Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Tuntutan Yang Menghimpit Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Saya yakin sekali kalau setiap orang tua tidak bermaksud untuk membebani anak dengan tuntutan, tetapi fakta membuktikan bahwa banyak anak yang menderita karena tuntutan dari orang tuanya yang berlebihan dan ini bagaimana, Pak Paul ?
PG : Saya setuju bahwa pada umumnya orang tua itu tidaklah berniat untuk memberikan beban yang berkelebihan kepada anaknya sebab saya percaya bahwa pada umumnya orang tua itu mengasihi anak, namun karena kurang mengerti maka orang tuanya itu memberikan beban atau tuntutan yang berlebihan kepada anak. Saya mengumpamakan anak itu seperti pohon dan pohon itu memerlukan ruang untuk bisa bertumbuh dengan bebas sehingga dapat menjadi pohon yang sesungguhnya. Kalau pada masa pertumbuhan, pohon dihimpit dan tidak diberikan ruang untuk bertumbuh pada akhirnya pertumbuhan itu akan melenceng ke kiri atau ke kanan sehingga tidak bisa bertumbuh semestinya, dan anak pun juga seperti itu. Kita mesti memunyai pengertian tentang bagaimana membesarkan anak, kita itu perlu mengawasi anak dan itu sangat perlu, kalau dia berjalan di jalan yang salah, dia tidak tahu mana yang baik dan mana yang benar, seharusnyalah kita memberitahu tapi di pihak lain kita juga harus mengawasi dan mengarahkannya dengan bijaksana sehingga kita tidak terlalu memberikan tuntutan-tuntutan yang berlebih kepadanya yang justru akan menghimpit pertumbuhannya.
GS : Memang maksud orang tua mengarahkan anak-anaknya sesuai pola pikirnya orang tuanya Pak Paul, jadi apa pun yang dikehendaki oleh orang tua. Seperti yang Pak Paul katakan mereka diumpamakan tanaman. Pasti orang itu menghendaki tumbuhan tanaman itu berbentuk seperti yang dia bayangkan, jadi kalau itu sebuah bonsai maka dia menginginkan sebuah bonsai yang ada di pikirannya.
PG : Betul. Makanya kita sebagai orang tua perlu waspada dengan nilai-nilai hidup kita, tuntutan hidup kita. Sudah tentu kita mesti mengarahkan anak sehingga nanti bisa menjadi seperti yang kita kehendaki dalam pengertian yang positif itu, tapi caranya juga harus tepat. Dan kita juga harus menyadari ada beberapa hal yang cukup umum, yang orang tua sering lakukan seringkali mengakibatkan anak itu justru terhimpit atau tertekan.
GS : Misalnya apa saja, Pak Paul ?
PG : Ada beberapa yang bisa saya bagikan, yang pertama adalah tuntutan sebagai anak sulung. Cukup banyak orang tua yang menuntut anak tertuanya untuk memikul tanggung-jawab yang besar. Misalnya ada orang tua yang melimpahkan anak sulung dengan tanggung-jawab menjaga serta mengurus adik-adiknya pada usia yang relatif muda. Memang adakalanya orang tua terlalu sibuk atau memunyai anak yang terlalu banyak sehingga tidak lagi memberi pengawasan dan perhatian kepada semua anak. Jadi terpaksa orang tua menuntut si anak sulung untuk menolong orang tua. Ini adalah hal yang umum terjadi dan sering dikomunikasikan kepada si anak sulung, "Kamu anak yang paling besar, kamu seharusnya tahu, kamu seharusnya bantu orang tua, kamu seharusnya lebih bertanggung-jawab." Jadi lahir sebagai anak pertama diberikan beban tuntutan yang ganda dari anak-anak lainnya, seharusnya tidak seperti itu. Tidak ada aturan karena kita lahir terlebih dahulu maka beban tanggung-jawab kita itu dua kali lebih besar, tidak seperti itu karena masing-masing anak itu harus belajar bertanggung-jawab. Jadi orang tua yang memunyai konsep anak sulung, dia harus melakukan lebih lagi, menolong orang tua untuk bertanggung-jawab mengurus adik-adiknya, maka sikap seperti ini perlu dikoreksi.
