Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Anugerah dalam Pernikahan." bagian yang kedua karena perbincangan kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami pada acara TELAGA yang lalu. Dan kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lalu kita berbicara tentang anugerah dalam pernikahan dan supaya para pendengar kita bisa mengikuti apa yang sudah kita bicarakan pada perbincangan yang lalu mungkin Pak Paul bisa mengulas sejenak sebelum kita masuk pada perbincangan kita hari ini.
PG : Kita itu memandang anugerah sebagai sebuah kata benda yakni sesuatu yang diberikan kepada kita yang sesungguhnya tidak layak kita terima. Dan dalam Alkitab kita tahu bahwa anugerah terbesa adalah Tuhan Yesus Kristus Putra Allah yang mati untuk dosa kita.
Namun kita sesungguhnya juga perlu melihat anugerah bukan hanya sebagai kata benda tapi sebuah kata sifat, karena anugerah mewakili atau melukiskan karakter Allah yang sangat hakiki. Allah adalah Allah yang beranugerah artinya Dia Allah yang mementingkan manusia bukan DiriNya saja, Dia memikirkan apa yang baik untuk manusia dan dia memberikan yang terbaik untuk manusia. Wawasan seperti inilah yang kita juga mesti bawa ke dalam pernikahan kita, berwawasan bahwa Tuhan memanggil kita untuk maksud penyelamatan. Allah mengasihi isi dunia sehingga mengaruniakan Putra tunggalnya berarti inilah yang Allah ingin lakukan lewat kita. Setelah kita memiliki wawasan seperti itu, kita nantinya bisa mengarahkan anak-anak kita bertumbuh di dalam Tuhan dan mempersiapkan mereka menjadi alat-alat yang nanti Tuhan pakai untuk menyelesaikan pekerjaanNya. Kita juga membahas tentang orang yang berwawasan anugerah seperti ini tidak akan tenggelam di dalam persoalannya sendiri atau di dalam masalah-masalah pernikahan sebab dari awal pernikahan, mereka sudah berkomitmen yang penting bukan engkau bahagia, yang penting bukannya aku bahagia, yang penting adalah kita berdua menyukakan hati Tuhan dan mementingkan Tuhan. Dengan sebuah keyakinan seperti ini, kita lebih bisa menyelesaikan masalah kita, kita tidak terlalu disibukkan dengan persoalan-persoalan kita, karena kita mulai melihat lebih luas lagi.
GS : Jadi anugerah itu kita terima dari Tuhan, tapi untuk bisa berwawasan anugerah kita harus mengupayakannya, Pak Paul?
PG : Betul sekali, yang akan kita soroti adalah bagian berikutnya seperti yang saya sudah singgung pada kesempatan yang lampau, ada tiga dimensi dari anugerah ini. Kalau tadi adalah wawasan anuerah, yang sekarang adalah berelasi anugerah, maksudnya kita ini berelasi dengan pasangan kita juga harus beranugerah, kita tidak melihat yang buruk tapi kita melihat yang positif.
Yang kedua, kita juga melihat yang akan datang bukan hanya sekarang, sebagai contohnya saya akan paparkan kasus Petrus. Petrus adalah murid Tuhan yang kita tahu telah menyangkal Tuhan dan mengatakan tidak mengenal Tuhan, tatkala Tuhan ditangkap dan akan disalibkan. Tapi hari-hari akhir sebelum Tuhan naik ke surga, siapakah yang Tuhan panggil? Dan Tuhan menanyakan apakah engkau mengasihi aku. Petrus menyawab "Ya", dan Tuhan berkata, "Gembalakanlah domba-dombaku." Disitu kita bisa melihat Tuhan adalah Tuhan yang beranugerah dalam berelasi dengan murid-muridNya. Waktu Dia memanggil Petrus menjadi muridNya, Dia melihat yang baik pada Petrus dan Dia melihat di masa depan akan seperti apakah Petrus itu. Tuhan tidak mendasari panggilanNya atas masa sekarang saja, Dia mendasari panggilanNya atas masa depan yaitu seperti apakah Petrus nanti di masa depan. Apakah Tuhan tahu kalau Petrus akan menyangkal? Tuhan tahu, tapi Tuhan tidak memfokuskan perhatiannya pada kelemahan dan kekurangan Petrus, tapi Tuhan memfokuskan pada kekuatan Petrus maka Tuhan berkata, "Gembalakanlah domba-dombaku," Tuhan juga berkata "Di atas batu karang ini akan kubangunkan gerejaku," memang batu karang yang sesungguhnya adalah Tuhan Yesus sendiri. Tapi memang Tuhan melimpahkan tanggung jawab yang besar pada Petrus untuk menggembalakan domba-domba Tuhan. Siapa yang Tuhan pilih? Petrus, yang dapat dikatakan lemah karena pernah jatuh kedalam dosa yang sangat serius yaitu menyangkal Tuhan, tapi Tuhan tidak menyoroti hanya kelemahan. Malangnya di dalam pernikahan, Pak Gunawan, itu yang kita lakukan, kita lebih sering menyoroti kelamahan pasangan kita.
