Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, kali ini saya bersama dengan ibu Esther Tjahja kami akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Kakek, Nenek dan Cucu". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Paul, beberapa waktu yang lalu kita berbincang-bincang tentang menjadi tua dan itu hampir identik dengan menjadi seorang kakek atau seorang nenek. Bagaimana relasi antara kakek, nenek dan cucu ini Pak Paul?
PG : Menjadi tua memang sering kali satu paket dengan menjadi kakek dan nenek. Dengan kita menjadi kakek dan nenek berarti bertambahlah relasi dalam rumah kita, bukan saja berelasi dengan aak atau menantu tapi sekarang dengan cucu.
Nah bagaimana kita sekarang menyikapi relas-relasi antara kakek, nenek dan cucunya. Pertama-tama saya akan menggambarkan tiga corak relasi atau kondisi rumah tangga yang melibatkan kakek-nenek. Yang pertama, keluarga di mana kakek dan nenek tinggal bersama dengan orangtua dan anak atau cucu, namun penjagaan anak diserahkan kepada kakek dan nenek karena orangtua bekerja. Kita juga sering melihat keluarga seperti ini. Dalam kondisi ini penting bagi kakek dan nenek untuk merujuk anak kepada orangtua untuk hal-hal yang berkaitan dengan pengambilan keputusan. Dengan kata lain jangan sampai kakek-nenek mengambil alih otoritas orangtua-anak, kadang-kadang ini yang terjadi. Kakek-nenek terlalu terlibat sehingga mengesampingkan otoritas orangtua, jangan, tetap orangtua yang memegang otoritas atas anak-anaknya, jangan sampai mengambil alih. Jadi kalau ada hal-hal yang harus diputuskan biarlah kakek-nenek berkata: "Tunggu sampai ayah dan ibumu pulang, nanti saya akan tanyakan kepada mereka."
GS : Tapi itu juga perlu ketegasan dari orangtua anak atau ayah dan ibu anak itu sendiri. Kalau mereka menyerahkan kepada orangtuanya yang sekarang berstatus kakek-nenek buat cucu itu juga menyulitkan buat kakek-nenek ini.
PG : Betul sekali, jadi memang seyogyanya orangtua tetap terlibat, tidak menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab pada kakek-nenek. Sebab tetap ini adalah anak mereka sendiri, kalau dari awalna orangtua sudah lepas tangan berarti nanti si anak bertambah besar makin tidak bisa hormat kepada orangtuanya sendiri.
ET : Tapi kadang-kadang kalau misalnya kakek-nenek tidak bisa mengambil keputusan juga akan menyulitkan, misalnya cucunya melakukan kesalahan, kemudian untuk melakukan penghukuman menunggu apa-mamanya pulang.
Apakah itu nanti justru cucu tidak hormat kepada kakek-nenek?
PG : Ini point yang baik sekali Ibu Esther, dalam kondisi seperti itu memang harus ada kesepakatan yang dibuat antara kakek-nenek dan orangtua. Bahwa kalau kakek-nenek melihat anak membuat esalahan seperti ini, silakan bisa dihukum dan hukuman itu memang akan sesuai dengan hukuman yang nanti akan orangtua berikan pula.
Jadi tidak apa-apa orangtua mendelegasikan itu kepada kakek dan nenek. Sehingga waktu misalkan si anak mengadu, "Kakek, tadi marah dan memukul saya atau nenek tadi marah, nenek juga akhirnya menjewer saya." Orangtua harus mendukung kakek dan nenek dan berkata: "Karena kenakalan kamu, inilah yang kamu dapatkan, sebab kalau tadi yang di rumah saya atau mama, kami juga akan melakukan hal yang sama, kami akan memberikan sanksi kepada kamu dengan jeweran itu juga. Jadi orangtua, kakek, nenek bersatu sehingga anak tahu bahwa mereka memang mempunyai kesamaan sehingga tidak mudah atau tidak bisa dipecah belah.
GS : Mungkin ada bentuk relasi yang yang lain, Pak Paul?
