Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan melanjutkan perbincangan kami tentang membentuk a boy menjadi a man yang kami tayangkan beberapa waktu yang lalu. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lalu kita sudah membicarakan tentang bagaimana membentuk a boy menjadi a man, tetapi mungkin ada sebagian dari para pendengar kita yang setia pada acara ini justru kurang mengikuti atau belum mengikuti yang lalu, mungkin Pak Paul bisa menjelaskan secara singkat apa yang kita perbincangkan waktu yang lalu itu?
PG : Pada dasarnya seorang anak laki-laki perlu mendapatkan didikan, arahan dari ayahnya sebab yang telah diterima dari si ayah itulah yang akan membentuk dia menjadi seorang pria yang diharpkan.
Kalau tidak mendapatkan dari ayahnya, dia akan mendapatkannya dari pihak-pihak luar, baik itu teman maupun tokoh-tokoh di televisi. Bagaimana caranya ayah mentransfer atau memindahkan kualitas yang diinginkan masuk ke dalam anaknya, tidak ada jalan lain selain daripada memberikan waktu terlibat hadir dalam kehidupan si anak, sering bermain, bergaul, berkomunikasi dengan si anak. Dan secara terencana juga mulai mengajarkan beberapa hal yang memang penting. Nah terakhir kali kita telah membahas sekurang-kurangnya 2 hal yang perlu ayah itu secara terencana ajarkan kepada anaknya. Yang pertama adalah dalam hal pengambilan keputusan, seorang pria diharapkan menjadi seorang pria yang berinisiatif bukan pasif, ini aspek yang perlu ayah berikan atau ajarkan pada anak laki-lakinya. Dan yang kedua adalah seorang pria, diharapkan dalam melaksanakan tugasnya dia bersifat sigap bukan malas-malasan, lamban. Itu merupakan sifat yang perlu ditanamkan oleh seorang ayah kepada anaknya. Kita tekankan juga pada kesempatan yang lalu, jangan sampai kita mengajarkan hal-hal ini dalam hal negatif, yaitu dalam bentuk kemarahan, mencela si anak. Sebab sifat negatif bukannya membangun si anak untuk menjadi seperti yang kita harapkan, seringkali justru menjadi bumerang, menjadi kebalikan dari yang kita harapkan. Karena dia itu bereaksi terhadap kemarahan-kemarahan atau celaan-celaan kita, sehingga yang kita ingin sampaikan tidak lagi diserapnya.
(1) GS : Nah menanggapi tentang tujuan konkret Pak Paul, yang kita sudah bicarakan pada kesempatan yang lalu, pengambilan keputusan dan melaksanakan tugas itu anak juga perlu dipersiapkan bagaimana anak bersosialisasi. Yang bukan hanya berhubungan dengan para pria saja atau laki-laki saja tapi juga ada yang wanita, nah apa yang kita ajarkan kepada anak kita?
PG : Seorang ayah sepatutnya mengajarkan kepada anak laki-lakinya untuk melindungi wanita, jadi ajarkan anak laki-laki untuk mempunyai sikap atau persepsi yang tepat terhadap wanita, yaitu mlindunginya bukan memanfaatkannya.
Adakalanya anak laki-laki terjebak oleh pengaruh-pengaruh luar misalkan di acara-acara tontonan atau apa sehingga melihat bahwa perempuan itu dimanfaatkan dan seringkali itu yang kita bisa saksikan. Misalkan dalam film-film di mana ada seorang penjahat duduk dikelilingi oleh para wanita cantik yang mengelus-elusnya, itu memberikan kesan kepada si anak bahwa pria seharusnyalah bersikap seperti itu. Seperti jagoan di mana wanita itu tunduk dan menyembah-nyembahnya dan hanya untuk dimanfaatkan, untuk kesenangan, itu sikap yang salah, nilai hidup yang keliru. Seorang ayah perlu untuk mengajarkan bahwa tugasnyalah melindungi wanita dari serangan orang, ancaman orang, eksploitasi orang, dan dari pemanfaatan orang lain serta terutama jangan sampai dia menjadi seorang pria yang memanfaatkan wanita. Yang lainnya juga tentang wanita, adakalanya pria menyerap pandangan atau nilai-nilai hidup yang mengajarkannya untuk memang bukan mengeksploitasi atau memanfaatkan tapi meremehkan wanita, melecehkan bahwa wanita itu seolah-olah tolol, tidak bisa apa-apa, terlalu emosional, tidak mandiri, nah itu juga persepsi yang kita harus juga tekankan pada si anak bahwa kau sebagai pria tidak boleh meremehkan, melecehkan atau menghina wanita, kau harus melindunginya. Itu yang Tuhan minta kepada kita di I Petrus bahwa jangan sampai doa kita terhalang kalau kita ini tidak memperlakukan istri kita dengan benar.
