Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun Anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) dan kali ini saya bersama Ibu Wulan, S.Th., kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Letih Mental". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Biasanya orang berbicara tentang keletihan tubuh, Pak Paul, tapi kali ini pokok pembicaraan yang hendak kita bicarakan adalah tentang keletihan mental. Sebenarnya apa itu keletihan mental itu, Pak Paul ?
PG : Keletihan mental itu seperti istilahnya sendiri mengatakan keletihan tapi bukannya pada tubuh kita tapi pada jiwa kita. Dengan kata lain secara menyeluruh kita merasakan keletihan sehinggaakhirnya apa-apa yang biasanya kita lakukan atau harus kita lakukan sekarang tidak bisa lagi kita lakukan.
Jadi ini suatu keletihan yang lebih bersifat psikologis.
GS : Tapi semua orang bisa mengalami itu, Pak Paul ?
PG : Saya kira semua orang bisa, tapi ada kelompok masyarakat tertentu yang lebih rawan terhadap keletihan mental. Nah siapakah mereka itu ? Mereka adalah orang-orang yang bekerja dengan manusi, melayani manusia, mereka adalah orang-orang yang misalkan bekerja sebagai seorang rohaniwan, sebagai pekerja sosial, sebagai seorang konselor dan sebagainya.
Mereka adalah orang-orang yang terus-menerus dituntut untuk mengerti manusia dan melayani manusia. Ternyata orang-orang yang memiliki profesi seperti ini lebih rentan terhadap keletihan mental.
GS : Jadi mungkin ikut menanggung beban dari pasiennya itu, Pak Paul ?
PG : Salah satunya itu, tapi nanti kita akan melihat bahwa keletihan mental bukan hanya ditimbulkan oleh satu faktor tapi bisa ditimbulkan oleh pelbagai faktor dan sebelumnya kita juga harus mebedakan keletihan mental dengan kejenuhan, ya Pak Gunawan.
Sebab kejenuhan itu sering kali diterjemahkan dari kata bahasa Inggris, "burn out", sebetulnya bukan hanya itu. Kejenuhan misalnya kita jenuh melakukan sesuatu yang kita terbiasa melakukannya, itu bukan letih mental, sebab ada orang yang jenuh melakukan pekerjaannya, tapi di luar pekerjaannya dia biasa-biasa saja sangat bahagia, sangat bisa berfungsi dengan baik hanya dalam pekerjaannya dia merasa jenuh melakukan hal yang sama setiap hari. Kalau letih mental tidak seperti itu, baik di tempat pekerjaan, baik di rumah, baik dalam kehidupan pribadinya benar-benar seperti lilin yang habis dan tidak ada lagi api di situ.
WL : Tadi Pak Paul mengatakan ini bisa menimpa anak-anak Tuhan, konselor dan sebagainya, termasuk berarti hamba Tuhan. Kalau hamba Tuhan bisa tertimpa seperti ini saya membayangkan reaksi dari para jemaat, atau pun yang dibimbing begitu ya, mereka tuntutannya terhadap hamba Tuhan cukup tinggi. Mereka kadang-kadang melontarkan, "Lho hamba Tuhan saja seperti itu, lalu kita bercerminnya ..." Mereka seharusnya lebih dari kita, itu dampaknya bagaimana kepada jemaat ?
PG : Saya kira kalau memang terdeteksi oleh jemaat, sudah tentu jemaat akan bertanya-tanya apa yang terjadi, tapi biasanya jawaban kedua, "Mengapa hamba Tuhan bisa seperti itu, hamba Tuhan tida sekuat yang kami harapkan, bukankah dia hidup lebih dekat dengan Tuhan dan tidak mengalami semua ini ?" Jadi bisa sekali timbul reaksi buruk, reaksi negatif kalau kita sebagai hamba Tuhan dilihat oleh jemaat kita memiliki keletihan mental seperti ini.