PG : Yang lain adalah kakek, nenek tinggal bersama orangtua namun orangtua tidak mengurus anak dan tidak mau tahu tentang anak. Ini kadang-kadang terjadi, jadi orangtua memanfaatkan kakek-nnek, sama sekali tidak mau mengurus anaknya.
Apa yang dilakukan dalam kondisi seperti ini. Saya kira kakek-nenek sebaiknya tetap berkonsultasi dengan orangtua, pertama-tama agar keputusan yang mereka ambil sejalan dengan kehendak orangtua pula. Jadi jangan sampai nanti kalau peristiwa yang sama terjadi orangtuanya memberikan respons yang berbeda kepada anak-anaknya. Anak-anak nanti melihat o..........kakek-nenek lebih tegas, orangtua lebih lembek akhirnya menimbulkan masalah. Di depan orangtua anak-anaknya makin berulah, nanti yang repot dan kasihan adalah kakek-neneknya. Jadi sebaiknya tetap dikonsultasikan dengan orangtua. Tujuannya yang kedua adalah agar orangtua tetap dilibatkan, meskipun dia seolah-olah lepas tangan, tidak mau tahu, tapi kakek-nenek terus memberitahukan sehingga orangtua tetap digugah untuk terlibat dalam membesarkan anak-anaknya.
GS : Seorang cucu, kakek-neneknya bisa dua pasang baik dari ayah maupun ibu, itu ada pengaruhnya atau tidak Pak Paul?
PG : Seharusnya tidak ada pengaruhnya siapa yang menjadi orangtua dari orangtua kita itu namun sebaiknya juga kalau memungkinkan jangan sampai dua pasangan kakek-nenek itu tinggal serumah. udah ada dua pasang, ada orangtua jadi itu benar-benar terlalu ramai dan bisa menimbulkan masalah dalam membesarkan cucu-cucu mereka.
GS : Ada orangtua yang menitipkan anaknya, dalam jangka waktu tertentu kepada orangtua dari suami, kemudian beberapa bulan lagi pindah ke orangtua dari istri. Apakah itu tidak membingungkan anak?
PG : Bisa membingungkan dan sebaiknya tidak, saya sudah pernah bertemu dengan beberapa orang yang pada masa kecil dititipkan pada kakek-neneknya. Dan saya melihat sering kali akhirnya membuhkan masalah.
Kenapa membuahkan masalah? Pertama, sering kali akhirnya anak-anak ini berkata ada senangnya tinggal dengan kakek-nenek tapi rata-rata merasa terbuang, "Kenapa saya," sebab misalkan ada empat anak, dia yang dititipkan pada kakek-nenek, kakak dan adiknya tidak. Jadi sudah langsung merasa terbuang. "Kenapa saya yang dipilih dititipkan sementara kakak dan adik tidak," akhirnya itu menimbulkan akar kepahitan di dalam sikap mereka. Dan yang berikutnya adalah kakek-nenek akhirnya yang harus bertanggung jawab karena orangtuanya misalkan tidak lagi bisa mengurus anak atau meninggal dunia sehingga kakek-nenek yang harus mengurus anak-anak. Kalau dalam kondisi seperti itu, si kakek-nenek terpaksa menjalankan peran sebagai orangtua. Benar-benar sebagai orangtua, memberikan kasih sayang dan disiplin kepada anak-anaknya, jangan sampai kakek-nenek tidak memberikan disiplin. Kalau itu yang terjadi si anak akhirnya bermasalah. Jadi tadi saya sudah singgung, saya beberapa kali bertemu dengan anak-anak yang dibesarkan di rumah oleh kakek-nenek tanpa orangtua karena dititipkan kepada mereka dan orangtua tidak mau tahu akhirnya membuahkan masalah. Salah satu masalahnya adalah cucu-cucu ini setelah besar tidak bisa menguasai dirinya, kehendaknya benar-benar seperti banteng yang harus dituruti, kalau tidak dia akan menyruduk orang. Pokoknya dia adalah pusat perhatian, sekaligus dia merasa tidak dikasihi sebab orangtua seolah-olah membuang dia, jadi menjadi problem yang komplek.
