Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), bersama Ibu Esther Tjahja, S. Psi. dan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau berdua adalah pakar konseling keluarga dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang, akan menemani Anda dalam sebuah perbincangan yang menarik dan bermanfaat. Perbincangan kali ini kami beri judul pernikahan yang tidak sehat, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
(1) GS : Di dalam realita kehidupan sehari-hari kita melihat ada pernikahan yang nampaknya serasi, manis dan sebagainya tapi ada juga yang sebaliknya. Banyak orang kesulitan untuk membedakan sampai sejauh mana pernikahan itu disebut sehat atau tidak sehat, mungkin Pak Paul bisa mengulasnya.
PG : Pernikahan itu bukanlah suatu keadaan yang sempurna dan permanen, dalam pengertian bahwa sekali atau kita mencapai suatu tahap tertentu maka pernikahan kita akan terus-menerus seperti itu.Suatu pernikahan merupakan suatu relasi dan relasi itu adalah sesuatu yang perlu dibina terus-menerus.
Maka adakalanya setelah kita melewati suatu jangka tertentu kalau kita gagal membinanya dengan baik, mulailah kita memetik buah-buah negatifnya. Kalau kita tidak menjaga tubuh kita dengan baik, memberi makanan yang bergizi dan merawatnya maka setelah melewati suatu jangka tertentu mulailah tubuh kita itu memunculkan tanda-tanda sakit. Nah pernikahan juga seperti itu, Pak Gunawan.
GS : Pak Paul menganalogikan pernikahan dengan tubuh manusia tadi, kalau tubuh kita mau sakit biasanya terasa sejak awal misalnya kelihatan tanda-tanda lesu, tidak suka makan. Apakah itu bisa ditengarai secara dini, Pak Paul?
(2) PG : Bisa Pak Gunawan, saya menyebutnya pernikahan yang depresif. Jadi memang bisa banyak bentuk, kita bisa berkata bahwa pernikahan ini tidak lagi sehat karena si suami mempunyai wanita lan dan sebagainya, tapi bisa juga kita ini menggolongkan penyakitnya sebagai penyakit depresi.
Kira-kira apa tanda-tanda suatu pernikahan yang telah terjangkiti penyakit depresi? Tadi Pak Gunawan sudah menyinggung sedikit yaitu yang pertama menurunnya gairah atau minat. Jadi di sini yang terlihat adalah suami kekurangan gairah terhadap istri, istri kehilangan gairah terhadap suami atau dalam kasus yang lebih serius orang tua juga mulai kehilangan gairah terhadap anak-anak. Nah kalau itu sudah berlangsung, biasanya akan ada juga kehilangan gairah terhadap minat atau hobby-hobby yang biasa dilakukan oleh si suami atau si istri atau bahkan si anak. Jadi dalam pernikahan yang depresif di mana pernikahan ini sendiri seolah-olah menjalani suatu keadaan depresif, salah satu tanda yang bisa kita lihat adalah kehilangan minat atau gairah di mana seolah-olah tidak ada lagi kegembiraan, keceriaan dalam pernikahan itu.
ET : Pak Paul, tapi mungkin kehilangan gairah ini yang jadi pertanyaan buat saya, apakah itu memang hanya terhadap pasangan atau di dalam diri sendiri juga maksudnya untuk bekerja atau hanya di rumah saja, tidak ada semangatnya?
PG : Sering kali gejala yang pertamanya memang di rumah, jadi misalkan kita melihat ada orang yang tidak begitu senang ke rumah atau diam di rumah karena dia lebih senang di luar. Begitu dia puang ke rumah, ia merasa rumah itu sepertinya tempat yang penuh dengan kesusahan, membuat dia rasanya tidak bersemangat, jadi lebih baik dia menghabiskan waktu sebanyak-banyaknya di luar rumah.