GS : Pak Paul, di dalam sikap seperti itu terhadap wanita biasanya anak akan melakukan hal itu, melindungi temannya wanita di sekolah, di pergaulan, atau di gereja. Tapi anehnya atau uniknya saya katakan, terhadap adiknya sendiri yang perempuan misalnya dia enggan melakukan hal itu, apa yang menyebabkannya, Pak Paul?
PG : Saya kira anak-anak itu seperti kita ya, kalau dengan orang luar kita tidak bisa melihat dalam-dalamnya orang, jadi kita cenderung lebih positif dengan orang lain. Kalau dengan orang yag serumah dengan kita, kita melihat begitu banyak tentang orang tersebut sehingga sukar untuk benar-benar mempunyai citra yang positif terhadap orang yang serumah dengan kita.
Jadi anak juga begitu dengan orang luar dia melihatnya lebih baik daripada adiknya di rumah, karena adiknya itu mengganggu dia, membuat dia marah. Orang luar mungkin tidak seperti itu terhadap dia. Yang penting juga adalah anak seperti kita, ingin disukai oleh orang, sehingga dia cenderung melakukan hal-hal yang diharapkan oleh orang lain di luar, sebab dia membutuhkan reaksi yang positif dari orang terhadap dirinya. Sedangkan kepada adiknya dia tidak perlu bersikap terlalu baik, karena dia tidak membutuhkan penerimaan adiknya atau disukai oleh adiknya, sehingga sifat dasarnya lebih mudah ke luar. Yang kita bisa lakukan adalah kita mulai menumbuhkan rasa belas kasihan kepadanya, misalnya anak laki-laki kita dalam pertengkaran dengan si adik atau menghukum dia karena memukul kakak atau adik wanitanya. Tapi kita mengajak dia merefleksikan tindakannya bahwa adiknya atau kakaknya yang wanita itu sakit akibat pukulannya dan dia adalah seorang pria yang mempunyai tenaga yang jauh lebih besar daripada adik wanitanya itu. Dan pukulan yang menyakitkan itu akan membuat orang sedih dan juga kesakitan, nah anak laki-laki perlu menyadari hal itu. Waktu dia menyadari dampak perilakunya itu, pukulannya pada adiknya bahwa itu menyakitkan dan membuat adiknya menangis, belas kasihan yang mulai muncul akan dapat bertahan, menahan dia untuk tidak memukul adiknya lagi pada kesempatan yang lain, karena dia sadar itu akan sangat menyusahkan adiknya.
GS : Karena kelihatannya tidak pas, Pak Paul, orang lain dia lindungi, dia bantu tapi keluarga sendiri tidak. Apakah hal itu akan malah merenggangkan hubungan antara kakak adik itu, Pak Paul?
PG : Saya kira ya dan tidak. Ya dalam pengertian adiknya mungkin marah si kakak membela orang, tidak membelanya, tapi saya kira itu dinamika kehidupan bersaudara yang nanti akan bisa dihilankan atau hilang dengan sendirinya.
Sehingga hal-hal yang positif yang lebih banyak akan mendominasi hubungan mereka sebagai kakak adik.
(2) GS : Sekarang bagaimana halnya kalau anak laki-laki ini berhubungan dengan pria lain begitu?
PG : Kita sebagai ayah perlu mengajarkan anak laki kita bahwa dia setara dengan pria lain. Adakalanya anak laki-laki itu merasa dia baik. Kalau merasa dirinya lebih hebat, dia itu superior dri teman prianya atau kalau anak minder dia merasa dia kecil, teman-teman prianya yang lain lebih besar daripadanya.
