T 208 A
Lengkap
"Mengapa Masalah Pernikahan Sukar Selesai" oleh Pdt.Dr. Paul Gunadi
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Mengapa Masalah Pernikahan Sukar Selesai". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Persoalan konflik, timbulnya masalah dan sebagainya memang kita hadapi sehari-hari di mana pun kita berada, di tempat kerja, di masyarakat dan sebagainya. Tapi justru di dalam pernikahan kita sendiri atau di dalam rumah tangga kita sendiri kadang-kadang bisa berlarut-larut tidak bisa cepat terselesaikan. Sebenarnya faktor apa yang menyebabkan ini terjadi?
PG : Memang di dalam faktor keluarga masalah itu cenderung lebih susah untuk selesai jadi apa yang tadi Pak Gunawan katakan adalah satu hal yang tepat. Banyak masalah terjadi misalnya di tempa kerja, tapi pada umumnya bisa kita selesaikan, namun kalau itu menyangkut hubungan kita dengan pasangan ternyata sangat-sangat susah.
Saya akan mengajak kita semua untuk melihat mengapa begitu susahnya menyelesaikan masalah dalam pernikahan. Sekurang-kurangnya ada 5 yang menyebabkannya, yang pertama adalah pada umumnya kita beranggapan bahwa pasangan kitalah yang bermasalah dan harus berubah. Saya kira ini konsep yang mendasari kita waktu berhadapan dengan konflik dengan pasangan. Kita sungguh-sungguh beranggapan bahwa apa yang kita minta itu wajar dan tidak berlebihan, tapi pasangan kita tidak bisa memenuhinya. Pada akhirnya kita beranggapan memang tidak ada yang salah dalam diri kita, dan kalau tidak ada yang salah dalam diri kita mengapakah kita mesti berubah. Pernikahan adalah sebuah kehidupan yang bersama dan masalah yang timbul acap kali tidak berkaitan dengan salah benar. Kebanyakan masalah pernikahan berhubungan dengan kebiasaan hidup yang berbeda, itu sebabnya yang dibutuhkan adalah penyesuaian dari kedua belah pihak bukan siapa salah atau siapa benar. Kalau kita tetap bersikukuh dengan anggapan saya benar kamu salah, tidak akan ketemu; masalahnya bukan salah benar, masalahnya adalah penyesuaian karena kita harus hidup bersama.
GS : Kebiasaan hidup yang berbeda itu bagaimana menurut Pak Paul?
PG : Sering kali itu yang menyebabkan perbedaan timbul, Pak Gunawan, karena memang kita tidak sama, kita dibesarkan dalam lingkungan yang berbeda otomatis kita akan memiliki kebiasaan-kebiasaanyang unik.
Justru inilah yang harus diselesaikan dalam pernikahan.
GS : Tapi itu terjadi di awal pernikahan Pak Paul, kalau sudah lama bukankah kita lebih banyak penyesuaiannya daripada tidak?
PG : Itu poin yang betul sekali, tapi masalahnya adalah kebanyakan kita memang tidak dengan tuntas menyelesaikan masalah, kita sering kali lebih sering memadamkan api tetapi tidak benar-benar mlihat sumber masalah itu sendiri.
Asal tidak lagi bertengkar kita berpikir, ya sudah saya tidak usah lagi berbuat apa-apa. Masalahnya adalah akarnya tetap ada, akar inilah yang nanti terus-menerus menimbulkan masalah baru. Karena nanti di dalam konteks atau dalam situasi yang berbeda, akar yang sama akan muncul lagi.
GS : Itu sebabnya orang yang sudah berpuluhan tahun menikah, orang masih berkata, "saya tidak mengerti dengan pasangan saya."
PG : Betul, sering kali kita tetap berpikir bahwa seharusnya setelah menikah beberapa lama kita sudah bisa mencapai sebuah kesepakatan, penyesuaian tapi kenapa terus-menerus dilanda konflik, keapa engkau masih terus menerus berbeda dariku; saya duga penyebab pertamanya adalah memang di awal pernikahan kita tidak menyelesaikan masalah dengan tuntas.
GS : Selain menganggap bahwa diri kita sendiri benar dan pasangan kita harus berubah, apakah masih ada faktor lain, Pak Paul?