GS : Tuntutan anak sulung ini muncul setelah anak pertama ini memunyai adik-adik dan tidak akan ada tuntutan seperti itu ketika dia menjadi anak tunggal.
PG : Seringkali seperti itu, barulah fungsi anak sulung menjadi sangat penting tatkala dia punya adik, sewaktu dia hanyalah seorang anak tunggal maka tidak akan ada beban-beban khusus yang diembankan kepadanya. Tapi begitu ada adik kedua dan ketiga dan sebagainya, tiba-tiba tuntutan itu menjadi berlipat kali ganda.
GS : Padahal anak sulung itu sendiri sudah merasa tertekan ketika adiknya lahir, Pak Paul. Jadi ini merupakan beban yang cukup berat bagi anak ini.
PG : Betul. Pada umumnya ini alamiah, anak-anak itu seringkali merasa tersisihkan sewaktu adiknya lahir, dia ter biasa hidup sendirian, kecuali kalau adiknya lahir di usia dimana dia relatif berusia masih kecil sehingga mereka itu bertumbuh bersama. Tapi misalkan jarak usianya 3 sampai 4 atau 5 tahun, berarti dia terbiasa hidup sendiri dan menerima semua perhatian sampai usia 4 atau 5 tahun. Sekarang tiba-tiba ada adik maka tidak bisa tidak perhatian orang tua terbagi dan begitu terbagi maka dia merasakan kehilangan tersebut dan seringkali memunculkan perilaku-perilaku yang kekanak-kanakkan supaya kembali diperhatikan oleh orang tuanya. Jadi kata Pak Gunawan memang betul, waktu adiknya lahir sebetulnya dia sudah cukup menderita apalagi kemudian dibebankan tuntutan harus seperti ini dan seperti itu, "Kamu harus tahu diri dan memberi contoh, kamu harus mengurus dan menjaga adikmu", kalau adiknya yang berbuat salah maka dia yang dimarahi, adiknya yang memang nakal tapi dia juga yang dimarahi. Jadi dia akhirnya berpikir, "Saya salah apa? Kenapa seperti ini? Dan kenapa saya yang kena marah." Kalau tidak hati-hati dia bisa tertekan atau malahan memberontak.
GS : Padahal maksud orang tua adalah memberikan tanggung-jawab kepada si anak sulung ini supaya ke depannya nanti dia bisa lebih mandiri lagi.
PG : Betul. Jadi ada tujuan seperti itu supaya anak ini nanti belajar bertanggung-jawab, belajar mandiri dan sebagainya. Tapi kita mesti berhati-hati dan hendaklah melakukan semua ini dengan bijaksana. Kalau kita memang perlu bantuannya untuk menolong kita dalam hal menjaga adik, maka kita bisa meminta tolong dan jangan menggunakan embel-embel, "Kamu ini anak sulung, maka kamu harus menjaga." Atau kalau adiknya yang salah, kemudian dia yang disalahkan dan kita berkata, "Kamu anak sulung seharusnya kamu bisa mencegah adikmu untuk melakukan hal itu," itu yang harus kita buang dari kosakata kita, kita mungkin hanya perlu menegurnya, "Saya tadi melihat kamu berbuat seperti itu kepada adikmu tapi kamu tidak menegurnya." Jadi jangan menyertakan embel-embel, "Kamu anak sulung maka seharusnya kamu tahu dan mencegah adikmu berbuat itu."
GS : Dampaknya terhadap si anak sulung ini bagaimana, Pak Paul ?
