T 131 B
Lengkap
"Menghadapi Kekecewaan" oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, dan kali ini saya ditemani Ibu Wulan, S.Th. kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Menghadapi Kekecewaan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, saya rasa hampir setiap orang atau semua orang pernah mengalami rasa kecewa, tetapi sulit bagi kita untuk menguraikan atau memahami apa sebenarnya perasaan kecewa itu Pak Paul?
PG : Sebetulnya kekecewaan merupakan salah satu bentuk kehilangan Pak Gunawan, jadi kecewa itu adalah kehilangan. Nah, masalahnya kehilangan apa? Setidak-tidaknya saya bisa mengaitkannya dengandua hal, pertama adalah kehilangan harapan, ini yang paling umum ya.
Kita mengharapkan sesuatu terjadi, kemudian yang kita harapkan tidak terjadi. Nah, respons atau reaksi terhadap situasi tersebut adalah kita kecewa. Dalam situasi seperti ini atau dalam definisi ini, kita bisa melihat bahwa yang sebetulnya terjadi ialah kita kehilangan. Kehilangan apakah itu? Kehilangan harapan yang kita nantikan tidak segera datang.
GS : Tetapi harapan itu tentunya masih ada. Dikatakan sekarang tidak terjadi, tapi nanti atau lain kali akan bisa terjadi Pak Paul.
PG : Betul, nah itu sebabnya kalau harapan itu masih bisa ditumbuhkan, kita masih bisa menghapuskan atau mengatasi kekecewaan.
GS : Selain harapan, apa lagi Pak Paul?
PG : Selain dari harapan adalah kehilangan konsep. Nah, ini sedikit aneh kedengarannya. Tapi maksudnya begini, apa yang kita pikirkan ternyata berubah, nah apa yang kita pikirkan itulah konsep.Orang bisa mengalami kekecewaan pada saat pemikirannya tentang sesuatu tidak terjadi, akan tetapi kebalikannyalah yang terjadi.
Nah, ini bisa membuat seseorang sangat-sangat kecewa. Misalkan pada waktu seseorang menikah, dia mempunyai konsep pasangannya adalah orang yang seperti apa. Setelah dia menikah, dia melihat ternyata pasangannya tidak seperti yang dulu dia pikirkan. Konsepnya ternyata tidak sepenuhnya betul, sebab fakta membuktikan pasangannya berbeda. Biasanya orang itu akan mengalami kekecewaan. Jadi kekecewaan terjadi akibat konsep kita yang terdahulu ternyata tidak sepenuhnya betul dan harus berubah. Nah, biasanya reaksi kita juga adalah kecewa.
WL : Pak Paul, kalau berbicara masalah kecewa begitu ya, pasti setiap orang yang mengalami kekecewaan itu pasti sedih dan tidak enak. Tapi apa boleh saya bertanya, kalau anak-anak yang terbiasa dibesarkan dalam keluarga yang sejak kecil dimanja, apa saja yang dia inginkan selalu dipenuhi bahkan sampai berlebihan begitu. Apakah anak-anak seperti ini kalau sudah besar (ya maksudnya bukan besar saja, dari kecil sampai remaja begitu) menjadi lebih rentan terhadap kekecewaan ?
PG : Betul, saya kira itu pengamatan yang baik sekali Ibu Wulan. Jadi kalau seseorang tidak pernah kehilangan ya, dia akan rentan sekali terhadap kekecewaan. Karena dia hidup di dalam dunia yan tidak lagi realistik sedangkan dunia yang realistik adalah dunia yang akan menjanjikan kehilangan dalam hidup.
Kebanyakan ada yang pernah berkata satu peribahasa, orang yang siap untuk mengasihi, haruslah siap untuk kehilangan, itu adalah bagian dari kehidupan. Tapi ada orang-orang yang terlalu terlindungi dari kenyataan itu, dari kecil semua yang dia minta dia dapatkan. Nah, akhirnya waktu dia tidak mendapatkan waduh....dia bisa kehilangan kepercayaan, marah, sangat-sangat sedih sekali, tidak siap menghadapi kenyataan itu.