PG : Faktor lain yang membuat kita susah sekali menyelesaikan masalah pernikahan adalah kita berasumsi bahwa berubah sama dengan mengakui kekalahan atau kesalahan. Setelah terlibat dalam konflk yang berkepanjangan pada akhirnya kita terjebak dalam perebutan kekuasaan.
Maksudnya kita makin mempertahankan diri dan enggan berkompromi, sebab kita takut dianggap lemah atau kita khawatir dianggap takut terhadap pasangan. Jadi kita membentengi diri, mempertahankan, jangan sampai kita nanti dituduh kalah atau salah. Di dalam pernikahan, ego benar-benar mengalami ujian, sebab kita memang dituntut untuk berkompromi; untuk bersedia mengalah. Karena masalah-masalah dalam pernikahan sering kali bukan masalah salah atau benar tetapi masalah penyesuaian antara dua pribadi yang berbeda. Untuk dapat menyesuaikan diri diperlukan kesediaan untuk mengalah, kesediaan untuk berkompromi; "Ayo, mencari titik temu, ya saya tidak mendapatkan semuanya yang saya inginkan, engkau juga tidak mendapatkan semua yang engkau inginkan, kompromi itulah yang diperlukan. Kita tetap harus melihat pernikahan seperti ini, janganlah kita mulai melihat masalah pernikahan sebagai saya tidak mau kalah saya harus menang; kalau sudah memikirkannya dari sudut menang kalah, sampai kapan pun kita tidak dapat menyelesaikan masalah dalam pernikahan kita.
GS : Tetapi walaupun terjadi kompromi, mengalah dan sebagainya bukankah masalah itu sendiri harus diselesaikan, Pak Paul?
PG : Betul, jadi kompromi atau mengalah memang merupakan sebuah cara untuk mendinginkan hati yang sudah panas. Waktu sudah ada kompromi atau mengalah barulah kita dengan tenang dapat membicaraan mungkin ada masalah-masalah yang melatarbelakangi problem yang muncul itu; yang melatarbelakangi itulah juga yang dibicarakan.
Misalnya ternyata yang melatarbelakangi adalah harapan yang terpendam. Kita menginginkan seorang suami yang dapat memberikan perhatian lebih besar kepada anak-anak, yang dapat terlibat dalam kehidupan keluarga dengan lebih aktif, tapi suami kita tidak begitu. Akhirnya kita mempermasalahkan misalnya dia terlambat pulang, kenapa dia tidak telepon, jadi hal-hal yang seolah-olah di luar dari problem yang pertama tadi. Mungkin kita harus bicarakan kalau pulang terlambat telepon dulu, itu salah satu bagian dari komprominya. Namun pada akhirnya kita harus membicarakan yang mendasari itu dan yang mendasari adalah harapan kita bahwa suami akan lebih terlibat di dalam kehidupan keluarga.
GS : Di situ kita tidak boleh menyerang pasangan kita bahwa kita yang menang dan dia yang kalah, Pak Paul?
PG : Betul, jadi penting sekali untuk bisa berkonflik dengan santun, dengan tata krama yang baik. Karena kalau kita tidak berhati-hati, kita berkonflik dan memang kita merasakan kita lagi menag kita itu akhirnya menjatuhkan pasangan, kita menyudutkannya; seolah-olah kita mau dia bertekuk lutut atau benar-benar kalah baru kita puas.
Jangan sampai kita mempunyai pemikiran seperti itu bahwa kita menang dan kita harus menunjukkan kemenangan kita. Tapi sama juga, kita jangan mempunyai pemikiran wah saya kalah; ini bukanlah soal menang kalah jadi jangan memikirkannya dari sudut menang atau kalah.
GS : Ada faktor lain Pak Paul, yang ingin disampaikan?
PG : Faktor ketiga kenapa masalah pernikahan sukar selesai adalah karena kita beranggapan bahwa masalah yang timbul akan selesai dengan sendirinya, asal kita bersabar dan menyediakan waktu yangpanjang.