Jadi biasanya itu gejala yang pertama, dia masih bisa menikmati hal-hal yang di luar, tapi yang di dalam tidak bisa lagi dia nikmati. Namun tidak tertutup kemungkinan kalau memang dia itu sebetulnya tetap ingin membereskan masalah keluarganya namun tidak mampu, jadi lama-kelamaan sikapnya atau minatnya terhadap hal-hal yang di luar pun terpengaruh misalnya semangat kerjanya, minatnya terhadap hobby-hobbynya yang bisa dia lakukan di luar itu juga bisa terpengaruhi sehingga tidak lagi mau pergi dan sebagainya. Misalkan seorang istri yang biasa terlibat dalam kegiatan gerejawi, ikut paduan suara sekarang enggan dan dia berkata lebih baik saya di rumah saja, di rumah pun tidak bahagia, tapi dia tidak bisa lagi menikmati menyanyi, memuji Tuhan di gereja.
GS : Ada teman saya dulu sebelum menikah itu seorang yang periang. Artinya suka bergurau dan sebagainya dengan kami, tapi setelah sekian tahun dia menikah, tiba-tiba menjadi seorang pendiam, Pak Paul.
PG : Saya kira itu salah satu gejala yang lainnya Pak Gunawan, tanda dari pernikahan yang depresif di mana si suami atau si istri atau bahkan anak-anak lebih sering diselimuti oleh perasaan muung.
Jadi benar-benar mereka itu tidak lagi menampakkan keceriaan pribadinya yang dulu misalkan suka berguyon sekarang seringnya diam, seringnya merenung, menyendiri, pandangannya agak kosong. Jadi sungguh-sungguh pernikahan itu mempunyai dampak yang besar terhadap seseorang dan terutama suasana hatinya. Jadi itu adalah tanda yang lainnya dari suatu pernikahan yang telah terkena depresi.
ET : Seperti pribadi yang berbeda sama sekali jadinya ya, Pak Paul?
PG : Betul, Bu Esther jadi akhirnya diri yang dulu itu tidak lagi mereka miliki, adakalanya ini yang mereka ungkapkan tatkala mereka datang menemui seorang konselor mereka akan berkata: "Saa melihat diri saya sekarang sebagai seorang yang lain, saya kehilangan diri saya, sebelum menikah saya seorang yang ceria, suka bercanda, suka pergi, nah sekarang tidak ada lagi keinginan seperti itu", jadi perasaannya adalah perasaan yang murung.
Ya kadangkala akan ada masa senang, ada rasa sukacita namun itu hanyalah percikan, yang lebih sering adalah perasaan murung.
GS : Tapi kalau kami sebagai teman pernah menanyakan kepada teman yang tadi saya katakan itu, dia selalu berkata memang ada masalah, semua orang punya masalah, apa kamu sendiri punya masalah dia katakan begitu. Jadi dia tidak mau terbuka, Pak Paul.
PG : Salah satu reaksi orang setelah hidup dalam problem untuk waktu yang lama adalah menjadi apatis dalam pengertian tidak berdaya lagi. Sebab dia sudah mencoba cara, bukannya dia tidak mau mecoba.
Justru kalau kita memberikan saran atau masukan sedikit saja, dia defensif atau tersinggung karena seolah-olah dia dituduh, dia tidak mencoba cukup keras. Nah kenyataannya dalam keterbatasan mereka sepasang suami istri ini sebetulnya telah mencoba untuk memperbaiki rumah tangganya. Namun ternyata yang mereka harapkan tidak menjadi kenyataan, terus-menerus masalah itu muncul, yang mereka harapkan untuk berubah tidak berubah. Dalam keadaan seperti itu, biasanya orang merasa tidak berdaya dan waktu tidak berdaya perasaan yang muncul adalah perasaan apatis seperti tadi.
GS : Hal itu sepihak dari pihak yang merasa depresif itu atau kedua-duanya bisa merasa seperti itu, Pak Paul?