GS : Memang yang membedakan adalah Tuhan Yesus bisa melihat jauh ke depan yaitu bagaimana Petrus jadinya, yaitu menjadi seorang rasul, penyalur berkat Tuhan dan melakukan perkerjaan Tuhan dengan baik. Tapi pandangan kita terhadap pasangan ini yang agak sulit, Pak Paul. Dan masalahnya adalah kita justru melihat kelemahannya, kesalahan yang dia buat seperti itu. Lalu kita berasumsi ini tidak mungkin diperbaiki.
PG : Satu cara yang kita lakukan adalah Tuhan menyoroti kekuatan Petrus dan senantiasa memberikan dorongan supaya kita tetap bertahan didalam kekuatannya itu. Tuhan tidak meyoroti kelemahan-kelmahannya, bertahun-tahun Tuhan bersama-sama dengan Petrus, apakah Tuhan secara khusus menyoroti kelamahan Petrus karena Tuhan tahu dia akan jatuh ? Tidak! Tuhan hanya lontarkan itu sekali, pada waktu Petrus terlalu gegabah dan berkata, "Saya tidak akan meninggalkan engkau, semua boleh lari tapi saya tidak akan lari," Petrus gegabah sekali.
Dan Tuhan berkata, "Sebelum ayam berkokok tiga kali maka engkau menyangkali Aku." Tuhan hanya katakan itu sekali, Tuhan tidak terus menyorotinya, yang Tuhan soroti bagaimana membuat Petrus kuat. Maka waktu di Taman Getsemani Tuhan meminta Petrus bersama Yakobus dan Yohanes bersama-sama dengan Tuhan berdoa. Di Taman Getsemani mereka tidur, apa yang Tuhan katakan, "Berdoa dan berjaga-jagalah, memang roh itu penurut tapi daging itu lemah." Apakah Tuhan mengingatkan Petrus lagi, "Kamu memang lemah, kamu hanya bisa bicara saja, nanti kamu akan jatuh, disuruh berdoa saja tidak bisa, kamu kapan bisa berdoa, dan sebagainya," tidak! Yang biasanya Tuhan lakukan adalah Tuhan menegur semua murid pada waktu mereka kurang iman, Tuhan menegur semuanya. Kalau kita sudah tahu kelemahan orang, bukankah kita selalu mencerca kelemahannya dan kita kaitkan dengan kelemahannya terus. Memang maksud kita baik, supaya jangan sampai dia mengulang lagi masalah yang sama, tapi memang metode itu tidak efektif. Tuhan menggunakan metode yang berbeda, yang keluar dari sifatNya yaitu Dia adalah Allah yang beranugerah dan Allah yang beranugerah tidak menyoroti kelemahan tapi pada kekuatan. Dan yang kedua, karena menyoroti pada kekuatan kita bisa berkata, "Dengan kekuatan ini engkau akan menjadi seperti apa." Memang benar yang tadi Pak Gunawan katakan, kita ini tidak bisa melihat manusia lain di masa mendatang. Tapi dengan kita menyadari kekuatan pasangan kita, di masa mendatang engkau bisa menjadi seperti ini.
GS : Memang sangat berkaitan erat antara berelasi anugerah dan berwawasan anugerah. Orang tidak akan berelasi anugerah kalau dia tidak memiliki wawasan anugerah itu, Pak Paul?
PG : Tepat sekali Pak Gunawan. Jadi keduanya merupakan suatu kesatuan dan relasi anugerah keluar dari wawasan anugerah itu sendiri.