Masalahnya adalah waktu kita mendiamkan masalah; masalah tidak selesai dengan sendirinya malah berkembang, malah mendalam dan makin mengakar, akhirnya meledaklah masalah itu. Misalnya kejengkelan kita simpan, kita simpan dan kita simpan, akhirnya kejengkelan makin menumpuk. Begitu menumpuknya kejengkelan, benar-benar perasaan kita itu sudah mendominasi diri kita ketika masalah atau konflik muncul. Kita tidak bisa lagi berpikir dengan jernih, akhirnya kita seperti senapan mesin yang langsung menembakkan peluru. Kita tidak lagi tepat sasaran dalam menyelesaikan konflik; kenapa tidak tepat sasaran karena memang di belakang konflik sekarang ini terdapat sejumlah konflik, sejumlah kemarahan yang kita telah benamkan dan sekarang tiba-tiba pada keluar. Akhirnya masalah kita benar-benar seperti benang kusut. Ada orang-orang yang karena terlalu banyak menyimpan masalah akhirnya berkata tidak usah lagi membicarakan penyelesaiannya seperti apa karena sudah seperti benang kusut, tidak mungkin lagi kami selesaikan; tidak tahu dari mana memulainya. Jadi jangan sampai kita mempunyai anggapan masalah akan selesai dengan sendirinya. Tidak, sering kali justru akan berkembang biak.
GS : Cara mendiamkan itu sebenarnya juga membingungkan pasangan kita. Pasangan kita mengira bahwa masalahnya sudah selesai karena tidak dibicarakan, tapi seperti tadi Pak Paul katakan suatu saat ketika kita marah dan mengungkit-ungkit yang lama itu dia akan terheran-heran dan berkata, "saya pikir itu sudah selesai kenapa sekarang dimunculkan lagi," sehingga timbul masalah baru lagi Pak Paul?
PG : Betul, jadi kita mesti sigap menanggapi masalah yang timbul. Tapi di pihak lain saya ingin mengatakan jangan sampai kita menjadi terlalu sensitif sehingga ada sedikit saja masalah harus dbicarakan dengan begitu tegang.
Ada waktunya kita juga menangani masalah sendiri, artinya kita yang berkata ya sudah saya tidak akan permasalahkan ini. Jadi kuncinya adalah kita yang tidak mempermasalahkannya, barulah selesai; jangan kita mempermasalahkannya tapi kita memilih untuk tidak membicarakannya, itu tidak menyelesaikan apa-apa. Sebab di mata kita itu sudah menjadi masalah tapi untuk sementara kita tidak mau membicarakannya berarti tinggal tunggu waktu masalah ini akan meledak.
GS : Tapi kalau kita sudah berkata saya tidak mempermasalahkan, kita harus konsekuen artinya jangan lain kali dipermasalahkan lagi.
PG : Betul sekali, ini memang perlu kekonsistenan; kalau kita sudah berkata tidak lagi saya permasalahkan ya tidak. Atau kalau kita sudah membereskan masalah ini, lain kali jangan ditimbulkan,jangan jadikan ini sebagai sebuah literatur yang kapan-kapan bisa ditimbulkan kembali seperti kita sedang menulis sebuah thesis.
Kalau kita sudah menyelesaikan berarti memang sudah harus kita kesampingkan dalam kehidupan kita. Berapa banyak orang yang akhirnya takut membahas masalah, karena dia sudah menduga kalau satu masalah dibicarakan berarti itu sepuluh akan menyusul. Akhirnya dia enggan untuk membicarakan satu masalah pun. Jadi sekali lagi pada prinsipnya jangan biarkan, orang yang membiarkan masalah; masalah itu akhirnya berkembang biak.
GS : Katakan itu sudah diselesaikan, kemudian salah satu pihak itu mengungkit kembali masalah yang telah diselesaikan itu, ini bagaimana?
PG : Saya kira kita pertama-tama harus bertanya, "Kenapa engkau memunculkannya lagi?" Misalnya dia bilang, "Ya, sebab ini sama dengan yang dulu." "OK, samanya apa?" Jadi kita meminta dia unuk spesifik, kadang-kadang orang itu menyamaratakan dua hal yang sebetulnya tidak persis sama.