GS : Kadang-kadang agak kontradiksi Pak Paul, di satu sisi kita itu harus bersungguh-sungguh mengharapkan atau harus mempunyai suatu konsep yang jelas, supaya kita bisa berjalan dengan mantap, tetapi akibatnya kalau harapan maupun konsep itu meleset dari apa yang kita pikirkan, kecewa kita akan menjadi lebih berat begitu Pak Paul.
PG : Saya kira itu betul dan merupakan konsekuensi logis. Investasi yang besar, tatkala merasakan kehilangan akan merasakan sakit yang lebih berat; investasi sedikit, sewaktu merasa kehilangan kan merasakan sakit yang ringan juga.
Itu konsekuensi logis.
GS : Tapi kalau mengharapkan yang setengah-setengah atau konsep itu tidak terlalu muluk-muluk, lalu hidup ini akan menjadi seperti apa Pak Paul?
PG : Sangat-sangat abu-abu ya, (GS : Kurang menarik lah, tantangannya akan agak kurang) kurang menarik betul. Saya tidak berkata setiap kali kita harus menaruh pengharapan yang sebesar-besarny dalam segala hal, tidak begitu.
Pada waktu-waktu tertentu kita merasa terpukul karena kecewa, dalam keadaan terpukul itu, sulit bagi kita untuk bangkit maupun percaya agar bisa memiliki pengharapan lagi. Nah, pada masa-masa pemulihan itu otomatis kita lebih berhati-hati, lebih sedikit berhemat dalam memberikan kepercayaan sehingga kita tidak perlu kecewa berat, saya kira itu reaksi yang normal. Tapi sekali lagi hidup yang sesungguhnya adalah hidup yang sepenuhnya hanya dimungkinkan kalau orang berani untuk mempercayai, mengharapkan, menantikan, menunggu. Kalau tidak ada unsur itu sama sekali, dia tidak benar-benar menjalani hidup yang sepenuhnya lagi.
GS : Apa reaksi nyata dari seseorang yang kecewa itu Pak Paul?
PG : Biasanya dua ya, yaitu sedih dan yang kedua adalah marah. Marah karena kita menganggap bahwa kita dipermainkan. Kita diperdaya, jadi kita marah sekali. Sedih, karena kita tidak mendapatka yang kita harapkan itu.
WL : Pak Paul, waktu kita tidak memperoleh apa yang kita inginkan, atau yang kita butuhkan, hal ini terdapat dua hal yang begitu berbeda. Apakah reaksi kita atau tingkat kekecewaan kita sama, (karena masuk sama-sama kategori kehilangan atau tidak mendapatkan hal itu) atau berbeda.
PG : Seharusnya berbeda, meskipun pada orang-orang tertentu yang belum bisa membedakan antara keinginan dan kebutuhan bisa dianggap sama saja, tapi kalau bisa membedakan, hal tersebut ada perbeaannya.
Seharusnya tidak mendapatkan yang kita butuhkan akan lebih menyakitkan, karena kita memang membutuhkan dan ini bukannya untuk bermewah-mewahan, buat tambah-tambahan, aksesori, tetapi ini merupakan sesuatu yang hakiki atau inti, kenapa tidak mendapatkannya. Nah, ini biasanya lebih menusuk hati ya.
GS : Pak Paul, karena kekecewaan itu sudah menjadi bagian dari kehidupan kita, mungkin Pak Paul memiliki beberapa kiat atau beberapa petunjuk praktis Pak Paul, bagaimana kita harus menghadapi fakta nyata menghadapi kekecewaan apabila kita mengalaminya.
PG : Prinsip-prinsip yang akan kita bahas adalah prinsip-prinsip yang saya gali dari kehidupan atau respons dari Yusuf, Pak Gunawan. Yusuf adalah seorang anak muda yang dibuang oleh keluarganyayaitu oleh kakak-kakaknya dan telah dijual menjadi budak dan sebagainya kita tahu ya.
