Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Sampai Hari Tuaku". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Paul, kadang-kadang kita dibuat terkejut mendengar berita atau melihat kenyataan bahwa pasangan suami-istri yang sudah menikah sekitar 30 tahun bahkan lebih, tiba-tiba bercerai, ini sebenarnya bagaimana Pak Paul?
PG : Memang kalau kita hanya melihat mereka pada usia tua itu dan tidak mengerti latar belakang mereka, kita akan terkejut. Tapi biasanya kalau sampai usia tua kedua orang itu mengalami masala sehingga akhirnya harus berpisah, dapat dipastikan bahwa masalah mereka itu sebetulnya berawal jauh lebih dini.
Jadi kemungkinan besar memang mereka sudah bermasalah, tapi puncaknya di hari tua itu.
GS : Kalau begitu pernikahan itu sebenarnya harus dipelihara sejak awal supaya tidak terjadi hal-hal seperti itu. Bagaimana kita bisa mempersiapkan diri agar pernikahan ini bisa langgeng, sampai masa tua tetap menjadi pasangan suami-istri, apakah ada hal-hal tertentu yang harus diperhatikan?
PG : Ada Pak Gunawan, jadi memang kita mesti merencanakan hari tua. Saya kira makin mantap, makin matang rencana-makin baik hari tua kita itu. Sekali lagi saya ingin tekankan hal ini yaitu kia menikah bukan untuk sementara, kita menikah untuk selamanya sampai juga nanti memasuki hari tua.
Kita ingin agar pernikahan kita di hari tua pun bisa langgeng dan baik. Ada beberapa hal yang bisa kita persiapkan, yang pertama adalah kita mesti memahami bahwa hidup ini terbagi dalam beberapa fase. Ada kalanya kita siap dan menikmati hidup bersama pasangan dalam fase tertentu. Misalnya fase belum mempunyai anak-kita bisa pergi bersama-sama, ke sana ke sini bebas dan kita sangat menikmatinya. Atau ada fase ketika anak-anak kecil, kita juga menikmatinya, kita bisa pergi bersama anak-anak, bermain bersama mereka. Atau fase anak-anak sudah remaja, sudah mulai besar, kita mempunyai kesempatan lebih banyak mengembangkan karier kita pun menikmati kebersamaan di sana. Namun belum tentu kita siap dan dapat menikmati kebersamaan melewati masa tua, sebab masa tua adalah masa yang penuh dengan keterbatasan. Jadi kita mesti menyadari hidup terbagi dalam fase-fase dan fase tua itu fase tersendiri. Kenyataan bahwa kita telah mempunyai kestabilan di fase-fase yang sudah lampau tidak 100 % menjamin bahwa di fase tua ini kita tidak akan mengalami masalah, perlu penyesuaian dan ini yang perlu kita persiapkan.
GS : Tetapi seperti yang tadi Pak Paul katakan, kalau fase-fase sebelumnya kita bisa mengatasi dengan baik, sepertinya hubungan itu lebih harmonis-apakah tidak lebih mudah mengatasi fase yang berikutnya seperti fase pada masa tua itu?
PG : Betul sekali, kalau di masa lampau kita berhasil melewati kebersamaan dengan baik, dengan stabil, kita akan lebih mampu mengatasi tantangan di fase hari tua itu. Tapi yang ingin saya tekakan adalah tetap akan perlu penyesuaian diri.
Fase tua itu tidak kita masuki dan kita lewati dengan begitu saja, perlu ada hal-hal yang perlu kita lakukan untuk menyesuaikan diri.
GS : Berarti dalam tiap-tiap fase pernikahan itu ada masalahnya sendiri-sendiri, untuk fase di mana pasangan suami-istri sudah lanjut usia, masalah-masalah apa yang biasanya muncul?
PG : Biasanya kita bisa simpulkan dengan satu kata Pak Gunawan, yaitu keterbatasan. Di hari tua kita tidak lagi sesehat dulu, sehingga kesehatan kita terbatas. Saya berikan satu contoh, misalan pendengaran kita mulai berkurang, perlu penyesuaian untuk berbicara dengan pasangan dengan pendengaran yang sudah mulai berkurang itu.
