Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah pakar konseling keluarga dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang, kami akan menemani Anda dalam sebuah perbincangan yang pasti sangat menarik dan bermanfaat. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang "Gejolak Pertumbuhan Remaja." Dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
(1) GS : Pak Paul, semua kita terutama yang mempunyai anak remaja pasti memahami atau melihat tingkah laku remaja, ada sesuatu yang berbeda dengan masa kanak-kanak maupun dengan masa remajanya. Sebenarnya perbedaannya apa itu Pak Paul?
PG : Ada beberapa hal Pak Gunawan, secara fisik anak remaja ini sudah mengalami beberapa perubahan hormonal, misalkan yang paling jelas adalah munculnya hormon-hormon seksual yang membuat merek itu menjadi makhluk atau menjadi manusia yang harus bergumul dengan gejolak seksualnya.
Nah ini salah satu hal yang sering kali menjadi problem bagi para remaja maupun orang tua yang mengawasi mereka. Hal lainnya juga adalah karena mereka makin dewasa pola pikir mereka bertambah abstrak, pola pikir yang bertambah abstrak ini membuat mereka mempertanyakan nilai-nilai yang mereka telah anut sebelumnya. Kalau sebelumnya pada masa kecil mereka menerima begitu saja apa yang kita katakan, apa yang kita yakini sebagai kepercayaan kita atau iman kita, sebagai kebenaran. Pada masa remaja mereka tiba-tiba menggugat apa yang telah kita tekankan sebelumnya. Atau yang lainnya lagi adalah para remaja ini juga akan mudah sekali mengikuti trend, mengikuti apa yang sedang 'in' di kalangan mereka. Dan apa yang sedang 'in' atau trend itu mungkin sekali tidak cocok dengan yang kita sukai, akibatnya sering kali terjadi pertengkaran. Nah hal-hal seperti itu saya kira menandai masa remaja, menjadi masa yang khas sekali karena hal-hal tersebut membuat hubungan orang tua-anak sering kali tegang. Kamar tidak dibersihkan, musik terlalu keras, rambut dipotong seperti itu, gaya bicaranya seperti ini, belajar dari mana semua itu dan sebagainya.
(2) GS : Biasanya yang disebut masa remaja itu, ketika anak pria atau anak wanita itu memasuki usia berapa Pak?
PG : Ada beberapa pandangan Pak Gunawan, namun saya secara pribadi mengkategorikan remaja itu dari usia sekitar 11 atau 12 tahun hingga usia sekitar 20 tahun jadi rentang yang cukup panjang antra 8- 10 tahun.
GS : Ya dibandingkan masa kanak-kanak, mungkin yang remaja ini bisa lebih panjang Pak?
PG : Ya betul sebab kalau kita melihat masa kanak-kanak di atas balita adalah sekitar usia 5 tahunan.
GS : Nah apakah seseorang itu memasuki masa remajanya sekaligus atau bertahap?
PG : Sering kali bertahap Pak Gunawan, jadi kita mulai bisa menyimpulkan sekurang-kurangnya ada 3 tahapan yang harus dilewati oleh para remaja, yang memasuki usia remaja dari usia 11, 12 sampaiusia 20 tahun.
(3) GS : Tahapan-tahapannya bagaimana Pak?
PG : Saya akan jelaskan ada tiga, nah yang pertama adalah usia sekitar 12-14 tahun, pada tahap ini pergumulan remaja biasanya berkaitan dengan penerimaan diri secara jasmaniah. Pada usia ini reaja peka sekali dengan komentar orang terhadap tubuhnya, penampilan fisiknya.