GS : Bagaimana kita kaitkan dalam hubungan suami istri yang seringkali justru kita melihat kelemahan-kelemahan pasangan kita daripada kelebihan-kelebihannya.
PG : Tadi kita sudah singgung bahwa kita harus menerima dan menyambut kelemahan pasangan sebagai cara Tuhan membongkar diri kita, ini adalah wawasan anugerah yang telah kita bahas. Kita melihatya dari kacamata surgawi, kalau saja kita bisa melihat kelemahan pasangan sebagai cara Tuhan, dan bukan sebagai gangguan dari dia untuk kita, ini adalah cara Tuhan membongkar kita.
Maka reaksi kita terhadap kelemahannya juga akan berbeda, akan jauh lebih lunak. Bayangkan kalau kita melihat kelemahan pasangan sebagai gangguan, contohnya kita mau mengerjakan sesuatu tetapi menjadi tidak bisa dan kita menyalahkan pasangan, ini semua gara-gara dia, kita lebih mudah bereaksi kita lebih mudah marah karena kita merasa terganggu gara-gara engkau aku begini. Tapi kalau kita mengubah perspektif itu dan memandangnya sebagai cara Tuhan membongkar kita, walaupun kita mungkin tetap jengkel tapi kita akan lihat ini dariMu untukku, memang aku perlu melihat, aku perlu lebih sabar, aku tidak perlu terlalu menyoroti kelemahan dan sebagainya. Justru ini menjadi sesuatu yang baik. Saya berikan contoh yang lama ini terjadi pada saya dan istri saya, kami merayakan "Malam Valentine" di gereja kami, saya dan istri akan menyumbangkan suara bernyanyi bersama dan kami latihan bersama. Dan waktu latihan, saya menyoroti kekurangan istri saya dan berkata, "Bisa tidak begini, bisa tidak begitu, ini rasanya kurang pas. Lebih baik kamu begini, begitu," dia memang sedikit jengkel, tapi dia tidak menunjukkan kejengkelannya dia hanya diam saja. Sebelum kami menyanyi saya berkata kepadanya, "Yang penting menyatukan hati bernyanyi, kita tidak perlu memperhatikan yang lain-lainnya," kemudian dia langsung berkata "Ya, tapi kamu tadi menuntut saya untuk menyanyi lebih baik lagi dan sebagainya." Itu adalah sebuah teguran buat saya, memang itu yang saya lakukan akhirnya karena saya sudah diingatkan oleh dia seperti itu, waktu bernyanyi tidak lagi memikirkan hal-hal itu. Dan apa yang terjadi kami bernyanyi jauh lebih baik daripada waktu berlatih dan kami mengalami sebuah kesatuan batiniah yang memang memperindah. Jadi ilustrasi ini cukup mewakili kehidupan berumah tangga, waktu kita mengesampingkan kelemahan, "Sudah kita tidak perlu memikirkan lagi yang penting kita menyatu," dan ternyata itu lebih mudah menyatunya dan akan membentuk sebuah kesatuan yang lebih indah pula.
GS : Jadi didalam berelasi anugerah ini, unsur pengampunan penting sekali, Pak Paul?
PG : Tepat sekali Pak Gunawan, dan sekali lagi pengampunan ini akan lebih mudah kita berikan kalau kita berwawasan anugerah, bahwa kelemahan pasangan untuk aku juga agar aku lebih komplit, agaraku lebih utuh.
Akhirnya karena kita melihatnya sebagai cara Tuhan membongkar kita agar kita lebih utuh, maka kita lebih mudah pula mengampuni pasangan kita sebab waktu kita melakukannya, kita pun akan menjadi lebih serupa dengan Tuhan kita Yesus Kristus.
GS : Jadi Pak Paul, selain berwawasan anugerah dan berelasi anugerah, hal yang ketiga yang ingin Pak Paul sampaikan apa?
PG : Kita mesti juga berkepribadian anugerah artinya bukan saja terhadap orang lain kita beranugerah, melihat positifnya, melihat potensinya, melihat yang di masa depan bukan hanya di masa sekaang.
