Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Problem Seksual dalam Pernikahan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Sebagian orang memang agak merasa tabu untuk membicarakan masalah-masalah seksual khususnya di dalam pernikahannya. Nah bagi kita yang beriman bagaimana Pak?
PG : Seks adalah bagian dari kehidupan orang yang menikah dan seks bukannya sesuatu yang dilarang oleh Tuhan. Tuhan tidak melarang seks, Tuhan mengatur seks jadi kita bedakan keduanya itu, Tuha meregulasi seks yaitu seks diijinkan hanya dalam mahliagai pernikahan.
karena memang seks adalah relasi terintim dan mempunyai begitu banyak konsekuensinya dan melibatkan perasaan, jiwa dan hidup orang yang terlibat di dalamnya, jadi Tuhan tidak mau seks diperlakukan secara murahan. Itu sebabnya Tuhan menempatkan seks di dalam rumah pernikahan. Namun adakalanya kita itu mempunyai anggapan seks tidak boleh dibicarakan karena tidak rohani, itu keliru. Seks adalah satu bagian dari pernikahan dan pernikahan yang sehat biasanya dan seharusnya akan juga mempunyai pengertian dalam soal-soal seksual ini.
GS : Tapi kadang-kadang di dalam hubungan suami-istri pun mereka masih canggung atau bahkan enggan untuk membicarakan sehingga akhirnya banyak timbul masalah.
PG : Itu betul sekali Pak Gunawan, banyak masalah seksual dalam pernikahan tapi tidak dibicarakan, namun dampaknya sebetulnya dirasakan oleh keduanya dan mempengaruhi relasi mereka. Pertanyaan ak Gunawan, mengapa tidak dibicarakan, saya menduga karena gengsi.
Sering kali kalau orang harus membicarakan tentang seks dan misalkan meminta, orang itu merasa gengsi sehingga akhirnya tidak mau membicarakannya. Akibatnya ini adalah hal yang ditutup-tutupi, namun tadi sudah disinggung akhirnya luber dan mempengaruhi relasi nikah kita.
GS : Biasanya masalah-masalah apa Pak Paul yang sering kali muncul?
PG : Pertama adalah ketidaksesuain frekwensi, tubuh kita mempunyai kebutuhan seksual yang tidak sama, ada yang perlu lebih banyak ada yang tidak perlu sebanyak itu. Kita perlu membicarakannya dngan terbuka namun tidak memaksa.
Saya menganjurkan nyatakanlah kebutuhan kita dan mintalah pemenuhannya. Sebaliknya ini saya minta kepada pihak yang tidak membutuhkan banyak, jangan memandang rendah pasangannya yang meminta lebih banyak. Atau menunjukkan sikap menolak, sikap-sikap seperti itu jangan. Karena bagi orang yang memang membutuhkan lebih banyak dan memintanya itu sudah merupakan pengorbanan, dia harus mengorbankan egonya. Kalau jawaban kita adalah jawaban yang menolak dengan kasar itu sangat menyakiti hati orang dan akhirnya orang itu akan berjanji pada diri sendiri bahwa dia tidak akan meminta lagi. Begitu dia berkata tidak akan meminta lagi, terbentanglah jurang di antara mereka. Jadi ini nasihat kepada mereka yang tidak memiliki kesamaan frekwensi kebutuhan. Yang membutuhkan sedikit harus meningkatkan batas maksimalnya. Misalnya dia berkata, "Saya hanya perlu seminggu satu kali," naikkanlah. Yang membutuhkan banyak juga perlu bisa menurunkan tuntutannya. Misalkan dia berkata, "Saya sedikit-sedikitnya perlu empat kali seminggu. Turunkanlah, batas minimalnya berapa yang bisa ditoleransi. Misalkan dua kali seminggu, ok, kalau begitu dua kali seminggu. Inilah yang diperlukan agar tercipta hubungan yang lebih harmonis.
GS : Bukankah untuk itu diperlukan komunikasi yang baik antara suami istri ini, sering kali yang terjadi adalah karena ada problem seksual itu tadi komunikasi menjadi terhambat Pak Paul?
PG : Maka kita harus menyelesaikan masalah di titik masalah itu. Sering kali di dalam pernikahan yang kita lakukan adalah bukannya menyelesaikan masalah di titik masalah itu tapi kita memindahkn masalah di titik yang lain dan mempeributkan masalah yang lain itu, meskipun masalahnya berada di titik yang semula.