Kita perlu mengajar anak laki kita untuk setara, bersikap sama bahwa dia tidak lebih dan dia tidak kurang dari orang lain. Dua-duanya bisa salah, dua-duanya bisa menjerumuskan anak kita ke dalam masalah yang lebih besar. Anak laki-laki yang menganggap dirinya hebat bisa merasa paling kuat dan sebagainya, itu akan mempunyai masalah dengan teman-temannya. Jadi kita perlu tekankan kalau kita mulai melihat sifat tersebut pada anak kita, bahwa itu bukan sikap yang baik, kita harus menghormati orang lain, bahwa mereka itu bukanlah orang yang harus kita lecehkan, misalnya pria ini tidak bisa ini, tidak bisa itu. Nah sebaliknya dia merasa dia tidak bisa apa-apa, teman-temannya lebih hebat daripadanya. Kita harus katakan tidak ada ini dalam dirimu, tidak ada itu dari dirimu, sehingga dia mulai membangun percaya diri dia bisa sesuatu. Waktu dia mengetahui dia bisa sesuatu, mulailah menempatkan dirinya setara dengan orang lain. Jadi kita sebagai ayah perlu memunculkan hal yang spesifik tersebut, jangan hanya berkata wah... engkau punya kelebihan, anak kita akan bertanya: "apa kelebihannya?" Ya tidak tahu pokoknya ada kelebihan, setiap orang itu ada kelebihannya nah itu tidak bisa, kita harus tunjukkan sesuatu yang memang dia lakukan dan lumayan baik, sehingga itu menjadi bekal dia menempatkan diri sejajar dengan pria-pria lainnya.
GS : Tapi juga ada kemungkinan dia merasa lebih tinggi, tadi yang Pak Paul utarakan, dia merasa rendah diri dan sebagainya. Ada yang terlalu yakin dengan dirinya, kalau Pak Paul katakan harus setara bukankah itu pun harus diredam ?
PG : Betul Pak Gunawan, jadi sebagaimana saya singgung tadi adakalanya anak justru menempatkan dirinya berlebihan di atas anak-anak lainnya, terutama anak-anak pria lainnya. Dan mungkin sekai dia mempunyai kelebihan tersebut misalnya wajahnya tampan sehingga dari kecil guru-guru selalu memuji ketampanannya atau orangnya pandai sehingga dari kecil dia menerima pujian dari kecemerlangan pikirannya.
Nah kita harus lebih tekankan bahwa wajahmu, kepandaianmu itu anugerah Tuhan. Entah mengapa Tuhan memilih memberikannya kepadamu bukan kepada anak lain, tapi engkau tidak pernah mendapatkannya karena engkau itu bekerja keras, tidak. Wajahmu memang sudah Tuhan berikan seperti itu, kepandaianmu memang Tuhan sudah berikan seperti itu, itu bukan karena pada waktu dalam kandunganku engkau sudah belajar melebihi anak-anak lain. Jadi kita terus tekankan hal seperti itu dan kalau dia bersifat atau memunculkan sifat sombong, melecehkan pria lain kita tegur dia. Jadi di sini orang tua terutama ayah harus bersikap lebih proaktif, kita marahi, kita tegur tidak boleh kamu melecehkan anak lain. Apalagi misalnya anak yang lemah yang memang tidak bisa apa-apa atau anak yang kurang berada. Nah kita harus tekankan kau jangan melecehkan mereka. Kau harus menghormati mereka, itu hal-hal yang seorang ayah bisa lakukan untuk anak prianya.
GS : Ada juga ini Pak Paul, anak-anak seusia mereka itu seringkali mencoba-coba bereksperimen. Apa dukungan orang tua dalam hal itu atau apa dukungan orang tua khususnya ayah terhadap anak laki-lakinya?
PG : Saya kira keberanian mengambil resiko adalah sifat pria yang baik dan dihormati, justru sifat pria yang takut mengambil resiko itu menjadi sesuatu yang tidak dihargai oleh orang lain. Jdi anak-anak pria perlu mendapatkan dorongan dari ayahnya untuk mengambil resiko meskipun dia itu bisa keliru, bisa dirugikan tapi kita bisa mendorong dia untuk mencoba.
