Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang Bagaimana Membentuk A Boy menjadi A Man. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Paul, kita mau membicarakan bagaimana membentuk a boy (anak laki-laki) menjadi a man (pria dewasa). Apakah tidak dengan sendirinya bisa terjadi, Pak Paul?
PG : Itu adalah asumsi orang pada umumnya, memang akan terjadi. Jadi anak-anak yang dibesarkan, diberikan makanan yang cukup akan berkembang menjadi seorang pria dewasa. Tapi persoalannya adlah pria dewasa macam apakah itu, oleh karena itu akan kita bicarakan.
Jadi bukan masalah ya, anak-anak pasti akan berkembang menjadi pria dewasa, tapi pria dewasa seperti apakah nantinya.
(1) GS : Ya seperti apa kira-kira, Pak Paul? Saya sendiri juga kurang jelas.
PG : Maksud saya adalah sebagai seorang ayah, kita memikul tanggung jawab untuk memberikan kepada anak laki-laki kita, membesarkannya secara khusus agar anak laki kita dapat bertumbuh besar enjadi seorang pria dewasa yang memang kita harapkan dan juga diharapkan oleh Tuhan.
Nah saya kira itu adalah inti yang akan kita bicarakan pada hari ini.
GS : Jadi penciptaan Tuhan terhadap pria dewasa itu pasti sangat unik ya Pak Paul, maksudnya pasti berbeda sama sekali dengan yang wanita.
PG : Saya kira akan ada perbedaan antara seorang pria dan seorang wanita. Apa yang ayah berikan, saya kira tidak dapat diberikan oleh ibu, nah sudah tentu apa yang ibu berikan tidak dapat jua diberikan persis oleh seorang ayah.
Tapi khusus untuk anak laki-laki, saya berpendapat bahwa seorang ayah memegang peranan yang sangat besar untuk diberikan kepada si anak.
(2) GS : Padahal biasanya kami menjadi ayah agak jarang atau kurang terlibat di dalam pembinaan anak semasa kecil, Pak Paul.
PG : Tepat sekali Pak Gunawan, kita memang sebagai pria harus memberikan banyak waktu di luar untuk bekerja. Tapi saya kira ada baiknya, pada kesempatan ini kita memperhatikan dengan lebih sksama, sebetulnya apa peranan seorang ayah pada anak laki-lakinya.
Yang pertama, yang penting kita ketahui adalah bahwa anak-anak itu perlu menyerap sifat kelaki-lakian dari kita sebagai ayahnya. Nah, proses ini disebut identifikasi, jadi identifikasi adalah proses memasukkan sifat-sifat, perilaku, pola-pola, tingkah laku atau pikir atau pengungkapan emosi dari ayah kita atau dari orang tua kita ke dalam diri kita. Saya berikan contoh, kalau kita melihat bahwa ayah itu waktu bicara sering kali menggunakan misalnya gerakan-gerakan tangan, tanpa kita sadari kita mulai menyerap perilaku tersebut. Atau kalau ayah kita sedang marah dia cenderung diam, nah anak-anak yang dibesarkan oleh ayah yang seperti itu cenderung juga menyerap sifat-sifat seperti itu. Waktu misalnya ibu marah-marah atau ngomel-ngomel sedikit, ayah juga tidak menanggapi dengan emosionalnya tapi mencoba untuk memberikan penjelasan dan lebih tenang. Nah sifat atau perilaku tersebut akan diserap pula oleh seorang anak pria, jadi hal-hal seperti itulah yang akan diserap oleh seorang anak. Sifat-sifat tersebut akhirnya masuk ke dalam diri si anak dan menjadi bagian dirinya sendiri, itulah yang kita sebut identifikasi. Nah proses ini penting sekali harus diterima oleh seorang anak laki-laki.
GS : Kalau begitu harus direncanakan oleh si ayah itu, ya Pak Paul. Hal-hal apa yang akan ditanamkan di dalam diri anaknya itu, apa tidak perlu direncanakan atau secara alamiah begitu atau bagaimana, Pak Paul?
PG : Saya kira pada dasarnya semua ini akan berjalan dengan alamiah, namun kita juga harus membuat suatu perencanaan untuk hal-hal tertentu. Misalkan kita mau memberikan dia petunjuk dalam mnghadapi hal seperti ini, sebaiknya kita begini.