Kita angkut, kita boyong masalah di titik sebelumnya ke titik yang baru ini. Biasanya di titik di mana kita merasa lebih nyaman, misalnya kita mempunyai masalah dalam hal seksual ini, tapi kita tidak mau membicarakan dan akhirnya kita ribut dalam soal anak. Misalnya kita berkata kepada pasangan kita, "Kamu kok lebih sayang anak daripada saya saya." Akhirnya ribut di sana, "Kamu memang memberikan perhatian yang lebih besar kepada anak, tidak kepada saya dan sebagainya." Sebenarnya ribut pada awalnya di dalam soal seks, jadi saya minta kita harus menyelesaikan masalah di titik masalah itu sendiri.
GS : Di dalam hal ini, seperti tadi Pak Paul katakan meminta atau menyeimbangkan itu tadi, orang tidak mau secara terbuka mengatakan bahwa kebutuhan saya sekian, lalu saya cukup sekian, tapi mereka tidak mau terbuka.
PG : Sering kali kalau orang tidak mau terbuka memang ada dua penyebabnya. Yang pertama, ada orang yang angkuh sehingga tabu buat dia meminta dan dia berharap pasangan seharusnya tahu, tidak ush diberitahukan atau diminta ya langsunglah diberikan.
Nah ada orang yang memang mempunyai masalah keangkuhan, kalau dia mempunyai masalah keangkuhan; rendahkanlah diri, belajarlah meminta, itu baik buat pernikahan. Kerendahan hati itu baik buat pernikahan bukannya keangkuhan hati. Penyebab kedua biasanya adalah kita bisa membaca aroma penolakan dari pasangan kita. Karena itu kita enggan untuk menyampaikan permintaan kita, daripada kita sampaikan dan ditolak ya sudah mendingan tidak disampaikan. Biasanya dua penyebab itulah yang menghalangi kita untuk menyampaikan keinginan kita.
GS : Sebenarnya harus tetap dibicarakan apa adanya, Pak Paul?
PG : Tetap harus dibicarakan, jadi prinsipnya selesaikan masalah di titik masalah itu sendiri, jangan boyong dan pindahkan ke titik masalah yang berbeda.
GS : Selain masalah frekwensi mungkin ada yang lain Pak Paul?
PG : Yang biasanya juga menjadi masalah adalah masalah biologis atau problem-problem disfungsi ereksi, bagi wanita-nyeri dalam berhubungan. Kalau itu masalahnya jangan ragu, jangan malu untuk k dokter.
Sebab masalah-masalah ini memerlukan pemeriksaan serta perawatan medis. Namun adakalanya problem disfungsi ereksi lebih bersifat psikologis. Masalah ereksi sebetulnya disebabkan oleh misalnya perasaan dia tidak lagi mampu, dia tidak lagi menjadi kepala rumah tangga, dia tidak lagi dihormati oleh istrinya, atau dia merasa dituntut harus memuaskan istrinya dan dia tidak mampu melakukannya sehingga belum apa-apa akhirnya mengalami masalah disfungsi dalam ereksi. Kalau wanita misalkan masalah nyeri dan sebagainya, juga perisakan, sebab adakalanya ini bukan masalah biologis meskipun bisa menjadi masalah biologis. Kadang-kadang ini merupakan masalah ketergesaan sehingga tidak memberi waktu persiapan untuk terjadinya pelumasan. Jikalau itu yang terjadi terlalu tergesa-gesa, langsung masuk kepada tahap penetrasi, akhirnya yang terjadi adalah rasa nyeri. Jikalau semua itu sudah dibicarakan dan dibereskan, namun tetap mengalami masalah, periksakan kepada dokter sehingga masalah ini bisa dituntaskan.
GS : Itu satu hal lagi yang membuat orang kadang-kadang enggan datang ke dokter untuk membicarakan masalah problem seksualnya, Pak Paul?
PG : Memang ada rasa malu apalagi bagi pria, kalau wanita lebih terbuka untuk membicarakan masalah ini. Bagi sebagian pria itu rasanya tabu sekali mmebicarakan masalah disfungsi dalam ereksi ini. Seolah-olah, "Saya kurang laki-lai, saya kurang jantan, dan sebagainya." Daripada menyimpan-nyimpan masalah dan akhirnya melahirkan problem-problem lain dalam keluarga, mengapakah kita tidak belajar merendahkan hati kita, mencari pertolongan untuk membereskan masalah ini. kadang-kadang ada orang-orang yang lebih suka mempertahankan egonya, keangkuhannya, tidak mau dipandang rendah oleh pasangannya; menutupi terus problem itu, tidak mau memeriksakan diri ke dokter, meskipun problem itu benar-benar menyengsarakan pasangannya, menimbulkan banyak masalah lain, tapi dia lebih rela. Dia lebih rela membuat orang susah daripada dia harus melewati sedikit rasa malu, saya kira itu tidak benar, itu adalah tindakan yang kejam, jadi rendahkanlah diri, rendahkanlah hati kita, carilah pertolongan medis.