Otomatis mencoba dalam hal yang benar, bukan mencoba memakai obat dan sebagainya. Kadangkala seperti yang kita telah bahas pada kesempatan yang lalu, anak-anak takut mengambil resiko karena takut gagal atau yang kedua seperti yang kita bahas takut disalahkan. Nah, ketakutan gagal dan ketakutan disalahkan adalah hal yang wajar dan tidak apa-apa, tapi kalau berlebihan akan melumpuhkan si anak. Jadi sekali lagi sebagai ayah kita harus berhati-hati jangan terlalu cepat mengevaluasi, mengkritik, mencela, menjatuhkan anak kita, waktu dia mengambil resiko melakukan sesuatu. Jadi biarkan dia mengambil resiko itu, misalnya orang Jakarta ke dunia fantasi melihat roller coaster, kita di situ merasa takut untuk naik, anak kita berkata Pa... saya ingin coba, biarkan anak kita mencobanya kalau memang usianya memadai. Jangan kita tergesa-gesa berkata, jangan nanti kamu jatuh atau apa, jadi kita ini mentransfer ketakutan kita padanya sehingga dia takut mengambil resiko. Biarkan dia mencoba kalau dia berkata mau mencoba, silakan tidak apa-apa. Sebagai contoh yang lain adalah kami, kita-kita yang tinggal di Malang mungkin lebih beruntung daripada yang tinggal di kota besar. Anak saya kadang-kadang berkata bolehkah saya pergi ke sini, boleh tidak saya pergi ke sana, mula-mula terus terang saya agak takut, nah yang saya lakukan adalah saya meminta dia pergi dengan temannya yang sudah tahu bagaimana menggunakan angkutan umum. Nah dia pergi sekali dia sudah mengetahuinya, lain kali saya akan ijinkan dia, tapi kadang-kadang dia berkata boleh tidak saya naik sepeda ke sana, agak takut dalam hati saya tapi saya kira-kira tahu dia akan bisa, saya biarkan. Saya berkata silakan, nah hal-hal seperti itu mendorong si anak untuk mengambil resiko mengunjungi tempat yang dia belum pernah kunjungi, berjalan lebih jauh daripada biasanya, naik kendaraan umum yang dia belum pernah naiki sebelumnya, hal-hal seperti itu menjadi modal baginya untuk menumbuhkan sikap yang berani mengambil resiko.
GS : Tetapi sebagai orang tua biasanya kita memberitahukan resiko-resiko apa, karena kita sudah tahu terlebih dahulu, misalnya tadi bawa sepeda. Sudah sejak awal kita mengingatkan supaya sepedanya dikunci, supaya jalan di sebelah kiri, dll. Pak Paul, apakah hal itu tidak membuat anak lalu merasa dirinya digurui oleh kita?
PG : Kalau kita lakukan pada usia yang kecil seharusnya tidak, anak-anak cenderung merasa lebih sering digurui pada masa usia remaja. Jadi biarkan anak-anak yang masih kecil menerima instruki kita.
Contoh tentang naik sepeda, saya mengajak anak saya naik sepeda beberapa tahun yang lalu, nah saya tidak membiarkan dia naik sepeda sendirian di jalanan, jadi mula-mula saya naik sepeda di depan dia, dia di belakang saya dan kalau ada mobil atau apa saya beritahu dia, di perempatan saya minta dia berhenti. Jadi saya ajak dia, saya ajarkan dulu selama berkali-kali baru saya merasa aman dan saya biarkan dia pergi sendiri. Jadi orang tua juga perlu untuk menimbang-nimbang berapa besar resiko yang bisa dihadapi oleh si anak, jangan sampai juga kita menghalangi si anak.
(3) GS : Biasanya melalui pengalaman-pengalaman itu emosi anak itu bertumbuh Pak Paul, ya senang, susah, marah dan sebagainya. Bagaimana kita mengarahkan supaya nanti dia bisa menjadi pria dewasa yang bisa mengontrol emosinya?
PG : Saya kira salah satu kualitas pria yang dihargai oleh lingkungan adalah stabil, kestabilan emosi itu adalah suatu ciri pria yang baik. Pria yang emosinya turun naik itu cenderung mendaptkan kesukaran dan kurang mendapatkan penghargaan dari lingkungannya.