PG : Sudah tentu memang setiap kasus mempunyai keunikan dan tidak akan sama, bisa jadi dua-duanya. Nah ini dalam pengertian dua-dua memang sungguh-sungguh ingin membangun rumah tangga, tapi menalami masalah karena tidak bisa saling mengerti atau menyesuaikan diri.
Perbedaan-perbedaan itu tidak bisa terselesaikan sehingga menjadi duri dalam hubungan mereka. Kalau yang satu tidak lagi mau membangun rumah tangga ini karena dia sudah mempunyai orang lain atau dia memang masa bodoh, nah otomatis yang akan lebih terpengaruh adalah yang mau membereskan masalah rumah tangganya. Dia itu yang akan lebih merasakan pukulan-pukulan, dia yang akan merasa tertekan sehingga mungkin sekali sistem depresinya itu lebih nyata pada dirinya.
ET : Tapi tidak jarang saya melihat pasangan-pasangan yang mungkin seperti Pak Gunawan katakan tadi, masing-masing menganggap tidak ada masalah tapi yang terjadi mungkin seperti perang dingin d rumahnya, seperti sudah ya sudahlah, tidak ada apa-apa.
PG : Saya kira itu sering terjadi Bu Esther, jadi cukup banyak pernikahan sebetulnya tidak bahagia namun tidak terlalu menderita sehingga harus berpisah. Nah jadi ini pernikahan yang tergantungdi tengah-tengah atau yang mengapung-apung dikatakan tidak bahagia sekali ya tidak, dikatakan bahagia sudah pasti juga tidak.
Biasanya manusia itu beradaptasi karena tidak bisa lagi hidup dalam kesusahan, kejengkelan terus-menerus akhirnya yang mereka lakukan seolah-olah mematikan perasaan-perasaan tertentu. Ya sudah hal ini tidak bisa lagi saya harapkan, saya harus terima dia begini terus sampai mungkin waktu yang lama, ya sudah saya terima. Jadi dengan perkataan lain, seolah-olah dia minum pil pahit karena tidak ada pilihan lain. Nah kalau ditanya orang jawabannya biasa-biasa saja, semua orang juga punya masalah maka orang lainpun juga hanya bersimpati, tidak bisa menolong dia. Namun kita bisa melihat bahwa pernikahannya adalah pernikahan yang depresif, tidak ada lagi keceriaan.
GS : Ada yang untuk menutupi masalah yang demikian itu lalu dia mencari kesibukan-kesibukan di dalam hal lainnya atau kepada anaknya, Pak Paul.
PG : Salah satu cara orang untuk bisa tetap melangsungkan hidupnya, untuk bisa bertahan adalah berkompensasi. Jadi sering kali memang dalam keadaan seperti ini dia akan mencari hal-hal yang lai, objek-objek pemuasan yang lain.
Nah, biasanya dia akan menguburkan dirinya dalam pekerjaan sehingga waktu bersama istrinya atau suaminya menjadi lebih sedikit. Sehingga dia tidak perlu lagi merasakan sakit hatinya atau dilampiaskan kepada anak-anak. Anak-anak menjadi penghibur dirinya, nah ini salah satu penyebabnya, Pak Gunawan dan Ibu Esther, cukup sering pernikahan itu goyang, benar-benar goyang dan hampir runtuh setelah anak-anak dewasa, ini salah satu sebabnya. Sebetulnya yang menyebabkan mereka itu runtuh bukan karena anak-anak itu pergi meninggalkan mereka, tetapi yang menyebabkan mereka runtuh adalah keadaan pernikahan mereka yang sebetulnya tidak stabil. Namun tertutupi oleh kehadiran anak karena anak itu orang ketiga, jadi kita selalu bisa mengalihkan kemarahan atau kejengkelan atau ketidakpuasan kita pada anak. Nah setelah anak-anak tidak ada, berarti tidak ada lagi peralihan dan harus berhadapan langsung dengan kenyataan yang tidak mengenakkan itu. Biasanya disitulah mereka dipaksa untuk menyesuaikan diri. Kalau tidak berhasil menyesuaikan diri setelah anak-anak dewasa, maka akan parah sekali karena motivasi untuk bersatu pun sudah luntur, karena anak-anak sudah besar semua.