Atau ingatan kita berkurang sehingga hal-hal yang baru saja kita bicarakan, nanti kita bertanya lagi atau pasangan kita bertanya lagi. Yang kebetulan memorynya lebih kuat bisa jengkel, kenapa tanya lagi padahal baru saja diberitahukan. Atau karena sering lupa jadi akhirnya merepotkan pasangan. Jadi fase tua ditandai oleh keterbatasan dan di dalam keterbatasan inilah kita sebagai suami-istri harus menghadapi tantangannya. Untuk menolong kita menghadapi tantangan ini, saya mau membedah keterbatasan itu seperti apa dalam unsur-unsur apakah kita harus belajar melihat apa itu keterbatasan. Yang pertama adalah jenis aktifitas, ada hal-hal yang biasa kita lakukan, sekarang tidak bisa lagi kita lakukan. Saya tahu Pak Gunawan bermain tenis dan senang sekali bermain tenis, sampai usia tertentu Pak Gunawan masih bisa main tenis, tapi lewat usia tertentu tidak bisa lagi main tenis. Sekarang diberikan pilihan, apakah Pak Gunawan tidak berbuat apa-apa karena tidak lagi bermain tenis atau harus mengganti jenis aktifitasnya karena Pak Gunawan tetap ingin hidup sehat. Apakah Pak Gunawan bersedia memikirkan alternatif aktifitas olahraga yang lain. Ada orang yang tidak bersedia, ada orang yang berkata, "Saya suka tenis maka saya akan terus main tenis." Akhirnya tulangnya patah, terkena serangan jantung, tidak cocok lagi sampai usia yang sudah lanjut. Atau karena tidak bersedia dengan aktifitas yang berbeda akhirnya tidak olahraga sama sekali dan di masa tua mengumpulkan penyakit-penyakit yang lain.
GS : Di dalam keterbatasan seperti itu, kadang-kadang orang tidak menyadari bahwa sebenarnya dia sudah memasuki usia di mana keterbatasan-keterbatasan itu mulai menjadi bagian hidupnya. Atau kalau pun dia menyadari pasti pasangannya itu yang tidak menyadari bahkan mendorong, "Tidak, kamu tidak seperti itu, teman-temanmu yang lain itu masih belum seperti itu". Ini bagaimana Pak Paul?
PG : Ini sering kali menjadi masalah bagi pasangan yang sudah lanjut usia Pak Gunawan, kecenderungannya adalah ada salah satu pihak yang menyangkali keterbatasannya, sehingga pasangannya itu yag kesal sekali.
"Kamu sudah tua masih begini, nanti kamu kenapa-kenapa." Akhirnya terjadi percekcokan, percekcokan yang tentunya di usia muda tidak akan muncul, karena memang masalah ini tidak ada tapi di usia tua-lah ini akan muncul dan menjadi bahan percekcokan. Atau kebalikannya yang tadi Pak Gunawan katakan, ada pasangan yang tidak mau mengerti bahwa misalkan suaminya tidak sekuat dulu, selincah dulu, nah dia memaksa suaminya untuk terus pergi bersamanya jalan ke sana - ke sini. Sedangkan misalkan sudah terjadi pengapuran yang parah di lutut si suami sehingga si suami tidak lagi bisa menggunakan kakinya sebebas dulu. Tapi istrinya tidak mau mengerti tetap memaksa si suami untuk jalan terus, sebab kenapa, dia berkata: "Teman-teman masih bisa, kenapa kamu tidak bisa, kamu memanjakan diri akhirnya penyakit timbul dsb." Nah dari sini kita bisa simpulkan bahwa dua belah pihak memang mesti benar-benar memahami, menerima dan terutama memercayai masing-masing. Sehingga waktu pasangannya berkata, "Saya memang tidak lagi bisa melakukan ini." Yang satunya percaya dan tidak meragukan, atau sewaktu pasangannya berkata saya memang tidak lagi mampu untuk pergi jauh seperti ini. Nah pasangannya bisa berkata: "OK, saya menerimanya, tidak apa-apa." Jadi perlu suatu jalinan komunikasi yang baik tapi landasannya adalah saling percaya dan saling menghargai. Kalau tidak di usia tua ini muncul percekcokan dan kadang-kadang muncul penghinaan, Pak Gunawan. Yang satu menghina "Kamu kok begini, kamu kok begitu," dan masalah tambah ruwet.