Dan itulah sebetulnya yang menjadi ketakutan para rohaniwan juga. Itu sebabnya rohaniwan akhirnya berupaya untuk tampil prima di depan jemaatnya. Jangan sampai nanti jemaat melihat bahwa saya letih mental, tidak bersemangat dan sebagainya akhirnya itu sendiri menjadi jebakan yang makin memperparah kondisinya.
WL : Jadi seperti memakai topeng terus, ya Pak Paul ?
PG : Seolah-olah menjadi seperti topeng yang harus dia kenakan setiap kali dia tampil di depan jemaatnya.
GS : Tapi mungkin jemaat juga tidak terlalu banyak yang menyadari bahwa pimpinannya ini sedang letih mental. Yang kelihatan hanya reaksi-reaksi atau tindakan-tindakan yang kadang-kadang dilihat aneh begitu Pak Paul. Nah sebenarnya apa itu ciri-cirinya supaya kita bisa mengenali dia sedang letih mental dan bukan jenuh saja.
PG : Yang pertama adalah kalau kita letih mental kita tidak mempunyai energi untuk kreatifitas. Jadi yang namanya kreatifitas itu langsung padam, itu salah satu tanda yang sangat jelas sekali bhwa kita mulai mengalami keletihan mental.
Misalkan kita harus menyiapkan suatu karya tulislah atau khotbahlah, kita akan kesulitan sekali menciptakan sesuatu yang baru. Akhirnya apa yang kita lakukan ? Kalau kita misalkan hamba Tuhan, kita mencari naskah khotbah kita yang lampau dan kita bisa gunakan kembali. Atau kita harus menulis, kita tidak bisa memunculkan gagasan yang segar, akhirnya kita mencari-cari naskah yang lampau. Nah, apa yang bisa kita gunakan kembali, kira-kira seperti itu. Ciri pertama, hilangnya kreatifitas.
GS : Itu juga bisa menimpa pemimpin, Pak Paul, dalam suatu kelompok kerja dia tidak mempunyai ide.
PG : Sama sekali tidak mempunyai ide dan ini beda dengan orang yang kehabisan ide, kadang-kadang kita bisa kehabisan ide. Bukan itu, sebab orang yang kehabisan ide bisa tetap bersemangat, segartapi rasanya ini mandeg, tidak bisa ketemu ide yang baru.
Kalau keletihan mental bukan, benar-benar tumpul sekali, bahkan untuk mengeluarkan gagasan yang sederhana sekali pun sesuatu yang seharusnya bisa dilakukan olehnya dengan sangat mudah tiba-tiba menjadi sangat sulit untuk dikerjakan.
WL : Apakah faktor usia mempengaruhi, Pak Paul ?
PG : Saya kira tidak (WL : Lain, ya), sebab banyak orang yang sudah berusia lanjut sangat produktif sekali, sangat bisa menghasilkan karya-karya yang baik. Saya kira bukan masalah usia, tapi meang secara mental dia letih sekali sehingga tidak lagi bisa berkarya.
GS : Hanya mungkin kalau yang lebih lanjut usianya, karena dia sudah punya pengalaman dengan masa-masa lalunya, dia lebih cepat bisa beradaptasi atau mengatasi masalah kejenuhannya atau keletihan mentalnya.
PG : Mudah-mudahan ya dengan catatan nanti dia bisa mendapat dukungan-dukungan atau perubahan-perubahan yang kembali menyegarkan jiwanya, sehingga bisa kembali kreatif ya.
GS : Bagaimana dengan emosi orang itu, Pak Paul ?
PG : Biasanya emosinya menjadi sangat datar, tidak responsif sama sekali. Jadi dengan kata lain cenderung tanpa perasaan, benar-benar wajahnya itu seperti kertas tidak ada ekspresi-ekspresi terentu.
Kalau kita tanya, "Apa reaksimu ?" "Biasa saja". "Sedih atau tidak ini ?" "Biasa saja". Semua biasa saja, sebetulnya yang ingin dia katakan adalah "Saya tidak merasakan apa pun". Sesungguhnya itu yang terjadi, sebab begitu letihnya dia secara mental sehingga emosinya tidak bisa terkeluarkan, terpancarkan sama sekali.
