Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Jiwa Memberi". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS | : | Pada umumnya orang memunyai jiwa menerima daripada memberi, tetapi memang di dalam Alkitab kita selalu dianjurkan untuk memberi dan Allah pun memberikan contoh dengan memberikan Anak-Nya yang tunggal kepada dunia ini. Tapi untuk menumbuhkan jiwa memberi bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan. |
PG | : | Saya masih ingat seorang dosen saya bercerita tentang puteranya yang sudah dewasa, puteranya ini seorang Kristen, dia bercerita kepada papanya bahwa setiap hari Minggu dia mengalami pergumulan sebelum pergi ke gereja yaitu menimbang-nimbang kira-kira berapa nanti uang yang akan saya persembahkan kepada Tuhan. Biasanya makan waktu panjang untuk dia bisa berkata, "Baiklah saya akan memberikan sejumlah uang ini untuk persembahan". Dia bilang kepada papanya pergumulannya belum selesai, sebab setibanya dia di gereja, sewaktu kantong kolekte diedarkan dia bergumul lagi yaitu apakah uang itu dia masukkan ke dalam kantong kolekte atau tidak. Jadi intinya ada orang yang mengalami pergumulan dalam memberi. Makanya saya kategorikan dalam dunia ini, sebetulnya ada dua jenis orang yaitu orang yang memberi dengan orang yang tidak memberi. Orang yang memberi justru berusaha mencari kesempatan untuk memberi sedangkan orang yang tidak memberi selalu mencari alasan untuk tidak memberi. Jadi orang yang senang memberi, senantiasa mencari kesempatan kapan dia ada waktu untuk menolong atau memberi kepada orang. Sedangkan orang yang pada dasarnya tidak memberi selalu ada saja alasan kenapa dia tidak harus memberi kali ini. |
GS | : | Walaupun secara jelas sekali Tuhan Allah sudah mengajarkan kepada kita untuk memberi bahkan kepada Kain dan Habil di awal kisah manusia, itu sudah diajarkan oleh Tuhan bahwa kita harus bisa memberikan yang terbaik kepada Tuhan. |
PG | : | Betul sekali. Pada akhirnya Tuhan menginginkan agar relasi kita kepada Tuhan merupakan sebuah relasi orang tua-anak, Bapa-anak, dimana Tuhan memberi kepada kita dan kita memberi kepada Tuhan dan ini menjadi sebuah relasi percaya dan kasih. Inilah yang seharusnya ada, tapi seringkali kita masih belum bisa memerlakukan Tuhan sebagai Bapa kita. Jadi kita masih sering perhitungan kepada Tuhan. |
GS | : | Walaupun seseorang sudah cukup lama mengenal Tuhan dan menjadi orang Kristen dan sudah paham betul, tapi pergumulan itu tetap ada di dalam hidupnya. |
PG | : | Betul. Jadi ada orang-orang tertentu yang susah sekali untuk memberi kepada Tuhan. Jadi nantinya kita mau melihat kenapa ada orang begitu susah memberi, kita juga mau belajar bagaimana caranya untuk menumbuhkan jiwa memberi. |
GS | : | Tapi pada batas-batas tertentu saya pikir ada baiknya juga seseorang tidak asal memberi, tapi melalui suatu pergumulan sehingga dia betul-betul menyadari bahwa apa yang diberikan, itu adalah yang terbaik. |
PG | : | Saya mengerti maksud Pak Gunawan, jadi jangan sampai kita sembarangan dalam memberi tapi hendaklah kita benar-benar memikirkan apa yang terbaik yang bisa kita berikan kepada Tuhan. |
GS | : | Faktor apa yang membuat seseorang itu memberi atau tidak memberi, Pak Paul ? |