ET : Dan mungkin jalan keluar seperti perceraian itupun buat orang-orang seperti itu rasanya tetap alternatif terakhir. Jadi walaupun sudah goyah mereka masih mencoba alternatif yang lain walauun sebenarnya mereka tidak menemukan dalam situasi yang seperti itu, saya cuma membayangkan betapa letih dan menyakitkan harus bersama-sama dengan orang yang masa depannya mau dibawa ke mana itu mungkin.
PG : Betul, nah biasanya Bu Esther, pada saat seperti itu biasanya orang mencoba untuk tidak lagi merasakannya dengan kata lain mematikan perasaan. Sebab orang tidak bisa hidup dengan rasa saki untuk waktu yang berkelanjutan, untuk waktu yang terlalu lama dia tidak sanggup, sampai suatu titik dia harus berkata cukup, saya tidak akan lagi membiarkan diri saya disakiti seperti ini.
Biasanya apa dia akan berhenti berharap nah memang ini adalah salah satu ciri depresi, penyakit depresi yang kita kenal ditandai oleh hilangnya harapan akan masa depan. Benar, sebab dia tidak bisa lagi membayangkan adanya masa depan yang cerah atau yang baik, jadi terpaksa dia harus hilangkan semuanya. Namun berhubung tidak ada lagi masa depan, dia juga akan menjadi orang yang tidak bersemangat. Benar-benar hidup itu dilalui ibarat roda yang diputar saja.
GS : Apakah tidak mungkin seseorang itu menjadi kebal, Pak Paul?
PG : Saya kira ya, sampai titik tertentu dia akan kebal terhadap perasaan-perasaan tertentu. Misalnya rasa sedih dan susah membuat dia menangis, kadang-kadang kita mendengar ungkapan tidak ada agi air mata, nah saya kira itu maksudnya, tidak bisa lagi merasa sedih.
Bahkan marahpun susah, nah kalau kita pernah melihat orang yang depresi berat sekali, orang yang depresi berat sekali yang aneh adalah hampa perasaan. Benar-benar wajahnya itu datar dan tidak ada lagi perasaan apa-apa, marah ya tidak, sedih ya tidak, kecewa ya tidak. Kalau ditanya apa yang kamu rasakan tidak tahu, benar-benar tidak ada perasaan. Dan pernikahan yang depresif juga seperti itu, si suami atau si istri melalui hidup ini yang seperti itu tadi, tidak ada lagi perasaan, tidak ada semangat, sudah tentu tidak ada energi, merasa letih hari lepas hari dilalui seolah-olah seperti memikul beban yang berat sekali. Nah, biasanya akan muncul perilaku kompensasi, misalnya muncul masalah dengan anak-anak, ya anak-anak bertambah besar memberontak atau terlibat narkoba sehingga orang tua terpaksa mengalihkan problem mereka berdua sekarang pada problem anak-anak misalnya atau suaminya menderita gangguan apa, istrinya menderita gangguan apa, nah akan muncul kompensasi-kompensasi seperti itu.
(3) GS : Sebenarnya yang menyebabkan seseorang bisa depresif dalam hidup pernikahannya itu apa, Pak Paul?
PG : Ada banyak faktor, Pak Gunawan, tetapi saya akan hanya menyoroti perasaan yang menyimpulkan segala faktor tersebut. Yang pertama adalah rasa marah, jadi adakalanya kita ini marah namun tidk bisa mengekspresikan kemarahan itu.
Contoh kalau suami kita itu keras misalkan tidak bersedia mendengarkan keluh kesah kita, nah waktu kita berkeluh-kesah suami langsung marah, marah mengancam kita untuk tutup mulut. Nah apalagi kalau suami itu ringan tangan, kita tetap membuka mulut langsung dia menampar kita, setidak-tidaknya ini memberikan kita pelajaran lain kali jangan menampakkan kemarahan kita kepada dia.