Jadi kita sebagai ayah, kita perlu mengajarkan kepada anak-anak untuk mempunyai emosi, jangan sampai tidak punya emosi, jadi silakan beremosi, silakan marah, silahkan kecewa, itu jangan dipupus tapi kita ajarkan dia untuk menyatakan emosi tersebut dengan benar. Contoh bukan saja kemarahan yang diluap-luapkan, tapi adakalanya kemarahan yang disimpan, dipendam sehingga menjadi seperti bom waktu. Adakalanya kita lihat pada diri anak kita, dia marah dia tidak suka sesuatu tapi dia simpan wajahnya seperti batu, tidak mau diajak bicara. Nah kita bisa ajak dia bicara, kita bisa ajak dia berkomunikasi. Kita tegur dia, kita katakan sikap seperti ini tidak baik kalau engkau marah, engkau simpan wajahmu seperti ini, engkau mendiamkan orang itu bukan sikap pria yang baik. Silakan lontarkan kata-kata seperti itu, sehingga anak tahu dia perlu belajar mengekspresikan emosinya dengan lebih benar. Sudah tentu kita ajarkan dia untuk mengekspresikan emosi dengan kata-kata tapi bukan dengan tindakan fisik memukul. Hal-hal yang kasar seperti itu justru yang kita harus tekankan supaya tidak dilakukannya. Kadangkala anak-anak dipengaruhi oleh tayangan atau tontonan di luar atau mungkin pengaruh dari teman-teman marah langsung pukul, nah hal yang seperti itu harus kita menegurnya. Namun kita sendiri sebagai seorang ayah jangan memberi contoh yang sama, sedikit-sedikit kita pukul dia, ya dia akan mengikuti kita.
GS : Pak Paul, di dalam memberikan bimbingan terhadap anak karena kita punya kerinduan membimbing seorang anak laki-laki menjadi pria dewasa yang baik, hal-hal apa lagi yang perlu kita perhatikan?
PG : Ada 3 hal, Pak Gunawan, yang kita harus waspadai. Yang pertama adalah jangan sampai kita terlalu terjebak dalam pembedaan antara feminin, maskulin. Misalnya ada orang tua atau ayah yangberkata anak laki tidak perlu cuci piring karena itu pekerjaan wanita, saya kira itu tidak benar.
Silakan dia mencuci piring dan tidak ada salahnya anak laki mencuci piring. Anak laki tidak boleh menangis, itu seperti wanita, tidak apa-apa anak laki-laki menangis, anak laki-laki kadang-kadang perlu menangis, anak laki yang terus-menerus menangis itu menandakan emosi yang tidak stabil. Tapi sekali-sekali menangis karena kesedihan silakan atau misalnya kalau anak laki itu diajarkan hanyalah pasang lampu itu baru sifat pria, kalau menyapu itu bukan sifat pria, jangan. Jangan sampai kita terjebak dalam pembedaan feminin maskulin yang tidak ada dasarnya.
GS : Atau mengatai dia seperti perempuan saja.
PG : Nah itu kadang-kadang bisa keluar, betul Pak Gunawan, dalam kejengkelan. Itu juga tidak tepat Pak Gunawan, karena perkataan kamu seperti wanita itu sekali lagi tidak membangun, malah leih meruntuhkan dia dan yang cenderung terjadi dia tidak menyerap sikap yang kita inginkan malahan dia akan bereaksi, memberontak terhadap kita, melakukan yang kebalikannya.
Karena dia bereaksi terhadap kemarahan kita atau pelecehan kita tersebut.
GS : Tadi Pak Paul katakan ada 3 yang kedua apa, Pak Paul?
PG : Yang kedua adalah tadi sudah saya singgung sedikit yakni jangan menghina anak laki-laki, jadi anak laki-laki itu peka terhadap penghinaan. Misalnya yang tadi ya penghinaan menyamakan di dengan wanita, memanggil dia dengan wanita atau kata-kata banci, anak laki mempunyai satu ketakutan total yaitu takut disamakan dengan wanita, takut sekali anak pria.
Jadi jangan lontarkan kata-kata seperti itu atau misalnya kita di luar marah terhadap anak laki kita, kita tempeleng dia, itu sangat menghina anak atau kita menunjuk-nunjuk dahinya dengan telunjuk kita di depan temannya, itu sangat menghina dia. Atau kita memarahi dia semau kita di depan temannya apalagi di depan teman wanitanya, itu sangat menghina dia. Anak laki merasa terhina, yang merasa terhina cenderung menyimpan rasa terhinanya itu dan yang sering terjadi menjadi dendam kesumat pada dirinya terhadap kita sebagai ayah. Jadi berhati-hati dengan kata atau tindakan-tindakan yang menghina harga dirinya, kita sebagai pria mengerti bahwa kita peka dengan harga diri kita, kita peka dengan penghinaan, kita mungkin tidak berkeberatan lelah bekerja, berkeringat pulang sampai sore atau malam tapi jangan dihina. Pria seperti kita tidak mau dihina, anak laki pun tidak mau dihina.