WL : Pak Paul, ini bedanya dengan depresi bagaimana ?
PG : Mirip sekali, Ibu Wulan. Kalau depresi disertai dengan tambahan-tambahan, misalkan muatannya secara kognitif, pikiran-pikirannya negatif sekali. Nah, orang yang letih mental tidak mesti diuasai oleh pikiran-pikiran negatif.
Depresi juga ditambahi dengan perasaan-perasaan misalkan ingin mengakhiri hidup, tidak mau hidup lagi, tidak ada lagi pengharapan. Nah, orang yang letih mental tidak seperti itu ya. Tidak mempunyai reaksi perasaan apa pun namun tidak mempunyai juga keinginan untuk mati dll. Namun mungkin tidak orang yang mengalami keletihan mental untuk waktu yang berkepanjangan akhirnya memasuki lembah depresi ? Ya mungkin, itu juga mungkin.
GS : Tapi ada yang suka marah-marah, Pak Paul. Apakah mungkin itu tanda dia sedang keletihan mental ?
PG : Kemarahan-kemarahan itu justru menunjukkan ia belum sampai ke dasarnya, sebab masih bisa memberikan reaksi-reaksi, kalau orang yang sudah letih mental, untuk marah pun tidak memiliki eneri, seperti itu.
GS : Kalau begitu dia juga enggan untuk berhubungan dengan orang lain, Pak Paul ?
PG : Betul sekali. Orang yang letih mental kecenderungannya adalah ingin menyendiri, ingin menghindar dari orang. Pertanyaannya mengapa ? Karena dia merasa terlalu letih untuk bisa melayani orag atau memenuhi tuntutan orang, itu sebabnya ia menghindar dari kontak-kontak dengan orang lain supaya nanti dia terbebas dari tuntutan atau beban-beban yang mungkin diembankan kepadanya.
Kalau kita misalkan bekerja dalam sebuah perusahaan dan kita sedang mengalami keletihan mental, salah satu cirinya adalah waktu kita ditanya, "Maukah mengerjakan sesuatu ?" jawabnya "Tidak mau". Ada tantangan, kesempatan, ayo ambil saja, tidak mau. Sedikit saja, bisa tidak bantu ? Tidak mau. Benar-benar tidak mau semuanya, sebisa-bisanya yang sekarang ini mau dikurangi, tidak mau lagi dikerjakan karena tenaga untuk mengerjakannya benar-benar hampir habis.
GS : Bagaimana dengan tubuhnya sendiri ?
PG : Nah, biasanya memang ada pengaruhnya, Pak Gunawan. Jadi apa yang terjadi pada jiwa kita akan mempengaruhi tubuh kita pula. Kalau secara mental kita sangat letih, akhirnya secara fisik pun ita letih, kita kehilangan semangat untuk melakukan hal-hal yang biasanya kita senang lakukan.
Olah raga yang biasanya kita senang lakukan, tidak lagi kita senang melakukannya, sebab belum olah raga pun kita rasanya sudah tidak ada semangat, sudah letih. Misalkan dulu kita senang bernyanyi-nyanyi sekarang tidak lagi ada semangat untuk melakukannya sebab kenapa, sebab tubuh kita sungguh-sungguh merasa letih. Sebetulnya tidak ada lagi aktifitas tambahan yang kita lakukan, kenapa letih ? Sebab jiwa kita sudah merasa letih.
WL : Tadi Pak Paul sebutkan ciri-cirinya orang tidak bersemangat, tidak punya tenaga mau melakukan sesuatu, terus berinteraksi dengan sesama manusia juga sangat minim, lalu kalau dengan Tuhan bagaimana, Pak Paul ?
PG : Nah, ini yang menarik, Ibu Wulan. Pada umumnya kalau kita merasakan keletihan secara mental, kita juga merasa jauh dari Tuhan. Pertanyaannya, mengapa kita merasa jauh dari Tuhan sampai kadng-kadang kita menuduh Tuhan tidak lagi mempedulikan kita.