GS : Memang mengenai ketergesaan itu tadi ada banyak faktor Pak Paul. Kadang-kadang ada pasangan suami-istri yang baru menikah, anaknya masih kecil dan tidurnya harus sekamar sehingga dia tidak merasa nyaman dalam melakukan hubungan seksual.
PG : Sering kali hal-hal ini perlu dipikirkan, adakalanya perlu untuk memisahkan tempat tidur dan kamar kita sehingga kita bisa berkonsentrasi. Bagaimana bisa berkonsentrasi kalau anak ada di smping kita, jadi pengaturan-pengaturan ini memang perlu direncanakan.
Hubungan seks yang baik sebetulnya adalah hubungan yang telah direncanakan. Memang dalam pikiran kita, semakin spontan semakin lebih baik tapi kenyataannya dalam pernikahan, yang spontan-spontan itu jarang terjadi. Sebab hidup menjadi rutin dan dipenuhi dengan tanggung jawab. Jadi seperti hal-hal lainnya, kalau mau mendapatkan yang terbaik, rencanakanlah sebaik-baiknya.
GS : Ada faktor yang lain itu, kadang-kadang perbedaan usia yang terlalu jauh, sehingga misalnya si suami itu sudah lanjut usianya padahal istrinya masih muda belia, sehingga kebutuhan mereka akan pemenuhan kebutuhan seksual ini berbeda. Ini bagaimana Pak Paul?
PG : Betul, itu sering kali terjadi Pak Gunawan. Kadang kala pria itu malu untuk mengakui bahwa sebetulnya gairahnya sudah sangat menurun dan sebagainya. Nah saya kira di sini si pria harus berata terus terang bahwa, "Memang saya tidak lagi seperti dulu, gairah sudah berkurang tetapi saya tetap masih ingin melayani engkau.
Jadi jangan ragu untuk meminta, jangan ragu untuk berinisiatif dan bertanya, saya juga akan mencoba sebaik-baiknya." Jadi bicarakan dengan terus terang, apa yang dapat dilakukan oleh yang lebih muda agar kita yang lebih tua tetap akhirnya bisa mendapatkan bantuan. Misalnya ada hal-hal yang bisa dilakukan oleh pasangannya itu, jangan malu, kemukakan itu; kadang-kadang karena kita ini orang berdosa, daripada mengakui keterbatasan kita, kita malah melemparkan masalah pada pasangan kita dengan mencaci maki dia, berkata, "Kamu tidak tahu malu, kamu seperti pelacur meminta-minta dan sebagainya." Bukankah itu kasihan , sebetulnya yang bermasalah kita, yang mengalami kelemahan dan keterbatasan adalah kita tapi kita memutarbalikkan masalah dan malah melemparkan kepada pasangan. Bagi saya ini tindakan kejam, gara-gara kita tidka mau mengakui keterbatasan, kita malah menginjak-injak orang.
GS : Mungkin ada faktor yang lain Pak Paul?
PG : Biasanya ketakutan hamil, juga menjadi masalah. Biasanya perempuan tidak mau berhubungan karena sebetulnya takut hamil. Jadi saya kira dua-dua harus membicarakan atau berkonsultasi dengan okter, sehingga bisa ditentukan alat kontrasepsi yang paling cocok.
Misalkan Pak Gunawan, sebetulnya kalau anak-anak sudah mulai besar, bukankah yang lebih mudah dilakukan adalah hal-hal seperti fasektomi untuk pria, tapi pria itu sekali lagi gengsi, nanti kurang jantan, dan sebagainya. Sedangkan semua itu adalah mitos, fasektomi tidak mempengaruhi itu semuanya tapi justru itu adalah cara yang paling mudha, begitu sederhana dan benar-benar itu akan menghilangkan rasa takut pada istri kita. Tapi banyak suami tidak mau melakukannya, lebih suka menimpakan semua beban itu kepada si istri sehingga akhirnya si istri takut untuk hamil, dia yang lebih sengsara dan kita juga harus bayar dengan hubungan seksual terganggu. Mengapakah kita tidak mau merendahkan hati, merendahkan diri kita, "Ya sudah lewati saja dengan fasektomi, anak-anak kita sudah cukup dan sudah cukup besar, kita sudah cukup umur." Lakukan, sehingga nantinya kita akan lebih bisa menikmati relasi seksual.