PG | : | Yang pertama adalah bahwa jiwa memberi lahir dari kesadaran bahwa apa pun itu yang ada pada kita berasal dari pemberian, baik dari Tuhan maupun sesama kita. Ada orang yang beranggapan bahwa apapun itu yang ada padanya merupakan hasil keringatnya sendiri. Anggapan ini menyulitkannya untuk memberi sebab baginya ia berpikir kenapa, "Enak sekali orang menerima sesuatu darinya tanpa mengeluarkan setetes keringat pun". Singkat kata orang ini berpandangan oleh karena ia harus bekerja untuk memeroleh apa yang sekarang ada padanya maka orang lainpun harus berbuat yang sama. Jadi buat dia memberi adalah sesuatu yang tidak ada dalam falsafah kehidupannya. Setiap orang hanya dapat mendapatkan sesuatu lewat jerih payah atau keringatnya dan tidak ada yang namanya menerima sesuatu tanpa jerih payah atau dia tidak akan memberi sesuatu kepada seseorang yang tidak melakukan apa-apa untuknya. |
GS | : | Jadi sebenarnya kenapa orang bisa punya pikiran seperti itu, Pak Paul ? |
PG | : | Besar kemungkinan dia jarang menerima pemberian, hidupnya mungkin penuh kesusahan dan dia harus bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Oleh karena orang tidak memberi apa-apa kepadanya sehingga dia pun tidak mau memberi apa-apa kepada siapa pun. Di dalam Alkitab ada contoh tentang orang yang seperti ini, namanya adalah Nabal. Di dalam 1 Samuel 25 tercatat kisah yang melibatkan Nabal dan Daud. Di dalam pelariannya Daud dan pengikutnya berkemah dekat peternakan milik Nabal, oleh karena kehadiran Daud maka ternak Nabal aman dari serangan perampok, sebagaimana diakui oleh para pekerja Nabal sendiri. Suatu hari Daud memberanikan diri meminta bantuan makanan kepada Nabal, bukannya memberi, Nabal malah menghina Daud dengan berkata tercatat di 1 Samuel 25:11, "Masakan aku mengambil rotiku, air minumku dan hewan bantaian yang kubantai bagi orang-orang pengguntingku untuk memberikannya kepada orang-orang yang aku tidak tahu dari mana mereka datang ?" Jadi kita bisa lihat disini bahwa Nabal tidak mau mengingat bahwa sesungguhnya dia telah menerima kebaikan Daud yaitu perlindungan atas ternaknya, itu sebabnya dia tidak rela memberikan apa pun kepada Daud. Demikian pula dengan kita, bila kita beranggapan bahwa kita merasa tidak menerima apa pun baik dari Tuhan atau sesama, maka kita pun akhirnya tidak rela memberi kepada Tuhan atau pun sesama. |
GS | : | Minimal itu memang sulit seseorang ini mau memberikannya, biasanya itu juga sangat dipengaruhi oleh kondisi dimana dia dibesarkan entah itu di keluarganya atau di lingkungan suatu daerah yang tandus, dimana dia harus bekerja sangat keras atau orang tuanya bekerja sangat keras, tapi kesannya orang seperti ini kikir dan tidak bisa memberikan sesuatu atau tidak mampu memberikan sesuatu dari kemampuannya. |
PG | : | Jadi memang banyak orang yang seperti ini, kalau memang mereka dibesarkan dalam kondisi yang kekurangan dan harus bekerja keras untuk mendapatkan apa yang dibutuhkannya, akhirnya dia tidak terbiasa untuk memberi kepada orang sebab dia berkata, "Kenapa saya harus memberi, orang tidak bekerja tapi harus menerima sesuatu dari saya ?" dia tidak akan rela memberikannya. Tapi masalahnya adalah kita harus selalu ingat bahwa sebetulnya kita adalah orang yang telah menerima pemberian baik dari Tuhan maupun dari sesama. Kita harus sadar bahwa sebetulnya upaya kita terbatas dan pada akhirnya yang membuat kita dapat memiliki apa yang ada pada kita adalah Tuhan dan orang yang ada dalam hidup kita. Kita hanya dapat menjadi apa adanya sekarang ini karena kebaikan Tuhan dan orang-orang yang Ia hadirkan dalam hidup kita. Tidak ada yang namanya orang hidup sendirian di tengah pulau, kita selalu memunyai koneksi, pertemanan dengan orang dan bukankah kita selalu menerima sesuatu dari orang secara langsung atau tidak langsung. Jadi kita harus mengingat bahwa sebetulnya kita telah menerima begitu banyak pemberian baik dari Tuhan maupun dari sesama. |