PG : Kalau hal ini dilakukan di kala anak sulung masih berusia belia, tuntutan ini akan membebaninya secara berlebihan. Jadi persis seperti orang yang berjalan tapi dibebani suatu beban, inilah yang harus dipikul oleh si anak sulung. Jadi jalannya lamban secara mental karena bebannya itu berlebihan. Sudah tentu tugas mengawasi serta mengurus adik sudah menyita waktunya juga. Jadi misalkan ketika ia ingin bermain sebagaimana layaknya anak seusianya, itu tidak bisa dilakukannya karena dia harus menjaga adiknya, mengurus adiknya. Jadi dampak yang pertama adalah dia cenderung kehilangan masa kanak-kanak yang seharusnya menjadi miliknya, itu berarti pertumbuhannya sudah mulai ada gangguan karena masa kanak-kanak yang seharusnya menjadi bagian dari pertumbuhannya itu sudah lenyap, sepertinya dia harus bertugas sebagai orang tua.
GS : Apakah itu tidak dimungkinkan jika orang tua ini menyuruh anak dalam rangka bermain. Jadi kalau menjaga adiknya maka dia akan menjaga adiknya untuk bermain dan sebagainya tapi bukan menjaga dari kecelakaan, apakah ini memungkinkan, Pak Paul ?
PG : Memungkinkan. Jadi misalkan si kakak bisa diajak untuk bermain dengan adiknya sehingga adiknya itu bisa terawasi dan waktunya pun terisi dan tidak mengganggu orang tuanya, sudah tentu baik. Namun kita juga mesti peka karena adakalanya si sulung juga tidak ingin bermain dengan adiknya, jadi kita harus terima itu dan jangan kita memarahi dia. Dengan kata lain, harus ada kepekaan dan tidak bisa terus menerus menuntutnya untuk melakukan yang kita minta dan membebankan kepada dia karena dia adalah anak sulung. Itu yang harus kita hindari sebab kita tidak mau hal-hal ini menjadi sesuatu yang berakibat negatif pada pertumbuhannya. Contoh yang paling jelas adalah kalau sejak kecil dia dibebankan dengan tanggung-jawab yang berlebihan, dia menjadi terlalu matang pada usia dini. Jadi dalam hal tanggung-jawab dia mengalami kematangan dan mengerti sekali tanggung-jawab namun dia akan miskin dalam pemenuhan kebutuhan emosionalnya, dia mau tetap bisa tertawa, bisa bermain, bisa berbuat salah, tapi sekarang tidak bisa karena dicemooh dan dimarahi. Kalau berbuat kenakalan tertentu maka label ini yang kemudian dikeluarkan, "Kamu ini anak sulung tapi kenapa kamu ini masih seperti kanak-kanak, kamu anak sulung tapi kenapa tidak memberi contoh yang baik kepada adik-adikmu." Jadi semua itu dilabelkan karena dia adalah anak sulung. Dia bisa menjadi sangat bertanggung-jawab tapi kebutuhan emosionalnya menjadi sangat miskin.
GS : Kalau dia sebagai anak sulung punya beban seperti itu Pak Paul, sebenarnya apakah ada bedanya kalau anak sulung ini laki-laki atau perempuan. Sebab seringkali kalau anak itu perempuan, melakukan hal-hal seperti itu bisa dengan senang hati, Pak Paul.