GS : Selain keterbatasan, mengenai jenis aktifitas apakah ada yang lain?
PG : Yang kedua adalah tentang frekwensi. Saya kembalikan contoh misalnya kita terbiasa bermain tenis misalkan tiga kali per-minggu, makin usia lanjut mungkin tidak lagi bisa bermain tiga kaliseminggu, mungkin hanya menjadi dua kali seminggu.
Banyak aktifitas yang biasa kita lakukan beberapa kali per-hari atau beberapa kali per-minggu, dengan pertambahan usia akan harus kita kurangi. Selain dari frekwensi yang kita juga harus pertimbangkan ulang adalah berapa baik atau berapa memuaskannya kwalitasnya. Misalkan salah satu yang juga mesti kita sadari adalah relasi suami-istri atau seksual. Sering kali misalkan si suami yang semakin tua dan istri pun semakin tua hendak melakukan hubungan tapi di usia tua istri tidak lagi bisa melakukannya sebaik dulu. Tidak bisa disangkal, pada masa tua relasi seksual akan berubah, tidak lagi mempunyai kwalitas sebaik dulu. Ini bagian yang juga harus diterima, ada hal-hal yang masih bisa dilakukan tapi tidak lagi sebaik atau tidak lagi memuaskan seperti dahulu kala. Dan yang terakhir bagian yang mesti kita sadari juga adalah berapa lama durasinya. Misalkan Pak Gunawan sekarang bisa bermain tenis dua jam, dengan bertambahnya usia mungkin harus ada pengurangan dari dua jam ke satu setengah jam. Pergi-pergi, dulu bisa dari pagi sampai sore tapi sekarang tidak bisa, sampai siang saja sekarang harus sudah pulang. Ini adalah elemen-elemen yang mesti kita sadari telah berubah dan kita harus menerimanya.
GS : Karena keterbatasan ini kita harus mengurangi jenis aktifitas, apakah tidak sebaiknya dicarikan pengganti untuk itu. Misalnya unsur kepuasan, bukankah setiap orang akan mencari walaupun dia tidak bisa menikmati kepuasan seksual misalnya tetapi bukankah harus ada sesuatu yang memuaskan dirinya.
PG : Sudah tentu dia harus kreatif mencari bentuk-bentuk aktifitas yang lain yang dapat dilakukannya, namun kita sudah tahu bahwa kita harus tetap berjalan di koridor Tuhan, di koridor kehendakTuhan.
Jangan sampai kita mencari aktifitas sebagai pengganti yang terhilang itu dengan aktifitas yang melawan kehendak Tuhan atau yang berdosa kita harus berjalan di jalan yang benar. Tapi penting sekali memang harus kreatif, misalkan dulu terbiasa pergi ke mana-mana jalan jauh-jauh sekarang mungkin jalan di sekitar rumah, bersama-sama. Dulu biasa pulang malam, sekarang tidak usah pulang malam, sore pun sudah pulang karena mata tidak lagi awas untuk bisa melihat jalanan dengan baik. Dan tidak apa-apa, berarti kehidupan malam akan makin berkurang, kalau ada yang mengantar atau menjemput itu baik, kalau tidak ada berarti ya tidak pergi, malam hari di rumah. Nah pikirkanlah apa yang bisa dilakukan di rumah sehingga masih bisa melakukan kebersamaan.
GS : Memang selama pasangan itu masih lengkap, itu akan lebih mudah mengatasinya, memang akan menjadi lebih sulit kalau dia sendirian; entah janda atau duda tapi masalahnya akan lebih kompleks.
