Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Berhati-hati dengan Lidah". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Paul, kita tahu ada satu bagian anggota tubuh kita yang memang sulit sekali untuk dikendalikan bahkan kadang bisa mengendalikan tubuh kita, itu adalah lidah. Kita mungkin lebih mudah untuk mengendalikan yang namanya tangan kita atau kaki kita atau mata kita dibandingkan dengan mengendalikan lidah, dan ini bagaimana Pak Paul ?
PG : Saya setuju dengan pengamatan Pak Gunawan, mengendalikan lidah adalah sesuatu yang sulit itu sebabnya pergumulan kita dalam Tuhan senantiasa melibatkan lidah. Salah satu kisah tragis yang icatat di Alkitab adalah kisah kegagalan Musa yang tidak bisa masuk ke tanah yang Tuhan janjikan, dan kegagalan Musa diakibatkan oleh keteledorannya dengan lidahnya.
Di Mazmur 106:32-33, pemazmur kilas balik melihat apa yang terjadi saat itu, mereka menggusarkan Dia yaitu Tuhan dekat air Meriba sehingga Musa kena celaka karena mereka, sebab mereka memahitkan hati Musa sehingga dia teledor dengan kata-katanya. Jadi memang di padang gurun itu mereka mengeluh karena tidak ada air, dan seperti biasa kalau mereka mengeluh seolah-olah mereka lupa dengan apa yang Tuhan telah perbuat dan juga lupa apa yang Musa telah perbuat. Dia sudah bersusah payah memimpin mereka, memelihara mereka tapi kalau sedang marah dan kesal, mereka lupa dengan kebaikannya. Dan hati Musa menjadi pahit, "Mereka itu tidak berterima kasih dan kurang ajar." Dalam kemarahan Musa tidak menaati Tuhan. Tuhan hanya meminta Musa menyuruh bukit batu untuk mengeluarkan air, tapi Musa memukul bukit batu itu dua kali, sedangkan bukit batu itu melambangkan Tuhan yang akan mengeluarkan air, memelihara kebutuhan umatNya. Jadi Tuhan marah kepada Musa dan berkata, "Karena kamu tidak percaya kepadaKu dan tidak menghormati kekudusanKu di depan mata orang Israel, itu sebabnya kamu tidak akan membawa jemaah ini masuk ke negeri yang akan Aku berikan kepada mereka," ini semua tercatat di kitab Bilangan 20:2-13 . Karena itulah Musa tidak diizinkan masuk ke tanah yang Tuhan janjikan. Sekali lagi kisah ini tragis sebab Musa telah bekerja bersusah payah, mengeluarkan umat Israel keluar dari tanah Mesir tapi tidak bisa masuk, hanya karena teledor dengan lidahnya. Sayangnya ada begitu banyak orang yang gagal oleh karena perkataannya.
GS : Di Perjanjian Lama, tokoh yang bapak angkat adalah Musa, saya teringat akan Petrus di Perjanjian Baru, yang juga secara spontan kadang-kadang mengeluarkan kata-kata yang dia sendiri mungkin tidak tahu, dia berjanji tidak akan menyangkali tapi akhirnya dia menyangkali dan banyak hal dia keliru di dalam kata-katanya.
GS : Pak Paul, kalau kita seringkali gagal atau banyak orang gagal mengendalikan lidahnya, pasti Alkitab memberikan tuntunan bagi kita orang-orang beriman ini, bagaimana seharusnya kita mengendalikan lidah kita ?
PG : Saya akan ambil beberapa prinsip yang tertera di Yakobus 3:2-12, Pak Gunawan. Yang pertama adalah dalam Firman Tuhan itu ditegaskan bahwa banyak kesalahan dibuat oleh lidah, dengan kata lan, salah satu pergumulan terbesar dalam hidup adalah pergumulan mengekang lidah.