Dan pada akhirnya dia menjadi seorang yang berpengaruh sekali di Mesir. Nah, apakah prinsip-prinsipnya. Yang pertama adalah menerima fakta. Waktu Yusuf dibuang sebagai budak, dia hidup sebagai budak dan dia tidak tetap hidup sebagai seorang anak dari Yakub yang kaya dan dimanja, tidak, dia hidup sebagai budak. Waktu dia dibuang lagi setelah difitnah, dia menjalani hidupnya sebagai seorang narapidana. Jadi, kita melihat Yusuf memang menerima apa yang Tuhan sudah berikan. Artinya apa, salah satu artinya adalah kita bisa mengizinkan diri kita merasakan kesedihan dan kepahitan itu juga. Kita tidak mencoba mendistorsi fakta bahwa hal ini tidak akan terjadi atau bahwa seperti yang terlihat inilah kehidupan ini, tidak, apapun yang kita alami kita berdoa, supaya misalkan ibu kita disembuhkan tapi tidak disembuhkan malah meninggal dunia. Atau supaya kita tidak di-PHK, eh...ternyata kita juga ikut-ikut di-PHK. Apa yang kita alami sebagai reaksinya, kita sedih, kita kecewa, kita marah karena harus menerima perasaan-perasaan itu. Izinkan diri kita menangis, izinkan diri kita mungkin juga merasakan kemarahan. Tindakan mendistorsi fakta ya akan lebih memperlama proses pemulihan. Ada orang yang misalkan menderita sakit yang berat, tapi tidak mau mengakui dia terkena penyakit itu, dia terus berkata," o....sakit ini akan sembuh lagi, o....ini akan berubah, ah....tidak mau percaya, justru terkena penyakit itu sebenarnya tidak akan terjadi apa-apa". Orang yang buta datang kepada Tuhan Yesus membawa kondisi butanya, tidak ada di antara mereka yang berkata, "saya melihat, saya melihat", ya tidak demikian. Penderita kusta datang kepada Tuhan Yesus mengakui saya ini perlu ditahirkan, saya ini terkena kusta. Jadi mengakui itu langkah pertamanya, Pak Gunawan.
WL : Pak Paul, kalau membaca atau mendengarkan pengalaman Yusuf suatu pelajaran yang sangat berharga dan begitu luar biasa, dia bisa menerima fakta dan menjalani kehidupan sebagai seorang budak dan sebagai apa adanya. Tapi pada sisi lain, Pak Paul katakan bahwa kita juga harus mengakui perasaan kita. Jadi seperti yang Pak Paul jelaskan tadi, saya membayangkan waktu itu Yusuf misalnya dia sedih juga di satu sisi. Tapi bagaimana dia bisa menampilkan diri sampai setiap kali Alkitab menyatakan, di manapun dia berada dia disayang. Waktu dia jadi budak disayang di rumah Potifar, di penjara juga dia disayang, di mana-mana dia begitu disayang. Tapi sebenarnya dia sedih, dia mengalami kekecewaan. Apa dia hidup dalam kemunafikan atau sebenarnya dia setulus-tulusnya atau bagaimana itu Pak Paul?
PG : Saya kira apa yang dia harus lakukan, dia harus lakukan ya, dia sebagai budak dia harus bekerja. Nah, itu semua dia lakukan. Dan karena dia melakukannya dengan kesungguhan hati, maka orangorang akan senang melihat hasil kerjanya dan di situ dia dihargai.
Tapi saya kira, dia tetap menginginkan kebebasan, dia ingin lepas dari semua itu. Buktinya adalah waktu dia menginterpretasikan mimpi juru minuman dan juru rotinya raja, dia begitu berharap bahwa dia akan dibebaskan, dia memesan dengan mengatakan, "tolong.....nanti setelah engkau dilepaskan, ingatlah saya", Itu menandakan dia rindu bisa lepas, tapi ya tidak bisa lepas. Jadi akhirnya, saya bisa menyimpulkan bahwa dia mengakui perasaan-perasaan dirinya sendiri maupun perasaan kakak-kakaknya, pada waktu kakak-kakaknya berbicara di antara mereka sendiri setelah mereka bertemu kembali dengan Yusuf. Mereka begitu menyesali perbuatan mereka, dan mereka berkata: "Tidakkah engkau ingat waktu anak ini kita jual, dia berteriak-teriak, memohon-mohon, memelas-melas supaya kita tidak membuangnya dan menjualnya". Jadi sekali lagi ya itu reaksi, reaksi yang sangat wajar dan itu yang Yusuf juga alami, jadi apapun yang kita alami, kita kecewa dan akuilah bahwa kita kecewa dan hal itu tidak apa-apa. Tuhan tidak akan lari gara-gara kita berkata: "Tuhan, saya kecewa kepada Tuhan."