GS : Tapi sering kali kita sebagai orang dewasa berdalih, begitu saja kamu tersinggung, jangan cepat tersinggung. Pernyataan seperti itu bagaimana, Pak Paul?
PG : Kita harus menimbang apakah sewajarnya anak kita tersinggung kalau sewajarnya dia tersinggung ya kita perlu minta maaf. Kalau memang tidak sewajarnya karena sungguh-sungguh terlalu keci ya kita ajarkan dia, kamu tidak sepatutnya kamu bereaksi seperti itu karena itu tidak terlalu menyinggung kamu.
Ya kita bisa ajarkan dia juga.
GS : Sedang hal yang ketiga, Pak Paul?
PG : Yang ketiga ini, jangan mengharuskan anak laki kita menyukai hobby kita atau dengan kata lain jangan sampai kita mencoba untuk mencetaknya menjadi jiplakan kita. Ada anak-anak laki yangsenang membaca buku, tidak begitu senang untuk berpetualang, sepak bola begitu.
Jangan kita sebagai pria merasakan anak laki kita tidak seperti kita senang main sepak bola dan kita mulailah meremehkan dia, tidak mau dekat dengan dia, itu penolakan yang sangat menohok diri si anak. Dia akan merasa tidak menjadi pria yang lengkap karena ayahnya menolak dia, dan dia akan melihat figur ayahnya adalah figur pria yang lengkap karena ayahnya menolak dia seakan-akan dia bukan pria yang lengkap, nah itu tidak positif, tidak baik. Saya ingat ada suatu cerita tentang seorang pendeta di Amerika Serikat yang dari kecil sering diremehkan oleh ayahnya yang senang dengan permainan sepak bola tapi dia sendiri tidak senang, dia senang membaca buku. Nah selalu dia itu dipermalukan tapi sampai titik terakhir sebelum ayahnya meninggal dunia di rumah sakit si anak yang sudah menjadi pendeta tersebut mengunjungi si ayah. Dan si ayah memanggil seorang suster dan berkata: "Ini anakku dia seorang pendeta," dengan bangga dia mengatakannya. Nah si anak itu bercerita atau memberikan kesaksian ya pertama kali dalam hidupnya dia merasakan ayahnya bangga kepada dia. Jadi seorang ayah berperan besar terhadap anak prianya meskipun anak pria seolah-olah tidak begitu membutuhkan kita, tapi sebetulnya sangat membutuhkan kita dan dia akan senang kalau kita bangga dengan dia sebagai anak laki-laki kita.
GS : Tentunya kita sebagai ayah, sebagai orang tua itu menghendaki anak-anak kita, anak laki-laki kita khususnya tumbuh berkembang menjadi pria dewasa yang bisa berguna dan bisa mendatangkan kemuliaan bagi nama Tuhan. Nah dalam hal ini Pak Paul, firman Tuhan mengatakan apa?
PG : Saya ambil dari Amsal 20:18, "Sekalipun ada emas dan permata banyak tetapi yang paling berharga adalah bibir yang berpengetahuan." Pengetahuan ini diidentikkan dengan berhimat jadi yang kita ingin berikan kepada anak kita, sekali lagi bukannya emas, bukannya permata yang ingin kita berikan kepada anak kita.
Yang paling berharga yakni hikmat. Dalam hal ini hikmat menjadi seorang pria, menjadi seorang yang takut Tuhan, mengenal Tuhan dan bisa hidup di tengah-tengah lingkungannya.
GS : Saya percaya bahwa Tuhan akan memberikan hikmat kepada kita khususnya para pendengar yang juga sungguh rindu untuk membimbing anak-anaknya agar menjadi pria dewasa yang baik. Nah saudara-saudara pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan sebuah perbincangan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja melanjutkan perbincangan kami tentang bagaimana membentuk a boy menjadi a man. Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.