Kesalahan terbesar bukanlah pada dosa tidak mengatakan, melainkan mengatakan yang tidak seharusnya dikatakan. Firman Tuhan mengumpamakan orang yang mampu mengendalikan lidah seperti memiliki kekang pada mulut kuda atau kemudi pada kapal yang berlayar di tengah angin keras. Dengan Alkitab menggunakan perumpamaan kekang pada mulut kuda, kemudi pada kapal yang berlayar di tengah lautan yang berombak diterpa angin yang keras, itu semua memberikan kepada kita suatu indikasi bahwa Firman Tuhan mengakui bahwa mengekang lidah itu sangat sulit, sampai-sampai kita seperti mengekang kuda atau mengemudikan kapal yang sedang diterjang badai. Seperti itulah kerasnya gempuran-gempuran dalam hati kalau ingin mengeluarkan kata-kata dan kita harus menahannya.
GS : Memang semua berasal dari pikiran kita, apa yang kita pikirkan itu yang keluar dari lidah kita. Tapi tidak semua yang kita pikirkan itu disampaikan lewat kata-kata.
PG : Dan kita semua sebenarnya mengerti hal itu, kita sudah diberitahukan dan mungkin kita telah belajar dari kesalahan di masa lampau. Namun sewaktu saatnya tiba, kita tahu kalau kita tidak pelu bicara, tapi hati tidak tahan ingin bicara.
Itu merupakan pergumulan yang sangat berat, itu sebabnya kebanyakan dari kita gagal. Saya yakin, kalau Musa ditanya untuk kilas balik maka dia akan berkata, "Kenapa saya harus seperti itu, mengeluarkan kata-kata yang begitu kasar kepada umat Israel dan ini semua dalam rangka Tuhan ingin memelihara umatNya dan seharusnya saya mendukung menghormati kekudusan Tuhan dan tidak berbuat seperti itu." Tapi saya kira semuanya sudah terlambat, pada waktu peristiwa itu terjadi, Musa sudah tidak bisa menguasai dirinya sehingga keluarlah kata-kata dan tindakan yang menodai kekudusan Tuhan.
GS : Penyesalan memang seperti itu. Dan sering terjadi sampai sekarang ini, kadang-kadang kita juga mengalaminya yaitu setelah berbicara kemudian menyesal, sebenarnya saya tidak perlu bicara seperti itu karena itu akan membuat orang lain sakit hati dan sebagainya, tapi sudah terlambat, sudah terlontar dan membuat orang lain terluka karena kita.
PG : Betul sekali. Jadi inilah pergumulan kita, yaitu melawan desakan-desakan atau hal-hal yang tidak seharusnya kita katakan. Jadi dengan kata lain kita mesti mulai dari sekarang menyikapi perumulan melawan desakan-desakan yang tidak seharusnya, sebagai sebuah proyek yang besar.
Saya kira mengapa diantara kita itu gagal menahan lidah kita, karena kita tidak menganggap bahwa ini benar-benar sebuah pergumulan yang besar dan dahsyat, kita menganggap ini adalah pergumulan yang kecil dan biasa karena mungkin kita hanya melihatnya sebagai masalah lidah dan perkataan saja. Tapi ini adalah sebuah pergumulan yang dahsyat. Jadi kita harus bersiap-siap melawan raksasa yang besar ini dan jangan kita melihat masalah lidah ini sebagai masalah yang kecil sebab Alkitab sendiri mengatakan bahwa masalah lidah ini bukanlah masalah yang kecil, karena mengekang kuda dan menerjang badai adalah masalah yang besar. Nah, maka langkah pertama untuk bisa menahan lidah kita adalah mengakui ini adalah masalah besar yang harus kita hadapi, ini adalah proyek yang tidak ada habis-habisnya yang kita harus hadapi dan kita tidak boleh lengah.
GS : Mungkin orang juga lengah menahan lidahnya karena akibatnya, Pak Paul? Kalau kita memukul seseorang, maka orang akan menunjukkan bekas pukulan yang kamu perbuat tapi kalau melontarkan lewat kata-kata, maka akan sulit dibuktikan kalau dia terluka karena kata-kata kita.
PG : Tepat sekali. Kita memang lebih mudah melihat dampak yang kasat mata, misalkan tadi Pak Gunawan berikan contoh akibat pukulan-pukulan fisik maka kita akan melihat bekas-bekasnya, dan meman kalau perkataan kita tidak begitu jelas melihatnya.