ET : Dan kadang-kadang saya melihat untuk pendisiplinan itu juga tidak mudah karena sudah berbeda generasi. Mungkin dulu kakek-neneknya dibesarkan dengan cara apa dengan anak-anak yang sekaang bukankah sudah sulit dipahami dan sulit memahami satu dengan yang lain.
PG : Sering kali itu menjadi gap Ibu Esther, karena memang generasinya terpaut terlalu jauh, sehingga untuk memahami gejolak dan kebutuhan si cucu, kakek-nenek mengalami kesulitan. Atau karna tetap ingin disayangi cucu-cucu sehingga terlalu permisif, membolehkan segala sesuatu.
Jadi sering kali ini yang saya lihat, kalau dibesarkan oleh kakek-nenek, anak-anak mengalami masalah dalam hal disiplin.
GS : Mungkin Pak Paul bisa memberikan pedoman bagi kakek-nenek sekarang ini.
PG : Ini saya berikan pada kakek-nenek yang memang harus berurusan merawat cucu-cucunya. Pertama, saya ingin mengingatkan kasih sayang tidak boleh menjadi dalih untuk tidak mendisiplin cucu Ada orang yang sudah tua berkata, "Aduh saya dulu terlalu keras dengan anak saya, sekarang saya harus lembut dengan cucu saya.
Atau o....sekarang sudah tua lebih mengerti bagaimana menjadi orangtua yang mengasihi anak, tapi anak-anak sudah besar hanya ada cucu jadi sekarang semua kasih sayang dia limpahkan kepada cucu." Tetap saya ingatkan jangan sampai melupakan disiplin, terlalu banyak anak yang akhirnya mengembangkan perilaku menyimpang akibat perlakuan kakek-nenek yang tidak mendisplin.
ET : Tapi kadang-kadang untuk pendisiplinan ini juga misalnya kakek-nenek justru termasuk yang sangat disiplin tapi papa-mama yang lebih permisif. Ada juga yang terjadi seperti itu?
PG : Ada Ibu Esther, dan intinya kalau dua pasang kakek-nenek ini tidak akur, tidak sehati tetap dampaknya buruk pada anak. Karena anak harus menghadapi ketidakkonsistenan dalam hal mendisilin dirinya.
Misalkan orangtua lebih bisa berdialog, tidak terlalu keras, kakek-nenek terlalu keras, akhirnya anak ini terbelah-belah, akhirnya dia mencoba memanipulasi atau kalau ada kakek-neneknya berpura-pura diam, nanti tidak ada kakek-neneknya mereka berulah. Jadi memang penting sekali kakek-nenek dan orangtua berkonsultasi tapi tetap sebaiknya kakek-nenek mencoba menyesuaikan dengan orangtua, kecuali memang ada masalah yang berat sekali. Kalau tidak cobalah menyesuaikan karena memang bukan anaknya, ini adalah anak-anak.
GS : Kalau pun mereka ingin mendisiplin terlalu keras, mereka juga agak khawatir kalau nanti anaknya marah.
PG : Ya sering kali begitu, akhirnya terlalu berhati-hati juga, ada yang seperti itu.
GS : Prinsip atau pedoman yang lain yang Pak paul bisa sampaikan?
PG : Perlu ada kejelasan status, ini penting. Bagaimanapun dekatnya kakek-nenek dengan cucu, tetap cucu bukanlah anak, jadi hak orangtua haruslah dikedepankan. Jangan sampai kakek-nenek lupa. Kadang-kadang kakek-nenek sayang pada cucu, terlalu sayang sehingga akhirnya melindungi cucu-cucu itu dengan berlebihan. Sehingga akhirnya anak-anaknya itu tidak mempunyai hak untuk membesarkan anak-anaknya sendiri. Apalagi menantunya, jadi sangat tertekan karena mertua yang terlalu mencampuri membesarkan anak. Ingatlah status, meskipun kakek-nenek sayang kepada cucu, ingatlah pada status bahwa ini bukan anak sendiri jadi kedepankanlah hak orangtua.