GS : Tapi pengakuan itu baru terjadi kalau dia sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi, artinya dia sudah berhenti sampai di sana, jadi mau tidak mau dia harus mau menerima itu Pak Paul.
WL : Pak Paul, berarti karakter Yusuf suatu karakter yang luar biasa sekali ya. Tapi waktu kita tahu ya di Alkitab, di awal kehidupannya pada waktu di rumah, dia adalah anak yang paling disayang oleh papanya lebih dari yang lain-lain, memiliki jubah segala macam dan itulah yang menyebabkan saudara-saudara yang lain jadi iri bukan? Apakah boleh saya mengatakan bahwa dia anak yang cukup dimanja juga oleh papanya ini. Sedangkan di awal tadi Pak Paul jelaskan bahwa anak yang dimanja itu lebih rentan terhadap kekecewaan, tapi kenapa dia bisa tampil sebagai tokoh yang luar biasa ya.
PG : Kita tidak tahu ya apa yang terjadi di dalam masa-masa awal pembuangannya itu, kita tidak tahu apakah dia hancur, apakah dia putus asa, jadi kemungkinan dia hancur juga, dia putus asa bisaterjadi ya, kita tidak tahu karena Alkitab tidak menceritakannya.
Namun yang kita tahu adalah hasil akhirnya dia menjadi seorang pemuda yang tangguh melalui proses itu. Yusuf memang bukan saja dimanja, Alkitab jelas mengatakan dia dimanja tapi saya bisa menyimpulkan Yusuf itu memiliki sifat yang ada sedikit angkuhnya juga, yaitu pada saat dia menceritakan mimpi-mimpinya yang semakin menyulut kemarahan dan keirihatian kakak-kakaknya. Kalau memang mau menceritakan mimpi, ya ceritakan saja berduaan dengan papanya, kenapa mesti di depan kakak-kakaknya seolah-olah kita ini 'memberi garam di luka yang menganga begitu' dan hal ini memang kurang bijaksana. Dan sekaligus menunjukkan sikap Yusuf sebagai anak yang dimanja sedikit terlalu berlebihan, tapi itulah akhirnya yang dikikis dan dibuang sehingga terciptalah seorang Yusuf yang luar biasa.
GS : Pak Paul, setiap kekecewaan itu pasti ada penyebabnya, ada sumbernya. Nah, bagaimana kita menyikapi sumber atau penyebab itu Pak Paul?
PG : Ini langkah keduanya ya Pak Gunawan, jadi memang kita mesti melihat dengan saksama apakah atau siapakah sumber kekecewaan kita itu. Kadang kita ini mengalihkan sasaran dan memfokuskan padasumber yang lain, misalnya seharusnya kita kecewa kepada orangtua kita, mereka mempunyai kesanggupan membiayai sekolah kita misalkan, tapi menolak untuk membiayai kita sekolah untuk melanjutkan sekolah di perguruan tinggi misalnya.
Nah, kita kecewa. Tapi daripada mengakui orangtua kita ini mengecewakan kita, misalnya kita menjadi menyalahkan Tuhan. Tidak seharusnya demikian, kita mesti saksama melihat siapa sebetulnya yang menjadi sumber kekecewaan kita. Nah, kalau memungkinkan kita menyampaikan kekecewaan ini kepadanya secara langsung. Kita mungkin tidak mendapatkan yang kita inginkan dan memang itu bukan tujuannya, tapi setidak-tidaknya kita bisa sampaikan, jangan kita berpikir buat apa menyampaikan kalau tidak mendapatkan hasilnya, bukan. Tujuannya adalah kita mengatakan reaksi kita, "waktu engkau berbuat begini kepadaku, inilah reaksiku aku kecewa dan engkau perlu mendengar apa reaksiku". Nah, kita jangan bertambah marah kalau orang itu tidak mempedulikan reaksi kita, itu adalah hak dia, urusan dia, apapun yang dia ingin lakukan dengan dirinya itu memang hak dia. Tapi ini juga hak kita untuk menyuarakan isi hati kita apa yang telah kita alami akibat perbuatannya itu. Jadi langkah kedua adalah lihatlah dengan saksama apakah atau siapakah sumber kekecewaan kita, lihat dengan jelas dan akui ini dia, atau orang inilah atau siapa dan hal itu tidak menjadi masalah.