PG : Saya kira secara alamiah anak perempuan memang lebih memiliki insting keibuan, sehingga tanpa disuruh keinginan untuk mengasuh adiknya itu lebih ada. Namun kalau orang tua membebankannya dan melabelkan anak sulung harus melakukan semua itu maka lama-lama dia mungkin bisa berontak dan tidak suka. Justru kalau tidak dilabelkan sebagai anak sulung dan dia harus mengasuh adik-adiknya maka dia akan lebih spontan melakukannya dengan senang hati dan dia tidak akan merasa beban yang berlebihan pada dirinya. Kalau anak laki-laki pada umumnya tidak secara alamiah memunyai insting untuk mengasuh dan menjaga adik-adiknya, itu sebabnya orang tua harus lebih keras menyuruhnya. Tapi sekali lagi yang saya mau katakan adalah, bukannya saya mau berkata, "Jangan memberikan tanggung-jawab kepada anak sulung," tapi saya mengakui kalau anak sulung pun juga perlu diberikan tanggung-jawab, namun berhati-hatilah jangan sampai berlebihan sebab sekali lagi jangan sampai hal-hal yang perlu dialaminya sebagai seorang anak kecil justru terhilang dan harus dilepaskannya, justru dia masih perlu bimbingan dan arahan. Tapi kalau kita terlalu membebankan tanggung-jawab itu kepada dia, dan kita jarang memberikan bimbingan atau arahan dan kita hanya bisa memarahi dia kalau dia tidak melakukan yang kita inginkan. Akhirnya anak-anak yang seperti ini sangat terikat dengan tanggung-jawab, tidak dapat menikmati hidup, hidupnya tidak bebas, tidak merdeka dan akhirnya setelah mereka mulai remaja, mereka berontak dan mereka tidak mau lagi menerima tanggung-jawab ini dan akhirnya orang tua pun kewalahan, karena justru anak pertamanya menyusahkan sekali.
GS : Dan jika makin banyak adik-adiknya maka makin berat beban yang harus ditanggung oleh anak sulung itu tadi.
PG : Betul, kalau mengurus satu adik masih lebih baik, tapi kalau mengurus sampai 4 atau 5 adik maka itu akan menjadi tanggung-jawab yang besar.
GS : Dan itu akan terbawa sampai mereka dewasa atau tidak, Pak Paul ?
PG : Kalau dia terpaksa memikul beban itu dan dia tidak bisa lari lagi, karena memang jiwanya bukan pemberontak maka dia akan membawa hal itu sampai usia dewasa. Jadi nanti setelah tua pun kalau ada apa-apa dengan adiknya maka dia yang akan paling kalang-kabut dan kalau ada apa-apa dengan adiknya maka dialah yang paling merasa bersalah, "Kenapa saya tidak menolongnya." Bahkan dalam kasus-kasus tertentu jika hidup adiknya tidak karuan dan tidak bertanggung-jawab maka tetap si kakak sulunglah yang menolongnya, melepaskannya dari konsekuensi yang harus ditanggung oleh si adik sehingga menjadi tidak sehat juga. Jadi kalau tidak hati-hati pola tidak sehat ini akan terus berlanjut sampai usia dewasa.
GS : Bahkan sampai ada yang rela tidak berkeluarga, dia sendiri tidak menikah, demi melindungi adik-adiknya itu, Pak Paul.
PG : Betul, dan saya pernah menemuinya. Jadi anak-anak sulung ini benar-benar mengorbankan hidupnya demi adik-adiknya tapi saya juga tahu ada kasus-kasus dimana si sulung yang mengorbankan hidupnya demikian besar, nantinya juga selain sayang dengan si adik, namun nanti juga bisa menjadi galak dengan si adik. Jadi karena mereka sudah mengorbankan hidup sedemikian besarnya, kemudian mereka juga menuntut sedemikian besar dari adik-adiknya untuk menyayangi dan menghormati mereka, sehingga kalau itu tidak terjadi maka mereka menjadi marah. Jadi benar-benar si sulung ini menjadi pengganti orang tua tapi pengganti yang bahkan lebih galak daripada orang tuanya.
GS : Tuntutan yang lain yang bisa menghimpit anak ini apa, Pak Paul ?
PG : Yang kedua adalah tuntutan sebagai anak perempuan, masih banyak orang tua yang memerlakukan anak-anak perempuan sebagai setengah pembantu rumah tangga. Misalkan sehabis makan anak laki-laki dibiarkan pergi, tapi anak perempuan diwajibkan untuk membawa piring ke dapur dan mencucinya. Contoh lain, ketika anak laki-laki berada di luar, anak perempuan disuruh membantu ibu memasak, membersihkan rumah dan sebagainya. Contoh lain lagi tatkala anak laki-laki pergi bersama teman untuk menonton, tapi anak perempuan disuruh untuk menjaga rumah. Hal ini masih sering terjadi dan masih ada di dalam zaman kita. Jadi orang tua membedakan tuntutannya dan tuntutan sebagai anak perempuan jauh lebih besar dibandingkan pada anak laki-laki.