GS : Pak Paul, ada sebagian orang yang tidak mau menggunakan alat kontrasepsi, itu sebenarnya dasar pemikirannya itu apa Pak Paul?
PG : Macam-macam Pak Gunawan, memang ada yang beralasan religius, berkata ini dilarang Tuhan, daripada melanggar firman Tuhan, jadi tidak mau. Menurut saya nomor satu kita harus yakin bahwa ana adalah pemberian Tuhan.
Nomor dua Tuhan juga menuntut kita untuk bertanggung jawab. Kita tidak diijinkan Tuhan membunuh manusia lain termasuk membunuh anak dalam kandungan. Namun apa salahnya kalau kita memang mempunyai kemampuan untuk itu, aturlah kelahiran anak-anak kita sehingga kita bisa menyediakan yang paling baik untuk anak-anak kita. Ada juga orang yang berkata tidak memakai alat kontrasepsi karena mengurangi kenikmatan, karena ada tambahan-tambahan alat yang dimasukkan ke dalam tubuh. Kalau memang itu yang dirasakan, maka tadi saya katakan kalau pria sudah cukup umur, anak-anak sudah mulai besar, kenapa tidak langsung saja melakukan fasektomi.
GS : Ada sebagian orang juga yang mengurangi frekwensi hubungan seksualnya karena letih. Sekarang ini suami-istri bekerja, istri sudah bekerja dari pagi sampai sore masih kerja di rumah lagi dan malamnya masih melayani, itu bagaimana Pak Paul?
PG : Sering kali ini menjadi masalah manusia modern Pak Gunawan, banyak pasangan mengalami masalah seksual, sebetulnya awalnya dari kesibukan. Terlalu letih sehingga akhirnya setelah pulang ke umah benar-benar tidak ada keinginan lain selain daripada beristirahat.
Sehingga tidak ada lagi kencan-kencan, perlahan-lahan ini bisa menjadi masalah. Misalnya ada yang sangat membutuhkan tapi yang satunya sudah terlalu letih, atau kalau dua-duanya terlalu letih dan dua-duanya tidak pandai-pandai mengkompensasikan dengan keintiman dalam bentuk yang lain, ini bisa menjadi pemisah antara si suami dengan si istri. Sebab tidak bisa disangkal, seks bukan saja relasi terintim tapi seks adalah sebuah tindakan yang mengintimkan kedua orang. Jadi kalau akhirnya sama sekali tidak dilakukan karena terlalu letih dan terlalu letih, dan tidak ada penggantinya, kompensasi keintiman dalam bentuk lain, akhirnya relasi suami-istri makin terbelah.
GS : Kemudian orang sering kali mengatakan saya tidak mempunyai gairah, padahal hubungan seksual itu membutuhkan gairah, Pak Paul.
PG : Ini juga bisa menjadi masalah dan kehilangan gairah, itu biasanya diawali oleh kehilangan ketertarikan terhadap penampilan fisik pasangan kita. Nah apakah ini alamiah atau manusiawi, saya ira ya.
Pasangan kita tidaklah semuda dulu dan pasangan kita tidaklah memiliki tubuh sebaik dulu. Itu saya kira bagian dari perkembangan hidup, kita makin menua bukan makin tambah muda. Kalau ini yang terjadi, jangan sampai lupakan satu prinsip bukankah kita mencintai dia dan bukankah cinta pada dasarnya adalah memberi dan berkorban. Jadi meskipun gairah tidak lagi seperti dulu, minat sudah menurun, tetap lakukan. Kenapa? Karena makin kita lakukan dengan konsisten, makin gairah itu terpelihara meskipun perlahan-lahan akan menurun sesuai dengan pertambahan usia, tapi menurunnya tidak terlalu cepat. Sebaliknya kalau kita berkata tidak ada gairah, kemudian tidak usah melakukan, tinggal tunggu waktu akan benar-benar tidak akan ada lagi relasi seksual. Benar-benar akan vakum karena makin jarang dilakukan, makin cepat hilang gairah itu.
GS : Mungkin ada faktor yang lain Pak Paul, masalah yang lain yang muncul di dalam relasi seksual ini?
PG : Bisa Pak Gunawan, yang lain adalah keengganan melakukan hubungan seksual akibat dampak masa lalu. Misalnya orang tidak mau berhubungan karena menganggap seks sebagai alasan utuhnya pernikaan orangtua.