ET : Jangan menyulut api maksudnya?
PG : Jangan menyulut api kalau tidak mau terbakar begitu. Nah, akhirnya apa yang terjadi terpaksa si istri ini menimbun perasaan marahnya. Apapun kekesalannya tidak boleh diungkapkan, atau kebaikannya pada si suami misalnya dia kesal sama istrinya karena dia minta ini minta itu, tolong perhatikan rumah, tolong perhatikan anak, hal-hal yang wajar yang bisa engkau lakukan, tolong engkau lakukan, jangan semua menunggu saya misalnya seperti itu.
Tapi tidak dipenuhi oleh si istri, hari demi hari persoalannya sama tidak berubah, bulan demi bulan, tahun demi tahun terus sama. Si suami akhirnya merasa benar-benar putus asa, apapun yang dia katakan tidak bisa membuahkan hasil, namun kalau dia marah misalnya si istri menangis, dua, tiga hari marah tidak berbicara dengan dia, nah dia yang sengsara. Atau yang lebih klasik, ini kadang-kadang juga terjadi misalkan si suami ini juga aktivis gereja yang melayani dengan sungguh-sungguh, dia mengetahui bahwa dia tidak seharusnya berbuat kasar pada istrinya. Jadi akhirnya dia merasa bersalah kalau dia marah pada si istri, bukankah saya seorang aktivis gereja, seharusnya saya lebih sabar jadi dia segera minta maaf. Tapi dia minta maaf cepat-cepat tidak menyelesaikan apa-apa karena perbuatan yang sama akan diulang lagi. Akhirnya apa yang terjadi perasaan marah itu seolah-olah terus menumpuk menjadi suatu batu yang menekan pada dirinya. Kita tahu salah satu penyebab depresi adalah kemarahan yang tidak terungkapkan. Kemarahan yang tidak terungkapkan itu seolah-olah menjadi energi dalam hati, dalam diri kita yang menekan kita. Akhirnya apa yang terjadi ya sudah kita marah tidak bisa, sedih tidak bisa, tidak lagi mengharapkan apa-apa.
GS : Tapi ada yang mengatakan katanya kemarahan kalau ditumpuk suatu saat dia akan meletus seperti gunung api.
PG : Biasanya begitu jadi ditumpuk-tumpuk akhirnya meledak. Nah tapi kalau misalkan meledak terus mendapatkan reaksi yang lebih buruk lagi, ya akhirnya dia belajar untuk sebisa-bisanya tidak meedak, sebisa-bisanya tetap dikontrol.
ET : Jadi sepertinya usaha untuk meredakan kemarahan itu justru sebenarnya sedang menumpuk kemarahan ya, jadi tampaknya reda tapi di dalamnya dia tumpuk lagi semakin banyak.
PG : Betul, semakin dia berusaha mengekang kemarahannya sebetulnya dia lagi menyumbangsihkan kemarahan ke dalam.
ET : Ke dalam gudang kemarahan itu?
PG : Betul, jadi mengisi lagi dengan amunisi kemarahan-kemarahan itu.
GS : Mungkin itu sebabnya firman Tuhan mengatakan jangan biarkan amarahmu sampai matahari terbenam.
PG : Tepat sekali, tepat sekali sebab Tuhan mengerti bahwa semua kemarahan yang disimpan untuk waktu yang lama benar-benar menjadi racun, menjadi suatu kepahitan. Dan kepahitan susah berubah, kmarahan masih bisa diredakan masih bisa dirubah, tapi kepahitan susah berubah atau susah untuk dinetralisir.
GS : Kalau penyebab yang lain, Pak Paul?
PG : Yang lainnya adalah perasaan tidak berdaya, tidak berdaya menghadapi keadaan yang menekan. Jadi biasanya sewaktu kita ingin melakukan sesuatu tidak ada responnya kita merasa tidak berdaya.Selain dari perasaan marah, yang kedua adalah perasaan tidak berdaya (powerless).
