Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun Anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) dan kali ini saya bersama Ibu Wulan, S.Th., kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Tanda Awas Hidup Lajang". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Paul, seringkali kita melihat orang-orang yang sudah berumur 30 bahkan 40 tahun dan sebagainya, tapi tidak menikah, begitu Pak Paul, jadi memilih hidup lajang. Nah, sebenarnya ada banyak faktor yang membuat dia hidup lajang, kalau ditanya ya inginnya hidup berumah tangga, cita-citanya, tapi kenyataannya yang dia hadapi seperti itu. Nah itu bagaimana, Pak Paul ?
PG : Betul sekali yang Pak Gunawan tadi kemukakan, bahwa cukup banyak rekan-rekan, orang-orang yang kita kenal adalah orang-orang yang hidup lajang. Hal pertama yang mesti kita sadari adalah ahwa bagi sebagian mereka hidup lajang bukanlah pilihan, ya.
Jadi mereka tidak dengan sadar memilih untuk hidup lajang. Ada sebagian yang memang dengan penuh kesadaran memilih hidup lajang, namun cukup banyak di antara mereka hidup lajang karena keadaan, alias karena itulah kondisi kehidupan mereka yang mereka harus terima. Nah, jadi kata kunci di sini adalah menerima. Saya kira kita pernah bertemu dengan orang yang hidup lajang, bahagia, tapi kita pun juga pernah bertemu dengan orang yang hidup lajang, tidak bahagia. Meskipun saya tahu banyak faktor ya, yang membuat mengapa yang satu bahagia, yang satu kurang bahagia, tapi saya kira salah satu unsur terpenting adalah, yang berbahagia adalah orang yang bisa menerimanya. Nah sekali lagi saya tekankan unsur menerima, karena memang sebagian dari mereka tidak pernah memilih hidup lajang. Justru keinginannya adalah hidup menikah, namun karena kondisi tidak bertemu dengan yang cocok atau apa, akhirnya ya tidak menikah. Jadi sekali lagi kata kunci adalah menerima. Kalau kita akhirnya terpaksa hidup lajang meskipun kita tidak menginginkannya, kita mesti belajar menerima porsi yang Tuhan telah tetapkan bagi kita.
WL : Pak Paul, ada perbedaan atau tidak pengaruh dari dua pilihan tadi, yang satu karena pilihan dan yang lain karena keadaan, misalnya salah seorang yang memang sudah memilih untuk hidup 'single', begitu. Mungkin lebih siap dengan segala kondisinya, dibandingkan karena misalnya bercerai, tidak terhindarkan lagi, atau oleh kematian salah satu pasangan. Atau hal-hal lain yang memang tidak direncanakan, Pak Paul.
PG : Point yang baik sekali, Ibu Wulan. Sudah tentu akan ada perbedaan antara orang yang memilih hidup lajang dan yang terpaksa hidup lajang, karena tidak pernah memilihnya. Bagi yang memilih udah tentu dia sudah memikirkan segala kemungkinan-kemungkinan, konsekwensinya, tapi bagi yang tidak pernah memilih akan mengalami kejutan-kejutan dan dituntut penyesuaian yang juga lebih berat, ya.
Kalau yang tadinya berdua dan harus hidup lajang, sudah tentu harus ada penyesuaian kembali. Hidup sendiri sekarang, setelah misalkan perceraian atau kehilangan pasangan hidupnya. Yang berikutnya adalah kalau memang orang itu tidak pernah sama sekali menikah, namun sungguh-sungguh menginginkan bisa menikah. Nah, buat yang ini lebih berat. Dalam pengertian hidup lajang memang sama sekali tidak pernah terpikirkan dan tidak pernah disambut dalam benaknya. Nah, ada sebagian orang yang akhirnya meskipun hidup lajang, tetap hidup dalam pengandaian, yaitu andai saja saya menikah atau hidup dalam antisipasi bahwa suatu hari kelak dan dalam benaknya suatu hari kelak itu tidak terlalu lama, ya, bahwa saya akan bertemu dengan seseorang dan menikah, sehingga semua hal dalam kehidupannya itu diatur sedemikian rupa seakan-akan dalam rangka menanti orang itu nanti menikah. Nah, saya kira jangan begitu, jangan sampai kita hidup lajang, namun tidak sungguh-sungguh hidup sebagai seorang lajang. Kita hidup dalam penantian, kita akan menikah. Jangan, saya kira hidupi kehidupan ini seperti seorang lajang, sebab itulah porsi yang Tuhan berikan kepada kita sekarang.