Sebabnya adalah begini, pada waktu kita letih secara mental, kita sebetulnya juga letih, bukan saja tidak ingin berhubungan dengan sesama manusia, menghindarkan pertemuan dengan teman atau apa, tapi kita pun bereaksi sama terhadap Tuhan. Kita tidak terlalu ingin berhubungan dengan Tuhan, ngomong-ngomong dengan Tuhan, membaca Firman Tuhan sebab rasanya memang kita tidak ingin berhubungan dengan siapa pun termasuk Tuhan. Jadi sebetulnya bukan kita ditinggalkan Tuhan tapi kita yang menjauhkan diri dari Tuhan, karena sekali lagi tidak ada keinginan untuk berhubungan dengan siapa pun, akhirnya juga termasuk Tuhan.
WL : Jadi penyebabnya mula-mulanya kita kecewa dengan Tuhan atau masalah kita dengan sesama, atau dengan diri sendiri akhirnya menyebar ke mana-mana, begitu Pak Paul.
PG : Tepat sekali, jadi pada akhirnya menyebarnya itu bahkan juga ke wilayah rohani, meskipun sebetulnya tidak ada masalah rohani. Jadi penting waktu kita berbicara dengan seseorang yang mengalmi keletihan mental, kita meyakinkannya bahwa belum tentu ada masalah antara dia dengan Tuhan, belum tentu.
Meskipun dia berkata rasanya Tuhan jauh, saya mungkin akan berkata kepadanya, "Kamu bukan saja merasakan Tuhan jauh, tapi kamu merasakan semua orang jauh darimu, ya dalam hal ini termasuk Tuhan juga. Kenapa jauh ? Sebab kamu sendiri pun tidak mempunyai energi lagi untuk berinisiatif menjalin kontak dengan mereka termasuk Tuhan. Tapi Tuhan tidak pernah ke mana-mana, Tuhan tidak pernah meninggalkan engkau, Tuhan tetap berada di sini dengan engkau. Engkau sajalah yang saat ini tidak mau berhubungan denganNya".
GS : Sebenarnya apa yang menjadikan seseorang mengalami keletihan mental, Pak Paul?
PG : Pertama adalah keletihan fisik dapat mengakibatkan keletihan mental. Jadi kalau kita bekerja terlalu letih dan ini berlangsung untuk satu kurun waktu yang agak panjang, besar kemungkinan ahirnya kita mengalami keletihan mental.
Sungguh-sungguh apa yang terjadi pada tubuh mempengaruhi jiwa dan sebaliknya apa yang terjadi pada jiwa mempengaruhi tubuh. Jadi kalau secara fisik kita tidak mendapatkan cukup istirahat bisa jadi akhirnya kita mengalami keletihan mental ini.
WL : Ini terjadinya secara pelan-pelan atau secara tiba-tiba, Pak Paul ? Atau ada peristiwa apa begitu yang memicu terjadinya "mental breakdown" ?
PG : Untuk keletihan mental ini terjadinya bertahap. Sering kali orang tidak menyadarinya, ia sudah memasuki fase keletihan mental. Dia masih bisa melakukannya tapi dia mulai memperhatikan bahw makin berat langkah kakinya itu, makin berat otaknya bekerja, makin berat perasaannya tergugah atau memberikan reaksi, makin berat keinginannya untuk bersosialisasi dengan orang lain.
Nah kalau kita merasakan makin berat, makin berat langkah-langkah kita itu besar kemungkinan kita sudah memasuki fase keletihan mental.
GS : Tapi Pak Paul kalau seseorang itu melakukan pekerjaan walaupun banyak tapi dilakukan dengan senang hati, dengan sukacita, 'kan tidak akan menimbulkan keletihan mental ?
PG : Nah seharusnya memang tidak tapi sekali lagi kalau terlalu letih, kalau terlalu letih meskipun dia menyukainya besar kemungkinan lama-lama dia akan mengalami keletihan mental, sebab tubuh ita memang tidak di-desain untuk bekerja melampaui kekuatan kita.