GS | : | Tapi yang seringkali terjadi adalah seseorang merasa berhak untuk diberi. Saya tidak tahu persis kasusnya Nabal, mungkin perlindungan Daud terhadap Nabal, itu dianggap oleh Nabal suatu keharusan bahwa Daud harus melindungi Nabal sehingga pada saat Daud meminta pertolongan dari Nabal, Nabal merasa tidak wajib memberikan pertolongan pada Daud. Apa bisa seperti itu, Pak Paul ? |
PG | : | Atau memang Nabal adalah orang yang boleh untung tapi tidak boleh rugi sebab di zaman itu tidak jarang para perampok akan menyerang sekawanan gembala dan merampas domba-dombanya, sudah tentu orang-orang Daud karena mereka berjiwa kesatria, mereka akan membela (apakah pernah terjadi atau tidak kita memang tidak tahu) tapi para gembalanya Nabal mengakui bahwa orang-orang Daud itu seperti dinding atau tembok yang mengelilingi mereka berarti mereka mengatakan kalau mereka justru merasa sangat aman dilindungi oleh orang-orang Daud. Jadi yang saya bayangkan adalah mereka pasti bicara dengan tuannya, "Tuan, ini ada Daud dan orang-orangnya, mereka mengelilingi kita setiap hari, pagi, siang dan malam, sehingga kita aman ketika ada mereka". Seharusnya yang lebih manusiawi adalah Nabal seorang yang begitu kaya raya seharusnya berpikir, "Mereka kelaparan di tengah hutan belantara dan mereka mengelilingi dan berbuat baik untuk kita, maka kita akan bantu dan kirimkan bantuan". Tapi Nabal tidak punya pikiran seperti itu sedikit pun dan Daud memilih waktu yang juga tidak sembarangan untuk meminta bantuan kepada Nabal yaitu hari dimana ternak-ternaknya berlimpah ruah dan dia akan mendapatkan keuntungan yang besar dari pengguntingan bulu dombanya yang bisa dijual. Jadi Daud tidak sembarangan meminta, tapi dia tahu Nabal sedang berlimpah ruah dan dia meminta kebaikan Nabal namun inilah Nabal dan dia tidak ada pemikiran untuk memberi kepada orang dia tidak mau rugi tapi inginnya untung. Dia terima kebaikan Daud, tapi dia tidak mau memberikan kembali kepada Daud. |
GS | : | Memang tidak bisa disamaratakan, tapi ada banyak orang yang secara finansial berlebihan malah lebih sulit memberikan sebagian hartanya kepada orang lain dibandingkan mereka yang relatif sebenarnya dia sendiri yang membutuhkan itu. Hal apa yang menyebabkan seperti itu, Pak Paul ? |
PG | : | Memang sikap yang seringkali bisa menghalangi kita memberi adalah ketamakan, jadi orang yang tamak tidak bisa melihat hartanya berkurang sedikit pun dan dia hanya bisa melihat hartanya bertambah. Jadi yang namanya memberi adalah mengurangi apa yang dimilikinya, dan dia tidak bisa melakukannya, sedangkan ada orang-orang yang hidupnya bersahaja rela memberi, kenapa ? Dia tidak tamak dan dia merasa secukupnya saja dan sisanya dia bisa berikan. Jadi bergantung pula bagaimana seseorang itu melihat harta, kalau kita begitu membutuhkan dan begitu haus akan harta, maka kita akan susah sekali memiliki jiwa memberi. |
GS | : | Faktor lain yang membuat seseorang itu bisa berjiwa memberi dan tidak itu apa, Pak Paul ? |
