[ketundukan_sejati] =>
T 309 B
Lengkap
"Ketundukan Sejati" oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang"Ketundukan Sejati". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Beberapa waktu yang lalu kita sudah membicarakan tentang alasan atau mengapa istri harus tunduk kepada suaminya dan memang Alkitab berkata demikian. Namun kenyataannya ada istri yang betul-betul tunduk sesuai kehendak Tuhan atau yang Alkitab katakan, tapi ada juga yang tunduknya karena terpaksa berarti ada ketundukan yang memang benar atau yang sejati tapi ada juga ketundukan yang semu Pak Paul, dan ini bagaimana, Pak Paul ?
PG : Seperti yang telah kita bahas di masa yang lampau bahwa kita mau terbuka dengan perubahan-perubahan zaman, dan kenapa bagi wanita itu tidak mudah tunduk begitu saja kepada suami. Kita suda membahas bahwa perempuan sekarang memunyai kesempatan untuk mengecap pendidikan sehingga cenderung lebih kritis dan tidak begitu saja bisa menerima apa yang suami katakan, jadi banyak hal yang telah kita bahas yang memang menambah sukarnya wanita untuk tunduk.
Jadi sebagai laki-laki juga harus lebih fleksibel dan sensitif dalam hal ini. Sekarang saya kira perlu membahas bagaimana caranya wanita atau istri dapat menerapkan firman Tuhan yang memang meminta wanita untuk tunduk kepada suami, sebab Tuhan sudah menetapkan seorang suami sebagai kepala keluarga.
GS : Dan apa yang bisa dilakukan oleh seorang istri untuk tunduk kepada suaminya sesuai dengan firman Tuhan ?
PG : Yang pertama yang ingin saya katakan adalah ketundukan sejati tidak bisa lahir dari keterpaksaan dan ketundukan sejati keluar dari hati yang mengasihi. Jadi jika istri tidak lagi mau mengaihi suami, pasti akan sulit bagi si istri untuk tunduk kepada suami.
Jadi sekarang bagaimana cara istri untuk terus mengasihi suami sehingga bisa tunduk kepada suami, ketundukan yang lahir dari kasihnya. Salah satu cara untuk mengasihi suami adalah dengan cara meneropong kelemahannya dari kacamata kekuatannya. Artinya bangunlah relasi di atas dasar kekuatan dan bukan kelemahan. Jadi jangan kita membalikkannya yaitu dengan meneropong kekuatan suami dari kelemahan-kelemahannya. Jangan seperti itu, jadi kita harus selalu melihat kekuatan-kekuatannya, dibalik kekuatannya memang ada kelemahannya tapi yang kita dahulukan adalah kekuatan atau kelebihan-kelebihan si suami, apa-apa yang baik yang suami berikan kepadanya. Jadi dasarkan cinta atas kelebihan-kelebihan atau kekuatan si suami itu dan kita bertanggung jawab untuk menyuburkannya, misalkan si istri memberikan pujian kepada si suami, memberikan dorongan untuk mengembangkan sisi terbaik pada dirinya dan sekali-sekali istri berkata,"Saya berterima kasih kamu mau bekerja keras untuk keluarga dan saya sangat menghargai kamu yang selalu ingat kami walaupun kamu pulang jauh malam dan urusan repot, saya menghargai kamu karena kamu setia dengan keluarga dan kami tidak pernah mengkhianati kami". Pujilah supaya pujian-pujian itu menjadi kekuatan bagi si suami untuk meneruskan kebiasaan-kebiasaan baiknya dan untuk mulai mengurangi kelemahan-kelemahannya pula.
GS : Setiap orang pasti punya kelebihan dan kekurangannya, Pak Paul, jadi artinya kalau kita mau melihat dengan jujur tentang suami ini, pasti ada hal-hal positif di dalam dirinya dan itu yang ditonjolkan kemudian digunakan sebagai alasan untuk si istri itu tunduk, Pak Paul.
PG : Jadi betul. Dengan dia melihat hal-hal yang positif itu maka kasih akan terpelihara. Waktu kasih itu terus berkobar, ketundukan akan lebih mudah. Jadi saya mau tekankan bahwa kalau istri sdah kehilangan kasih hampir mustahil dia bisa tunduk dengan sukarela atau dengan sejati.