Kalau itu terus kita lakukan akan ada gangguan, biasanya kita sakit kalau itu secara fisik atau kalau fisik kita masih kuat kita tidak terkena sakit, nah inilah dampaknya yaitu kita mengalami keletihan mental.
WL : Walaupun misalnya dia bekerja seperti Pak Gunawan katakan, dia menyukai, dapat penghargaan begitu, Pak Paul, tetap bisa mengalami keletihan mental ?
PG : Nah kalau kita bekerja di suatu bidang yang kita sukai dan kita mendapatkan penghargaan yang cukup namun kita tetap tidak bisa mengatur waktu sehingga kita terlalu letih, saya kira tetap pluangnya ada kita terkena keletihan mental, namun sebaliknya kalau memang kita kurang menerima penghargaan dari apa yang kita lakukan, wah besar kemungkinannya kita terkena keletihan mental.
Kita akhirnya melihat bahwa orang, baik itu teman, baik itu atasan, baik orang yang kita layani, bisanya hanyalah meminta, meminta, menuntut, menuntut, wah akhirnya kita merasa kehabisan untuk bisa memberikan apa pun kepada orang lain dan apa yang kita terima sebaliknya dari apa yang telah kita perbuat. Tidak ada, tidak ada penghargaan, nah itu kondisi yang menambah rentannya kita mengalami keletihan mental.
WL : Pak Paul, bisakah kalau dia merasa tidak dihargai hanya diminta saja oleh orang-orang di sekitarnya, bisakah itu cuma persepsi dia sendiri, mungkin lingkungannya tidak begitu. Kadang ada saat-saat mereka mau membantu cuma dia yang membatasi diri, dia selalu menunjukkan cukup kuat untuk melakukan segala sesuatu sendiri.
PG : Bisa ya, memang semuanya bergantung pada persepsi kita. Bisa saja sebetulnya orang menghargai, tapi tidak cukup bagi dia, tidak dengan cara yang dia harapkan. Bisa akhirnya dia merasa pekejaannya tidak mendapatkan penghargaan, tapi pihak yang sana mengatakan "Kami memberikan penghargaan, tapi engkau tidak melihatnya saja".
Betul, yang penting adalah persepsi kita, kalau persepsi kita mengatakan kita tidak mendapatkan penghargaan dampaknya akhirnya bisa menyerang kita, kita mengalami keletihan mental.
GS : Mungkin karena kita merasa diperlakukan tidak adil, Pak Paul, dalam hal ini. Yang kita berikan lebih banyak daripada penghargaan yang kita terima, seperti itu.
PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Inilah salah satu kondisi yang menambah rentannya kita terhadap keletihan mental. Kita merasa tidak adil, mengapa orang lain bisa mendapatkan begitu banyak, mekipun hanya memberi sedikit.
Kita sudah memberi banyak tapi hanya menerima sedikit, tidak adil ini. Kalau suasana tidak adil itu terus berlangsung dan kita harus memberi banyak, besar kemungkinan suatu hari kelak kita mengalami keletihan mental.
WL : Ada pengaruh masa kecil tidak, Pak Paul, misalnya orangtua kita agak "kurang adil" misalnya salah satu anak sudah berjuang mati-matian masih tetap ada salahnya, masih dituntut ini dan itu sedangkan pada anak yang lain lebih disayang, Pak Paul.
PG : Saya kira itu berpengaruh, Ibu Wulan. Jadi kalau memang masa kecil kita seperti itu dan sekarang pada masa dewasa kita mengalaminya kembali, besar kemungkinan yang dialami masa kecil itu aan bangkit dan benar-benar menindih kita dua kali lipat.
Di masa sekarang kita tertindih, ingatan akan masa lampau tentang diperlakukan tidak adil juga menindih kita, akhirnya kita makin terpuruk dan kehabisan energi mental.
