sendiri. Kendati perilaku luarnya sama, namun sesungguhnya penyebab dan motivasi mengapa kita mengembangkan kepribadian “buruk muka cermin dibelah” beragam
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Kita tidak hidup di dalam dunia yang sempurna. Di dalam dunia yang sempurna setiap orang dapat mengakui kelemahannya dan memikul tanggung jawab atas tindakannya. Di dalam dunia yang tidak sempurna di mana kita hidup, sebaliknya yang terjadi. Tidak selalu kita mengakui kelemahan sendiri dan tidak selalu kita memikul tanggung jawab atas keputusan yang kita buat. Masalahnya adalah bukan saja kita tidak mengakui kelemahan dan menanggung akibat tindakan sendiri, kita pun menyalahkan orang. Singkat kata, sesuai dengan pepatah, buruk muka, cermin dibelah. Berikut akan dibahas tentang orang yang cenderung menyalahkan orang dan menolak melihat, apalagi mengakui kesalahan sendiri.

Kendati perilaku luarnya sama, namun sesungguhnya penyebab dan motivasi mengapa kita mengembangkan kepribadian "buruk muka cermin dibelah" beragam :

  1. Ada yang dibesarkan di dalam rumah di mana orangtua menuntut tinggi dan tidak realistik, sebagai akibatnya kita dirundung ketakutan kalau-kalau kita akan kena hukum. Untuk menghindar dari hukuman, kita pun berusaha mengelak dari tanggung jawab. Kita menimpakan kesalahan pada yang lain agar kita terbebas dari hukuman.

  2. Ada yang dibesarkan di dalam rumah di mana orangtua kerap memuji dan mengidolakan, sebagai akibatnya kita merasa diri sangat baik—mendekati sempurna—dan tidak mudah menerima kelemahan, apalagi mengakui kesalahan. Jadi, jika kesalahan atau masalah muncul, orang terakhir yang kita salahkan adalah diri sendiri. Kita akan mencari kesalahan pada pihak lain sebab kita yakin kita selalu benar.

  3. Ada yang dibesarkan di dalam rumah di mana orangtua tidak hadir atau berkekurangan sehingga kita harus memikul tanggung jawab yang besar sejak kecil. Kita mesti mengatur adik-adik, mungkin kita harus bekerja untuk menopang ekonomi keluarga. Akhirnya kita mengembangkan ego yang kuat—terlalu kuat—sehingga tidak mudah bagi kita untuk mengakui kelemahan atau kesalahan. Singkat kata, ego yang kuat menjadikan kita kaku, sulit untuk beradaptasi dan mengubah diri. Mengakui kelemahan atau kesalahan berarti kita harus berubah, dan itulah yang tidak mudah dilakukan.

Sudah tentu tidaklah mudah untuk hidup bersama dengan orang bertipe "buruk muka cermin dibelah." Ada beberapa akibat atau konsekuensi yang mesti ditanggungnya, sebagaimana dapat kita lihat berikut ini:

  1. Pada akhirnya orang seperti ini cenderung bekerja sendiri karena ia tidak mampu menjalin kerja sama yang sehat. Kesalahannya selalu dilimpahkan pada orang lain sehingga orang pun takut bekerja bersamanya. Tidak ada orang yang mau terus disalahkan atas kesalahan yang tidak diperbuatnya.

  2. Di dalam pernikahan pada akhirnya ia akan hidup sendiri. Mustahil untuk kita menjalin tali komunikasi dan relasi yang intim dengannya karena komunikasi menjadi searah dan relasi menjadi berat sebelah. Ditambah dengan kecenderungannya untuk bersikap defensif, kita menjadi enggan berkomunikasi dengannya, apalagi bertukar pikiran. Karena baginya tidak ada bertukar pikiran, yang ada hanyalah bertransfer pikiran—dari dirinya kepada kita. Akhirnya relasi menjadi berat sebelah, sebab kita terus harus menanggung rasa tertekan dan mesti terus mengalah untuk menghindar dari konflik.

Pertanyaannya sekarang adalah apakah yang mesti kita perbuat jika kita bersama dengan orang bertipe "buruk muka cermin dibelah." Kendati tidak mudah, namun masih ada beberapa saran yang dapat kita perbuat untuk menolongnya berubah.

  1. Kita mesti terus berdoa baginya. Secara khusus mohon kepada Tuhan untuk berbicara kepadanya dan membuatnya mendengar bisikan serta teguran Tuhan. Jika tidak ada perubahan, berdoalah agar Tuhan menghadirkan situasi dalam hidupnya di mana ia terpaksa belajar untuk mengakui kesalahan dan kelemahannya.

  2. Kita dapat memberikannya tanggapan akan perilakunya dengan cara, pertama, kita mengakui motivasinya. Misalkan kita berkata bahwa kita memahami bahwa maksudnya adalah baik. Kedua, kita pun menyampaikan kepadanya bahwa sering kali pendapatnya benar dan kali ini pun ada banyak hal yang benar. Namun, mungkin masih ada yang terluput dari perhatiannya. Dan, inilah yang kita ingin sampaikan kepadanya. Mohon perhatikan bahwa kita tidak menyinggung tentang kesalahan atau kelemahan. Saya kira kita mengerti alasannya: Begitu mendengar kata kesalahan atau kelemahan, ia pun langsung menaikkan perisai dan menolak untuk mendengar. Ketiga, setelah kita menyampaikan masukan kepadanya, hentikan percakapan. Katakan kepadanya bahwa kita percaya bahwa ia akan memikirkan dan mempertimbangkan masukan kita. Memaksanya untuk mengakui kelemahan dan kesalahan hanyalah akan menjadi bumerang buat kita. Jadi, sudahilah percakapan.

  3. Bekerja bersama orang seperti ini atau hidup bersama dengan orang seperti ini mengharuskan kita untuk lebih banyak diam. Tunjukkan hikmat melalui perbuatan, bukan perkataan. Biarlah ia sendiri yang melihat bahwa Tuhan memberikan kepada kita hikmat. Makin kita banyak berkata, makin ia tertutup. Jadi, lebih banyak berdiam dirilah; mudah-mudahan suatu saat ia sendiri yang akan meminta pendapat.

Amsal 13:10 mengingatkan, "Keangkuhan hanya menimbulkan pertengkaran, tetapi mereka yang mendengarkan nasihat mempunyai hikmat." Sebenarnya akar dari sikap "buruk muka cermin dibelah" adalah keangkuhan. Jadi, datanglah dan rendahkanlah diri di hadapan Tuhan.