GS : Itu kalau menyangkut bukan orang, jadi keadaan atau yang lainnya itu tidak terlalu menjadi masalah Pak Paul. Tapi kalau hal ini menyangkut seseorang dan kita ungkapkan seperti itu menambah masalah baru Pak Paul.
PG : Jadi kita harus bijaksana juga melihat apakah memang tepat kita ngomong. Kadang-kadang menimbulkan masalah yang lebih besar. Nah, daripada menimbulkan masalah yang lebih besar ya sudah diam. Kadang-kadang kita bisa mengerti apabila orang lain mengatakan "wah......bisa tambah runyam" ya sudah kita diam, tapi kalau memungkinkan kita sampaikan.
WL : Tadi kesulitan yang dihadapi Pak Gunawan, saya bisa mengerti juga, cuma sepertinya ada yang lebih sulit lagi kalau berhadapan dengan Tuhan, begitu Pak Paul ya, kalau ke manusia kita masih bisa ngomong, saya kecewa Pak Paul, Pak Paul saya kecewa begini, begini lalu Pak Paul bisa jelaskan walaupun mungkin ada konflik dan sebagainya, tapi sudah bisa diselesaikan. Tapi kalau dengan Tuhan akhirnya mau tidak mau harus menerima begitu saja.
PG : Sudah tentu Tuhan benar ya, jadi kita tidak bisa menyampaikan kekecewaan kita dan membuktikan Tuhan salah dalam bertindak itu tidak mungkin (WL : Selalu kita yang salah, pasti), jadi Tuhanpasti benar.
Nah, ini mungkin yang menyulitkan kita untuk bertindak, o.....percumalah Tuhan pasti benar, tapi tidak ada salahnya mengatakan kepada Tuhan: "Tuhan saya kecewa," karena itu ungkapan secara jujur, kita tidak mengatakan di mulut pun hati kita sudah mengatakan dan Tuhan pun sudah mendengar. Dan waktu kita mengatakannya kepada Tuhan, kita berkesempatan membagi beban kita dengan Tuhan sehingga kita tidak sendirian lagi di dalam penderitaan itu dan kita melibatkan Tuhan di dalam kekecewaan ini. Sebab kita berkata, "Tuhan, Engkau adalah sumbernya dan aku tidak mengerti apa yang Engkau lakukan, tapi walaupun aku tetap beriman, Engkau baik kepadaku tapi aku tetap kecewa." Nah, di dalam pergumulan inilah kita akhirnya juga akan bertumbuh dalam pengenalan akan Tuhan.
GS : Ya seringkali kita lihat dalam contoh-contoh di Alkitab orang mengungkapkan kekecewaannya kepada Tuhan. Tetapi memang ada batas-batas tertentu seperti tadi Pak Paul katakan, Tuhan itu benar, dan yang salah pasti kita Pak Paul ya. Nah, apakah ada hal atau kiat lain Pak Paul menghadapi kekecewaan ini?
PG : Kita bisa melihat dengan saksama mengapa kita kecewa, mengapa kita kecewa dan bersedialah untuk berubah. Adakalanya konsep kitalah yang kurang tepat Pak Gunawan, atau harapan kita yang tidk realistik.