Tapi kalau masih ada kasih maka dia akan lebih mudah untuk menundukkan dirinya.
GS : Dan ketundukan itu bisa dilakukan dengan sukarela tanpa keterpaksaan, Pak Paul ?
PG : Betul sekali, Pak Gunawan.
GS : Yang lain apa, Pak Paul ?
PG : Ketundukan sejati tidak dapat lahir dari keterpaksaan, namun demikian ketundukan sejati dipertahankan lewat keterpaksaan. Saya ulang lagi, ketundukan sejati memang tidak dapat lahir dari kterpaksaan namun demikian ketundukan sejati dipertahankan lewat keterpaksaan.
Maksudnya adalah kita harus memaksa diri sebagai istri untuk tunduk kendati kita tidak ingin dan tidak rela, kenapa ? Demi mendahulukan kehendak suami. Jadi saya juga harus mengakui fakta bahwa ketundukan tidak selalu keluar secara alamiah, adakalanya kita tidak menyetujui pemikiran suami dan ingin melakukan apa yang kita ingin kehendaki, itu adalah bagian-bagian yang normal atau yang wajar dalam kehidupan tapi belajarlah untuk menunda dan jangan memaksakan kehendak, berhubung suami adalah kepala keluarga maka kita tidak bisa dan tidak seharusnya membantahnya secara langsung atau menunjukkan sikap memberontak.
GS : Jadi ketundukan itu semacam sebuah disiplin bagi si istri terhadap suaminya ?
PG : Tepat sekali, Pak Gunawan, dengan kata lain seorang istri juga perlu mendisiplin dirinya untuk tunduk sebab tunduk tidak selalu keluar secara alamiah, adakalanya dia harus melawan kehendakdirinya.
Jadi dengan kata lain ada unsur keterpaksaan. Maka tadi saya tekankan ketundukan sejati tidak bisa lahir dari keterpaksaan sebab hanya dapat lahir dari kasih namun ketundukan sejati dipertahankan lewat keterpaksaan karena tidak selalu kita bersedia tunduk, jadi kadang-kadang harus memaksa diri untuk tunduk pula.
GS : Itu berarti istri harus menunda apa yang dia inginkan yang sebenarnya tidak mau tunduk atau dia ingin berontak, namun dia harus ditunda. Apa pengertian menunda ini, Pak Paul ?
PG : Menunda berarti mencari kesempatan yang lain yang lebih tepat untuk mendiskusikan suatu hal. Jadi misalkan si istri mengajukan usulan dan suami tidak setuju maka jangan langsung membantah an langsung mengatakan kalau kamu tidak mau mendengarkan saya, egois, jangan lakukan itu tapi tundalah dan katakan kepada diri,"Tidak apa-apa", diam diri saja, terima saja dan cari kesempatan yang lain yang lebih tepat untuk mendiskusikannya.
Menunda juga berarti misalnya menyiapkan suami untuk lebih dapat memahami keinginan dan pemikiran kita, sebab adakalanya suami tidak menerima pendapat kita memang dia tidak mengerti sedalam-dalamnya apa yang terkandung dalam hati. Jadi dengan pembicaraan lanjut, lebih menjelaskan isi hati kita, kenapa kita mengusulkan ini dan kenapa kita meminta itu maka perlahan-lahan suami akan lebih mengerti dan melihat masalah itu dari kacamata kita, sehingga akhirnya dia lebih bersedia untuk mendengarkan kita dan sudah tentu menunda juga berarti mendoakan suami supaya dia rela mengesampingkan egonya dan memikirkan kepentingan kita pula.
GS : Memang mencari kesempatan yang seperti Pak Paul katakan, menjadikan si istri jeli mengenai suasana hati si suami, apakah dia siap untuk diajak berdiskusi atau tidak. Kadangkala si istri ini kurang bijak menentukan waktu yang tepat sehingga suami ini merasa tersinggung dan kemudian tidak bisa diajak berdiskusi, Pak Paul.