Kita meminta dia untuk spesifik. Nah kalau dia beritahu samanya di mana dan memang kalau sama, "OK! Kita akui dalam hal itu memang sama tapi hal-hal lainnya tidak sama 'kan?" "Ya." Kalau begitu kita bicarakan bagaimana peristiwa ini bisa terjadi lagi, tidak samanya di mana kita bicarakan. Dengan kata lain, dalam penyelesaian konflik makin spesifik, makin konkret, makin cepat selesai. Kadang-kadang dalam penyelesaian konflik kita itu menjadi sangat samar, "Pokoknya kamu begini dari dulu." Nah ini tidak bisa selesai, kita mesti bicara dengan lebih spesifik. Jadi kalau dia ungkit-ungkit lagi, kita minta dia untuk memberikan penjelasan.
GS : Jadi anggapan kita tidak mau ramai-ramai dengan pasangan untuk membicarakan masalah yang sebenarnya; tidak dapat menyelesaikan masalah juga Pak Paul?
PG : Tapi saya harus akui, di dalam pernikahan adakalanya kita itu tidak bisa membicarakan masalah tertentu. Ada orang yang memang tidak bisa diajak berdialog, begitu diajak berdialog reaksiny sangat-sangat keras.
Misalnya malah melibatkan pemukulan atau dia akan histeris, sehingga akan menimbulkan dampak trauma yang berat pada anak-anak. Dalam kasus seperti itu memang tidak bisa tidak kita harus berhati-hati; kita tidak bisa sembarangan mengajaknya untuk membicarakan terus-menerus masalah, sebab efeknya akan lebih buruk daripada kita tidak membicarakannya.
GS : Faktor keempat yang mempengaruhi sehingga masalah dalam keluarga itu sulit untuk diselesaikan itu apa, Pak Paul?
PG : Biasanya tabungan kasih cenderung menyusut seiring dengan berkecamuknya masalah. Masalah atau konflik yang terus-menerus terjadi dalam keluarga, pada akhirnya menguras tabungan cinta dala relasi kita.
Dengan berkurangnya kasih, berkurang pulalah semangat untuk menyelesaikan problem. Saya kira kaitannya sangat jelas, begitu tidak ada lagi kasih karena makin menyusut-makin menyusut, kita tidak lagi memiliki motivasi untuk menyelesaikan masalah. Sebab kita tidak lagi mengasihi dia, kita tidak lagi mempedulikannya, perasaannya seperti apa pun kita tidak lagi pusingkan akibatnya ketidakpedulianlah yang menggantikan cinta, dan kita pun makin menyesuaikan diri dengan kehidupan yang tidak sehat ini. Dengan kata lain kita menemukan cara yang paling efektif untuk menyelesaikan masalah dan itu adalah dengan cara tidak menyelesaikannya. Kita mendiamkan, sebab kita sudah tidak peduli, biarkan sajalah lama-lama kasih kita sudah begitu habis ya sudah kita biarkan, diamkan; itu akhirnya menjadi cara kita untuk menyelesaikan konflik sehingga kita tidak membicarakannya lagi. Makin lama makin tidak membicarakan konflik, memang banyak konflik tapi tidak mau membicarakannya, tabungan kasih makin habis yang tertinggal memang hanyalah selembar surat nikah. Artinya relasi itu sebetulnya sudah tidak ada, yang ada hanyalah surat nikah yang menyatakan mereka adalah pasangan suami istri.
GS : Jadi di sini hubungan emosional itu sebenarnya menentukan bagaimana kita dapat menyelesaikan suatu masalah dengan baik atau tidak.
PG : Makin kuat tabungan kasih, makin kuat hubungan relasional di antara kita makin besar kemungkinan kita menyelesaikan konflik di antara kita. Kita perhatikan dalam keluarga atau dalam perniahan tatkala kasih sudah begitu menyusut memang akhirnya konflik tidak terselesaikan lagi dan masing-masing tidak lagi memusingkan tentang masalah, selesai atau tidak selesai biarkan dan diamkan.
Itu menyedihkan sekali dan memang pada akhirnya masalah-masalah pernikahan itu tidak akan selesai.
GS : Tetapi hubungan suami-istri itu menjadi hambar sekali Pak Paul?