PG : Setuju sekali, memang kalau tidak ada lagi pasangan apalagi tidak ada anak atau siapa yang tinggal bersamanya, ini menjadi masalah tersendiri yang mesti dipersiapkan. Nanti kita akan bicaakan tentang peran anak-anak dalam menolong orangtua melewati masa tuanya.
GS : Selain faktor keterbatasan, apakah ada hal lain lagi Pak Paul?
PG : Masa tua ini sebenarnya masa mengingat dan menuai, di masa tua kita tidak lagi dapat memandang ke depan, sebab secara alamiah kita tahu bahwa tidak banyak lagi waktu yang tersisa. Secara isik pun ingatan jangka pendek kita makin memudar maka kita sering melupakan yang sekarang.
Tapi jangka waktu kita masih ada, kita mengingat hal-hal yang dulu pernah terjadi. Itu sebabnya kalau kita pernah mengalami kepahitan atau kekecewaan di masa lalu sering kali kalau kita belum membereskannya dulu, kita belum mengampuni orang yang melukai kita atau mengecewakan kita, kita masih memendam kemarahan dan kepahitan. Di hari tua kepahitan itu akan membesar, bukan saja kepahitan itu masih ada tapi mengganggu, membengkak, benar-benar menguasai orang itu sehingga kalau kita berkunjung ke rumah orangtua ini kita akan selalu disuguhi cerita yang sama tentang kepahitannya, kebenciannya kepada orang itu. Masalahnya adalah orang ini sudah membicarakan kemarahannya, kekecewaannya itu berkali-kali kepada setiap orang yang berkunjung kepadanya. Tapi dia terus membicarakannya, kenapa? Sebab memang itu yang terjadi, masa tua adalah masa mengingat dan menuai. Kalau dia dulu menabur benci, dendam, di hari tua dia akan menuai dendam dan benci tapi dalam skala yang lebih besar. Kalau misalkan pada masa yang lampau kita menanam banyak pengalaman indah, kita memilih untuk mengampuni, kita memilih untuk menyerahkan semua kembali kepada Tuhan, kita tidak lagi ingin menggenggam hidup kita atau kepunyaan kita, kita berani melepaskan, maka masa tua menjadi masa yang lebih indah sebab yang kita ingat yang indah. Kita tidak menyimpan dendam dan yang kita tuai juga adalah pengampunan dan keindahan. Itu sebabnya kita akan melihat sebagian orangtua indah, bersinar, benar-benar menjadi berkat tapi ada lagi sebagian orangtua yang menjadi pancaran kebencian dan kepahitan.
GS : Itu kadang-kadang juga nampak, ada orangtua yang menyesali masa lalunya, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi karena unsur usia. Dia tidak bisa memperbaiki masa lalunya tapi yang dilakukan adalah menyesalinya terus, nah ini bagaimana Pak?
PG : Dia harus datang kepada Tuhan, dia harus berkata, "Tuhan, ini adalah kerikil dalam hidup saya, saya tahu ini tidak benar, saya harus bereskan." Nah dia harus mau membereskan, tidak ada hai yang kita katakan sudah terlambat untuk mengampuni, untuk membereskan-masih ada hari berarti masih bisa mengampuni.
Yang penting dia mau, tapi sering kali karena kebencian itu sudah mendarah daging dan sudah menjadi bagian hidupnya untuk waktu yang lama, dia tidak dengan mudah mau atau melepaskan kebencian itu. Jadi makin tua makin diisi oleh kepahitan, kalau ini yang terjadi yang kasihan adalah pasangannya, Pak Gunawan. Sebab pasangannya itu setiap hari harus mendengarkan keluhan kepahitan dari suaminya atau istrinya itu dan tidak pernah habis-habisnya. Jadi kalau kita melihat dia merugikan dirinya sendiri tapi tidak mau melepaskan maka Tuhan memberikan kepada mereka suatu pilihan, pilihan untuk datang kepada Tuhan untuk mengampuni atau pilihan tidak mau mengampuni sehingga akhirnya terus dikuasai oleh kebencian.