Apalagi dalam budaya kita, kecenderungan orang itu untuk diam, untuk tidak mau mencetuskannya, tidak berkata apa-apa atau memberikan tanggapan. Jadi akhirnya kita beranggapan bahwa tidak apa-apa, namun Alkitab justru mengatakan bahwa akibat dari penggunaan lidah yang tidak dikekang adalah dahsyat, begitu dahsyatnya sehingga dilukiskan seperti kebakaran hutan yang besar dan racun yang mematikan dan kita tahu sewaktu hutan terbakar maka susah untuk dihentikan karena terus-menerus merembet sangat cepat, satu pohon terbakar bisa-bisa itu berhektar-hektar, berarea-area tanah hutan akan terbakar habis. Atau seperti racun yang mematikan, begitu racun masuk dengan cepat akan dibawa oleh darah ke jantung dan akhirnya ke otak dan kita pun bisa mati. Inilah yang Alkitab katakan bahwa betapa dahsyatnya akibat penggunaan lidah yang tidak bertanggung jawab. Efeknya menimbulkan kerusakan yang besar, bukankah banyak relasi yang rusak akibat lidah, antara suami-istri, antara orang tua dan anak, antara anak dan orang tua, antara sesama rekan baik itu dalam pekerjaan atau pun dalam pelayanan, persahabatan. Banyak kepercayaan yang mulai hilang oleh lidah dan banyak respek yang pudar juga oleh karena lidah. Jadi benar-benar dampaknya itu sangat dahsyat. Maka kita harus benar-benar melihat ini adalah suatu proyek yang besar, kalau kita gagal menahannya maka dampak kerusakannya memang sangat luas.
GS : Mungkin yang membuat kita lengah adalah dampak itu tidak terjadi seketika. Kalau kita kembali lagi kepada contoh kita yang tadi yaitu memukul orang, dampak itu seketika kita lihat, yaitu orangnya pingsan dan sebagainya karena kita pukul. Tapi kalau karena kata-kata, mungkin saat itu kita tidak melihat apa-apa karena kita agak meremehkan, walaupun dikatakan dampak berikutnya bisa dahsyat seperti kebakaran hutan dan sebagainya.
PG : Kadang-kadang kita juga bersikap defensif, selain kita tidak melihat langsung dampak kerusakan. Yang berikutnya lagi adalah kita sebagai manusia tidak cepat mengakui kesalahan dan kadang-kdang kita berkata, "Itu salahmu dan kenapa kamu harus merasa tersinggung, kenapa kamu harus merasa marah" seolah-olah kita bebas mengatakan apa saja dan orang tidak harus dan tidak boleh terpengaruh oleh kata-kata kita.
Itu tidak mungkin sebab di dunia ini apa yang kita lakukan bisa menimbulkan sebuah akibat tapi adakalanya kita bersikap defensif, "Tidak, saya tidak salah dan saya bicara seperti itu benar. Terserah orang mau mendengarnya seperti apa, orang tidak percaya dengan saya, saya tidak pusingkan." Akhirnya semua rusak dan kita tetap merasa diri benar. Orang yang beranggapan diri selalu benar, tidak peduli dengan penggunaan kata-katanya akhirnya akan menjadi orang yang sangat kesepian, Pak Gunawan. Dia akan hidup sendirian sebab orang-orang yang makin dekat dengan dia, akan makin menjauh karena takut kalau nanti akan terkena serangan dari perkataannya atau memang sudah kehilangan respek kepadanya. Tapi sekali lagi kalau orangnya tidak mau menyadari bahwa ini ditimbulkan oleh perkataannya dan dia yang harus berubah, sampai kapan pun tidak akan ada perubahan.
GS : Sikap defensif itu seringkali juga terlontar dengan pernyataan, "Maksud saya sebenarnya bukan seperti apa yang saya katakan", jadi maksudnya berbeda, Pak Paul. "Saya tidak bermaksud buruk." Misalnya seperti itu tapi kata-kata yang dikeluarkan itu sangat tajam sekali.
PG : Betul, dan kalau itu yang memang terjadi maka kita bisa maklumi karena kita memang manusia tidak sempurna dan kita minta maaf. Kita jangan membela diri meskipun kita berkata, "Ini bukan masud saya," tapi kalau menimbulkan dampak yang merusakkan, maka kita minta maaf agar dapat merekonsiliasi kembali perkataan dan itu jangan sampai merusakkan relasi kita.