PG : Betul sekali, pulang ke rumah ada suami ada istri tetapi ya tidak ada relasi yang mendalam, omong-omong seperlunya setelah bicara seperlunya masing-masing sibuk dengan tugas masing-masing khirnya tidur.
Hari lepas hari sudah seperti itu, hambar luar biasa.
GS : Dan tabungan kasih itu tidak bisa tergantikan dengan hal-hal lain Pak Paul, misalnya dengan pemberian-pemberian?
PG : Sudah tentu kalau ada pihak yang bersedia mulai melakukan hal-hal yang baik, yang menyenangkan untuk pasangannya, itu akan menggelitik kasih yang sudah diam atau kasih yang sudah mati suriitu.
Mudah-mudahan perbuatan-perbuatan baik yang menyenangkan itu akan kembali memancing reaksi-reaksi kasih dari pasangan kita dan makin muncul reaksi-reaksi kasih dan kita menanggapinya maka bola kasih itu akan mulai menggelinding kembali.
GS : Tapi biasanya yang terjadi itu justru sebaliknya Pak Paul, makin kita tidak menyelesaikan masalah, makin sedikit tabungan kasih kita; makin timbul masalah baru makin sedikit lagi tabungan kasih kita, begitu terus Pak Paul.
PG : Itu dapat saya ilustrasikan seperti dahan, Pak Gunawan. Dahan kering itu mudah sekali terbakar, tapi dahan yang basah susah terbakar. Air itu seperti kasih, air itu membasahi dahan sehinga dahan-dahannya tidak mudah untuk terbakar.
Kasih itu membasahi pernikahan atau relasi nikah kita; dengan banyaknya kasih kalau pun nanti ada api yang menyulut, api itu mudah padam dan tidak mudah menyebar karena dahan itu sudah dibasahi oleh kasih. Tapi sebaliknya yang tadi Pak Gunawan sudah katakan, kalau tidak ada kasih sedikit masalah akan menjadi besar dan satu masalah muncul itu benar-benar seperti senapan mesin yang tak lama akan keluar menembak-nembak yang akhirnya makin memisahkan kedua orang ini.
GS : Padahal setiap orang itu butuh dikasihi dan butuh mengasihi, nah dalam kondisi seperti ini apakah tidak rentan atau gampang orang itu mencari uluran kasih dari pihak lain?
PG : Sudah tentu Pak Gunawan, dalam kasus seperti itu masing-masing pihak menjadi orang-orang yang sangat haus dan perlu untuk dipuaskan. Kalau kebetulan datang pihak ketiga yang memberi perhaian, memberikan air yang dibutuhkan olehnya, godaan untuk meminum air dari tangan orang lain itu sangatlah besar.
Maka kalau kita tahu itulah kondisi pernikahan kita, kita mesti lebih berhati-hati menjaga diri kita, jangan membuka peluang sedikit pun. Dan yang kedua, kita berusaha kembali lagi ke dalam pernikahan kita untuk membereskan masalah yang belum beres-beres ini.
GS : Faktor yang kelima dan mungkin yang terakhir dari perbincangan kita kali ini apa, Pak Paul?
PG : Kebiasaan hidup merupakan campuran antara unsur kepribadian dan bentukan lingkungan yang menahun. Itu sebabnya mengubah kebiasaan hidup memerlukan waktu yang panjang dan kesabaran untuk sling mengingatkan.
Dan dengan cara yang dapat diterima masing-masing. Kebanyakan kita tidak sabar dan cenderung berhenti mengingatkan setelah beberapa waktu. Ini sudah tentu menjengkelkan; sudah diingatkan masih berbuat tapi di pihak lain kita mesti menyadari memang kebiasaan itu sudah terkait dengan kepribadian bukan hanya bentukan lingkungan; bukan saja kamu dibesarkan seperti ini makanya kamu sekarang seperti ini, bukan hanya bentukan lingkungan tapi akhirnya sudah menjadi bagian kepribadiannya. Misalnya susah sekali untuk rapi, menaruh barang sembarangan; kita kesal luar biasa sudah berkali-kali kita beritahukan tetapi itu sudah menjadi bagian kepribadian dia yaitu kepribadian yang memang terlalu lepas, terlalu tidak memusingkan hal-hal kecil seperti itu. Tugas kita adalah terus mengingatkan dan pihak yang diingatkan benar-benar berusaha keras untuk tidak mengulangnya kembali.