GS : Pak Paul, tadi Pak Paul katakan bahwa itu porsi yang Tuhan berikan kepada kita atau orang yang lajang itu harus menerimanya, padahal bukankah Firman Tuhan itu mengatakan "Tidak baik kalau orang itu sendirian", lalu "Berdua lebih baik dari pada sendirian", nah itu bagaimana, Pak Paul ?
PG : Ya, ayat itu sebetulnya menegaskan bahwa Tuhan menciptakan kita sebagai makhluk sosial. Jadi ayat itu sebetulnya bukanlah ayat yang merujuk langsung pada pernikahan. Kenapa begitu ? Sebab uhan sudah tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari.
Tuhan sudah tahu bahwa akan ada banyak anak-anakNya yang tidak pernah memilih hidup lajang, namun terpaksa hidup lajang. Nah, apakah Tuhan akan mengurangi berkat bagi mereka ? Saya kira tidak, jadi waktu Tuhan berkata, "Tidak baik manusia hidup seorang diri saja, Aku akan memberikan penolong yang sepadan baginya", Tuhan memang tidak secara langsung sedang membicarakan mengenai pernikahan. Lebih langsung tentang kodrat kita sebagai manusia sosial, kita membutuhkan satu sama lain. Kita tidak bisa hidup sendirian. Nah, sudah tentu bagi kebanyakan orang yang hendak menikah, inilah yang dirasakan olehnya, bukan saja tidak baik hidup sendiri, sangat-sangat buruk hidup sendiri. Tidak bisa menikmati kehidupan ini sendirian. Nah, tapi tetap saya kira kita harus menerima porsi itu apa adanya sekarang ini dan jangan hidup dalam pengandaian. Andaikata saya menikah nanti, nah saya akan siapkan semua ini sekarang supaya nanti kalau ketemu seseorang yang cocok untuk saya, nah hidup saya akan langsung bisa tinggal landas. Jangan, tinggal landaslah sekarang, jangan tunggu nanti setelah menikah.
GS : Seringkali orang lebih bisa menerima dirinya sendiri untuk hidup lajang, tapi yang dia sulit terima adalah omongan orang yang ada di sekeliling dia, begitu Pak Paul. Tadi Pak Paul katakan hidup bermasyarakat, bersosialisasi, nah pada saat dia bersosialisasi, bergabung dengan masyarakat, justru masyarakat itu yang mencela dia dan sebagainya. Begitulah, Pak Paul.
PG : Harus kita akui masyarakat pada umumnya mempunyai dua standar yang berbeda, terhadap pria lajang dan terhadap wanita lajang. Kalau pria lajang, misalkan ya omongan masyarakat yang kadang-kdang kita dengar adalah, "Pria itu terlalu cerewet, terlalu memilih-milih, ya akhirnya sampai usia segini belum juga mendapat pasangan hidup".