PG : Betul sekali. Jadi waktu itu penting dan jangan sampai kita memilih waktu yang tidak penting. Mungkin ada pendengar kita yang wanita berkata,"Wah wanita harus menjadi seperti pembantu atauseperti pegawai yang harus memperlakukan suami seperti majikan, harus mengerti ‘timing’nya dan sebagainya," saya kira bukan seperti itu, sebab bukankah itu prinsip yang harus kita terapkan dalam setiap relasi dengan siapa pun.
Misalkan dengan anak kita, kita juga harus memerhatikan ‘timing’nya, bicara dengan anak yang cocok dan jangan sampai apa yang kita ingin sampaikan menjadi boomerang dan kembali kepada kita kembali. Dengan rekan kerja kita pun sama, kita juga memerhatikan kira-kira ‘timing’nya tepat atau tidak, demikian pula dengan suami carilah waktu yang tepat supaya suami lebih bisa memertimbangkan masukan kita.
GS : Kalau istri mendoakan suaminya, supaya suami mengesampingkan egonya apakah itu bukan justru menunjukkan kalau istri ini egoistis, Pak Paul ?
PG : Sudah tentu waktu dua orang itu mengemukakan pendapat maka dua orang itu pasti ingin agar pendapatnya itu dimenangkan. Jadi saya kira tidak bisa tidak di dalam pernikahan masalah ego menjai masalah yang relevan, baik dari pihak istri maupun dari pihak suami.
Jadi dalam pengambilan keputusan kadang-kadang si suami itu bisa egois, dan tidak bisa disangkal kita sebagai laki-laki kadang-kadang egois. Kalau istri memang melihat kita ini egois, daripada si istri langsung menyerang suami dan menuduhnya egois, maka lebih baik sebut nama suami dalam doa dan meminta Tuhan untuk mengesampingkan egonya sehingga si suami lebih berkenan untuk mendengarkan si istri.
GS : Apa akibatnya kalau ketundukan sejati itu dipertahankan lewat keterpaksaan ?
PG : Saya kira kalau ketundukan sejati terus menerus dipertahankan lewat keterpaksaan maka saya kira pada akhirnya rumah tangga itu akan rusak, sebab memang harus ada kasihnya juga. Maka sekalilagi saya mau singgung bahwa harus lahir dari kasih dan itu yang pertama, tapi memang sekali-sekali harus dipertahankan lewat keterpaksaan sebab seseorang memang harus menunda dan belajar mengalah.
GS : Jadi setengahnya menyangkali diri, Pak Paul ?
PG : Betul sekali, Pak Gunawan.
GS : Hal lain apa, Pak Paul ?
PG : Untuk menerapkan perintah Tuhan supaya istri itu tunduk kepada suami, maka kita harus menyadari siapakah diri kita dan kita harus mengakui di kalangan istri bahwa ada istri yang memang bekarakter keras dan dominan dan kita harus mengakui fakta ini.
Jadi tidak selalu perempuan itu berwatak lembut, berwatak tidak dominan, bersedia menurut, tidak seperti itu. Ada wanita yang sangat keras kepala, tidak bisa tunduk dan memang agak dominan. Kalau memang kita seperti itu maka kita harus mengakuinya. Ini sangat penting sebab misalnya kalau ada apa-apa dengan si suami, langsung menyalahkan suami sebab dia buta terhadap dirinya sendiri bahwa dia adalah seorang yang dominan.
GS : Kalau seorang istri itu begitu dominan, berkarakter keras, tentu itu ada alasan-alasannya, dan itu biasanya apa saja, Pak Paul ?
PG : Mungkin perempuan itu dibesarkan dalam keluarga di mana ibu berperan sepenuhnya sedangkan ayah hampir-hampir tidak memiliki peranan apa pun. Jadi akhirnya si anak perempuan itu hanya meliht contoh ibu yang berperan, yang mengurus rumah dan sebagainya.