Kita tidak perlu terlalu menekankan kata-kata seorang pria harus begini, itu bisa kita lontarkan secara natural. Namun yang penting memang secara umum kita menyadari betapa pentingnya kita di dalam anak pria kita, apa yang kita katakan dan apa yang kita kemukakan, karena itu akan diserap oleh dia. Kalau kita kurang banyak berada di rumah dan kalaupun di rumah kita jarang sekali dilihat oleh anak, jarang sekali bergaul dengan anak, yang saya maksud jarang dilihat misalkan kita pulang terus kita makan, kita mandi atau terus kita diam di kamar, nonton televisi atau ke meja komputer melihat pesan-pesan di e-mail kita dan sebagainya sampai malam hari atau melakukan pekerjaan kita di rumah, kita menjadi ayah yang tidak dilihat oleh anak kita. Nah, otomatis yang akan dia lihat orang lain, dalam hal ini bisa jadi sifat mamanya yang akan dia lihat. Jadi sifat-sifat feminin mama yang akhirnya lebih menyerap dalam dirinya atau waktu dia menginjak usia yang lebih besar, dia akan menyerap sifat-sifat yang dia lihat dari orang lain. Di sekolah dari teman-temannya, atau ini yang paling umum yaitu karena dia sering nonton televisi yang dia lihat adalah tokoh-tokoh di dalam televisi tersebut dan itulah yang dia akan serap pula. Jadi yang ingin saya katakan adalah kalau kita jarang dilihat di rumah, anak akan menyerap dari orang lain yang dilihatnya. Kembali lagi pada apa yang saya katakan pada awalnya yaitu masalahnya bukan apakah anak kita akan bertumbuh besar menjadi seorang pria dewasa, tapi pria dewasa seperti apakah nantinya, pria itu akan menjadi seperti apa, nah ini tergantung pada peranan kita.
GS : Di dalam hal menyerap pasti ada yang baik maupun yang buruk dari sifat-sifat kita, tingkah laku kita sebagai pria dewasa juga diserap oleh anak itu, Pak Paul?
PG : Tepat sekali, misalkan kita pada waktu jengkel mudah sekali untuk bersikap ketus, kita mungkin tidak berteriak-teriak, tidak emosional tapi kita ketus. Lama kelamaan anak-anak akan menyrap dan akan bersikap ketus.
Apapun yang kita lakukan, baik yang buruk ataupun yang baik, memang akan mudah sekali diserap oleh anak kita. Tapi kembali lagi kepada yang tadi Pak Gunawan sudah tekankan, bahwa kita harus terlibat, kita harus hadir, jadi itu kuncinya. Nah, secara otomatis kita sebaiknya tidak memberikan pengaruh yang buruk kepada anak-anak kita, tapi yang paling penting adalah kita harus hadir dalam kehidupannya itu.
GS : Biasanya kehidupan anak sejak bayi itu di pelukan ibunya terus, Pak Paul?
PG : Betul, biasanya anak-anak yang pria pada usia 0 hingga usia mungkin 7-8 tahun cenderung dekat dengan ibunya. Menginjak usia pra remaja anak-anak pria itu lebih bisa dekat dengan ayahnya karena biasanya pada usia menjelang dewasa itu anak-anak mulai bereaksi juga terhadap ibunya karena pada umumnya tidak semua ibu itu cenderung protektif, cenderung banyak memberi instruksi dan kadang-kadang suka diajak berdialog dengan logis misalnya.
Nah adakalanya sifat-sifat yang seperti itu ditolak oleh seorang anak pria remaja atau pra remaja dan dia akan lebih merasa nyaman bicara dengan ayahnya, disinilah ayah itu bisa berperan sangat besar sekali. Jadi persiapan pertama, ya Pak Gunawan seorang ayah itu memang harus hadir dan terlibat dalam kehidupan si anak. Pada masa yang lebih kecil si ayah bisa bermain dengan anak, anak sangat senang bermain dengan ayahnya. Nah, waktu bermain dia bisa melihat juga kejujuran ayahnya, apakah ayahnya itu sportif atau tidak. Sifat-sifat seperti itu yang akan dia contoh, bermain dengan anak dan yang lainnya adalah berkomunikasi, hal-hal kecil seperti bagaimana hari ini, sekolah bagaimana apa yang terjadi dan ini yang menjadi favorit saya di rumah yaitu malam hari sebelum tidur temani anak, berikan waktu setengah sampai satu jam sebelum tidur untuk berbincang-bincang dengan anak-anak kita. Terutama dalam hal ini, kalau kita seorang ayah dengan anak pria kita, ajak dia bicara begini-begitu dan pada waktu dia menginjak usia remaja kita bisa memunculkan percakapan tentang berhubungan dengan teman wanita misalnya. Belum lama ini dalam saat teduh keluarga, saya menceritakan tentang pengalaman waktu masih SMP di mana saya dipermalukan oleh seorang teman wanita. Nah, hal-hal seperti itu yang kita perlu bagikan, kita komunikasikan dengan anak-anak kita, dalam waktu-waktu itulah si anak akhirnya menyerap apa yang ayahku lakukan menghadapi hal seperti itu, apa yang ayahku lakukan sewaktu dia tertekan, apa yang ayahku lakukan sewaktu dia dipermalukan. Nah inilah ilmu-ilmu yang perlu diserap oleh seorang anak laki-laki dari ayahnya.