Kita juga harus memperlakukan diri kita seperti itu. Karena seringkali kita menjadi hakim yang paling kejam terhadap diri sendiri. Kita mungkin bisa bermurah hati terhadap orang lain tapi susah bermurah hati kepada diri sendiri, bisa membuat orang lain senang, rela menyumbangkan sesuatu kepada orang lain dan untuk diri sendiri tidak bisa, bisa royal dengan orang lain tapi dengan diri sendiri luar biasa hematnya. Kenapa itu juga tidak kita terapkan untuk diri kita, kalau bisa mengampuni orang kenapa tidak bisa mengampuni diri sendiri, kalau bisa melihat kekuatan orang, kenapa tidak bisa melihat kekuatan diri sendiri, kalau bisa menerima kelemahan orang kenapa tidak bisa menerima kelemahan diri pula. Melihat dan mengakui kelemahan memang tidak mudah tapi inilah yang juga Tuhan inginkan, kita menjadi manusia beranugerah yang mau menolong, mau memberi, bukan hanya untuk orang lain tapi juga untuk diri sendiri.
GS : Memang yang sering saya pikirkan kalau mengalami hal itu adalah Tuhan saja mau mengampuni saya, tetapi kenapa saya tidak mau mengampuni diri saya sendiri dan itu seringkali menyadarkan saya.
PG : Betul, Tuhan sudah mengampuni kita, Tuhan tidak lagi menghukum kita kenapa kita mengambil peran Tuhan menghukum kita. Tuhan tidak menghukum kenapa kita mengambil peran seolah-olah kita adaah Tuhan yang harus menghukum diri sendiri.
Apakah ini berarti kita tidak semestinya merasa bersalah, sudah tentu tidak. Adakalanya yang diperlukan adalah rasa bersalah supaya kita sadar akan perbuatan kita namun pada akhirnya karena Tuhan sudah mengampuni dosa kita maka ampunilah diri kita pula. Dan keduanya juga berkaitan antara diri sendiri dan orang lain, kalau kita itu susah sabar dengan diri, susah mengampuni diri sendiri, kecenderungannya adalah kita pun susah sabar terhadap orang lain, susah mengampuni orang lain pula. Kalau kita senantiasa mencambuki diri kita harus lebih baik, saya khawatir kita juga berbuat yang sama kepada pasangan kita, kamu harus ini dan itu, masih kurang ini dan itu dan akhirnya pasangan kita juga stres.
GS : Seringkali hal itu dipengaruhi oleh masa lalu kita yang dituntut banyak, baik oleh orang tua atau lingkungan kita.
PG : Betul Pak Gunawan, sehingga kita tidak pernah merasa damai tentram kalau kita tidak berbuat apa-apa. Salah satu ciri yang kita kenali adalah ciri bahwa kita itu kurang beranugerah terhadapdiri sendiri adalah kita itu susah sekali beristirahat.
Kalau untuk melihat apakah kita itu susah mengampuni, kadang-kadang susah kita lihat. Namun ini ciri-ciri yang gampang, bukankah adakalanya kita menjadi orang yang susah sekali berhenti beristirahat, kita menekankan harus produktifitas. Dan tatkala kita melihat bahwa kita kurang produktifitas kita marah pada diri sendiri, rasanya kita melihat diri tidak puas tidak seperti yang kita harapkan. Akhirnya tidak berdamai dan tidak beranugerah terhadap diri kita sendiri. Sudah tentu kita tidak lagi menjadi orang yang penuh damai sentosa, hidup kita seperti bara yang menyala sangat panas. Orang yang dekat dengan kita merasa gerah dan lelah dituntut terus-menerus, belum lagi merasa takut dekat dengan kita. Takut karena apa? Karena orang tahu kita ini orang yang penuh dengan tuntutan, jadi orang dekat dengan kita pun akhirnya takut. Ini kadang-kadang tidak kita sadari, mungkin kita bertanya-tanya, "Kenapa orang tidak dekat dengan saya dan menjauh dari saya," kita tidak bisa melihat diri kita kalau kita ini seperti bara panas yang siap membakar mereka. Maka mereka harus memasang jarak supaya mereka tidak terkena bara panas dari kita itu.
GS : Jadi orang yang tidak memiliki kepribadian anugerah ini akan sulit berelasi anugerah, Pak Paul?