Nah, kalau itu yang terjadi ya kita harus juga mengubah konsep kita. Misalkan ini ya konsep bahwa Tuhan menjanjikan kemakmuran kepada setiap orang, apakah Tuhan menjanjikan kemakmuran untuk setiap orang, tidak. Apakah Tuhan ingin memberkati kita, ya. Apakah Tuhan memberkati kita, ya. Apakah Tuhan selalu memberkati kita dengan materi, jawabannya tidak. Kenapa kita bilang begitu, sebab jelas-jelas dalam Perjanjian Lama dikatakan, Tuhan memerintahkan orang-orang yang memiliki perkebunan pada waktu membawa hasil ladang, mereka harus menyisakan yang jatuh-jatuh untuk orang miskin dan Tuhan memberi perintah kepada orang-orang untuk memperhatikan orang miskin. Dengan kata lain, apakah ada orang miskin? Ada. Dan kita tahu nabi-nabi Tuhan juga pernah menolong orang-orang miskin. Elia, Elisa menolong orang miskin berarti ada orang miskin. Apakah Tuhan memberkati mereka dengan kekayaan, tidak, yang Tuhan janjikan Tuhan memelihara hidup mereka. Nah, jadi kita juga mesti benar dengan konsep kita, kadang-kadang kita kecewa karena konsep kita yang tidak tepat. Tuhan pasti menyembuhkan kita dengan bilur-bilurNya dan kita telah disembuhkan. Sebetulnya ayat itu lebih mengacu kepada keselamatan bukannya bilur Tuhan menyembuhkan penyakit fisik kita. Sebetulnya itu lebih mengacu kepada bilur Tuhan menyembuhkan penyakit dosa kita. Tuhan telah menebus dosa-dosa kita, tapi ada orang yang menafsirnya untuk kesehatan tubuh. Waktu sakit, kecewa luar biasa, nah, di sini Tuhan akan meminta kita mengubah konsep kita tentang siapa Tuhan. Tadi Ibu Wulan juga menceritakan pada awal-awal beriman dalam Tuhan, semua diberikan setelah itu tidak diberikan dan kita berkata Tuhan jahat. Tuhan ingin kita mengubah konsep hidup kita bahwa pada waktu Dia tidak memberikan yang kita inginkan, Dia tidak jahat, tapi Dia sedang menjalankan rencana-Nya yang belum kita lihat saat itu. Jadi mengapa kita kecewa perlu kita teliti dengan saksama. Namun adakalanya memang jelas-jelas kita kecewa bukan karena konsep kita yang salah, tapi karena yang kita dambakan ternyata tidak terjadi. Nah, itulah kekecewaan yang terbuka, yang jujur ya dan silakan membagikan kepada Tuhan.
GS : Kadang-kadang kita sudah berusaha untuk mencoba mengetahuinya begitu Pak Paul, siapa sumbernya lalu mengapa dan sebagainya, tapi tetap dalam keterbatasan kita itu tidak semua kita bisa mengerti itu Pak Paul.
PG : Maka pada akhirnya kita berkata, hiduplah dengan ketidakmengertian itu, jadikan ketidakmengertian menjadi bagian hidup kita. Adakalanya kita ini menjadi orang yang harus mengerti segalanya kalau ada yang tidak kita mengerti kita potong, keluarkan dari dalam hidup kita.
Tidak bisa ya, kita harus menyadari bahwa Tuhan terlalu besar, rencana-Nya terlalu besar juga untuk bisa kita pahami dan kita lihat dalam masa hidup kita ini. Jadi akhirnya kita harus berkata selamat datang, kita harus menyambut selamat datang kepada ketidakmengertian dan jadikan itu bagian dari kehidupan kita.
WL : Pak Paul, sepertinya pada waktu Pak Paul berbicara begini dan kami mendengarkan, kita dalam keadaan yang lancar-lancar saja, kita OK begitu ya. Tapi bagaimana kita bisa bicara seperti yang Pak Paul jelaskan, hiduplah dalam ketidakmengertianmu kepada orang. Misalnya, contoh ekstrim kepada orang-orang yang pernah mengalami kerusuhan waktu Mei 98 itu. Wanita-wanita yang polos misalnya tiba-tiba diperkosa. Itu suatu pukulan yang amat dasyat, terus keluarga-keluarga yang hidupnya tidak pernah terjadi apa-apa, tiba-tiba tokonya dijarah, dibakar habis semuanya sampai tidak mempunyai apa-apa lagi begitu. Nah, bisa tidak kita berbicara kepada orang-orang seperti itu Pak Paul?