GS : Memang biasanya kita kaum pria kurang memperhatikan hal-hal seperti itu, ya Pak Paul. Nah, dampaknya kalau anak nanti sudah menyerap hal-hal yang positif dan negatif dan mencontoh ayahnya itu, apakah itu tidak membuat dia kesulitan dalam terjun ke masyarakat nantinya?
PG : Tidak, karena yang dia terima atau serap dari ayahnya itu menjadi bekal, bekal yang dia bawa kalau nanti dia terjun ke masyarakat. Otomatis kalau dia menyerap yang buruk, yang buruk ituakan berbenturan waktu dia bergaul di luar dengan hal-hal yang dituntut oleh orang lain yang baik-baik.
Misalkan dia mudah sekali beremosi, dia keluar dia beremosi pula nah dia akan berbenturan dengan orang lain, jadi sifat atau bekal yang dia terima itu dipaksa untuk berubah. Nah memang tergantung pada dirinya, apakah dia akan bersedia mengubah dirinya atau tidak, tapi dengan kata lain semua yang kita bawa dari rumah memang akan diuji coba dan akan mengalami bentukan-bentukan kalau tidak sama dengan apa yang dilakukan oleh orang di luar.
(3) GS : Nah, Pak Paul, sesuai dengan perkembangan usia anak itu, hal-hal apa yang mula-mula sekali kita bisa berikan kepada anak laki-laki khususnya?
PG : Yang pertama adalah kita harus mengajar anak kita mengambil keputusan. Saya tekankan bahwa seorang pria sebaiknya menjadi pemula atau menjadi orang yang mengambil inisiatif, itu yang saa coba tekankan pada anak laki-laki saya.
Jangan sampai kita menjadi pria yang pasif, yang hanya menantikan orang untuk mengambilkan keputusan bagi kita. Dorong anak kita untuk mulai mengambil keputusan, otomatis keputusan hanya bisa diambil jikalau ada pilihan. Nah di sini penting bagi ayah untuk tidak mempermalukan atau melecehkan si anak sewaktu misalnya si anak tidak bisa mengambil keputusan. Contoh kita mengajak dia pergi untuk membeli sesuatu kemudian dia bertanya kepada kita mana yang harus saya pilih, ada dua ini sama-sama bagusnya. Nah kita bisa jelaskan proses pengambilan keputusan, kita bisa jelaskan materi, misalnya kita mau membelikan dia baju, materi baju ini lebih bagus daripada yang satunya dan jahitannya lebih bagus juga daripada yang satunya. Harganya lebih mahal tapi kalau bahannya lebih bagus dan jahitannya lebih bagus berarti akan tahan lebih lama. Nah bukan saja lebih enak dipakai tapi akan lebih lama dipakai, nah bagaimana membeli yang ini meskipun sedikit lebih mahal. Yang ingin saya tekankan di sini adalah sekali lagi bukan memberikan jawaban langsung kepada si anak, tapi mengajarkan kepada anak proses pengambilan keputusan itu sendiri, sehingga nanti waktu dia menghadapi situasi yang sama bahkan yang berbeda dia mulai menerapkan metodenya atau rumusannya tadi yang telah kita ajarkan kepadanya. Waktu dia mulai bisa mengambil keputusan karena dia sudah mengerti rumusannya dia akan lebih berani mengambil inisiatif. Kebanyakan anak-anak yang takut mengambil inisiatif sebetulnya takut salah, takut salah sebetulnya takut dihukum karena kesalahannya. Di sini pentingnya seorang ayah berhati-hati dengan celaan, pelecehan, kritikan, "Begini saja tidak bisa, kok kamu begitu", yang penting adalah mengajarkan proses mengambil keputusan yang benar. Sehingga dia mempunyai bekal untuk mengambil keputusan dan lebih berani untuk mengambil inisiatif, karena dia tahu keputusannya itu kemungkinan besar akan benar.