PG | : | Yang kedua adalah jiwa memberi lahir bukan saja dari kesadaran bahwa apa yang ada pada diri kita merupakan pemberian Tuhan dan sesama, kita pun rela untuk melepaskannya kembali, sebab kita tidak pernah merasa berhak untuk memilikinya. Coba saya gunakan contoh di Alkitab yaitu raja Daud dan raja Saul. Dua-duanya sebetulnya sama-sama menyadari bahwa apa yang dimiliki mereka yaitu takhta kerajaan Israel adalah pemberian Tuhan semata. Bedanya adalah Daud rela melepaskannya, sedang Saul tidak. Waktu Daud jatuh ke dalam dosa ia sangat disadarkan akan ketidaklayakannya, itu sebabnya ketika putranya Absalom memberontak, Daud memilih untuk menyingkir dan dia pun menolak untuk membawa tabut perjanjian Tuhan, sebab ia tidak tahu apakah Tuhan akan membawanya kembali ke Yerusalem atau tidak. Coba kita simak apa yang dikatakan kepada imam Zadok yang tertulis di 2 Samuel 15:25-26, "Bawalah tabut Allah itu kembali ke kota; jika aku mendapat kasih karunia di mata TUHAN, maka Ia akan mengizinkan aku kembali, sehingga aku akan melihatnya lagi, juga tempat kediamannya. Tetapi jika Ia berfirman, begini: Aku tidak berkenan kepadamu, maka aku bersedia, biarlah dilakukan-Nya kepadaku apa yang baik di mata-Nya." Jadi kita bisa lihat disini Daud pasrah dan Daud tidak mengungkungi takhta kerajaannya dan dia sadar dia telah jatuh ke dalam dosa dan Tuhan bisa sewaktu-waktu mengambil takhta kerajaan itu darinya, dan dia siap melepaskannya. Jadi kalau kita mau memiliki jiwa memberi kita harus selalu mengingatkan diri kita bahwa meskipun kita memiliki apa yang kita punyai sekarang dan meskipun kita menyadari ini pemberian Tuhan atas kita, kita tidak boleh berkata, "Saya selayaknya memiliki semua ini" tidak ! Kita tidak selayaknya jadi waktu kita terima kita bisa berkata, "Tuhan memang saya tidak berhak memilikinya jadi sewaktu-waktu Tuhan mau ambil saya siap melepaskannya kembali". |
GS | : | Sikap seperti itu memang terbawa sejak lahir atau sedini mungkin atau harus dibentuk, Pak Paul ? |
PG | : | Saya percaya semua ini lewat bentukan, saya berikan contoh misalkan seorang anak sejak kecil terlalu diidolakan orang tuanya dan selalu orang tuanya berkata, "Kamu ini orang yang cantik dan kamu ini orang yang cerdas dan kamu selayaknya mendapatkan yang paling baik dan kamu selayaknya punya ini dan itu". Jadi setiap kali orang tuanya memberikan sesuatu, maka orang tuanya akan berkata hal seperti itu, "Apa jadinya pada anak ini setelah dia dewasa" dia akan beranggapan ini adalah milik dia dan selayaknya dia punya itu. Jadi bentukan keluarga juga bisa begitu. Dalam kasus Saul yang menarik adalah sebetulnya awalnya Saul tidak seperti itu, meskipun akhirnya dia tidak bersedia melepaskan takhtanya, tapi sekali lagi awalnya dia tidak begitu, dia awalnya sadar kalau dia tidak layak menerima kehormatan besar menjadi raja, itu sebabnya pada saat Samuel ingin menobatkannya sebagai raja, ia malah bersembunyi. Di 1 Samuel 9:21 kita bisa mendengar perkataan Saul, "Bukankah aku seorang suku Benyamin, suku yang terkecil di Israel ? Dan bukankah kaumku yang paling hina dari segala kaum suku Benyamin ? Mengapa bapa berkata demikian kepadaku?" Begitu merendah, begitu benar-benar bersedia untuk mengakui bahwa dia tidak layak menjadi seorang raja dan dia dari suku Benyamin yang paling kecil, dan dari antara semua kaum dari suku Benyamin kaum atau kelompoknya juga yang paling kecil atau yang paling hina. Tapi masalahnya dengan berjalannya waktu Saul mengalami transformasi, bukan menuju ke arah kebaikan melainkan ke arah keburukan, bukan makin merendah tapi malah makin meninggikan diri kendati dia jelas tahu bahwa Tuhan menolaknya, dia tidak rela melepaskan takhta pada akhirnya Samuel sendiri yang mengurapinya tidak lagi mau bertemu dengan dia, tapi Saul tetap bertahan sampai akhirnya. Tuhan merenggut takhta itu dari tangannya secara tragis dia mati di tangan orang Filistin. Jadi sekali lagi awalnya baik dia mengakui dia tidak layak, tapi akhirnya menikmati semua yang diberikan Tuhan, dia lupa diri dan tidak rela melepaskannya. |