Ayahnya misalnya berselingkuh atau berzinah, wah dia tidak mau lagi berhubungan seks karena seks dikaitkan dengan selingkuh dan penyebab kehancuran keluarga. Sesuatu yang kotor, sesuatu yang salah. Misalkan yang lain ada yang pernah menjadi korban pelecehan seksual, dan ini berakibat pada ketakutannya untuk berhubungan seksual. Jikalau ini menjadi masalah, saya kira mereka memang harus datang kepada seorang konselor untuk mendapatkan bantuan agar bisa mendamaikan masa lalunya, membereskan semuanya itu. Kalau sudah dibereskan, kelegaanlah yang bisa diperoleh, dan bisa ditingkatkan kembali relasi seksual itu.
GS : Biasanya pasangan itu menikah tanpa bekal pengetahuan yang cukup tentang masalah-masalah seksual baik dari orangtuanya maupun dari pihak yang lain. Nah ini sangat mempengaruhi Pak Paul?
PG : Sangat mempengaruhi Pak Gunawan, maka dalam bimbingan pranikah seharusnyalah hamba Tuhan atau konselor membicarakan hal-hal seperti ini, sehingga mereka berdua bisa mempersiapkan diri dengn lebih baik.
Sekali lagi saya tekankan prinsip itu yang tadi saya sudah singgung bahwa perencanaan itu akan menentukan baik atau tidak baiknya relasi seksual. Makin matang perencanaan, makin besar kemungkinan relasi seksual kita menjadi baik.
GS : Pak Paul, kadang-kadang karena tuntutan pekerjaan atau karena studi, suami-istri harus berpisah untuk jangka waktu yang cukup lama. Pengaruhnya bagaimana pak?
PG : Sudah tentu kalau untuk satu kurun, kemudian nanti setelah itu mereka akan bersama-sama lagi untuk kurun yang lama, kurun yang lama itu bisa mengobati kurun yang mana mereka berpisah. Namu kalau mereka berpisah untuk waktu yang lama, bertemu sebentar pisah lagi dalam waktu yang lama dan seterusnya, dampaknya sering kali buruk.
Sebab pada akhirnya kebergantungan dan keintiman kita pada pasangan akan berkurang, kebutuhan kita akan pasangan kita juga akan berkurang. Namun kalau kita setelah berpisah berkumpul lagi untuk waktu yang lama, keintiman, kedekatan dihidupkan kembali, kebergantungan juga dihidupkan kembali, relasi itu juga akan kembali menjadi intim dan kuat. Kalaupun nanti harus berpisah lagi, modal itu sudah tersedia.
GS : Tetapi apakah hal ini tidak terlalu mengganggu serius Pak Paul, artinya bisa sampai si pria yang tugas di luar kota ini kemudian berselingkuh atau nyeleweng?
PG : Saya kira bisa Pak Gunawan, sebab sudah tentu dalam kesendiriannya dia akan lebih rawan terhadap godaan. Maka apakah perpisahan ini untuk semua orang, kita harus menilai berapa kuatnya relsi nikah kita.
Kalau memang relasi nikah kita kurang kuat dan kita pun menyadari kita kurang kuat, jangan paksakan diri mengambil pekerjaan yang harus memisahkan kita, sebaiknya tetap bersama-sama.
GS : Jadi hal itu pun harus dibicarakan antara suami-istri ini. Dalam hal ini Pak Paul apakah firman Tuhan juga memberikan pedoman bagi kita?
PG : Firman Tuhan di I korintus 7:3 dan 4 berkata, "Hendaklah suami memenuhi kewajibannya terhadap isterinya, demikian pula isteri terhadap suaminya. Isteri tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri tetapi suaminya, demikian pula suami tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi isterinya."
Rasul Paulus di sini jelas-jelas membicarakan tentang relasi seksual dan rasul Paulus sebagai hamba Tuhan meminta agar baik suami maupun istri menunaikan kewajibannya. Dan dasarnya adalah firman Tuhan, tubuh isteri milik suami, tubuh isteri milik suami. Nah di sini diungkapkan sebuah kesatuan yang begitu intim dan sempurna, sehingga memang tidak lagi bisa dibedakan siapa, siapa. Semua menjadi sebuah kesatuan, seks ditempatkan di dalam kesatuan seperti ini dan ini adalah bagian dari rencana Tuhan. Jangan sampai kita beranggapan seks itu jasmani, yang jasmani itu tidak kudus alias dosa. Seks adalah ciptaan dan pemberian Allah kepada umat manusia.
GS : Masalah-masalah ini sebenarnya bisa teratasi dengan baik kalau kita mau mengkomunikasikan itu dan mau merendahkan diri kita untuk menyelesaikannya bersama-sama. Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini, dan para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Problem Seksual dalam Pernikahan", bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristesn (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.