GS : Apakah masih ada faktor lain pada masa tua ini yang perlu diperhatikan?
PG : Satu lagi, masa tua adalah masa perubahan prioritas, maksudnya berhubung sedikitnya waktu yang tersisa dan berkurangnya kesanggupan fisik maka kita pun dipaksa menetapkan ulang prioritas hdup kita.
Kita mesti duduk bersama dan membicarakan apa sekarang yang ingin kita lakukan, kita ingin kerjakan di sisa-sisa hari kita. Jangan sampai nanti yang satu mau ke kiri, yang satu mau ke kanan. Sebab yang satu berkata "ini yang penting buat saya," dan tidak ada saling pengertian lagi. Sudah tentu di masa tua tetap diperlukan suatu kerelaan untuk mengalah, untuk berkata, "Maaf, saya sebetulnya sulit menerima ini, tapi karena saya tahu ini penting bagimu saya akan dukung kamu." Sikap seperti ini pun tetap diperlukan di hari tua, namun semua ini harus dijaga dalam koridor saling pengertian. Ada kecenderungan ini yang terjadi Pak Gunawan, di hari tua ada orang-orang yang menggunakan hari-hari itu untuk membalas dendam. Saya memahami adakalanya mereka memang terlalu pahit di masa lampau, diperlakukan buruk oleh pasangannya, jadi dimasa tualah masa pembalasan dendam. Tidak peduli, tidak mau mengurus, sebodoh amat, malahan sekarang memaki kembali sebab dulu sering dimaki. Saya sekali lagi mengatakan saya mengerti kepahitan yang telah tertanam akibat perlakuan pasangan yang buruk itu, tapi kita mesti ingat bahwa kita tetap bertanggung jawab atas tindakan kita sekarang. Tuhan memanggil kita untuk mengampuni-tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, Tuhan memanggil kita untuk mengasihi-kita bertanggung jawab untuk menunaikan perintah Tuhan ini.
GS : Sehubungan dengan itu apakah sebagai orang yang sudah usia lanjut, perlu tetap mempunyai cita-cita atau pengharapan untuk masa depannya walaupun hanya tinggal sedikit?
PG : Saya pikir itu penting sekali Pak Gunawan, jadi dua-dua duduk sama-sama membicarakan apa itu yang kita ingin kerjakan bersama setahun ini, nanti tahun depan kita kerjakan ini, ayo kalau Tuan karuniakan kesehatan kita kerjakan ini.
Jadi silakan isilah dengan rencana-rencana, sudah tentu rencana yang realistik dan dapat dilakukan.
GS : Ya itu disesuaikan dengan kondisi yang tadi Pak Paul katakan, tentang keterbatasan, keuangan dan sebagainya. Memang perubahan seperti ini kadang-kadang tidak mudah dilalui itu yang menjadi suatu krisis bagi kehidupan pasangan suami-istri yang sudah lanjut usia ini.
PG : Betul sekali tidak mudah, di sini satu sikap yang diperlukan yaitu satu sikap tidak menuntut. Kadang-kadang kita terbiasa dengan perlakuan orang yang penuh hormat, pernuh perhatian pada kta, tapi dengan berlanjutnya usia kita tidak lagi beredar, kita tidak lagi dibutuhkan di luar.
Kadang-kadang kita melampiaskannya itu di rumah, kita tetap mau dihargai, kita menuntut secara berlebihan; pasangan berbicara sedikit keras-kita marah, pasangan bukannya sengaja tidak mendengar-kita marah. Jadi yang terjadi adalah karena kita kehilangan di luar, maka kita menuntut di dalamlah kita mendapatkannya. Kalau pasangan tidak berhasil memberikannya kita mengamuk, kita marah. Jadi akhirnya hari tua itu benar-benar diisi dengan kebencian dan kemarahan. Maka prinsipnya adalah jangan menuntut. Kita tidak mendapatkannya lagi-itulah bagian alamiah kehidupan, kita tidak lagi dibutuhkan-itulah bagian alamiah kehidupan, kita tidak lagi ditanya dimintai pendapat-itulah bagian alamiah kebutuhan, jangan melampiaskannya pada orang di rumah, menuntutnya memberikan kepada kita semua pengakuan dan penghormatan, memperlakukan kita seperti kita itu seorang raja. Jadi penting sekali kita tidak memperlakukan pasangan seperti itu atau orang-orang di rumah seperti itu.