Kita seakan-akan melihat remaja terobsesi sekali dengan penampilan fisiknya, begitu terobsesinya sehingga mereka itu mengharapkan setiap anggota tubuh mereka itu bisa pas. Pas untuk ukuran mereka sendiri maupun pas untuk ukuran teman-teman di mana mereka bergaul. Jadi kalau misalkan anggota tubuhnya itu tingginya saja tidak pas, nah itu menjadi masalah buatnya, akan ada perilaku kompensasi yang biasanya ditunjukkan oleh remaja yang tingginya tidak pas. Lebih beranilah, lebih ributlah, lebih bawellah atau lebih jantanlah atau mau lebih menariklah, lebih cantiklah, lebih beranilah dalam berdandan dan sebagainya. Ukuran tubuh menjadi masalah atau besarnya tubuh itu kekurusan, kegemukan, atau besarnya atau panjangnya tangan, panjangnya kaki, masuk atau tidak masuknya hidung kita alias pesek atau mancung, sipit atau besarnya mata kita dan sebagainya. Jadi pada usia pertama itu sering kali remaja memang bergumul dengan penampilan fisiknya, nah sebagai orang tua kita mesti menyadari hal ini sehingga kita lebih berhati-hati, kadang-kadang orang tua karena kurang menyadari hal ini mengeluarkan komentar yang menusuk hati remaja. "Kamu sudah pendek, masih banyak laga lah," nah itu kata-kata yang benar-benar menampar hatinya si remaja sebab itulah pergumulan dia. Nah pada masa kecil hal itu memang tidak pernah menjadi masalah, tapi pada usia sekitar 12, 14 tahun penampilan fisik menjadi hal yang begitu penting baginya.
GS : Ya padahal yang saya amati itu anak perempuan, pertumbuhan tubuhnya lebih cepat dibandingkan pria, Pak Paul?
PG : Betul Pak Gunawan dan ini bisa-bisa menjadi masalah, jadi riset memperlihatkan anak wanita yang bertumbuh secara fisik terlalu cepat itu sering kali lebih rawan terhadap masalah, karena di menjadi sorotan anak-anak laki seusianya atau yang lebih tua darinya.
Dia dianggap seperti wanita, mulailah komentar-komentar seksual dilontarkan terhadapnya sehingga membuat dia tidak nyaman. Atau karena tubuhnya mulai membentuk dia merasa tidak nyaman sekali bersama-sama dengan teman-teman wanita seusianya yang tubuhnya masih belum membentuk, nah itu sendiri membuat dia canggung. Nah kita mungkin berpikir para gadis ini bangga dengan tubuhnya yang telah matang atau lebih cepat dari usianya, tapi sesungguhnya ada tekanan-tekanan tersendiri yang harus dilewati oleh para gadis ini.
GS : Padahal sulit sekali untuk mencapai tubuh yang ideal menurut pikiran dia Pak Paul, mesti ada saja hal-hal yang membuat si remaja ini tidak puas. Kalau sampai itu terjadi apa dampaknya terhadap si anak remaja ini?
PG : Biasanya anak-anak remaja akan sukar menerima diri, dia seolah-olah akan bermusuhan dengan dirinya sendiri. Bermusuhan dalam pengertian dia merasa tubuhnya ini seharusnyalah bukan tubuhnyadan kalau bisa tawar-menawar dengan Tuhan, mungkin dia meminta tubuh yang lain.
Nah, saya memanggil atau menyebut proses ini adalah dia gagal berdamai dengan kekurangan pribadinya, dia gagal bersalaman dengan kekurangan dirinya. Nah biasanya ini akan melahirkan kekurangpercayaan diri, jadi dia akan gamang, ragu-ragu tampil di depan orang, dia kurang berani untuk berbicara, untuk bergaul dengan lebih bebas dan sebagainya, karena dia memang mempunyai beban mental bahwa dia kurang menarik, bahwa dia itu tidak sama dengan teman-temannya yang lain. Dia senang kalau temannya wanita, yang cantik, yang menarik kalau misalnya ada wanita mau bergaul dengan dia. Tapi sekaligus itu tekanan buatnya karena dia harus bergandengan tangan dengan temannya yang cantik atau kalau dia pria tubuhnya terlalu berbeda dari temannya yang lain, dia akan senang kalau teman prianya yang lumayan ganteng mau bergaul dengan dia, tapi sekaligus merasakan ada tekanan juga sebab wanita akan melirik temannya dan tidak melirik dia. Nah biasanya sekali lagi saya tekankan Pak Gunawan, akan muncul perilaku kompensasi, ini yang harus diperhatikan oleh kita sebagai orang tua. Perilaku kompensasi biasanya adalah perilaku untuk menambal kekurangan-kekurangan itu sebab adanya kekurangan atau kekurangpercayaan diri itu. Nah kita harus menjaga agar perilaku kompensasi itu masih dalam batas kewajaran, misalkan kalau sudah tidak wajar seperti ini, anak wanita kita terus menelepon teman-teman prianya nah kita mungkin bisa sensitif juga, kita bisa mengetahui bahwa dia mungkin rindu sekali teman prianya telepon dia tapi memang tidak ada yang menelepon. Jadi akhirnya dia yang menelepon, atau teman prianya kok tidak ada yang datang ke rumah sedangkan di sekolah dia mendengar teman-temannya bercerita "wah...si ini ke rumah saya, o..... si itu ke rumah saya." Dan teman-teman pria juga berkata: "o...kita ngumpul yuk!"; "Kita ngumpulnya di mana?" Di rumah teman wanita yang tertentu. Nah hal-hal itu menekan bagi si wanita, jadi kita orang tua harus peka dan sekaligus mengawasi agar jangan sampai perilaku kompensasi mereka itu lewat batas kewajaran.