GS : Kebiasaan-kebiasaan seperti itu yang memang rasanya sulit untuk dirubah tapi selalu menimbulkan masalah, bagaimana kita mau menyelesaikan. Atau perlu tidak diangkat lagi sebagai masalah atau bagaimana?
PG : Tetap saya kira kita mesti mengangkatnya tetapi jangan mengangkatnya setiap kali masalah itu muncul. Sebab kalau setiap kali kita munculkan benar-benar relasi itu akan kehilangan aspek poitifnya, sebab setiap hari kita akan terlibat dalam konflik.
Bukankah relasi kita tidak hanya terdiri dari satu kebiasaan yang tidak menyenangkan itu, bukankah sebetulnya relasi kita itu terdiri dari begitu banyak hal-hal lain yang menyenangkan dan positif, persamaan-persamaan yang mengikat kita berdua, jangan sampai kita kehilangan perspektif terus fokuskan kenapa pada pagi hari engkau tidak bisa menaruh baju dengan lebih rapi, menggantung baju di keranjang, sehingga tidak beraturan. Jadi jangan kita kehilangan perspektif; setiap hari yang dibicarakan itu saja. Tapi sekali-sekali kita berkata, "Tolong baju ini jangan ditaruh di sini, tolong taruh di tempatnya." Sekali-sekali kita ingatkan dia begitu, dengan cara itu pasangan kita pun tidak merasa dibombardir, untuk hal yang dianggap kecil, tapi engkau persoalkan dan permasalahkan sehingga satu hari sudah langsung rusak gara-gara satu hal kecil seperti ini saja.
GS : Ada istri memang yang mengalami hal itu terhadap suaminya, kemudian dia berinisiatif, dibuatkan semacam peringatan yang ditulis di situ. Kembalikan barang setelah digunakan dan sebagainya, tapi suaminya menjadi tersinggung Pak Paul?
PG : Saya mengerti kenapa si istri melakukan itu, dia mungkin benar-benar sudah frustrasi, putus asa tidak tahu lagi mesti berbuat apa. Nah waktu si suami tersinggung si istri bisa berkata, "O, saya minta maaf kalau saya sepertinya melecehkanmu, tapi memang saya itu meminta ini supaya diperhatikan.
Caranya bagaimana supaya saya bisa mengingatkanmu, karena kalau engkau berkata ya, ya, tapi engkau tidak melakukannya itu tidak adil. (kita berikan salah satu contoh kepada suami kita). Misalkan engkau berkata, 'saya ini suka dengan makanan tertentu dan engkau meminta saya memasaknya tapi saya tidak pernah memasaknya nah itu 'kan menjengkelkan kamu,' cobalah tolong apa yang bisa saya lakukan supaya bisa mengingatkan engkau tanpa membuatmu marah. Biar suami yang menentukan cara yang paling baik."
GS : Jadi sebenarnya sesulit apa pun penyelesaian masalah di dalam keluarga ini sebenarnya bisa diselesaikan dan harus diselesaikan, Pak Paul. Apakah ada firman Tuhan yang ingin Pak Paul bacakan?
PG : Saya bacakan Amsal 28:14, "Berbahagialah orang yang senantiasa takut akan Tuhan, tetapi orang yang mengeraskan hatinya akan jatuh ke dalam malapetaka." Ada dua resep yang ingin saya bagikn untuk keluarga atau untuk pasangan nikah.
Pasangan nikah kalau mau mencicipi pernikahan yang sehat dua-dua harus takut akan Tuhan, tidak boleh itu akhirnya lepas dari diri kita. Lepas dari diri kita, kita akan berani kepada Tuhan dan akhirnya masuk ke dalam dosa. Yang kedua, jangan mengeraskan hati; suami atau istri yang mengeraskan hati akan tambah terpisah dari satu sama lain.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengapa Masalah Pernikahan Sukar Selesai". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
Comments
sri rahayu
Jum, 19/08/2011 - 9:45am
Link permanen
Terima kasih atas masukan
TELAGA
Sen, 12/09/2011 - 1:01pm
Link permanen
Ibu Sri Rahayu