PG : Kita akan mencoba ya, menemani, mendampingi orang tersebut. Saya kira, itu langkah yang paling dibutuhkan ya. Kata-kata tidak terlalu efektif, tidak terlalu dapat dimengerti juga bagi oran-orang pada kondisi saat itu.
Jadi dampingi saja dulu ya. Namun dalam pendampingan dan sewaktu orang-orang itu mulai bersedia untuk membicarakan pergumulannya, ketidakmengertian, kemarahan dan sebagainya, pada akhirnya kita akan mencoba membawa orang tersebut berjalan bersama kita menuju ke titik itu, ke titik apa, ke titik menerima ketidakmengertian sebagai bagian dari hidupnya. Karena memang tidak bisa kita mengerti dan apapun yang kita lakukan untuk memahami kenapa itu terjadi tidak akan mampu untuk membuat kita lebih jelas. Jadi sambut itu sebagai bagian dari kehidupan kita. Pada akhirnya apa yang kita lakukan sewaktu kita kecewa berat seperti itu, terus hidup. Memang kita hanya mempunyai dua pilihan, berhenti hidup atau terus hidup. Ada orang yang memilih berhenti hidup, tidak mau tahu lagi tentang hidup dan mungkin ya diam di rumah, mengalami depresi berat ya sudah menyerah. Atau kita bisa memilih yang kedua, kita melanjutkan hidup ini, melanjutkan hidup didalam kondisi yang tidak menyenangkan ini. Saya suka sekali dengan perkataan dari Jodie Foster dalam filmnya 'Anna and The King', dia diceritakan sebagai guru bahasa Inggris untuk raja Siam, anak-anak raja Siam, dia itu seorang janda karena suaminya telah meninggal dunia di usia muda karena penyakit. Nah, ketika ditanya oleh salah seorang istri raja Siam, bagaimanakah engkau melewati hari-harimu setelah suamimu meninggal, dia menjawab "one awful day at a time", artinya hari lepas hari dan hari yang dilewati itu adalah hari yang memang sangat-sangat berat. Jadi satu hari yang berat dilepas dan memulai satu hari yang berat lagi.
GS : Tuhan berkata, kesulitan sehari cukup untuk sehari ya Pak Paul.
GS : Nah, Pak Paul mengenai perbincangan menghadapi kekecewaan ini Pak Paul, apakah ada ayat firman Tuhan yang mendukung pembicaraan ini.
PG : Ibrani 11:39,40 berkata: "Dan mereka semua tidak memperoleh apa yang dijanjikan itu, sekalipun iman mereka telah memberikan kepada mereka suatu kesaksian yang baik. Sebab Allah telah menyeiakan sesuatu yang lebih baik bagi kita; tanpa kita, mereka tidak dapat sampai kepada kesempurnaan."
Artinya adalah para bapak-bapak iman di masa lampau, mereka pun tidak selalu mendapatkan apa yang mereka inginkan. Janji Tuhan tidak selalu dipenuhi dalam masa hidup mereka, namun di luar pengetahuan mereka, janji Tuhan itu dipenuhi di kemudian hari, sehingga sempurnalah kerja dan rencana Tuhan dalam hidup mereka dan hidup kita yang sekarang ini. Jadi terimalah kekecewaan itu, hiduplah di masa sekarang apa adanya, kita tidak bisa hidup dengan harapan atau andaikan-andaikan, hiduplah apa adanya dan kita tahu bahwa yang sedang terjadi tetap adalah bagian dari rencana Tuhan yang sempurna.
GS : Saya percaya sekali bahwa firman Tuhan dan perbincangan ini merupakan sesuatu yang bisa menguatkan, menyegarkan khususnya bagi para pendengar yang mungkin saat ini sedang bergumul menghadapi kekecewaan mereka. Terima kasih sekali Pak Paul juga untuk Ibu Wulan. Dan para pendengar sekalian kami juga mengucapkan banyak terima kasih, anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Menghadapi Kekecewaan". Bagi anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id saran-saran, pertanyaan serta tanggapan anda sangat kami nantikan, dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian anda sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.