GS : Tapi apakah orang tua bisa melihat itu perubahan yang terjadi kalau anaknya tertekan seperti itu?
PG : Saya kira bisa Pak Gunawan, meskipun ini menuntut satu hal yaitu kejelian dan orang tua mesti sedikit banyak di rumah. Karena kalau orang tua tidak di rumah mustahil baginya melihat perubaan-perubahan ini.
Saya berikan contoh yang saya pernah juga paparkan dalam ceramah-ceramah saya yaitu kisah Pdt. Bill Hyble, waktu malam-malam dia ingin menonton acara favoritnya dia melihat anaknya yang masih kecil di tempat tidur berbaring dengan wajah yang begitu murung, dia terus bergumul dia temani anaknya atau tidak, akhirnya dia iseng-iseng dia bertanya: "Kenapa kau begitu murung?" anak itu tidak menjawab, terus mendiamkan dia. Dia bertanya lagi: "Kenapa kau murung? Kenapa kau murung?" Anak itu tidak menjawab. Nah akhirnya dia bingung dia harus turun nonton televisi atau tidak, tapi akhirnya dia putuskan tidak menonton dia temani anaknya. Dia hanya berbaring di samping si anak tanpa mengucapkan apa-apa lagi. Tapi tiba-tiba si anak menengok ke arahnya dan bercerita bahwa tadi pagi di sekolah temannya mengejek dia, nah dia langsung menangis terisak-isak. Nah sekali lagi moment itu tidak datang setiap hari, nah kadang-kadang memang orang tua berkata: "Yang penting, saya memberi waktu yang berkwalitas", tapi masalahnya kapan waktu yang berkwalitas itu datang, tidak bisa kita ciptakan, datangnya tanpa diduga. Jadi kalau orang tua memperhatikan seharusnya orang tua bisa melihat perubahan itu dan nada kita janganlah nada yang menghakimi, tapi nada yang menerima. Dan kalau kita tahu bahwa dia bergumul dengan penampilan tubuhnya berhati-hati jangan sampai keluar kata-kata yang lebih menekan dia. Yang paling klasik adalah soal makan Pak Gunawan, misalkan anak kita agak sedikit gemuk, anak kita misalkan wanita, saya kira benar kalau kita menjaga anak kita makannya lebih sehat dan sebagainya tapi jangan sampai keluar kata-kata yang makin menjatuhkan dia, "dasar kamu gembrotlah, dasar kamu rakuslah, kamu tidak sadar tubuh kamu sudah gemuk seperti itu" dan sebagainya, itu makin memukul si anak sebab dia sendiri bergumul dan mau lebih kurus tapi tidak begitu mudah, jadi lebih baik kita membangunnya, mendorongnya.
GS : Nah tahapan berikutnya apa Pak Paul, kalau yang tadi kita sudah dengar itu?
PG : Tahap kedua adalah usia sekitar 15-18 tahun Pak Gunawan, nah pada tahap ini pergumulan remaja biasanya berkaitan dengan penerimaan lingkungan teman-temannya terhadap dirinya. Nah pada masainilah orang tua sering kali berkelahi atau bertengkar dengan si anak karena si anak lebih mendengarkan penilaian teman-temannya, omongan teman-temannya, sehingga orang tua akhirnya sering kali harus bertengkar dengan dia.
Pada tahap ini anak-anak takut sekali dikucilkan Pak Gunawan, dia takut sekali menjadi orang yang dikeluarkan dari lingkungan pergaulan. Wah kalau dia datang ke sekolah hari lepas hari tapi tidak ada tempat berkumpulnya, wah sangat-sangat membuat dia sedih jadi memang ini adalah kebutuhan dia pada usia sekitar 15-18, dia butuh sekali diterima oleh teman-temannya.