Tapi kalau perempuan yang tidak menikah, hidup lajang, nah ada lagi omongan yang sedikit tidak enak, yaitu "Perempuan itu tidak laku". Kalau laki-laki "cerewet", kalau wanita "tidak laku". Nah, tapi intinya adalah dua-duanya omongan atau komentar yang tidak positif, ya, seakan-akan kehidupan lajang itu sesuatu yang sangat buruk, merupakan aib dan haruslah dipermalukan atau dirasakan sebagai sesuatu yang memalukan. Dan seharusnyalah tidak begitu, saya kira ini bukan konsep Tuhan. Paulus hidup lajang, kita tidak pernah tahu apakah Paulus pernah mempunyai seorang istri atau tidak. Dan sebagian dari hamba-hamba Tuhan yang lain pun tidak pernah disebut mempunyai istri atau pasangan, namun kita tahu mereka sebagai hamba-hamba Tuhan yang Tuhan pakai secara luar biasa. Misalkan, pernahkah kita mendengar tentang suaminya Debora ? Tidak pernah kita mendengar suaminya Debora, kita hanya mendengar tentang Debora, namun Tuhan memakainya. Apakah dia lajang, apakah dia menikah, kita tidak tahu. Intinya adalah ada sebagian hamba Tuhan yang Tuhan pakai secara luar biasa sebagai seseorang yang hidup lajang. Contoh yang lainnya, misalkan Yohanes Pembaptis. Tidak pernah kita ketahui apakah dia menikah, cuma memang dia meninggal pada usia muda, namun Tuhan pakai dia luar biasa. Jadi, sekali lagi jangan sampai kita termakan oleh omongan orang atau oleh tuntutan budaya yang tidak sesuai dengan Firman Tuhan. Baik hidup lajang atau pun hidup menikah adalah hidup yang Tuhan karuniakan dan porsikan untuk kita. Terimalah dan hiduplah secara optimal, baik sebagai orang yang menikah atau sebagai orang yang lajang.
WL : Kalau kita perhatikan banyak "kemajuan" dari masyarakat yang bisa mulai memberikan kesempatan pada wanita-wanita yang misalnya mau terus sekolah atau mau melanjutkan karier, belum menikah dulu, seperti terlambat menikah istilahnya begitu. Tapi tetap ada perbedaan antara dunia Timur dengan dunia Barat dalam menanggapi masalah lajang dan tidak lajang ini, Pak.
PG : Betul sekali. Dalam masyarakat Barat, atau yang saya kenal misalkan masyarakat di Amerika, memang hidup lajang sebagai sesuatu yang sangat alamiah, sangat biasa dan tidak dilihat dengan ttapan negatif.
Tidak, seperti orang yang menikah, sama saja. Jadi saya kira sebaiknyalah kita juga membiasakan diri, terutama kepada orang yang tidak pernah memilih hidup lajang tapi terpaksa hidup lajang karena tidak bertemu dengan yang cocok atau memang tidak mendapatkan kesempatan itu sama sekali. Nah, mereka sudah cukup menderita, jangan sampai kita menambah derita mereka dengan celotehan yang tidak perlu dan malah memojokkan mereka. Justru sebaiknya kita memberikan rasa simpatik, dukungan kepadanya, jangan malah makin melecehkannya dengan omongan-omongan "tidak lakulah, terlalu cerewetlah, orang seperti itu siapa mau orang menikahinya" dan sebagainya. Jadi, sikap-sikap yang simpatiklah yang dibutuhkan oleh mereka yang lajang.
GS : Tapi katakan tidak ada tekanan dari luar, begitu Pak Paul, apakah tidak ada gejolak dalam diri seseorang yang lajang ini, Pak Paul ?
PG : Akan ada, Pak Gunawan. Jadi betul sekali, meskipun keluarganya memberikan dukungan dan berkata, "Apapun kondisimu, tidak apa-apa, kami dukung, kami terima kamu apa adanya", tapi kadang-kaang memang tuntutan itu muncul dari dalam diri sendiri, bahwa saya memang ingin menikah, dia rindu menikah.