GS : Tapi kadang-kadang kita sebagai orang tua tidak sabar, Pak Paul, menunggu anak mengambil keputusan rasanya lama sekali untuk hal-hal yang sederhana. Bagaimana kita mengutarakan hal-hal seperti itu kepada anak, Pak Paul?
PG : Sudah tentu dalam hal-hal sederhana dan kecil, sekali-sekali tidak apa-apa kita ambilkan keputusan untuk dia, tapi untuk hal-hal yang lain kita berikan dia waktu, kita dengan sengaja megundurkan diri supaya dia bisa maju dan mengambil keputusan.
Nah perlahan-lahan kita juga bisa katakan kepada dia, sebagai pria kita harus belajar untuk mengambil inisiatif karena itu merupakan sikap pria yang baik. Hal seperti itu kita boleh katakan kepada dia secara positif, jangan sampai kita utarakan dengan negatif. Misalnya "kamu pria tidak bisa ambil keputusan seperti ini, memalukan saja kamu ini, pria macam apa kamu nantinya", nah itu diungkapkan dengan negatif, bukan malah membangun, malah meruntuhkan harga dirinya.
GS : Tapi memang kadang-kadang kita ini kesulitan, Pak Paul, dalam hal kita memutuskan sesuatu hal. Misalnya tadi Pak Paul sudah singgung baju, baju yang dipilih menurut hemat kami sebagai orang tua kalau dari mutu kain dan sebagainya bagus, warnanya itu kadang-kadang yang mencolok sekali sehingga akhirnya kita merasa agak kurang pas melihat anak kita seperti itu, lalu bagaimana memberitahukannya ?
PG : Saya akan beritahukan pendapat kita sendiri tidak apa-apa ya, jadi saya kira warnanya mencolok sekali, menurut kamu kalau kamu pakai baju ini di sekolah apa kira-kira reaksi teman-teman Misalnya dia berkata tidak apa-apa, memangnya ini umum, teman-teman memakai baju seperti ini tidak apa-apa, ya sudah kalau memang menurut kamu tidak apa-apa silakan.
Jadi adakalanya kita membiarkan anak kita mengambil keputusan yang memang menurut kita kurang pas, tapi selama kita tahu memang bukannya berkaitan dengan dosa dan tidak membahayakan jiwanya, saya kira sekali-sekali biarkan. Dengan cara itulah dia akan lebih berani mengambil inisiatif, karena kalau kita terus memastikan dia mengambil keputusan, justru dia akan mencari tahu apa pendapat kita sebelumnya dia berani mengambil keputusan.
GS : Atau diserahkan kepada kita, "Terserahlah Papa mau belikan yang mana", seperti itu Pak Paul?
PG : Tepat sekali, nah adakalanya kita terjebak dalam masalah itu, Pak Gunawan. Tanpa kita sadari kita malah melumpuhkan daya keberaniannya untuk mengambil keputusan, akhirnya ia tidak bertubuh menjadi anak yang berinisiatif malah menjadi anak yang pasif.
Nah, kita tahu di kalangan pria seperti kita kualitas atau karakteristik pasif itu bukanlah hal yang dianggap baik untuk seorang pria. Jadi saya kira itu tanggung jawab kita sebagai ayah untuk menanamkan dan menumbuhkannya. Sekali lagi saya harus garis bawahi Pak Gunawan, jangan mengajar anak secara negatif, itu yang seringkali kita lakukan, "Kamu ini begini saja tidak bisa, pria macam apa kamu nantinya, harus berinisiatif bikin malu saya saja kamu....", nah akhirnya anak tambah tidak berani berinisiatif, tambah takut berinisiatif.
GS : Atau keputusannya lalu jadi sama terus, maksud saya begini, Pak Paul, kalau kita makan di luar misalnya di restoran. Ditanya kamu mau makan apa, suatu saat dia memilih salah satu menu misalnya nasi goreng. Kita setuju dengan hal itu, lain kali dia memilih suatu menu yang memang mahal, kita katakan jangan ini terlalu mahal, uangnya tidak cukup, dia akhirnya kembali ke nasi goreng lagi. Lain kali kalau ditanyai lagi mau makan apa, langsung dia katakan nasi goreng, dan setiap kali makan nasi goreng, nasi goreng, seolah-olah tidak ada menu yang lain, Pak Paul.