ET : Saya juga pernah ingat beberapa kasus seperti tadi Pak Paul sempat singgung tentang mertua dan menantu, karena ada perbedaan jadi akhirnya ada seperti salah satu atau kedua belah pihakitu curhat kepada anak.
Jadi akhirnya nenek katakan kepada cucunya, "Mama begini, begini...." dan sementara nanti salah satu orangtua berbicara, "Kakek atau nenek begini, begini........." nah ini bagaimana Pak Paul?
PG : Saya kira menjadi tidak tepat karena si anak akhirnya digiring seolah-olah berpihak pada kakek-neneknya. Kecuali dalam kasus memang adanya pengabaian, adanya pelecehan, adanya tindak kkerasan kepada anak.
Dalam kondisi seperti itu saya kira kakek-nenek seyogyanyalah mencoba untuk melindungi anak-anak, tapi kalau tidak memang harus ada batasnya. Kakek-nenek itu jangan terlalu masuk ke dalam kehidupan anak-anaknya, kemudian menggiring anak-anaknya untuk berpihak kepadanya dan seolah-olah tidak terlalu dekat dengan orangtua. Saya kira itu keliru, tetap dia harus membagi batasan yang jelas bahwa mereka hanyalah kakek-nenek dan anak-anak ini milik orangtua bukan milik mereka.
GS : Ya memang kadang-kadang anak ini menjadi pendengar yang baik, ada kakek-nenek yang terus membicarakan tentang menantunya. Tanpa disengaja mungkin, kakek nenek ini hanya berdialog saja berdua tapi ternyata ada cucunya di sana. Sehingga itu memberikan gambaran yang buruk tentang ibunya yang adalah menantu dari kakek-nenek ini.
PG : Nah itu kadang-kadang dilupakan oleh kakek-nenek sehingga akhirnya waktu mulai mengeluh tentang menantu, mengeluhnya di depan cucu dan cucu mendengar. Bisa ada dua reaksi, susu bisa megiakan kakek-nenek atau kebalikannya mereka malah tambah melawan orangtuanya atau kebalikannya mereka tambah benci kakek-nenek karena merasa kakek-nenek begitu jahat.
Saya juga tahu dalam keluarga-keluarga tertentu kakek-nenek sangat berperan besar, karena misalkan mereka tetap mempunyai keuangan; anaknya bekerja kepada mereka sehingga mereka sangat berkuasa sekali. Dan anak-anak tinggal di rumahnya karena belum bisa mempunyai rumah sendiri. Kalau tidak hati-hati ini bisa menanamkan benih kebencian dari cucu kepada kakek-nenek, karena mereka melihat bapak ibunya diperlakukan dengan sangat buruk oleh kakek-nenek seperti pegawai dan mereka tidak mempunyai hak apa-apa, kakek-neneklah yang menentukan semua sehingga cucu-cucu bisa sangat benci. Mungkin orangtua bisa menerima perlakuan kakek-nenek tapi cucu tidak bisa menerima dan ini menjadi tidak sehat. Sebab dari kecil si cucu ini sudah mempunyai kebencian terhadap kakek-neneknya, bisa jadi kebencian ini luber keluar yaitu dia tidak suka dengan orangtua karena menganggap orangtua seperti kakek-neneknya. Belum lagi kalau dampak buruknya adalah si cucu ikut-ikutan tidak respek kepada orangtuanya, malah makin kurang ajar kepada orangtuanya. Apalagi dalam soal uang, kakek-nenek yang memberikan uang, orangtuanya tidak banyak uang sehingga tidak bisa memberikan uang dan kakek-nenek yang selalu memberikan uang; beli baju, beli mainan untuk si cucu, sehingga akhirnya si cucu tambah tidak hormat kepada orangtua. Maka tetap saya tegaskan dan ulangi lagi, kedepankanlah hak orangtua, meskipun si kakek-nenek mempunyai kewenangan tahan diri bahwa ini bukan anak-anak sendiri. Kecuali dalam kondisi memang buruk, orangtua itu menganiaya anak barulah kakek-nenek ikut terlibat melindungi cucunya.