Akhirnya jalan pintaslah yang ditempuh, menyerah, kompromi, ya sudahlah menikah sajalah. Ada seseorang mendekatinya, tidak terlalu cocok, sudah disadari tidak terlalu cocok, tapi daripada hidup sendiri, ya menikahlah. Saya teringat akan komentar seorang psikiater pada waktu dulu saya bekerja di sebuah Rumah Sakit Jiwa, dia berkata begini, "Bagi sebagian orang, relasi yang buruk, lebih baik daripada tidak ada relasi sama sekali", alias lebih baik menikah dengan pasangan dan mempunyai pernikahan yang buruk daripada tidak menikah sama sekali. Nah, sebagian orang berprinsip seperti itu. Nah, pada kesempatan ini saya kira kita perlu mengkomunikasikan kepada para pendengar kita, jangan sampai kita menganut falsafah seperti itu. Justru yang kita ingin tegaskan adalah, daripada menikah dan akhirnya menderita dalam pernikahan yang buruk, lebih baik tidak menikah. Jangan sampai kita berkata, "Yang penting 'kan saya sudah menikah, nanti ya cerai, kalau cerai saya bisa berkata saya sudah pernah menikah, namun sekarang cerai, status saya sedikit naik, karena sudah pernah menikah setidak-tidaknya". Jangan, jangan, kalau kita pernah menikah, apalagi mempunyai anak dan akhirnya bercerai karena pernikahan kita buruk, status kita tidak naik malahan kita menyusahkan lebih banyak orang. Dalam hal ini sudah tentu menyusahkan anak-anak kita sendiri yang harus hidup tanpa salah satu orangtuanya sekarang. Jadi ingin saya tegaskan di sini, jangan menyerah. Lebih baik hidup lajang, sendiri, daripada hidup menikah dan mengalami masa-masa yang buruk.
GS : Tadi Pak Paul menyinggung tentang relasi yang falsafahnya tidak cocok untuk kita terima. Apakah ada macam-macam relasi tertentu, Pak Paul ?
PG : Ada, Pak Gunawan dan ini yang perlu kita cermati. Ada empat jenis relasi, yang pertama adalah yang saya labelkan tidak baik dan tidak mengasihi, artinya begini, kita bertemu dengan seseorag, kita sadari orang ini tidak baik, tidak cocok untuk kita, karakternya/perangainya pun buruk dan kita tidak mengasihi dia.
Bereslah, kita tidak akan melanjutkan relasi itu. Namun ada kalanya ini yang terjadi, kita bertemu dengan seseorang, nah ini tipe kedua, kita bertemu dengan seseorang, kita tahu kita tidak cocok, orangnya pun perangainya tidak baik, tapi kita terlanjur mengasihi dia atau kita tahu dia tidak seiman dengan kita dan Tuhan melarang kita bersama dengan yang tidak seiman dengan kita. Nah, akhirnya kita jatuh cinta, kita mengasihi dia. Akhirnya ini menimbulkan masalah nanti di dalam pernikahan kita, karena kita tahu orang ini sebetulnya tidak cocok dengan kita. Tipe yang ketiga adalah ini, yang saya sebut baik dan tidak mengasihi. Kita bertemu dengan seseorang, orang ini baik sekali dan orang ini misalkan mengasihi kita, perangainya pun baik, tapi kita tidak mengasihinya. Nah, kadang-kadang ada orang yang kompromi dan berkata, "Ya, sudahlah, habis dengan siapa lagi, dia orangnya sudah cukup baik. Ya saya tidak mengasihi dia, tidak apa-apa". Nah, jangan, jangan ya, sebab apa jadinya pernikahan kita nanti ? Kita memasuki pernikahan dengan orang yang baik tapi tidak kita kasihi. Saya perlu menegaskan ini, karena saya tahu sebagian orang terjebak di sini. Sebagian orang berkata, "Dia baik kepada saya, dia sangat mengasihi saya, dia sudah menunggui saya, tapi saya tidak mengasihi dia sama sekali. Tidak ada perasaan apa-apa kepadanya", tapi akhirnya menikah juga, keliru ! Keliru, sebab nanti dia harus bersandiwara terus-menerus dalam pernikahan. Dan celakanya si pasangan juga mengetahui bahwa kita tidak mengasihinya, dan dia pun harus hidup dalam ilusi bahwa kita seakan-akan mengasihinya. Suatu hari kelak, pernikahan ini bisa goncang. Yang ideal adalah yang keempat dan ini haruslah menjadi standar kita yaitu, kita bertemu dengan orang yang baik, perangai yang baik, cocok dengan kita dan kita mengasihinya dan dia mengasihi kita. Jadi inilah dasar pernikahan yang perlu kita perhatikan.