Nah, perasaan tidak berdaya ini merupakan perasaan yang benar-benar membuat kita frustrasi berat, apalagi kalau kita beranggapan tidak seharusnya kita begini, tidak seharusnya kita mengalami hal ini atau kita berkata seharusnya engkau mengerti begitu. Contohnya mudah, misalkan seorang istri melihat suaminya mampu memberikan perhatian kepada orang, tapi tidak memberikan perhatian pada dirinya. Nah hal itu akan membuat si istri luar biasa frustrasinya, dia meminta perhatian tapi tidak bisa menerimanya. Namun melihat si suami memberikan perhatian kepada orang lain, benar-benar membuat perasaannya tidak berdaya. Atau suami yang menginginkan istri lebih mencintainya, tapi si istrinya begitu dingin tidak bisa mencintainya, namun dia melihat istrinya itu bisa dekat dengan kakaknya, mengasihi anak luar biasa. Kadang-kadang dia berharap dialah anak itu, tapi kenapa istrinya tidak bisa memberikan kasih sayang seperti itu kepadanya. Dia minta-minta, dia berikan cara apa dan sebagainya tetap tidak ada perubahan, akhirnya tidak berdaya. Nah, dalam kasus-kasus yang lebih ekstrim dan lebih negatif misalnya melibatkan tindakan-tindakan yang lebih destruktif atau yang lebih merusakkan misalnya berjudi. Misalkan si suami yang berjudi si istri yang meminta, memohon untuk jangan berjudi lagi tapi suaminya tetap berjudi. Uang dihabiskan, disimpan, disembunyikan, diketahui oleh suaminya diambil lagi, barang dijual lagi, nah perasaan-perasaan yang akhirnya muncul adalah perasaan tidak berdaya. Nah perasaan tidak berdaya itu perasaan yang luar biasa menekannya dan akhirnya bisa membuat orang akhirnya putus asa, tidak lagi mengharapkan apa-apa dan mematikan perasaannya. Pada saat seperti ini pernikahan saya sebut mengalami proses depresi.
ET : Saya tertarik dengan yang tadi Pak Paul katakan, bisa dilakukan kepada orang lain tetapi tidak dilakukan kepada pasangannya. Mungkin itu rasanya fenomena yang cukup sering tampak pada kelurga-keluarga Kristen, di luar rumah rasanya menjadi seorang pribadi yang penuh perhatian, di gereja terlibat dalam pelayanan tetapi begitu di rumah tidak peduli dengan keadaan yang ada di rumah.
Pasti akan membuat si pasangan itu menjadi tidak berdaya melihat keadaan seperti itu.
PG : Sebab waktu dia tidak mendapatkan dan dia melihat orang lain mendapatkannya, maka akan mengganggu sekali. Kalau dia tidak mendapatkan, lalu orang lain pun tidak mendapat apa-apa dari pasanannya, sedikit banyak akan mengobati lukanya.
Waktu dia melihat orang mendapatkan dia tidak, itu benar-benar seperti luka yang diberi garam dan ditusuk-tusuk, makin perih.
ET : Makanya sering ada ungkapan saya lebih senang melihat suami istri di tengah orang banyak, jadi rasanya di tengah orang banyak begitu menyenangkan tapi begitu cuma berdua jadi menyebalkan. engan perkataan lain, menjadi pribadi yang berbeda karena langsung tidak ada apa-apanya di antara mereka itu.
PG : Betul, inilah contoh pernikahan yang depresif ya Ibu Esther. Saya kadang-kadang memberikan contoh yaitu saya melihat pasangan-pasangan yang pergi makan di restoran. Cukup menarik sekali kaau saya mengamati perilaku mereka, suami istri duduk berhadapan tapi tidak melihat satu sama lain dan tidak berbicara terhadap satu sama lain, mata mereka itu ke atas, ke samping tapi tidak ke depan.