GS : Nah apakah itu berkaitan dengan fase yang pertama tadi Pak Paul?
PG : Saya kira berkaitan, jadi kalau sebelumnya dia merasa nyaman dengan dirinya, bisa mempercayai apa adanya dirinya itu, bisa menerima kekurangannya OK-lah dia terlalu gemuk, OK-lah dia terlau kurus, OK-lah rambutnya tidak seperti temannya tapi dia bisa merima.
Nah penerimaannya itu akan menolong dia untuk bisa bergaul dengan teman-temannya, kalau dia sudah merasa tidak diterima karena penampilan tubuhnya tidak pas, nah dia mulai menjauhkan diri dari teman-teman berarti dia mulai tersingkirkan, jadi berkaitan.
GS : Nah sebenarnya seberapa penting lingkungan itu buat si remaja pada tahap yang kedua ini Pak?
PG : Wah....itu sangat penting Pak Gunawan, sangat penting sekali sebab boleh dikata pada usia ini remaja hanya eksis kalau dia mendapatkan penerimaan dan pengakuan dari teman-temannya. Jadi kaau kita menuntut remaja untuk berbeda dari teman-teman itu sulit, sulit sekali sebab dia harus datang hari lepas hari ke sekolah atau ke tempat dia berkumpul dan tidak menerima uluran tangan, tidak ada yang menyambutnya, tidak ada yang mengajak dia bicara, wah itu sangat-sangat menyulitkan.
Beruntunglah kalau misalkan ada yang seperti dia beberapa orang itu akan sangat menolong. Tapi kalau kebetulan semuanya begitu berbeda dari dirinya wah itu akan menyulitkan dia.
GS : Itu berarti rasa kesetiakawanannya lebih tinggi dari rasa persaudaraan secara daging ya Pak?
PG : Betul, jadi pada tahap ini orang tua seolah-olah merasa mereka kok tidak lagi berharga di mata si anak, tidak lagi dipandang oleh si anak, tidak lagi dihormati oleh si anak. Ya dari satu ssi memang itulah yang terjadi, tapi di sisi lain kita mesti mengerti bahwa si anak sebetulnya bergumul dihimpit oleh dua kekuatan ini, orang tua atau temannya.
Misalkan dia sudah berjanji untuk pergi dengan teman-temannya terus orang tua tidak memberikan ijin misalkan dia berjanji naik motor mau jalan-jalan, kalau di Jakarta misalnya mau ke Puncak, kalau kita di Jawa Timur misalkan mau ke Batu atau ke Tretes, Trawas. Nah kita berkata tidak boleh naik motor dengan teman-temanmu ke tempat yang jauh, itu tidak boleh, dia sudah terlanjur berjanji dengan teman-temannya. Wah....betapa sulitnya bagi dia untuk memberitahukan teman-temannya "maaf ya saya tidak bisa pergi denganmu karena.....(ini alasannya yang sulit dikemukakan) yaitu orang tua saya tidak mengijinkan." Sebab teman-temannya akan langsung tertawa mengejek dan berkata: "Kamu seperti anak kecil, kamu pergi begitu saja tidak boleh," nah yang langsung dipikirkan apa? Lain kali kalau dia mau pergi lagi dengan teman-temannya ke Tretes atau kalau di Jakarta ke Puncak, dia tidak akan memberitahukan orang tuanya. Lebih baik dia pergi diam-diam, pagi-pagi dia pulang terus berbohong kepada orang tuanya dan berkata baru saja dari rumah temannya. Jadi sekali lagi perilaku-perilaku seperti berbohong, itu akan muncul pada tahap ini pada usia sekitar 15-18, tapi saya kira saya perlu ingatkan orang tua bahwa kita tidak menoleransi kebohongan si anak, tapi kita perlu mengerti kenapa dia berbohong. Sebab barangkali memang dia terjepit di antara 2 nilai, 2 tuntutan dan dia itu harus hidup di tengah teman-temannya juga, itu dilemanya.
GS : Ya tentu sebagai orang tua yang kita permasalahkan itu adalah kalau lingkungannya itu bagus, baik, yang bisa menunjang dia, tapi kalau justru dia berada di lingkungan yang kurang baik Pak Paul?