GS | : | Dan itu masih terjadi sampai hari ini. Sebenarnya faktor apa yang membuat seseorang sulit melepaskan sesuatu yang tadinya dia tidak punya tapi setelah punya ini menjadi sesuatu yang dipertahankan mati-matian. |
PG | : | Yang pertama adanya faktor ketamakan. Jadi ketamakan itu kadang-kadang tidak dirasakan sampai kita mencicipi sesuatu. Misalnya makan, kita tidak pernah tahu menyukai makanan tertentu sampai kita memakannya, hingga akhirnya kita tidak bisa melepaskan makanan itu dan terus mencari makanan itu. Jadi ketamakan kadang-kadang tidak bisa dilihat dari awalnya. Saul ini jelas-jelas terlihat tamak dengan kuasa namun sebelum dia berkuasa dia tidak tahu dia tamak dengan kuasa, maka pada waktu mau dinobatkan dia malah bersembunyi dan berkata, "Dia adalah orang yang paling hina" namun ketika dia mencicipi kuasa dia tidak bisa lepaskan sebab barulah dia mengerti betapa manisnya kuasa dan ia begitu tamak, mau terus menghisap dan memakan kuasa itu dan tidak bersedia untuk melepaskannya. Orang yang berjiwa memberi akan kita lihat suatu yang nyata dalam dirinya yaitu mereka tidak menggenggam, maka ada orang-orang yang sebetulnya kaya raya tapi tidak tamak dengan kuasa dan harta, justru mereka begitu rela memberi, tapi ada orang yang tidak terlalu kaya raya dan seharusnya lebih bisa mengerti penderitaan orang tapi tidak peduli dengan orang, karena dia tidak bisa melepaskan apa yang telah ada dalam tangannya. Jadi memang itu kuncinya, ada orang yang bersedia melepaskan tangan dan ada orang yang terus menggenggam. |
GS | : | Jadi ketika Tuhan memberikan kekayaan, kekuasaan kepada kita. Apa yang harus kita lakukan supaya kita memiliki jiwa yang memberi, Pak Paul ? |
PG | : | Kita harus ingatkan diri kita bahwa sebenarnya kita tidak berhak menerima semua itu. Saya mungkin mau menyinggung di sini waktu Billy Graham diwawancara oleh Larry King di sebuah stasiun televisi dan ditanya, "Kalau nanti engkau akan ke surga dan bertemu dengan Tuhan, apa yang akan engkau katakan pada Tuhan ?" Billy Graham menjawab, "Kenapa saya, saya anak petani dari sebuah kota kecil, kenapa saya dipilih oleh-Mu, Tuhan, menjadi pemberita Injil, bisa memberitakan Injil kepada berjuta-juta umat manusia dan saya tidak layak menerima itu" dan yang kedua, yang dia katakan dengan jelas adalah "Saya menjadi seperti apa adanya karena orang menolong saya, karena begitu banyak orang yang telah mengulurkan tangan membantu saya, memungkinkan saya menjadi seperti apa adanya sekarang ini". Jadi sekali lagi sebuah sikap yang menyadari kita adalah orang yang menerima kebaikan orang dan kita tidak hidup sendirian jadi kita harus memberikan dan kita tidak berhak memunyai semua ini, jadi relakanlah untuk melepaskannya kembali. |
GS | : | Faktor yang lain apa, Pak Paul ? |