Dan saya pernah melihat satu keluarga dengan anak-anak, anak-anaknya pun tidak bicara, anak-anaknya pun hanya melihat keliling-keliling ke atas, ke bawah tidak ada yang bicara dengan satu sama lain. Nah, ini tadi sudah Ibu Esther kemukakan, saya kira intinya adalah pernikahan itu sudah kehilangan energinya, benar-benar sudah mengalami depresi.
GS : Pak Paul, sebenarnya kalau melihat ciri-ciri seperti itu, kalau kita amati sekilas saja dari apa yang tadi kita bicarakan cukup banyak keluarga yang mungkin dinilai sehat tapi ternyata tidak sehat. Mungkin seperti kita merasa dirinya sehat, begitu dicek di laboratorium dan ke dokter ternyata ada banyak hal. Nah sebenarnya dalam hal ini bimbingan firman Tuhan apa yang Pak Paul mau sampaikan?
PG : Saya akan bacakan dari Matius 17:12, "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi dari seluruh hukm taurat dan kitab para nabi."
Firman Tuhan itu saya kira mengajarkan pertama-tama kita harus menyadari bahwa kita harus mulai perbuatan yang baik terlebih dahulu, sebelum pasangan kita melakukannya kepada kita. Jadi kalau kita mengharapkan dia bisa mengasihi kita, kita mengasihi dia, kalau kita mengharapkan dia bisa mengerti perasaan kita, kita mencoba mengerti perasaannya. Jadi Tuhan memberikan tanggung jawab pertama kepada kita untuk melakukan yang kita inginkan orang perbuat kepada kita. Yang kedua adalah saya kira dari firman Tuhan ini kita bisa berkata silakan mengharapkan, boleh mengharapkan suami kita atau istri kita berbuat hal-hal yang kita inginkan, tapi syaratnya adalah kita harus berbuat hal yang sama. Nah ini yang kita tahu hal yang normal, yang wajib, tapi kita tidak selalu melakukannya. Berapa banyak di antara kita yang meminta pasangan kita untuk sabar, tapi kita mudah marah, berapa banyak kita meminta pasangan kita itu untuk mengertilah saya lagi kesal, jangan banyak bicara, tapi kita tidak mengerti dia seperti yang kita harapkan untuk mengerti kita. Jadi firman Tuhan dengan jelas berkata boleh berharap asal berbuat hal yang sama. Dan yang terakhir adalah firman Tuhan di sini mendorong kita untuk langsung berbuat, bukan hanya berkata-kata tapi berbuat yang engkau harapkan orang berbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepadanya. Nah Pak Gunawan dan Ibu Esther, saya panggil ini hukum relasi. Setiap pernikahan harus didirikan di atas hukum relasi seperti yang telah Tuhan ajarkan. Kalau saja setiap pasangan melakukan hal ini, saya percaya bahwa akan banyak pernikahan tidak harus lagi melewati penyakit depresi dalam pernikahannya.
GS : Saya percaya ini suatu hukum yang sangat penting, Pak Paul, di mana kita temukan di Perjanjian Lama lalu dikutip kembali di Perjanjian Baru. Jadi itu menjadi dasar di dalam kita membangun relasi khususnya dalam hubungan suami istri. Kita baru berbincang-bincang tentang pernikahan yang tidak sehat, tentunya pada kesempatan yang akan datang kita akan membicarakan yang sehat yang bagaimana ya Pak Paul, supaya tidak melihat yang tidak sehat saja. Jadi kita sangat mengharapkan para pendengar kita bisa mengikuti program ini untuk kesempatan yang akan datang. Nah saudara-saudara pendengar, kami telah persembahkan sebuah perbincangan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang pernikahan yang tidak sehat. Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.
Comments
maria
Jum, 11/11/2011 - 5:03pm
Link permanen
pernikahan yang tidak sehat
TELAGA
Jum, 11/11/2011 - 5:49pm
Link permanen
Ibu Maria, sebelum kami