PG : Betul, jadi adakalanya dilema ini memang susah untuk dipecahkan tapi saya mau memberikan satu masukan di sini yaitu hati-hatilah dengan 2 ekstrim atau 2 reaksi yang ekstrim. Pada satu sisiremaja akhirnya ada yang menyembunyikan nilai pribadinya dan terjun masuk ke nilai-nilai teman-temannya, pokoknya apa yang dilakukan teman-teman dia ia-kan dan lakukan.
Nah apa yang dia yakini, apa yang dia percaya dia sembunyikan, ia tidak berani mengutarakannya karena takut ditolak teman-temannya, itu tidak sehat. Sebaliknya yang juga tidak sehat adalah, anak-anak remaja yang pokoknya hanya mempedulikan nilai-nilainya sendiri, dia pokoknya bela apapun yang dikatakan oleh orang tuanya dan menghindarkan diri untuk bertemu dengan nilai-nilai yang berbeda dari nilai-nilai yang dianutnya, saya kira ini juga tidak sehat. Sebab yang lebih ideal adalah anak-anak remaja memang harus mulai menghadapi dunia yang berbeda dari yang sudah dia kenal. Jadi untuk bertumbuh dengan sehat si anak remaja harus hidup di tengah-tengah tarik-menarik ini, tarik-menarik antara nilai-nilai orang tua dan nilai teman-teman atau lingkungannya yang mungkin berbeda dari nilai-nilai keluarganya. Sebaiknya dia hidup di antara dua tarik-menarik ini dan belajar untuk menyesuaikan, ada yang dia harus sesuaikan, ada yang harus dia singkirkan, ada yang dia harus tolak dan sebagainya, tapi ini adalah proses yang sebetulnya sangat bermanfaat.
GS : Tetapi juga sebagai orang tua saya rasa perlu mengetahui lingkungan anaknya, jadi tidak cepat-cepat menentukan, memvonis mengatakan lingkungan itu jahat atau jelek tanpa dia tahu sebenarnya apa. Sering kali anak remaja itu justru membela teman-temannya di hadapan orang tuanya ini.
PG : Betul, jadi waktu kita mau mengatakan lingkunganmu jahat atau tidak benar, kita seyogyanya bisa menunjukkan satu hal atau 2 hal yang spesifik tentang temannya yang memang tidak baik itu. Dripada kita mengkategorikan secara umum temanmu jahat, nah dia yang merasakan temannya baik, dia yang hidup bersama temannya itu dan dia tahu temannya membela dia.
Bagaimanakah dia bisa memanggil orang yang membelanya jahat, tidak bisa jadi kita harus sangat spesifik waktu kita berkata ini bukanlah teman yang baik, dalam hal apakah tidak baiknya. Tapi intinya adalah orang tua mesti memantau, melihat lingkungannya, kalau kita tahu si anak akan terjerumus karena tidak bisa sama sekali untuk berdiri tegak pada prinsipnya, nah di situ kita memang harus memikirkan perlukah kita menyelamatkan dia dan melindungi dia. Saya kira akan ada titik-titik di mana orang tua harus langsung intervensi dan berkata tidak boleh, engkau tidak boleh ke sana, engkau tidak boleh bertemu dengan dia lagi karena itu sudah sangat-sangat membahayakan si anak. Tapi kalau masih belum silakan anak itu bergumul, tapi kita dari belakang atau dari sampingnya memberikan dia arahan dan dorongan. Sebab dengan cara itulah si anak akan bertumbuh dengan lebih kuat, dengan lebih sehat, bertumbuh dari dalam bukan hanya sekadar mengikuti perintah atau permintaan orang tuanya.
GS : Ya mungkin pada usia-usia ini para remaja baik putra maupun putri sering kali membentuk kelompok-kelompok Pak Paul, sehingga bisa juga terjadi yang negatif yaitu biasanya pada usia-usia seperti ini tawuran antar kelompok.
PG : Betul, sebab sekali lagi lingkungan yang penting sekali buat dia dan akan dia bela adalah kelompoknya atau lingkungannya itu. Nah sekali lagi kita mau fokuskan pada perilaku kompensasi PakGunawan, sebab anak yang tidak diterima bagaimanapun akan menderita, dan dia cenderung akan melakukan kompensasi yang kurang positif, kurang sehat maka ada anak-anak yang misalkan tidak diterima, salah satu reaksinya adalah mengucilkan diri, mengurung diri, tidak berani keluar, tidak berani ke sekolah, tidak mau ke sekolah, itu salah satu reaksi yang buruk.