Jadi kita mau simpulkan Pak Gunawan, bahwa tidak bisa tidak dalam mengendalikan lidah seringkali kita gagal. Saya kira jarang sekali orang yang bisa berkata, "Saya selalu berhasil menahan lidah saya" saya kira kita akan selalu mengalami penyesalan-penyesalan, "Kenapa tadi saya katakan," dan sekali lagi ini adalah dosa mengatakan yang tidak seharusnya, jarang sekali kita menyesali apa yang tidak kita katakan. "Kenapa tidak saya katakan" itu lebih jarang. Jadi yang lebih sering adalah kenapa akhirnya saya harus mengatakan. Maka di Alkitab, di kitab Yakobus, lidah diumpamakan seperti binatang buas yang tidak bisa dijinakkan, tidak bisa dijinakkan sepenuhnya. Maka kita harus senantiasa menjaga diri, menyadari bahwa ada binatang buas yang sewaktu-waktu bisa keluar dengan liar dan kita senantiasa harus berhati-hati.
GS : Memang semua itu adalah merupakan ungkapan isi hati kita, apa yang ada di dalam hati kita, itu terlontar lewat kata-kata. Apakah seperti itu ?
PG : Tepat sekali. Firman Tuhan di Yakobus memberikan ilustrasi yang indah sekali yaitu mata air atau sumber air tidak akan mungkin mengeluarkan air pahit dan air manis, kalau sumber air itu megeluarkan air yang pahit maka semua akan pahit dan kalau mengeluarkan air yang manis maka semua akan menjadi manis.
Dan Firman Tuhan berkata, "Tidak bisa kita ini memuji Tuhan, menghormati Tuhan, memuliakan dengan lidah tapi di saat yang sama kita bisa mengumpat-umpat Tuhan." Lidah memang bisa seperti itu, tapi Tuhan berkata, "Jangan sampai kita seperti itu" bagaimana caranya agar sumber mata air kita yang adalah hati kita mengeluarkan kedua-duanya. "Kepahitan, kebencian dan juga kemanisan. Bagaimana caranya ?" Firman Tuhan menekankan, kita harus menjaga hati kita, membersihkan hati kita sehingga darinya akan keluar air yang bersih. Dengan kata lain, pengekangan lidah diawali dengan pembersihan hati. Jadi di sini Alkitab memberikan kepada kita sebuah fokus yang sangat tepat. Kalau kita hanya berputar-putar mengekang lidah, maka hal itu sangat sulit akan terus gagal. Maka kita harus masuk ke dalam, ke titik awalnya yaitu hati kita, kalau hati kita penuh dengan kepahitan maka kepahitanlah yang akan keluar dari mulut kita, sebaliknya bila hati kita dipenuhi kasih Tuhan maka kasihlah yang akan keluar dari mulut kita. Dan juga jika hati penuh dengan iman, percaya pada Tuhan Yesus maka pengharapan dan keyakinanlah yang akan keluar dari mulut kita, sekali lagi kita mau fokuskan kepada hati, bersihkan hati sebersih-bersihnya sehingga nanti lidah pun akan menurut, akan keluar sesuai dengan isi hati kita.
GS : Dan itu memang mesti dilakukan tiap-tiap hari, tidak bisa kalau dilakukan sekali tapi untuk selama-lamanya, setiap hari menjadi pergumulan kita.
PG : Maka ada baiknya waktu pagi hari kita datang kepada Tuhan, kita berdoa, kita membaca FirmanNya. Di malam hari sebelum kita tidur, kita memikirkan apa yang terjadi seharian mungkin ada tindkan, ada perkataan yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan, tenanglah di malam hari, periksalah, dan kalau Roh Kudus memunculkan hal-hal yang perlu kita akui jangan kita melawan, dan jangan kita defensif membenarkan diri.
Mengakui dan kita coba membenahi diri, "Mari kita bereskan, mari kita akui perbuatan kita dan meminta maaf kepada orang yang bersangkutan dan mengakuinya." Dengan cara itulah maka hari lepas hari hati kita bisa terjaga. Kata Pak Gunawan benar, ini bukanlah apa yang kita lakukan sekali dan berlangsung seumur hidup.
GS : Mungkin kita bisa mencontoh doa pemazmur yang berkata, "Tuhan jadilah penjaga atas mulutku."