ET : Dan kadang-kadang ada yang terjadi bukan bermaksud untuk meremehkan anaknya tetapi hanya untuk menghindari konflik saja, misalnya kakek-nenek memberikan sesuatu kepada cucu atau ada atran-aturan yang sedikit dibelok-belok tapi dengan pesan jangan bilang mama.
Dia mungkin tidak dengan tujuan untuk meremehkan anaknya tapi hanya karena kasihan pada cucunya, nah ini bagaimana Pak Paul?
PG : Kalau sekali-sekali tidak apa-apa, karena saya mengerti kadang-kadang kakek-nenek itu lebih lembut hati, kasihan kepada cucu, sekali-kali tidak apa-apa tapi jangan jadikan ini sebagai ola karena nanti akan mengganggu relasi orangtua-anak.
GS : Mungkin ada yang lain Pak Paul?
PG : Yang lain adalah saya ingin ingatkan bahwa pada dasarnya peran kakek-nenek adalah peran pendukung, mereka bukan pemain utama, mereka adalah pendukung. Yakni memberi dukungan kasih dan ukungan disiplin, ini yang jangan sampai dilupakan.
Artinya kalau kakek-nenek itu hidup bersama dengan cucu, berilah tambahan kasih sayang sehingga si anak atau si cucu menerima lagi kelimpahan kasih sayang dan itu adalah sesuatu yang positif, namun bukan hanya limpahkan kasih sayang tetapi juga limpahkan disiplin. Kakek-nenek bukan hanya menjadi figur yang membolehkan anak, kadang-kadang dia juga menghentikan langkah si cucu, tidak bisa bebas melakukan semua yang diinginkannya. Jadi prinsip ini harus diseimbangkan, limpahkan kasih sebagai pendukung yang orangtua sudah berikan sekaligus memberikan dukungan dalam hal disiplin yang orangtua juga berikan jangan sampai bertabrakan.
GS : Dalam hal ini biasanya memang tidak seimbang, lebih banyak kakek-nenek memberikan kasih sayangnya daripada disiplinnya.
PG : Dan atas nama kasih sayang akhirnya kakek-nenek mengubah-ubah peraturan orangtua yang tadi Ibu Esther sudah singgung. Jadi berhati-hati, kadang-kadang kakek-nenek berkata: "Ini 'kan cuu saya dan orangtuanya adalah anak saya, jadi saya bebas mengubah-ubah aturan atau larangan dalam rumah tangga anak-anak."
Jangan, kita memang orangtua dari anak-anak yang sekarang sudah mempunyai anak pula, tapi tidak berarti kita itu bisa bebuat semau-maunya kitapun mesti menghormati peraturan yang orangtua berikan. Sehingga nanti cucu melihat o..........kakek-nenek sendiri menghormati aturan orangtua dan mereka pun akhirnya didorong untuk juga menghormati aturan orangtua. Kalau kakek-nenek sendiri tidak menghormati aturan yang dibuat orangtua, si anak diajar untuk tidak menghormati aturan orangtua. Jadi akhirnya timbullah masalah.
GS : Apakah masih ada lagi?
PG : Ada lagi, misalkan hati-hatilah berbicara di hadapan anak tentang orangtuanya, jangan melebihkan atau mengurangi. Melebihkan artinya melebih-lebihkan apa saja kebaikannya, tapi juga jagan mengurangi kebaikannya, artinya kemukakanlah fakta namun perhatikanlah waktu dan kesiapan anak.
Ada hal-hal yang buruk yang terjadi pada orangtua, nah kakek-nenek mungkin sangat marah. Misalkan ini menyangkut anak atau menantunya, pasti lebih marah kalau menyangkut menantunya yang tidak bertanggung jawab misalnya. Hati-hati dalam berbicara kepada anak, meskipun orangtua itu salah anak cenderung membela orangtua. Jadi kalau kakek-nenek berbicara terlalu negatif meskipun benar, cucu bisa sangat benci kepada kakek-nenek. Jadi tetap kemukakan waktu namun perhatikanlah waktu dan kesiapan anak, artinya mulailah bicara dengan lebih jelas tentang kondisi orangtua dengan meningkatnya usia anak, jangan terlalu dini. Yang kedua, meskipun anak sudah lebih dewasa, sudah lebih besar tidak berarti siap mendengar tentang kenyataan orangtua mereka. Jadi lihatlah kesiapan anak-anak juga, jangan dari kecil si kakek-nenek sudah membicarakan tentang orangtua yang buruk-buruk, meskipun benar karena ini akan sangat berdampak buruk pada anak-anak yang tidak siap mendengar itu semua.