GS : Tapi hal seperti itu dilakukan oleh orang tua dengan tujuan agar anak ini mengetahui naturnya sebagai wanita yaitu kelak harus seperti ini. Sama dengan anak laki-laki, kalau mereka ingin menangis mereka akan dimarahi oleh orang tuanya, kalau menangis hanya boleh dilakukan oleh anak perempuan. Beban seperti ini juga hampir sama, Pak Paul ?
PG : Betul. Jadi inilah tuntutan-tuntutan yang kita harus waspadai. Misalkan tadi Pak Gunawan mengangkat contoh anak laki-laki tidak boleh menangis. Sudah tentu hal ini tidak sehat. Orang tua harus menyadari anak laki-laki pun boleh menangis, karena Tuhan memberikan air mata untuk dapat kita tangiskan dan efeknya itu sangat "therapeutik" yaitu menyembuhkan luka-luka kita karena kesedihan kita bisa diekspresikan lewat tangisan. Jadi orang tua mesti waspada dengan nilai-nilai tuntutan yang sebetulnya tidak perlu. Anak perempuan dalam hal lain harus kita akui bahwa mereka akan menerima begitu banyak tuntutan, tidak boleh keluar malam, kalau diajak teman-temannya pergi dia tidak boleh pergi tapi kalau anak laki-laki pulang sampai malam tidak mengapa. Misalkan lagi mulai dari hal yang sederhana yaitu tertawa, kalau anak laki-laki boleh tertawa terbahak-bahak tapi kalau anak perempuan langsung dimarahi dan dikatakan "Tidak pantas tertawa seperti itu." Jadi akhirnya begitu banyak hal-hal yang dibebankan kepada anak perempuan dan ini bisa menjadi tekanan dalam hidupnya yang berlebihan.
GS : Di sini ada perbedaan masalah hak, yang satu boleh berada di luar rumah dan yang satu harus di dalam rumah. Apakah ini juga akan berpengaruh terhadap perkembangan diri anak ini ?
PG : Ada, Pak Gunawan. Jadi saya meyakini bahwa perbedaan perempuan ini keluar dari pendangan bahwa tempat bagi anak perempuan adalah di dalam rumah. Sedangkan secara tersirat orang tua beranggapan tempat bagi anak laki-laki itu di luar rumah, makanya mereka lebih diizinkan keluar rumah dan anak perempuan tidak diizinkan. Maka anak perempuan dianggap tidak perlu pergi bermain di luar dan seringkali disuruh untuk diam di rumah. Terpenting bagi orang tua adalah anak perempuan itu menjadi seorang ibu rumah tangga yang cakap. Jadi seolah-olah dari kecil orang tua terutama ibunya sudah menyiapkan si anak perempuan untuk menjadi seorang mama. Saya mengakui bahwa ada waktu dan tempat bagi anak perempuan untuk belajar keterampilan mengurus rumah dan ini baik karena tidak ada salahnya dengan membersihkan rumah dan belajar memasak. Tapi saya juga harus berkata, ada pula waktu dan tempat bagi anak laki-laki untuk belajar keterampilan mengurus rumah. Tidak ada salahnya anak laki-laki belajar untuk membersihkan kamarnya, untuk membersihkan kamar mandinya dan itu tidak ada salahnya. Bagi saya tuntutan yang berlebih bagi anak perempuan berpotensi memasungnya dan justru membuat anak tidak berinisiatif dan akhirnya sukar menikmati hidup, dan akhirnya anak perempuan menjadi lebih rentan dan cenderung bermasalah dengan rasa bersalah yang tidak pada tempatnya.
GS : Di beberapa etnis tertentu, tuntutan sebagai anak perempuan ini bisa lebih besar dari pada tuntutan kepada anak laki-laki, karena mereka disiapkan untuk menjadi ibu rumah tangga yang bukan hanya mencukupi kebutuhan keluarganya, tapi juga bisa mencukupi keluarga besarnya.