GS : Apakah Pak Paul, mempunyai langkah-langkah praktis untuk menolong para pendengar sekalian, tentang bagaimana kita sebenarnya harus mengekang lidah ?
PG : Ada beberapa yang bisa saya bagikan. Yang pertama adalah sebelum berkata-kata kita harus memastikan kebenarannya terlebih dahulu, jangan sampai kita menyebarkan gosip yang dapat menghancuran hidup orang lain apalagi kalau ini menyangkut integritas orang lain, kita benar-benar mesti memastikannya dan sudah tentu kalau memastikan kita tidak langsung ke nara sumbernya.
Kadang-kadang kita mendengar sesuatu dari pihak yang ketiga atau pihak yang lain, kita mesti mengecek dari pihak itu apakah memang informasi tersebut sungguh-sungguh telah dicek, sungguh-sungguh benar dan orang yang memberitahukan adalah orang-orang yang memang dapat kita percayai. Jadi kalau kita tidak bisa mengeceknya ke nara sumber maka kita harus memastikan bahwa yang menyampaikan itu layak dipercaya, bahwa dia pun telah melakukan cek dan cek ulang. Bukankah ini adalah prinsip etika jurnalistik bahwa apapun yang telah dilaporkan dianggap sudah dicek dan terpercaya dan kita pun harus melakukan hal yang sama, sebelum mengatakan sesuatu yang memang bernada negatif tentang seseorang atau sebuah peristiwa atau lembaga, jangan sampai kita mengatakan sesuatu gegabah tidak mengeceknya terlebih dahulu dan terlanjur disebarluaskan, itu akan sangat susah sekali untuk dikoreksi.
GS : Itu kalau untuk orang lain maka kita melakukan check and re-check seperti itu. Tapi kalau untuk diri sendiri, kalau kita mengatakan sesuatu hendaknya kita mengatakan sesuatu yang benar tentang diri kita, jadi bukan dengan dusta atau kebohongan.
PG : Penting sekali, Pak Gunawan. Kalau kita menyimpan kepahitan atau kemarahan kepada seseorang maka dia cenderung melebihkan. Jadi kita memulai dengan yang benar atau yang fakta tapi selebihna itu adalah ciptaan kita, bumbu kita, kita tambah-tambahkan, kita mesti berhati-hati untuk tidak menambahkan, apa yang tidak dikatakan oleh orang, jangan kita katakan, "Dia mengatakan ini" jadi jangan menambahkan.
Atau jangan mengubah perkataan menjadi lebih serius, berat, jadi seolah-olah orang yang mengatakan itu menjadi lebih buruk dan kita mesti berhati-hati. Makanya kita harus menjaga hati ini, kalau hati sudah penuh dengan kedengkian, kemarahan, tidak bisa tidak yang keluar dari mulut pastilah ampas-ampasnya yang juga buruk.
GS : Dalam hal ini, kita juga harus berhati-hati di dalam mengutip ayat Firman Tuhan. Kadang-kadang kita tambah-tambahkan padahal Tuhan mengatakan, "Tidak boleh ditambahkan dan tidak boleh dikurangi".
PG : Kadang-kadang kita dengar hal-hal seperti ini yaitu orang yang berkata "Firman Tuhan seperti ini" padahal tidak ada di Firman Tuhan. Itu karena apa ? Bisa saja karena dia lupa, atau dia medengar dari orang lain, dia anggap itu adalah Firman Tuhan padahal bukan.
Tapi yang lebih berbahaya adalah seolah-olah dia itu menciptakan sebuah ayat untuk mendukung perilakunya atau mendukung keinginannya dan itu yang berbahaya maka kita tidak boleh melakukan hal seperti itu.
GS : Jadi harus dalam kebenaran yang pertama, tapi sebelum kata-kata itu keluar, kita sendiri itu harus memikirkan apa yang kita katakan.
PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Jadi kita harus selalu berpikir ke depan yaitu kalau saya mengatakan hal ini apa yang menjadi dampaknya. Saya tidak berkata gara-gara kita memikirkan dampaknya kmudian kita tidak mengatakan, bukan itu.