GS : Memang kadang-kadang kalau kita mau melakukan sesuatu yang diminta oleh seseorang, lalu semua itu mau ditimpakan pada kita, begitu Pak Paul. Seolah-olah hanya kita yang bisa mengerjakan itu, padahal orang lain sebenarnya bisa juga melakukan hal itu tapi orang mencari gampangnya, "sudah kamu saja yang mengerjakannya", lama-lama kita keletihan mental, Pak Paul.
PG : Betul sekali, jadi banyaknya tuntutan yang diembankan pada kita yang akhirnya membuat kita kewalahan dan terlalu sibuk, seolah-olah kita tenggelam tidak bisa lagi menarik napas ya, itu bear sekali bisa membuat kita keletihan mental.
Berhati-hatilah kita dalam bekerja dengan tuntutan yang diembankan pada kita dan juga kita mesti melihat diri kita, apakah mampu atau tidak menerima tuntutan atau beban tambahan yang diembankan pada kita.
Wl : Pak Paul, apakah ada penyebab lain misalnya orang-orang dengan ciri yang memang agak sulit untuk menyenangkan diri sendiri. Jadi merasa bersalah begitu, dari kecil kalau agak santai sedikit orangtuanya memarahi dia, "Lho kamu main-main saja, belum mengerjakan ini, dan ini, belum membersihkan kaca, belum apa, belum apa", jadi rasa bersalah selalu tegang, harus selalu mengerjakan ini dan itu, tidak bisa menyenangkan diri sendiri, begitu Pak Paul.
PG : Itu besar sekali pengaruhnya, Ibu Wulan. Jadi orang ini seperti mesin, harus bekerja, menghasilkan sesuatu, nah suatu hari mesinnya akan aus dan berhenti bekerja. Terlalu lelah, betul. Kit mesti memelihara keseimbangan hidup juga, kita mesti belajar memaksa diri kita melakukan hal-hal yang menggembirakan hati kita, sudah tentu yang menggembirakan hati kita dan menggembirakan hati Tuhan.
Jangan melakukan hal-hal yang menggembirakan hati kita namun menyedihkan hati Tuhan. Lakukanlah hal-hal yang seturut dengan hobi kita, yang menyukakan hati kita, ini adalah penyeimbang hidup. Sebab di luar kita dituntut untuk memberi - memberi - memberi, nah kita perlu melakukan hal-hal yang benar-benar mengisi battery kita kembali. Ini penyeimbang hidup yang perlu sekali kita jaga.
WL : Rasanya tidak terlalu mudah juga, Pak Paul, karena saya mengalami sendiri termasuk salah satu tipe itu. Dulu sangat sulit untuk bisa memberi waktu santai bagi diri saya sendiri. Kalau santai saya merasa sangat bersalah, jadi minimal kalau santai sedikit saya harus ambil buku atau saya harus membersihkan kamar, atau berbuat apa begitu.
PG : Ya memang tipe-tipe seperti itu menambah kerentanan terhadap keletihan mental. Itu betul sekali, Ibu Wulan.
GS : Ya kadang-kadang bukan cuma pekerjaannya, Pak Paul, tapi lingkungan kerja itu pengaruhnya besar sekali.
PG : Betul, kadang-kadang teman-teman tidak sesuai dengan selera kita, tidak cocok dengan diri kita. Artinya kita berada di tempat yang tidak kita sukai, tapi kita harus berada di sana hari leps hari, atau kita melakukan pekerjaan yang tidak sesuai dengan kebisaan kita dan ini yang kadang-kadang terjadi juga, kita berada di rumah tangga yang tidak menyenangkan hati kita.
Setiap hari pulang menghadapi problem yang sama, aduh lama-lama rasanya kita letih mental. Sebab mengapa ? Untuk berada di tempat yang tidak kita sukai itu dituntut energi yang lebih besar untuk bisa melewati waktu-waktu itu. Karena itu kalau kita harus berada di tempat yang tidak kita sukai rasanya satu menit pun itu lama luar biasa. Kenapa satu menit itu lama ? Karena energi yang dibutuhkan untuk melewati satu menit itu besar, jadi kalau kita harus menghadapinya berjam-jam berarti energi yang terhabiskan juga sangat besar. Kalau itu berlangsung berlarut-larut akhirnya kita mengalami keletihan mental pula.