Sedangkan melihat contoh ayah yang sama sekali tidak berperan sehingga tidak bisa mencontohnya, sehingga si anak itu tidak bisa mengikuti atau mengadopsi sikap-sikap dan nilai-nilai atau gaya hidup si ibu yang mengurus semuanya, sehingga akhirnya menjadi lebih dominan atau misalnya dalam satu keluarga hampir semua saudara adalah perempuan dan hanya si ayah yang laki satu-satunya sehingga akhirnya suara perempuan menjadi suara terbanyak di dalam keluarga sehingga mereka lebih terbiasa untuk mengatur dan mengurus semuanya tanpa harus berkonsultasi dengan si ayah, karena si ayah itu minoritas dalam rumah. Atau kenapa ada perempuan yang dominan ? Mungkin karena memang dia memiliki tingkat keegoisan yang tinggi dan sukar untuk mengalah, sehingga kehendaknya sukar untuk dibendung dan memang ada perempuan yang seperti itu yaitu egois sehingga tidak mau peduli dengan perasaan seseorang dan dia akan melakukan apa yang ingin dia lakukan.
GS : Apakah itu berarti kalau orang tuanya bercerai khususnya ayahnya meninggalkan dia atau meninggal, ada kecenderungan besar bahwa anak perempuan ini akan menjadi seorang wanita yang dominan, Pak Paul ?
PG : Belum tentu, Pak Gunawan. Sebab misalnya si ibu itu berperan sebab misalnya suaminya itu masih hidup, dia itu akan tetap tunduk kepada si suami dan anak-anaknya melihat bahwa ibunya itu tuduk dan itu akan menjadi sebuah model yang nanti diikuti oleh anak-anaknya.
Jadi sering kita melihat di dalam keluarga, kalau anak-anak itu melihat pola sebuah relasi yang sehat maka mereka akan meneruskannya, tapi kalau misalkan tidak sehat maka akan ada kecenderungan yang tidak sehat itu pula dan itu sangat disayangkan. Tapi sekali lagi menjawab pertanyaan Pak Gunawan, saya kira kalau ibu itu memberi contoh yang baik yakni dia itu tunduk kepada suaminya meskipun pada akhirnya si suami itu meninggal maka si ibu itu akan tetap menekankan nilai hidup seperti itu dan anak-anaknya akan cenderung juga menyerapnya.
GS : Tapi kalau dia itu diceraikan atau ditinggal oleh si suami, biasanya di hadapan anak-anak, ibu ini menyalah-nyalahkan suaminya atau mantan suaminya itu, Pak Paul sehingga di hadapan anak-anak ini terbentuk ‘image’ atau gambaran bahwa tidak perlu tunduk terhadap para pria.
PG : Betul sekali. Jadi kalau memang ayah itu meninggalkan ibu dan apalagi kalau meninggalkannya tidak baik-baik karena ada perempuan lain, maka sudah tentu itu akan memancing kemarahan dalam dri si anak, dan misalkan dia adalah anak perempuan maka tidak bisa tidak contoh itu akan menjadi contoh yang negatif tentang pria, sehingga bisa jadi waktu dia menikah, dia sudah memasuki pernikahan dengan membawa ‘image’ atau pandangan buruk terhadap pria sehingga dia tidak mudah untuk tunduk, sebab dia takut kalau dia tunduk maka apa yang terjadi pada ibunya akan terulang pada dirinya.
GS : Dan dia sendiri kuatir kalau dia sendiri suatu saat akan diperlakukan seperti itu Pak Paul, ditinggal atau ditindas oleh suaminya. Jadi akhirnya dia lebih dahulu yang melakukan seperti itu.
PG : Betul. Ataupun kalau dia tidak menguasai si suami tapi dia tidak akan bersedia untuk berada di bawah si suami atau ikut pada kehendak si suami. Jadi benar-benar dia akan mempertahankan sisem bagi kuasa dan benar-benar seperti sebuah kemitraan dan bukan sebuah kesatuan lagi.
GS : Berarti menyadari diri ini sangat penting, Pak Paul ?
PG : Saya kira iya sebab kalau tidak, maka kita akan terus menyalahkan pasangan kita bahwa dialah yang menjadi penyebab masalah.
GS : Kalau kita menyadari hal itu maka apa yang harus dilakukan, Pak Paul ?
PG : Jika kita memang menyadari bahwa kita memang yang egois, dominan karena latar belakang kita dan sebagainya, maka kita harus yang pertama-tama berusaha keras menahan mulut untuk mengeluarka pendapat dengan segera, kecenderungan kita orang yang dominan adalah mengeluarkan pendapat dan hal inilah yang merupakan salah satu sumber masalah.