Adakalanya kita mesti mengatakan kendati dampaknya itu sangat berat, kita mesti menanggungnya namun kita mesti bertanya apakah kita siap untuk menanggung dampaknya. Jangan sampai kita hanya melempar batu kemudian menyembunyikan tangan kita, kalau kita yang mengatakan, maka kita tanggung jangan sampai kita lempar tanggung jawab itu kepada orang lain, tidak! Kalau kita yang melakukan maka kita yang menanggung akibatnya. Tapi sekali lagi kita mesti siap untuk menanggungnya, kalau tidak siap menanggungnya mohon dipertimbangkan ulang.
GS : Mungkin ada contoh langkah praktis yang lain yang ingin Pak Paul sampaikan ?
PG : Sebelum berkata-kata sesuatu, yang mengandung emosi maka tahanlah dan menyingkirlah, tenangkan hati sampai gejolak reda, baru kemudian timbang lagi apakah memang perlu kita mengatakannya. anyak kali saya harus diam menenangkan diri dan menyingkir dari situasinya, kemudian setelah saya reda, kemudian saya berpikir, "Tidak perlu."
Betapa banyak hal yang kalau tidak lagi emosi dan pikiran kita sudah kembali tenang, sebetulnya kita tidak mau mengatakannya. Makanya kalau kita tahu emosi sedang naik sebaiknya diam dan menyingkir dari situasi tersebut supaya kita bisa tenang dan kita tidak harus mengatakan hal-hal yang nanti kita sesali.
GS : Di dalam hal ini Pak Paul, kita melihat kenyataan di dalam kehidupan sehari-hari, kaum pria itu lebih mampu mengendalikan diri seperti itu dibandingkan dengan wanita. Apa sebabnya, Pak Paul ?
PG : Tidak bisa disangkal memang pada umumnya tidak setiap kasus, tapi pada umumnya wanita itu lebih mudah terpengaruh dengan gejolak emosinya. Oleh karena itu jauh lebih sulit baginya untuk megendalikan perkataan sewaktu dia sedang emosi.
Maka sedapatnya terutama wanita kalau menyadari memang mempunyai masalah dengan hal ini maka harus lebih berhati-hati, sewaktu lagi emosi cobalah tahan, cobalah menyingkir, cobalah tenangkan hati dulu. Jangan mengatakan hal-hal yang nanti sangat menusuk hati pasangan atau anak-anak.
GS : Tapi kaum pria pun tidak terbebas dari hal itu, contohnya tadi yang saya katakan yaitu Petrus juga suka spontan bicara.
PG : Benar, dan Musa juga seorang pria. Dan betul sekali ini memang bukan hanya untuk seorang wanita tapi juga untuk pria. Kita semua harus selalu berjuang mengekang lidah kita.
GS : Mungkin ada langkah praktis terakhir yang ingin Pak Paul sampaikan ?
PG : Yang terakhir adalah sebelum berkata-kata ujilah terlebih dahulu, apakah ada dosa di dalamnya. Jika ada, berhentilah jangan meneruskan kalau kita tahu bahwa kita marah atau dengki dan kitamau mengatakan sesuatu sengaja untuk melukai atau menodai kehormatan orang lain, maka lebih baik jangan.
Jangan sampai mulut kita dipakai sebagai kendaraan untuk melakukan dosa.
GS : Memang satu-satunya yang bisa memberikan kekuatan kepada kita untuk mengekang lidah atau berhati-hati dengan lidah, saya kira hanya Tuhan sendiri, Pak Paul. Kita sebagai manusia akan kesulitan menjaga lidah kita sendiri. Dalam hal ini apakah ada ayat Firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan ?
PG : Firman Tuhan di Yakobus 3:2 berkata, "Barangsiapa tidak bersalah dalam perkataannya, ia adalah orang yang sempurna, yang dapat juga mengendalikan seluruh tubuhnya." Firman Tuhan tidak akanmeminta kita melakukan sesuatu yang tidak mungkin kita lakukan, jadi ini mungkin tapi harus dengan pertolonganNya.
Firman Tuhan sudah memberikan beberapa panduan dan kita coba untuk mengikutinya, dan kalau kita mencoba untuk mengikutinya dan menaati pada akhirnya kita bisa mengendalikan lidah kita.
GS : Saya rasa ini menjadi pergumulan kita seumur hidup, Pak Paul. Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Berhati-hati dengan Lidah." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.