ET : Pasti ini lebih sulit buat kakek-nenek yang memang harus menjadi orangtua bagi cucunya. Karena anaknya tidak mau mengurus anak atau sudah meninggalkan anaknya.
PG : Betul sekali, sudah tentu akan ada kekesalan dan ini kadang-kadang akan meluap. Saya kira sekali-sekali masih bisa dimaklumi kita manusia tidak selalu bisa menahan diri tapi sebisanya enahan diri.
Biarkanlah nanti anak yang mengembangkan penilaiannya sendiri, kita tidak usah menanamkan penilaian itu kepada anak-anak kita. Biarkan mereka nanti yang akan menilai orangtuanya, jangan sampai kakek-nenek yang menanamkan itu pada si cucu. Sebab bisa menjadi bumerang, meskipun itu kenyataan bahwa orangtuanya tidak bertanggung jawab tapi kalau kakek-nenek terlalu sering membicarakannya malahan itu bisa membuat anak-anak membenci kakek-nenek. Padahal yang telah berbuat baik dan menjaga mereka adalah kakek-nenek, jadi perlu bijaksana dalam hal seperti ini.
GS : Ada kakek-nenek yang menjadikan cucunya sebagai kurir, artinya kalau kakek-nenek ini ingin menyampaikan sesuatu kepada menantunya dia menggunakan anak kecil ini.
PG : Itu memang tidak sehat karena si anak tidaklah cocok dan tidaklah seyogyanya dijadikan kurir menanggung beban yang terlalu berat yang mesti dipikulnya. Biarlah kakek-nenek berbicara lagsung dengan orangtua tanpa melalui cucu, biarkanlah cucu menjadi kanak-kanak, biarkanlah dia menjadi seseorang yang memang masih dalam tahap pertumbuhan.
Jangan sampai sejak kecil si cucu itu harus ditaruh di tengah-tengah dan dihimpit dari dua belah sudut yang berbeda, kasihan, jadi jangan libatkan cucu untuk urusan-urusan kakek-nenek dengan orangtua.
GS : Di dalam hal memberikan hadiah, bagaimana pedoman yang bisa Pak Paul sampaikan, kakek-nenek sering kali suka atau bangga bisa memberikan hadiah atau sesuatu kepada cucunya. Itu bagaimana?
PG : Ada beberapa Pak Gunawan, yang pertama adalah berikanlah hadiah yang tidak melebihi hadiah yang biasanya diberikan oleh orangtua. Meskipun kakek-nenek mampu tapi janganlah mencolok memerikan hadiah yang nilainya jauh di atas hadiah yang biasa diberikan oleh orangtua.
Kedua, prinsipnya adalah jangan memberikan hadiah jauh lebih sering daripada orangtuanya. Sekali-sekali justru berikan kepada orangtua, biarkan orangtua yang memberikan kepada anak-anaknya atau cucunya. Jadi jangan terlalu sering melebihi frekwensi orangtua memberikan hadiah kepada anak-anak. Dan yang ketiga adalah seperti biasanya berikan hadiah pada hari-hari yang memang khusus untuk memberikan hadiah, jangan sedikit-sedikit memberikan uang, memberikan hadiah, itu tidak mendidik. Misalnya hari ulang tahun, hari natal, jadi ada hari-hari khusus silakan berikan, tapi tidak selalu memberikan sesuatu kepada cucu.
GS : Ada beberapa kakek-nenek yang memang tidak mau direpotkan lagi dengan cucu-cucunya, jadi dia terang-terangan berkata kepada anak dan menantunya bahwa mereka tidak sanggup lagi dititipi cucu.