Jadi nasehat praktis saya adalah mencoba terus menjaga mulut dan jangan langsung mengeluarkan pendapat dan jangan ada apa-apa langsung ceplas-ceplos dan langsung memberitahukan suami,"Saya tidak setuju, ini bukanlah hal yang baik, ini seharusnya tidak begini, tidak ada yang bisa mengerti dan sebagainya", jangan seperti itu, tapi tolong jaga mulut dan jangan sampai mulut itu mendahului pemikiran kita, Pak Gunawan.
GS : Jadi disamping mulut, tindakannya juga harus berbicara, Pak Paul, meskipun dia tidak bicara, kalau tindakannya menunjukkan hal itu maka akan sama saja, Pak Paul.
PG : Betul. Jadi kita harus berusaha menahan diri untuk mengambil keputusan sendiri tanpa mengkonsultasikannya dengan suami. Adakalanya apa yang kita pikirkan dan kita anggap baik maka langsungkita mengambil keputusan dan bertindak, tapi akhirnya suami merasa tersisihkan.
Kadang karena terlalu yakin kita tidak merasa perlu bertukar pikiran dengan suami, ini yang tidak benar. Dari awal pernikahan kita harus mendisiplin diri untuk mengkonsultasikannya dengan suami walaupun ada kemungkinan kita akan beradu pendapat alias konflik.
GS : Dan justru orang menghindari konflik itu, Pak Paul ?
PG : Tapi sebetulnya ini adalah hal yang penting untuk dilewati, sehingga pada akhirnya kita berdua bisa mengambil keputusan bersama, sebab kalau tidak yang terjadi di dalam keluarga adalah yan kita sebut dengan saling serobot, siapa yang bisa mengambil keputusan dengan segera tanpa konsultasi, langsung dia lakukan sebab dia berkata,"Kalau saya konsultasikan maka akan ada keributan maka lebih baik saya serobot, saya ambil keputusan dan nanti akibatnya ditanggung belakangan yaitu ribut-ribut" jangan seperti itu, tapi justru biarkan karena lewat pertengkaran tidak apa-apa, jadi dari awalnya biasakan disiplin diri dan konsultasikan meskipun harus bertengkar, sebab lama kelamaan kita akhirnya lebih mengerti masing-masing dan lebih bisa menyesuaikan diri sehingga bisa lebih mudah untuk mengambil keputusan bersama.
GS : Sebaliknya biasanya ada suami yang kalau dimintai pendapat atau diajak diskusi selalu jawabannya,"Terserah kamu, kalau kamu jalankan saya setuju saja" maka lama-lama istri ini juga merasa malas untuk berkonsultasi dengan suaminya, karena pada akhirnya jawabannya seperti itu dan kembali lagi kepada dia yang harus memikirkan.
PG : Betul sekali. Jadi untuk menghidupkan semangat konsultasi, memang kita harus menghindari dua ekstrem itu. Ada suami yang seperti Pak Gunawan tadi katakan,"Ya sudah terserah kamu" akhirnya strinya berpendapat,"Kalau begitu sekarang terserah saya dan saya tidak perlu lagi konsultasikan dengan suami" dan nanti suatu hari dia akan mengambil keputusan sendiri dan suaminya marah.
Tapi istrinya berkata,"Dari dulu kamu berkata terserah saya, sekarang saya ambil keputusan tanpa kamu, kamu marah" itu adalah ekstrem yang satu. Dan ektrem yang satunya, Pak Gunawan, yang akhirnya juga memecahkan semangat konsultasi dalam keluarga yaitu ada suami yang selalu berkata,"Tidak" apa pun yang istrinya katakan jawabannya adalah,"Tidak" jadi cepat sekali berkata"tidak", belum dipikirkan tapi sudah berkata,"Jelek dan tidak". Jadi apapun yang keluar dari mulut orang lain adalah salah dan jelek dan hanya yang keluar dari mulut dia atau yang keluar dari pikiran dia yang dianggap baik. Jadi istri berkata,"Kalau begitu lain kali tidak perlu konsultasi karena percuma sebab jawabannya selalu tidak". Jadi ada dua kubu atau dua ekstrem atau reaksi yang memadamkan semangat konsultasi dan kita sebagai suami jangan sampai melakukan keduanya itu.