PG : Biasanya seperti itu, walaupun dia mencoba tampil murah hati atau baik hati, namun itu hanya berlangsung sebentar dan saat bergaul dengan dia cukup lama maka keluar semua keburukannya, sush buat dia mengabaikan gangguan-gangguan itu dan dia menyoroti gangguan-gangguan itu.
Sebab terhadap dirinya juga begitu, ada sedikit yang dia tidak sukai dengan dirinya, dia bisa berhari-hari memikirkannya, merasa kesal dengan dirinya, merasa dirinya jelek, bersalah namun tidak berhenti disitu, terhadap orang lain pun begitu. Jadi akhirnya dia membawa sebuah suasana yang tidak nyaman, dimana pun dia berada dia membawa suasana tidak enak itu.
GS : Jadi sekali pun orang itu menyadari akan keberadaan dirinya yang tidak puas dengan apa yang dia alami, tetapi masalahnya apakah orang itu bisa menolong dirinya sendiri supaya dia punya kepribadian anugerah itu.
PG : Memang ujung-ujungnya dia harus menerima ketidak sempurnaan dirinya. Orang yang tidak beranugerah terhadap dirinya sendiri sebetulnya orang yang tidak menerima ketidak sempurnaannya. Itu sbabnya dia selalu menuntut diri harus lebih dan harus lebih.
Mungkin dalam percakapan dia akan berkata, "Saya banyak kelemahan, saya tidak sempurna dan sebagainya", tapi sesungguhnya di dalam hatinya dia tidak menerima itu. Saya akan fokuskan kepada itu yakni kepada orang yang tidak beranugerah terhadap dirinya sendiri, "Bisakah kamu menerima ketidak sempurnaanmu, bisakah kamu tetap menyukai dirimu dengan ketidak sempurnaan itu", ini adalah langkah awalnya. Langkah berikutnya setelah itu adalah dapatkah engkau membawa ketidaksempurnaanmu itu kepada Tuhan dan berkata, "Tuhan inilah aku, dan proseslah aku sesuai dengan kehendakMu dan caraMu." Bisakah kau serahkan kepada Tuhan, sebab orang yang tidak beranugerah pada dirinya sendiri sebetulnya tidak menyerahkan ketidak sempurnaan itu kepada Tuhan, dia serahkan kepada dirinya sendiri, dia yang harus bereskan, dia tidak serahkan kepada Tuhan. Makanya kita harus bertanya, apakah kamu rela menyerahkan ketidaksempurnaanmu itu kepada Tuhan, bukan engkau lagi yang harus benar-benar menyoroti, mencambuki diri supaya lebih sempurna tapi serahkan kepada Tuhan.
GS : Apakah ada contoh konkret di dalam Alkitab sehubungan dengan berkepribadian anugerah ini.
PG : Ada satu contoh yang diberikan Tuhan yaitu tentang seorang yang sudah diampuni oleh Tuhan karena hutangnya yang begitu besar tapi tidak bisa mengampuni orang yang berhutang kecil kepadanya ini salah satu contoh orang yang tidak beranugerah kepada dirinya dan kepada orang lain juga.
Dia tidak beranugerah kepada orang lain, kenapa? Dalam contoh itu sebenarnya isinya adalah dia tidak menghargai pemberian Tuhan, artinya dia tidak menghargai bahwa Tuhan telah memberikan begitu besar pengampunan kepada dirinya. Jadi orang yang tidak beranugerah kepada dirinya sendiri sebetulnya orang kurang menghargai pemberian Tuhan terhadap dirinya, karena itu dia selalu menyoroti ketidak sempurnaannya, seolah-olah dia memang tidak menyalahkan Tuhan tapi intinya dia tidak mensyukuri yang Tuhan telah berikan dan dia berusaha lebih dan lebih baik lagi, sehingga dia menjadi orang yang kejam terhadap dirinya. Dan akhirnya menjadi luber sehingga berbuat kejahatan kepada orang lain pula. Jadi orang yang tidak menghargai pemberian Tuhan akan kejam kepada dirinya dan akhirnya akan kejam kepada orang lain pula.
GS : Bagaimana dengan contoh nabi Elia yang pernah akan bunuh diri?
PG : Elia memang saat itu dalam keadaan sangat ketakutan dan panik, dirinya benar-benar sedang kacau karena mau dibunuh oleh Izebel. Memang dalam keadaan seperti itu kita tidak lagi bisa berpikr jernih.