GS : Kadang-kadang yang sulit itu pada relasi yang ketiga tadi, ya Pak Paul. Kita bertemu dengan orang yang baik, tapi kita tidak mengasihi. Nah, ada suatu pengalaman yang saya ketahui, ada rumah tangga yang ayahnya menghendaki anaknya menikah dengan seseorang yang dia pilihkan dan memang orang itu baik, Pak Paul, ketika anaknya bilang "wah saya belum terlalu kenal, saya tidak mengasihi". Lalu dikatakan, "Papa dulu juga tidak mengasihi sama Mamamu, tapi lama-lama setelah menikah, ya bisa mengasihi. Kasih itu tumbuh setelah menikah". Nah, tapi dia masih ragu-ragu terus. Di satu pihak dia ingin menyenangkan hati orangtuanya, di lain pihak dia tidak bisa mengasihi calon suaminya ini, Pak Paul.
PG : Pada generasi yang lampau, memang orang menikah dengan pengaturan orangtuanya, sehingga memang tidak berkesempatan untuk mengenal apalagi mengasihi pasangannya dan akhirnya bisa langgeng.Sampai tua, sampai meninggal dunia, tetap menikah bersama-sama.
Tapi itu dulu, dimana memang pilihan itu sangat sedikit. Dalam pengertian, alam demokrasi tidak seperti sekarang ini, kita memang sangat terbatas dalam memilih, sehingga ya harus kita ikuti dan taati, tidak lagi kita memikirkan pilihan yang lainnya. Tapi sekarang berbeda, kita memiliki pilihan-pilihan. Kita tahu apa yang kita mau. Mungkin dulu orang tidak memikirkan apa kriterianya, apa selera yang dia inginkan, tidak. Sekarang orang memikirkan hal itu, sehingga nanti setelah menikah dan dia tidak mengasihi, tetap dia akan membandingkan pasangannya itu dengan orang yang memang sungguh-sungguh dia kasihi. Nah, waktu dia temukan bahwa pasangannya tidak seperti orang yang dia dambakan, itu akhirnya akan menimbulkan kekecewaan. Jadi kalau ada kasus seperti itu sebaiknya kita bertanya kepada yang bersangkutan, "Kamu siap menerima pasanganmu sampai selama-lamanya dan tanpa mengeluh atau menuntutnya untuk menjadi seperti yang kaudambakan itu ?" Kalau dia berkata, "Saya siap dan saya tidak akan menuntut apa pun darinya, saya akan terima dia apa adanya sampai nanti kematian memisahkan kita", ya terserah kalau dia mau ikut itu. Tapi kalau dia berkata, "Saya rasa saya tidak sanggup, saya akan memikirkan tipe pria atau wanita yang saya dambakan itu dan saya akan membandingkan pasangan saya dengan orang yang seperti itu", nah kita akan berkata, "Berarti engkau tidak siap".
WL : Ya, Pak Paul, saya pikir memang banyak sekali orangtua seperti itu, seperti yang Pak Gunawan baru tanyakan. Lebih banyak orangtua yang justru melihat bahwa hidup lajang itu pasti lebih susah daripada orang yang menikah. Bahkan banyak orangtua yang sudah lanjut usia, masih berpikir, rasanya kalau saya meninggal sekarang saya masih belum lega, karena anak yang misalnya namanya siapa, ini belum menikah.