PG : Betul. Jadi benar-benar dia diharapkan untuk menjadi "superwoman", bisa segalanya dan kuat menanggung beban sebesar apapun. Seolah-olah mengurus rumah dan mengurus makanan dan sebagainya adalah hal yang mudah padahalnya itu adalah sebuah pekerjaan yang berat dan meletihkan sekali. Bagi kita yang bekerja di luar, kalau malam pulang maka kita berhenti bekerja tapi bagi ibu rumah tangga tidak ada yang dinamakan berhenti bekerja, dari pagi dia bangun sampai malam dia tidur, akan ada pekerjaan yang harus dilakukannya mulai dari rumahnya, anaknya, suaminya, belum lagi kalau dia dituntut untuk mengurus sanak saudara yang lain-lainnya. Jadi kita melihat beban ini terlalu besar, itu sebabnya tidak heran secara positif anak perempuan cenderung lebih bertanggung-jawab dan lebih mau mengatur, mengurus kehidupannya dan kehidupan orang-orang lain di sekitarnya. Tapi yang kasihan adalah cukup banyak di antara mereka lebih banyak yang dirundung rasa bersalah, lebih mudah dirundung kecemasan, takut kalau nanti ada yang tidak beres. Sebab makin besar tanggung-jawab maka makin besar kecemasan kalau sampai ada yang tidak beres.
GS : Tuntutan yang menghimpit anak yang lain apa, Pak Paul ?
PG : Yang ketiga adalah tuntutan sebagai anak kesayangan, seolah-olah ini adalah kontradiksi sebab mana mungkin anak kesayangan ada tuntutannya, tapi sebetulnya ada. Sebagai anak kesayangan biasanya seorang anak dituntut untuk senantiasa mengerti perasaan orang tuanya. Waktu orang tuanya merasa sesuatu, karena dia adalah anak kesayangan maka seolah-olah anak itu diwajibkan untuk mendekati orang tua, menghibur orang tua dan satu lagi karena dia dianggap anak kesayangan maka papa dan mamanya sering berkata, "Kamu ini anak kesayangan, kamu ini anak yang paling baik dan sebagainya." Akhirnya dia pun dituntut menjadi anak yang selalu bersikap dan berbuat baik kepada orang tua. Misalnya jika ada pertentangan antara orang tua dan anak lainnya, anak kesayangan merasa berkewajiban untuk membela orang tua dan tidak memedulikan siapa yang salah, misalkan si adik berkata, "Mama tadi seperti ini, papa tadi seperti ini. Kamu itu tahu kalau ini tidak benar." Anak kesayangan tidak bisa berkata, "Memang mama tidak benar, memang papa tidak benar," tapi dia terpanggil untuk membela orang tuanya. Jadi singkat kata anak kesayangan akhirnya menerima beban untuk mengasihi orang tua lebih dari anak-anak lainnya, dalam kategori mengasihi secara membabi buta tapi tidak realistis.
GS : Jadi memanjakan anak terlalu berlebihan ini ternyata menimbulkan beban tersendiri bagi anak tersebut, Pak Paul ?
PG : Betul. Memang disatu pihak anak itu menikmati faedahnya disayangi, apa yang diinginkannya dia dapat peroleh, apa yang diminta diberikan kepadanya, tapi dia harus bayar harga. Justru kadang-kadang anak yang tidak terlalu disayangi seperti itu, hidupnya lebih merdeka, lebih bebas, tidak ada yang menuntut dan dia tidak merasa dituntut, perkembangannya justru lebih sehat. Jadi anak-anak kesayangan bayar harganya cukup mahal.
GS : Jadi orang tua menuntut anaknya ini supaya anaknya bisa melihat orang tua ini sebagai seorang yang sempurna, yang tanpa salah, begitu Pak Paul ?