PG : Sekali-sekali kita harus merentangkan anak untuk berani mengambil keputusan yang berbeda. Jadi misalkan dalam contoh tadi kita tidak bisa belikan menu yang dia inginkan, nah kita ingat tu misalnya minggu depannya kita makan dia berkata nasi goreng saja sudah cukup, sudah kita diamkan.
Tapi berikutnya karena kita sudah tahu pola berikutnya waktu dia pesan nasi goreng, kita katakan 2 minggu yang lalu kamu pernah ingin pesan ini, tapi Papa tidak punya uang, sekarang Papa punya uang ayo kita pesan itu, tidak....tidak usah, tidak usah. Tidak apa-apa Papa juga ingin coba sedikit, nah kita dorong dia sehingga akhirnya dia berani merentangkan dirinya, tidak hanya berada di dalam kotak yang aman.
(4) GS : Tapi makin dewasa seorang anak, makin banyak yang dia harus putuskan, ya Pak Paul. Nah itu kadang-kadang membingungkan dia juga. Sebenarnya peranan kita sebagai orang tua sampai sejauh mana, Pak Paul?
PG : Kita memang harus mengikuti anak, kalau kita tidak mengikuti anak, maka kita bisa memberikan dia kebebasan yang keliru dalam hal mengambil keputusan ini. Misalnya kita karena tidak mengkuti perkembangannya, dia mau pergi kita ijinkan saja, dia pergi dengan siapapun kita tidak tahu, nah akhirnya kita bisa menjerumuskan dia ke dalam pergaulan yang salah.
Jadi kuncinya adalah kita harus mengikuti perkembangannya, jadi saya berikan pengibaratan dia melangkah satu langkah ke depan kita pun segera melangkah bersama dengan dia ke depan, sehingga kita bisa mengetahui dia menghadapi keputusan seperti apa sekarang ini. Nah sekali lagi penting sekali ada komunikasi, kalau tidak ada komunikasi kita tidak bisa mengikuti perkembangannya, waktu ada komunikasi kita bisa mulai masuk memberikan dia sinyal-sinyal keputusan apa yang baik karena begini-begini. Anak pada umumnya kalau merasakan kita tidak menghakimi dia, tidak mencela dia, cenderung mau terbuka dengan kita. Satu tindakan orang tua yang paling umum dan yang paling membuat anak tidak mau berbicara pada orang tua adalah celaan, teguran. "Kenapa kamu begini, seharusnya begitu, kamu seharusnya sudah pikirkan itu", nah kata-kata seperti itu memadamkan anak untuk bercerita di kemudian hari kepada kita. Jadi ikuti perkembangan anak sehingga kita bisa memantau keputusan-keputusan yang harus dibuatnya dan sekali lagi yang paling penting kita mengajarkan dia proses pengambilan keputusan itu sendiri. Kenapa harus mengambil keputusan seperti ini, kenapa bukan yang itu, nah kita ceritakan jalan pikiran kita, sehingga itu yang dia serap, yang paling penting. Jangan kita hanyalah memberikan solusi atau jawaban langsung.
(5) GS : Karena memang lebih mudah menjawab langsung itu Pak Paul, daripada membimbing seperti itu, tapi bagaimana dengan tugas-tugas atau pekerjaan seorang anak laki-laki itu, Pak Paul?
PG : Dalam menghadapi tugas, saya kira seorang anak laki-laki diharapkan menjadi anak atau orang yang sigap. Saya kira kualitas atau ciri pria yang lamban bukanlah sifat yang dihormati. Jadidi kalangan pria, sifat atau sigap itu jauh lebih positif.
Nah kita sebagai pria perlu memberikan masukan, didikan kepada anak-anak kita untuk menjadi orang yang sigap. Saya mengakui adakalanya kalau kita sudah sigap, kita orang yang sigap melihat anak kita lamban itu luar biasa menjengkelkan kita, kita meminta sesuatu dilakukan tapi tidak dilakukan, atau kita meminta ini dilakukan dengan segera, dilakukannya dengan sangat santai. Nah, itu benar-benar sangat menjengkelkan kita, ya saya mengakui, Pak Gunawan, kadangkala saya pun tidak sesabar itu, adakalanya yang keluar dari mulut saya adalah kemarahan, menegur anak laki-laki saya, kamu lamban sekali, kamu harus lebih sigap. Seorang pria diharapkan untuk sigap, jangan terlalu lamban, nah kadang-kadang itu keluar dari mulut saya karena saya ingin mendorong dia untuk sigap. Tapi saya kira yang lebih banyak seharusnya bukan celaan tadi, yang lebih banyak seharusnya adalah mendorong dia untuk lebih cepat dengan kata-kata yang positif. Misalnya tolong kerjakan sekarang ya atau ayo kerjakan sama-sama atau dengan nada yang lebih mendorong dia mengerjakannya dengan lebih cepat, ayo harus kerjakan sekarang. Nah itu tanpa disadari akan melatih dia untuk menjadi orang yang lebih sigap, lebih cekatan.