PG : Seakan-akan ada tugas yang belum selesai. (WL : Ya, betul) Betul sekali, banyak orangtua berpikiran seperti itu. Nah, saya kira inilah waktunya kita mencoba mengoreksi pemikiran yang keliu ini.
Tugas apa yang belum selesai ? Tugas mengawinkan anak, ya memang itu betul, tapi apakah itu tugas yang Tuhan embankan kepada orangtua ? Jadi selalu kita kembali kepada Tuhan, apakah Alkitab mengatakan hal seperti itu. Tidak, Tuhan tidak pernah mengembankan tugas kepada orangtua, "Nikahkanlah anak-anakmu sampai semuanya menikah". Tidak pernah, besarkanlah anak-anakmu, didiklah anak-anakmu di dalam takut akan Tuhan, itu Tuhan tugaskan. Tapi kalau menikahkan anak, ya memang tidak pernah Tuhan tugaskan kepada kita.
GS : Pak Paul, mengenai hidup lajang ini memang bagaimana kita harus menyikapinya, karena tadi Pak Paul katakan ada sisi yang menguntungkan atau sisi yang positif. Positifnya seperti apa, Pak Paul ?
PG : Yang paling jelas adalah memberikan kemerdekaan. Hidup lajang menyediakan kepada kita kebebasan, kita tidak ada tanggungjawab kepada siapa pun, tidak harus pulang dan menyiapkan makanan, tdak harus pulang dan menyiapkan apa-apa di rumah, tidak perlu.
Kita mau pergi, kita tinggal pergi, kita ada urusan pergi ya kita tinggal langsung lakukan. Namun, Pak Gunawan, kita harus juga menyadari ada hal-hal yang cukup mengganggu, ya kerugiannya. Salah satunya adalah kesepian, jadi orang-orang yang lajang perlu pintar-pintar membangun relasi dengan teman-teman sejawat, teman-teman yang bisa saling menegur, menyapa, pergi bersama, saling mencurahkan hati dan sebagainya. Nah, itu yang pertama. Yang kedua adalah, ini bisa menjadi kerugian, sebagian kita yang lajang karena tidak menikah, akhirnya hidup terlalu bebas. Jadi kita harus berjaga-jaga, bagi siapa yang lajang, harus berjaga-jaga. Kenapa ? Sebab hidup hampa pertanggungjawaban, hidup yang rentan terhadap dosa, karena tidak ada yang mengawasi. Kita pergi, kita pulang, kita tidak harus melapor dan bertanggungjawab kepada siapa pun. Nah, karena itu mesti dekat dan takut akan Tuhan. Kita tahu bahwa kita bertanggungjawab kepada Tuhan. Manusia tidak melihat, Tuhan melihat. Kita bisa memperdaya orang-orang di sekitar kita, tapi kita tidak bisa memperdaya Tuhan. Jadi itulah yang saya tekankan di sini, tanda awasnya. Meskipun tidak ada pertanggungjawaban kepada pasangan atau anak atau siapa, kita bertanggungjawab kepada Tuhan.
WL : Pak Paul, berbicara tentang keuntungan dan kerugian, saya pernah membaca salah satu penelitian yang dilakukan oleh Bernard, memang ini dilakukan di Amerika terhadap pria lajang dibandingkan dengan wanita yang lajang. Memang bukan yang dibandingkan reaksi masyarakat terhadap mereka, tetapi merekanya sendiri. Hasilnya mencengangkan juga, justru wanita lajang 'happier', lebih nampak bahagia, 'higher achivers', dibandingkan dengan wanita-wanita yang menikah. Lalu pria yang lajang, lebih cenderung mudah depresi dan masalah kesuksesannya justru yang lebih sukses adalah pria-pria yang menikah, dalam hal pekerjaannya, 'education'nya dan sebagainya. Menarik sekali, ya Pak Paul.