PG : Seringkali demikian, jadi seolah-olah dia dituntut mengabaikan kelemahan orang tua dan hanya memfokuskan pada kelebihannya. Akibatnya anak kesayangan ini setelah dewasa seringkali susah mengembangkan objektifitas dalam hidupnya sebab kesetiaannya bukan terletak pada apa yang benar, tetapi pada siapa yang dianggapnya benar. Jadi dengan kata lain benar atau salah menjadi relatif, serta bergantung pada siapa yang disukainya sebab itulah yang dipelajari sejak kecil yaitu dia harus membela orang tuanya benar atau salah. Dan satu lagi yaitu dampak buruknya anak kesayangan tidak memunyai kebebasan untuk menjadi diri apa adanya karena dia menjadi anak yang sesuai dengan kehendak orang tua walaupun itu bertentangan dengan kebisaannya, karunianya dan isi hati yang sesungguhnya.
GS : Belum lagi, kalau dia anak kesayangan orang tua lalu saudara-saudaranya atau adik-adiknya atau bahkan kakaknya juga bisa memusuhi dia, Pak Paul.
PG : Betul dan kita bisa jumpai pada kasusnya Yusuf, itu sangat fatal sekali sampai akhirnya dia mau dibunuh dan dibuang, dijual sebagai seorang budak karena Yakub memang tidak bijaksana menyayangi Yusuf. Jadi benar-benar bagi anak kesayangan, di satu pihak menerima keuntungan tertentu tapi kerugiannya lumayan besar.
GS : Jadi sebenarnya kita sebagai orang tua itu maunya menyayangi anak, tapi rupanya sayang ini juga ada batasannya, Pak Paul ?
PG : Betul. Sebab rasa sayang yang kita ungkapkan kepada anak secara tidak bijaksana malahan merugikan anak-anak itu sendiri.
GS : Pak Paul, apakah dalam hal ini ada Firman Tuhan yang mendukung ?
PG : Saya bacakan dari Mazmur 127:4-5, "Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda. Berbahagialah orang yang telah membuat penuh tabung panahnya dengan semua itu." Memang ini adalah sebuah ilustrasi seorang prajurit, waktu dia pergi membawa tabung anak panah beserta panahnya bukan saja menunjukkan sebuah kegagahan tapi itu juga menunjukkan sebuah persiapan kelengkapan hidupnya sebagai tentara yang komplet dengan anak-anak panahnya. Jadi dari Firman Tuhan ini, kita bisa belajar bahwa yang pertama adalah Tuhan yang memberikan kepada kita anak-anak panah ini. Maka ketika dikatakan sesungguhnya anak laki-laki adalah milik pusaka dari Tuhan dan buah kandungan adalah suatu upah. Jadi itu adalah pemberian Tuhan, karena pemberian Tuhan maka kita harus merawatnya dengan baik dan bijaksana. Jangan sembarangan dan malahan melakukan hal-hal yang merugikan mereka.
GS : Apalagi pada zaman sekarang dengan banyaknya anak cukup membuat orang tua punya tanggung-jawab yang jauh lebih besar.
PG : Betul sekali. Jadi sekarang ini makin banyak anak maka tuntutannya juga makin berat, jadi kita juga harus bijaksana tentang berapa jumlah anak yang kita inginkan dan kita sanggup pelihara dengan baik.
GS : Karena baik anak sulung maupun anak bungsu, juga anak tengah-tengah ini juga memunyai beban masing-masing yang tidak ringan yang harus mereka tanggung.
PG : Betul. Jadi semua harus kembali kepada orang tua, bagaimana memerlakukan anak-anak dengan bijaksana.
GS : Pembicaraan ini saya rasa belum selesai Pak Paul, karena saya rasa masih ada beberapa tanggung-jawab atau tuntutan dari orang tua yang bisa menghimpit anak, namun kita akan bicarakan pada kesempatan yang akan datang dan tentunya kita berharap para pendengar setia program Telaga ini bisa mengikutinya pada program yang akan datang. Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Tuntutan Yang Menghimpit Anak" bagian yang pertama. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.