Itu juga yang dialami oleh nabi Elia, lebih baik mati dari pada hidup. Dalam contoh nabi Elia, kita bisa melihat bahwa dia menuntut dirinya sangat tinggi. Dia tidak bisa lagi melihat bahwa ini pemberian Tuhan, Tuhan pakai aku melawan 850 nabi-nabi Asyera dan Baal itu berarti anugerah Tuhan, Tuhan yang bekerja. Tapi waktu di Bukit Horeb Tuhan bertanya "Apa yang kaulakukan disini," dan Elia menjawab apa? "Saya telah bekerja susah payah untuk Tuhan tapi saya menjadi begini." Apa yang dia lakukan? Dia melihat dirinya yang telah melakukan ini dan itu, tapi kenapa hasilnya akhirnya begini. Dia tidak lagi melihat dia hanyalah hamba, dia hanyalah alat dan yang melakukan adalah Tuhan. Cenderung orang yang kurang beranugerah terhadap dirinya memang kurang melihat Tuhan, bahwa Tuhanlah yang mengerjakan semuanya dan kita hanyalah alat, sehingga merasa dirilah yang harus begini dan begitu, menuntut diri agar lebih tinggi lagi dan akhirnya menuntut orang lain. Dalam pernikahan kalau kita seperti itu pasti pasangan kita akan susah, pasti anak-anak kita akan stres hidup dengan kita, kita menjadi orang yang tidak pernah puas dan menyalahkan yang lain, seolah-olah mereka bertanggung jawab terhadap ketidakbahagiaan kita. Akhirnya semua orang merasa kalau hidup dengan kita itu suatu penderitaan.
GS : Memang itu yang menjadi masalah, seringkali kita memaksa orang lain berlaku seperti kita padahal kita itu dalam situasi yang tidak betul.
PG : Seringkali karena kita melihat kita yang betul dan menganggap kamu yang harus maju kamu yang harus lebih baik lagi dan sebagainya. Sekali lagi, harus kembali ke wawasan anugerah. Tuhan menhadirkan anak-anak kita, pasangan, sebagian dari keluarga untuk membongkar kita, membongkar kelemahan-kelemahan kita supaya kita bisa membawa kepada Tuhan dan minta Tuhan memprosesnya bukan sebagai gangguan-gangguan dari manusia.
Kalau kita berani berkata seperti itu berarti kita berani melihat bahwa ini adalah sebuah proyek dalam diri saya yang harus saya selesaikan. Kita tidak lagi menyalahkan pasangan atau anak-anak kita.
GS : Setelah kita membahas ketiga sisi dari anugerah ini, apa yang ingin Pak Paul sampaikan sebagai kesimpulannya.
PG : Satu konsep anugerah sekarang ini, tidak boleh kita pikirkan sebagai sesuatu yang bersifat intelektual tapi kita harus hidup didalam semua aspek kehidupan kita yaitu jadilah orang beranugeah, jadilah orang yang rela memberi, berkorban, rela terbuka melihat yang positif, melihat potensi untuk masa depan dan yang terutama berwawasan anugerah.
Melihat bahwa kita ini dihadirkan Tuhan, kita dibawa kedalam pernikahan juga untuk menyelesaikan pekerjaan Tuhan yaitu penyelamatan umat manusia. Saya kira kalau kita menjadikan anugerah sebuah kata sifat dalam diri kita yaitu manusia yang beranugerah maka Tuhan akan memakai dan memberkati pernikahan kita menjadi alatnya untuk menjadi terang bagi bangsa.
GS : Apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan sehubungan dengan perbincangan ini?
PG : Saya akan bacakan dari Matius 5:3, "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga." Ini bagi saya salah satu pelukisan dari beranugerah, orng yang miskin di hadapan Allah orang yang berkata, "Tuhan saya tidak punya apa-apa maka saya hanya menerima dari Engkau, semua yang aku miliki itu berasal dari Engkau maka aku hanya memberikan sebagai saluran berkat Tuhan kepada yang lain."
Kata Tuhan, "Orang yang seperti inilah yang empunya Kerajaan Sorga."
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Anugerah dalam Pernikahan" bagian yang kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan email dengan alamat
telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di
www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.