PG : Ya, ya, baru saya tahu itu. Menarik ya, jadi berarti memang kalau pria tidak menikah, itu merupakan sesuatu yang cukup berat ya. Membuat dia kehilangan keseimbangan hidup. Saya memang menakui, kalau tidak ada istri saya, bingung saya, sedangkan istri saya kalau saya pergi beberapa hari, bahkan tiga minggu pun bisa mengatur hidupnya dengan sangat baik.
Jadi rupanya riset itu betul.
GS : Ya, tapi Pak Paul, orang-orang yang lajang, baik yang pria maupun yang wanita itu kadang-kadang berpikir masa tuanya, begitu Pak Paul. Masa tuanya kelak, walaupun belum tentu menjadi tua, tapi sudah memikirkan itu. Nah, bagaimana mengatasi hal ini ?
PG : Ya, sudah tentu dia sudah harus mulai memikirkan, ya; kalau nanti sudah tua saya tinggal di mana ? Dengan siapa, siapa yang dekat dengan saya. Misalkan dia mempunyai kakak atau adik atau sudara atau teman baik, sebaiknyalah tinggal tidak terlalu berjauhan, sehingga kalau ada apa-apa, perlu apa, bisa saling menolong.
Namun ada satu hal lagi yang perlu diperhatikan, Pak Gunawan, selain dari hal tua itu, yakni sebagian orang yang lajang itu haus perhatian, Pak Gunawan. Begitu haus perhatiannya, sehingga kadang-kadang mencari-cari perhatian dengan berlebihan. Nah, ini harus dijaga, jangan sampai begitu. Atau karena haus perhatian, haus dinamika, hidup itu seolah-olah terasa datar tidak ada apa-apa, membosankan, jadi senang cari gara-gara. Masalah kecil dibuat masalah besar, sehingga hiruk-pikuk hidup ini, ramai. Dengan ramai, dia merasa lebih menariklah hidup ini. Misalkan, yang menjadi pengajar, selalu mengeksploitasi murid-murid, menjadikan murid-murid itu objek 'penyiksaannya'. Nah, itu 'kan kasihan si murid. Orang-orang yang lajang harus berani introspeksi dan mengoreksi diri ya, kalau itu kebutuhannya akan perhatian dan akhirnya mengorbankan orang demi dia, supaya menjadi lebih ramai hidupnya, hati-hati. Karena kita mungkin ada waktu, cukup waktu untuk memperhatikan orang, akhirnya berlebih-lebihan juga, mencampuri urusan orang. Orang akhirnya tidak menerima uluran tangan kita, yang tidak disambutnya, jadi berhati-hati, berjaga-jagalah jangan sampai haus akan perhatian menjerumuskan kita ke dalam masalah-masalah yang lebih besar.
GS : Ya, mungkin Pak Paul bisa sampaikan Firman Tuhan untuk menyimpulkan pembicaraan kita pada saat ini.
PG : Saya ingin bagikan Yohanes 17:19 kepada orang yang hidup lajang. "Dan Aku menguduskan diri-Ku bagi mereka, supaya mereka pun dikuduskan dalam kebenaran". Saya memohon kepada oang-orang yang lajang dan ini sebetulnya juga untuk kita semuanya, kuduskan hidup kita ! Kuduskan hidup kita ! Bagi siapa sebetulnya waktu kita menguduskan hidup ? Nomor satu memang bagi Tuhan, tapi juga bagi orang lain.
Sebab kenapa ? Orang-orang yang akhirnya bersinggungan jalan dengan kita, bertemu dengan kita dan menerima berkat dari kita, itu akan juga mendapatkan manfaatnya. Berkenalan dengan kita. Jadi kuduskanlah hidup kita sebaik-baiknya. Hiduplah dalam kebenaran Tuhan, kita akan menjadi berkat yang besar dan orang lajang mempunyai potensi yang sama dengan orang yang menikah untuk menebarkan berkat kepada sesamanya.
GS : Ya, baik terima kasih Pak Paul, juga Ibu Wulan terima kasih. Para pendengar sekalian yang kami kasihi, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt.Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Tanda Awas Hidup Lajang". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK, Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.