PG : Kalau tidak sanggup sama sekali saya kira jangan, sekurang-kurangnya secara berkala misalkan sebulan, dua bulan sekali anak-anak datang bermain-main di rumah kakek-nenek, saya kira ituhal yang positif.
Karena si anak-anak atau cucu bisa juga belajar dari kakek-nenek, ini bagian dari fungsi kakek-nenek yaitu karena waktu yang lebih senggang bisa menggunakan waktu itu untuk menjadi teman anak yang setia. Karena anak kecil membutuhkan waktu dan kakek-nenek mempunyai waktu itu. Saya mengerti kalau kakek-nenek sudah tua tidak mau terlalu direpotkan tapi jangan sampai menolak sama sekali. Cucu akhirnya mempunyai pandangan negatif terhadap kakek-nenek, "Kenapa mereka tidak sayang kepada kami, kami seolah-olah bukan cucu mereka," jadi sambutlah secara berkala, izinkanlah mereka main-main di rumah dan tidak apa-apa sekali-sekali rumah berantakan, itu saya kira selayaknyalah dilakukan oleh kakek-nenek untuk cucu mereka.
GS : Justru itu yang menjadi alasan, mereka tidak mau rumahnya berantakan karena tidak ada lagi pembantu rumah tangga dan kalau cucunya pulang mereka harus mengatur lagi, membersihkan lagi, ini yang mereka agak keberatan.
PG : Mungkin frekwensinya saja diatur, kalau keberatan seminggu sekali, mungkin dua minggu sekali atau sebulan sekali tapi tetap ada kontak. Jangan sampai setiap kali ke rumah kakek-nenek dmarahin, cucu nantinya tidak mau lagi datang ke rumah kakek nenek, jadi biarkan datang membuat sedikit banyak rumah sedikit berantakan ya tidak apa-apa.
GS : Tapi pada umumnya anak-anak mempunyai kenangan yang manis dengan kakek-neneknya.
PG : Ya umumnya begitu, sebab biasanya kakek-nenek lebih murah hati kepada cucu daripada kepada anak.
GS : Dan lebih telaten, ceritanya atau diajak jalan-jalan dan sebagainya itu tidak mudah dilupakan.
PG : Karena waktu mereka jauh lebih banyak sementara orangtua jauh lebih sedikit. Jadi ini saya kura sumbang sih kakek-nenek yang sangat besar, cucu itu membutuhkan waktu dan waktulah yang apat diberikan kakek-nenek kepada cucu mereka.
GS : Di samping itu Firman Tuhan apa yang ingin Pak Paul sampaikan?
PG : Saya bacakan Mazmur 92:15, 16, "Pada masa tua pun mereka masih berbuah, menjadi gemuk dan segar, untuk memberitakan, bahwa Tuhan itu benar, bahwa Ia gunung batuku dan tdak ada kecurangan pada-Nya."
Kakek-nenek adalah jembatan yang efektif untuk menghubungkan cucu bukan saja dengan orangtuanya tapi terutama dengan Tuhan. Melalui pengalaman hidupnya kakek-nenek bisa bercerita, bersaksi perbuatan Tuhan yang baik, kesetiaan Tuhan yang tak pernah habis-habisnya. Dan ini menjadi sebuah hal yang indah yang bisa mereka wariskan kepada cucu-cucu mereka. Mungkin dari orangtua, anak-anak ini kurang mendapatkan masukan atau makanan rohani, tapi justru dari kakek-neneklah mereka justru menyerap makanan-makanan rohani. Dan kakek-nenek yang hidupnya benar, hidup untuk Tuhan itu benar-benar menjadi contoh, teladan yang indah bagi cucu mereka. Jadi sekali lagi banyak hal yang bisa dilakukan oleh kakek-nenek dan akan sangat berdampak positif bagi kehidupan cucu mereka.
GS : Terima kasih Pak Paul, terima kasih Ibu Esther untuk perbincangan kali ini, dan para pendengar sekalian, kami juga mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kakek, Nenek dan Cucu". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.