GS : Jadi konsultasi itu lebih baik dibicarakan secara terbuka dan tidak terlalu formil bisa dibicarakan di meja makan, sehingga memang suasananya nyaman untuk bertukar pikiran istilahnya.
PG : Betul. Jadi silakan kita munculkan dan kalau pun sekali lagi saya tekankan, kalau pun harus timbul konflik, tidak apa-apa. Jadi biasakan diri untuk berusaha mencoba daripada nanti kita akhrnya main belakang, begitu dua-dua sudah main belakang, maka akan susah mendamaikan kembali pernikahan itu.
GS : Hal lain apa lagi yang harus kita perhatikan, Pak Paul ?
PG : Yang terpenting adalah secara berkala harus mengalah sebagai istri. Mungkin saja pendapat kita lebih baik daripada pendapat suami, sikap mengalah yang diperlihatkan secara berkala akan menkomunikasikan citra kepada suami bahwa kita bukanlah orang yang mau menang sendiri alias egois.
Ketika suami melihat kalau kita ini tidak egois maka ia pun akan lebih terdorong untuk mengalah dan memertimbangkan pendapat kita. Sebaliknya kalau kita tidak mau mengalah maka pada akhirnya suami akan berpikir, untuk apa kamu bertanya, kalau kamu tidak bersedia mengubah pikiranmu. Jadi apabila kita bisa memulai dan memertahankan pola seperti ini maka pada akhirnya pengambilan keputusan akan menjadi proses pencarian keputusan terbaik dan bukan ajang menang dan kalah.
GS : Jadi sekalipun istri itu tunduk kepada suami, itu bukan berarti dia kalah terhadap suaminya, karena ini hubungan menang dengan menang, Pak Paul.
PG : Betul sekali. Jadi kita tidak memusingkan siapa yang menang dan siapa yang kalah, tapi kita selalu memfokuskan perhatian pada apakah keputusan ini baik untuk semuanya. Dan itu yang selalu enjadi gol kita bersama.
GS : Tapi semangat itu harus dibangun bersama artinya tidak bisa dari pihak istri saja atau suami saja, Pak Paul ?
PG : Benar sekali. Jadi memang dua-duanya harus belajar mengesampingkan ego. Maka dalam firman Tuhan di Efesus 5 sebelum Tuhan secara spesifik membahas peranan suami dan istri, pembukaannya adaah kita semua diminta untuk tunduk kepada satu sama lain.
Jadi dasarnya selalu kesampingkan ego.
GS : Sebenarnya memang kalau kita perhitungkan secara waktu atau secara tenaga lebih mudah kalau si istri tidak tunduk kepada suaminya, Pak Paul ?
PG : Jadi untuk jangka pendek memang lebih gampang dan cepat. Tapi untuk jangka panjang akibatnya jauh lebih buruk. Jadi lebih baik kita berpikir panjang daripada berpikir pendek.
GS : Dalam hal ini apa yang firman Tuhan ajarkan kepada kita, Pak Paul ?
PG : Firman Tuhan mengajarkan kepada kita agar kita tidak mendahulukan kepentingan pribadi, tapi sebaliknya kita harus mendahulukan kepentingan yang lain. Filipi 2:3 berkata,"Sebaliknya hendaklh dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri" nasehat ini sangatlah penting untuk menjaga keharmonisan pernikahan.
Jika kita beranggapan bahwa kita tidak harus tunduk kepada siapa pun termasuk suami, pastilah kita akan menuai badai konflik terus menerus dan akhirnya pernikahan pun berubah menjadi perkelahian dan sudah tentu ini bukanlah rencana Tuhan.
GS : Jadi lewat perkawinan atau pernikahan ini, sebenarnya kita belajar untuk hidup rendah hati terhadap orang lain.
PG : Betul sekali. Jadi pernikahan adalah salah satu sarana yang Tuhan gunakan untuk membentuk kita supaya lebih serupa dengan Kristus Yesus Tuhan kita yang rela mengosongkan egonya demi keselaatan kita.
GS : Jadi itu memang rencana Tuhan untuk membangun suatu keluarga dalam satu rumah tangga.
GS : Terimakasih sekali Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang"Ketundukan Sejati". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.