GS : Ya, biasanya anak itu minta contoh dari kita sebagai orang tua, tapi kita merasa terganggu atau merasa lebih enak kalau kita kerjakan sendiri pekerjaan itu.
PG : Untuk hal-hal yang memang harus kita kerjakan sendiri dan lebih cepat silakan kerjakan tidak apa-apa. Yang bisa kita delegasikan dan seharusnyalah kita delegasikan kita harus berikan it kepada dia, jadi anak laki-laki terutama perlu diberikan tanggung jawab, misalnya tanggung jawab meletakkan sepatu di rak sepatu, mengembalikan, membersihkan atau apa, itu hal-hal yang rutin yang harus diberikan.
Jangan karena punya pembantu, kita tidak memintanya melakukan itu. Kita harus mengajarkan selesai makan, taruh piring di dapur, jangan tinggalkan di meja makan. Meskipun ada pembantu yang akan bisa mengambilnya, sebaiknya kita meminta anak membawanya ke dapur. Bukan kita ini menyusahkan atau menyengsarakan anak, tapi kita sedang mendidik dia apa yang harus dilakukannya setelah makan. Jadi untuk hal-hal yang memang kita harus kerjakan dengan cepat ya silakan, tapi kalau memang dia bisa kerjakan biarkan dia kerjakan.
GS : Memang kadang-kadang yang sulit di sini adalah memberikan teladan pada anak itu seperti tadi pengambilan keputusan maupun bekerja dengan sigap Pak Paul, kadang-kadang kita menyadari kekurangan diri kita sendiri sebagai orang tua, saya sendiri tidak mampu mengambil keputusan dengan cepat, bekerja dengan sigap lalu menuntun anak kita melakukan itu kita tidak berani.
PG : Itu betul sekali dan yang seringkali anak lihat akhirnya bukanlah perkataan kita, tapi perbuatan kita. Saya berikan contoh, beberapa waktu yang lalu anak kami meminta dibelikan celana utuk berolah raga di sekolahnya.
Nah, mula-mula tidak begitu saya perhatikan apakah hari itu dia harus mempunyai celana tersebut. Malam hari sebelumnya dia baru memberitahu kami bahwa besok harus ada celana ini, ya sudah tentu menjengkelkan kami karena malam-malam baru cerita. Tapi memang kami bisa mengerti juga beberapa jam sebelum itu ada temannya datang, jadi dia main dengan temannya sehingga malam hari baru ingat. Nah mula-mula kami katakan sudah pakai yang lain saja, terus saya tanyakan lagi ternyata memang gurunya sudah mengatakan harus dipakai hari esok. Jadi yang saya lakukan adalah meskipun sudah hampir jam 8, maka saya katakan ayo kita pergi, kita beli. Jawabnya, tidak...... tidak usah. Saya katakan tidak, saya mau membelikan karena ini penting buat kamu, saya belikan, waktu saya pulang saya katakan pada dia, tahu tidak kenapa tadi Papa paksa kita beli juga malam ini? Dia bilang tidak. Sebab Papa tidak mau kamu dipermalukan, saya bisa bayangkan besok kalau kamu tidak pakai celana ini dan guru kamu berkata kamu tidak pakai celana ini, tidak boleh ikut olah raga, kamu duduk sendirian di situ, kamu akan merasa dipermalukan dan saya tidak mau kami dipermalukan. Nah sikap seperti itu, saya kira menunjukkan kesigapan juga saya langsung pergi dengan dia. Itu memang perlu kita bagikan kepada anak-anak kita.
GS : Di samping itu Pak Paul, firman Tuhan mengatakan apa dalam hal ini?
PG : Saya akan bacakan dari Amsal 22:6 "Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu." Inilah yangkita perlu ingat, tanamkan pada anak-anak kita jalan yang benar, sampai tua dia tidak akan menyimpang dari jalan itu.
GS : Demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan sebuah perbincangan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang membentuk a boy menjadi a man. Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.