WL : Mungkin itu sebabnya saya sering mendengar orang-orang mengatakan begini sore-sore, "Aduh mengapa ya saya merasa lelah sekali, ya padahal tadi tidak mengerjakan apa-apa". Mungkin situasi seperti itu yang terjadi, Pak Paul.
PG : Bisa jadi memang di luarnya dia terlalu letih, tapi juga di rumahnya tidak mendapat istirahat, justru di rumah itu seperti pekerjaan nomor dua yang dia harus selesaikan juga dan itu melethkannya.
GS : Itu kadang-kadang menjadi masalah bagi pimpinan-pimpinan, karena tidak ada teman yang diajak bicara dan sebagainya, di rumah juga, Pak Paul, hal yang sama dialami.
PG : Betul sekali ya, jadi merasa kesendirian, tidak ada yang sungguh bisa mengerti kita dan membagi beban kita dan akhirnya makin terjepit, makin sendiri dan sendiri dan ada juga yang merasaka apa pun yang kita lakukan di luar, dalam pekerjaan kita tidak membuahkan hasil atau pun di rumah tangga sama kita bekerja, membereskan masalah tapi tidak membuahkan hasil.
Wah akhirnya kita merasa letih sekali dan pada akhirnya kita mulai kehilangan perspektif akan makna hidup kita ini. Untuk apa kita hidup, untuk apa hidup kita ini ? Nah kalau ini berlanjut untuk waktu yang panjang, besar kemungkinan kita akhirnya mengalami depresi.
GS : Jadi ciri-cirinya sebenarnya cukup jelas bisa kita lihat dan penyebabnya tadi sudah Pak Paul sampaikan. Dalam hal ini Firman Tuhan itu bicara apa, Pak Paul ?
PG : Saya akan bacakan dari Mazmur 84:11-13, "Sebab lebih baik satu hari di pelataran-Mu dari pada seribu hari di tempat lain; lebih baik berdiri di ambang pintu rumah Allahku daripada diam di kemah-kemah orang fasik.
Sebab Tuhan Allah adalah matahari dan perisai; kasih dan kemuliaan Ia berikan; Ia tidak menahan kebaikan dari orang yang hidup tidak bercela. Ya Tuhan semesta alam, berbahagialah manusia yang percaya kepada-Mu !" Firman Tuhan di sini jelas memberikan kita satu prinsip bahwa tempat terbaik adalah di pelataran rumah Tuhan, tempat terbaik adalah di dalam hadirat Tuhan. Di dalam hadirat Tuhan Dia akan memberikan kepada kita kekuatan demi kekuatan, Dialah matahari kita, Dialah perisai kita, Dia matahari, Dia memberikan kita energi. Dia perisai, Dia melindungi kita dan pada akhirnya Dia juga berkata bahwa Dia tidak akan menahan kebaikan dari kita, orang-orang yang hidupnya tidak bercela. Jadi yang ingin saya bagikan adalah kalau kita mulai mengalami keletihan mental, nomor satu datang kepada Tuhan, diam di dalam hadirat Tuhan, periksa diri biarkan Roh Tuhan membuka mata kita agar kita melihat apa yang perlu kita koreksi dan memohon lagi dari Tuhan, matahariNya menyinari kita, menghangatkan kita dan memberikan kita kekuatan kembali.
GS : Berarti ada suatu titik terang bagi orang-orang yang mengalami keletihan mental ini berdasarkan Firman Tuhan tadi. Ini akan kita perbincangkan lebih jauh pada kesempatan yang akan datang. Jadi kita sangat berharap para pendengar setia kita ini mau mengikuti perbincangan yang akan datang. Terima kasih sekali Pak Paul, juga Ibu Wulan untuk perbincangan kali ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih, Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Letih Mental". Bagi Anda yang berminat mengetahui lebih lanjut dari acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sekalian sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.