PG | : | Yang ketiga adalah jiwa memberi lahir dari kesadaran bahwa rencana Tuhan terus bergulir dan bahwa pekerjaan Tuhan terus berjalan dan Tuhan mengundang kita untuk berbagian di dalamnya. Tuhan memakai berbagai cara untuk menggenapi rencana-Nya, salah satunya adalah lewat partisipasi anak-anak-Nya melalui pemberian yang kita persembahkan kepada-Nya. Kesadaran bahwa pemberian kita tidak terbuang cuma-cuma dan malah dipakai untuk kepentingan Tuhan dapat memotivasi kita untuk memberi. Sewaktu Pdt. Andrew Gih memulai Seminari Alkitab Asia Tenggara, belum banyak orang memberikan dukungan namun dukungan datang secara ajaib dan pada waktunya, sehingga sekolah ini terus ada sampai sekarang. Kita mau berbicara tentang pelayanan Telaga yang disiarkan ini, ini pun ada sampai sekarang karena ada dukungan anak-anak Tuhan yang memberi, kadang Tuhan pun menggerakkan hati orang untuk memberi kepada kita sewaktu kita tengah membutuhkannya, lewat partisipasi anak Tuhan yang rela memberi maka pekerjaan dan rencana Tuhan pun digenapi. |
GS | : | Di dalam hal memberi bukan hanya terbatas pada memberi uang, juga tenaga, pikiran dan segala macam yang memang dibutuhkan oleh orang lain ? |
PG | : | Betul sekali. Jadi memang harus ada kepedulian, kepedulian dan kesadaran bahwa kita ini merupakan bagian dari pekerjaan Tuhan yang belum selesai. Jadi sedapatnya kita berbagian dan kita merasakan sukacita-Nya untuk berbagian dalam pekerjaan Tuhan. Saya ingat waktu kami sedang membangun pusat konseling yang digunakan di Malang ini, rektor sekolah meminta saya untuk mencari dana, memang saya berdoa dan meminta Tuhan memenuhi kebutuhan kami saat itu, tapi sampai minggu terakhir saya di Indonesia memang dana yang terkumpul sangat sedikit sekali, sehingga saya sudah berkata kepada pembangun untuk menghentikan proyek itu di tengah jalan. Hari terakhir atau minggu terakhir saya di Indonesia saya berkhotbah di sebuah kota, sebelum saya berangkat saya mendapatkan SMS dari seseorang yang berkata, "Bolehkah saya bertemu untuk konseling untuk anak-anak saya ?" Keluarga ini memang sudah pernah datang ke tempat konseling kami di kota Malang ini, dan saya sudah mengenalnya. Setelah selesai konseling anaknya, si bapak ini berkata kepada saya, "Pak Paul, saya melihat bahwa disana sedang dibangun gedung yang baru untuk konseling", saya jawab "Iya" ditanya, "Untuk apa ?" saya jawab "Untuk konseling anak-anak dan menambah ruangan untuk konselor yang lainnya" dan kemudian dia bertanya kepada saya, "Berapa jumlah yang masih dibutuhkan ?" Saya tidak mau menyebutkannya karena tidak enak, tapi dia terus bertanya kepada saya tentang berapa jumlah yang dibutuhkan, akhirnya saya menyebutkan sebuah jumlah dan dia langsung berkata, "Pak Paul, besok akan saya kirimkan dananya". Kenapa dia memberi ? Sebab dia melihat bahwa inilah bagian dari pekerjaan Tuhan dan dia melihat dirinya sebagai bagian dari pekerjaan Tuhan. Jadi apabila kita tidak peduli dengan rencana dan pekerjaan Tuhan maka kecil kemungkinan kita akan bersedia untuk memberi dan kita akan berkata, "Itu bukan urusan kita" sehingga kita tidak mau ambil bagian dalam pekerjaan Tuhan. Kalau ini yang terjadi, kita tertinggal di belakang dan tidak dipakai menjadi partner Tuhan. Tapi kalau kita berbagian dalam pekerjaan Tuhan, kita akan menyaksikan Tuhan bekerja dan kita akan mengenal Tuhan dengan lebih dekat lagi. |
GS | : | Apakah masih ada beberapa faktor lain yang perlu kita perbincangkan untuk membangkitkan jiwa memberi ? |
PG | : | Masih ada tiga lagi yang nanti akan kita angkat. |
GS | : | Tapi karena keterbatasan waktu untuk kali ini maka perbincangan kita, kita sudahi dulu pada saat ini, dan nanti akan kita lanjutkan pada kesempatan yang akan datang. Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Jiwa Memberi" bagian yang pertama dan kami akan melanjutkan perbincangan ini pada kesempatan yang akan datang. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telagatelaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang. |