GS : Sebenarnya pada usia tua seperti ini, kita justru lebih membutuhkan daripada dibutuhkan. Kita lebih membutuhkan pasangan kita daripada kebutuhan-kebutuhan kita sendiri yang lain, minta dihormati dsb.
PG : Sesungguhnya demikian Pak Gunawan kita lebih membutuhkan, namun mintalah dengan baik-baik sebab kadang-kadang ada orangtua sadar membutuhkan tetapi tidak mengakui, namun menuntut pasanganuntuk bisa mengerti dan memberikannya.
Akhirnya kasar dan sering bertengkar, jadi kalau memang membutuhkan bantuan, mintalah baik-baik dengan penuh kerendahan hati. Sikap rendah hati benar-benar akan menjadi kunci keberhasilan dua orang tua melewati masa-masa tuanya.
GS : Jadi kalau ada pasangan yang sudah lama menikah lalu berpisah, seringkali masalahnya hanya internal saja bukan eksternal?
PG : Sering kali ya, dan masalah yang muncul adalah dari masalah-masalah yang tadi kita bahas itu.
GS : Bagaimana dengan harapan-harapan masa lalunya yang tidak menjadi kenyataan, seperti tadi Pak Paul katakan bukankah harapan-harapan itu harus ditinjau ulang, harus ditinggalkan dsb, padahal itu sesuatu yang menyakitkan untuk meninggalkan harapan-harapan yang sudah tidak mungkin tercapai?
PG : Di masa tua-lah kita mesti berdamai dengan diri kita pula. Maksudnya begini, waktu kita menengok ke belakang dan melihat bahwa ini hal-hal yang saya tidak dapatkan, kita mesti duduk dan brpikir dengan jernih, jangan langkah pertama menyalahkan orang, ini hanya akan menambahkan kepahitan.
Lihatlah apa itu bagian kita, nah kalau memang ini kesalahan orang dan orang berbuat buruk kepada kita, tugas kita di masa tua adalah meminta Tuhan menolong kita mengampuni orang itu, ini proyek kita. Sekali lagi kita tidak bisa mendelegasikan ini kepada orang, ini adalah tanggung jawab kita kepada Tuhan. Kalau memang kitalah yang berandil, yang membuat kita kehilangan kesempatan yang baik itu, kita mesti juga berdamai dengan diri kita dan berkata, "Ya sudah, ini memang kesalahan saya, memang saya tidak melakukan bagian atau tugas saya, sehingga inilah hasilnya saya tidak mendapatkannya." Terima ini juga, setelah kita melakukan semua itu datang kembali kepada Tuhan percaya bahwa meskipun kita kehilangan itu semua, tetap rencana Tuhan, anugerah Tuhan bagi kita cukup, tidak lebih-tidak kurang.
GS : Untuk mengakhiri perbincangan ini mungkin ada firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?
PG : Saya bacakan Pengkhotbah 3:11 dan 13, "Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya...; dan bahwa setiap orang dapat makan, minum dan menikmati kesenangan dalam segala jerih payahnya, itujuga adalah pemberian Allah."
Ini benar-benar konsep theologis yang dalam yaitu bahwa Tuhan menguasai segalanya, Dia Allah yang berdaulat, Dia yang memberikan keindahan pada waktunya, Dia yang membuat seseorang mampu untuk makan, minum dan menikmati hidupnya. Tuhanlah segalanya, jadi di hari tua kita kembali kepada Tuhan, bersyukur dan berserah kepada-Nya.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Sampai Hari Tuaku." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristesn (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.