Itu juga hal yang tidak sehat atau reaksi yang kebalikannya karena tidak diterima dia akan membuat ulah supaya bisa diterima, supaya bisa diperhatikan oleh temannya atau oleh gurunya. Jadi sebagai orang tua kita mesti waspada dengan perilaku kompensasi ini. Mungkin anak kita tidak diterima dengan baik atau dia tidak tahu bagaimana caranya bergaul dan membangun relasi, sehingga dia tidak bisa masuk ke dalam lingkungan teman-temannya. Kalau kita sadari itu mungkin kita mengambil inisiatif membawa dia ke rumah temannya, mengajak temannya ke rumah kita atau apa, sehingga kita memberikan pertolongan sebelum masalah akhirnya terlanjur menjadi buruk.
GS : Ya kadang-kadang tingkat sosial itu membuat anak itu sukar diterima di lingkungannya Pak Paul?
PG : Bisa, karena misalkan tingkat sosial di bawah susah untuk menanjak dan diterima oleh tingkat sosial yang di atasnya dan sebaliknya. Jadi kadang-kadang memang dalam dunia remaja mereka mempnyai aturannya tersendiri, aturan yang menerima atau mengeluarkan orang dari kelompok itu.
GS : Nah, Pak Paul 'kan masih ada satu tahapan lagi karena tadi Pak Paul katakan 3, tetapi kita baru membicarakan 2 dan ini rupanya waktunya tidak mencukupi kalau kita membicarakan yang ketiga. Cuma mungkin Pak Paul bisa menyebutkan saja nanti kita akan membahasnya pada kesempatan yang akan datang.
PG : Yang nanti kita akan bahas adalah remaja pada usia sekitar 19-21 tahun, kita akan melihat apa saja yang menjadi pergumulannya dan kita akan membahas beberapa saran-saran praktis yang bisa iterapkan untuk mengawasi dan menolong remaja melewati tahapan-tahapan ini.
GS : Ya memang ini suatu pembicaraan yang perlu pembahasan yang panjang lebar, jadi kami sangat mengharapkan para pendengar yang sudah mengikuti bagian yang pertama dari gejolak pergaulan remaja ini akan bisa mengikuti pada kesempatan yang akan datang. Namun Pak Paul, sebelum kita mengakhiri perbincangan kita mungkin ada ayat atau bagian dari Alkitab yang Pak Paul akan bacakan yang bisa membantu kita untuk merangkum pembicaraan ini.
PG : Saya akan bacakan dari Mazmur 139:16, "MataMu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitabMu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satupun dari paanya."
Firman Tuhan menegaskan, bahwa kita dibentuk oleh Tuhan, dibuat oleh Tuhan, mata Tuhan melihat kita selagi kita bukan saja anak, waktu kita bakal anak belum menjadi anak. Jadi dalam firman Tuhan, Tuhan menegaskan Dialah yang menciptakan kita jadi Tuhan tidak membuat kesalahan. Mungkin tubuh kita tidak pas, mungkin mata kita, hidung kita, telinga kita tidak pas, mungkin juga kita tidak terlalu pas diterima teman-teman, tapi ingat bahwa Tuhan tidak membuat kesalahan.
GS : Ya, katakan tidak ada seorang sahabatpun, Tuhan Yesus sendiri berkata Dia mau menjadi sahabat bagi kita Pak Paul. Jadi firman Tuhan ini saya percaya akan menguatkan kita semua, dan kalaupun ada anak remaja yang mendengarkan perbincangan ini saya rasa mereka pun akan termotivasi untuk bisa menerima apa yang Tuhan sudah berikan bagi dirinya. Jadi terima kasih sekali Pak Paul untuk perbincangan kita saat ini. Dan saudara-saudara pendengar, demikian tadi kami telah menyampaikan sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang gejolak pertumbuhan remaja bagian yang pertama, dan kami mengharapkan Anda sekalian bisa mengikuti bagian yang selanjutnya yaitu bagian yang kedua pada kesempatan yang akan datang. Namun bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.